William mendapati dirinya berada di ruangan gelap. Telinganya berdengung seolah tempat ini adalah lorong sempit yang menggemakan suara. Sedikit menggerakkan kakinya pun ia tidak bisa, namun masih bisa menutup telinga dengan tangan karena dengungannya semakin menyakitkan. Kemudian, dalam keremangan itu ia bisa mengenali sosok di hadapannya. Clara sedang memeluk seorang anak—anak-anak kecil lebih tepatnya. Tatapannya menjurus pada William penuh harap dengan kaki yang duduk bersimpuh."Tolong lepaskan." Suara Clara merintih.William hampir merangsek maju, namun sial, lagi-lagi kakinya tidak dapat di gerakkan. Suaranya tak bisa keluar dengan lidah kelu membuatnya kian ketakutan. Clara menangis tersedu-sedu bersama anak-anak kecil itu dan William tidak melakukan apa-apa.***William tersentak dari tidurnya. Napasnya terengah-engah dan keringatnya mengucur. Ia mencoba mengatur napas. Paru-parunya butuh udara secepatnya. Matanya memproses keadaan sekitar dan kelegaan serasa melingkupinya.Bu
Aroma sup jamurnya menguar memenuhi udara. Clara menyajikan sup itu di mangkuk dan memberi taburan bawang goreng di atasnya. Semuanya telah siap dan Clara tinggal menyuruh Nancy yang sedari tadi hanya menonton—itu termasuk permintaannya untuk tidak ikut serta membantu menyajikannya di atas meja. Clara masih patuh akan peringatan William untuk jangan membawa barang berat. Meski Clara sangat ingin keras kepala menentang tapi tidak juga ia lakukan."Mau mencicipi, Nancy?" tawar Clara.Wanita empat puluhan itu menggeleng, "Sudah, Nyonya," jawabnya sambil tersenyum.Clara terkikik, "Kudengar taco buatanmu adalah favorit William.""Bukankah taco kegemaran Tuan William sudah berganti?"Clara merona. Ia tidak tahu dari siapa Nancy mendengarnya atau memang sedang menggodanya. Tapi mengingat wajah William yang selalu lahap makan, membuat Clara merindukan lelaki itu.Astaga, apa yang terjadi padanya? Saat ini ia ingin sekali melihat William makan."Aku ingin William segera memakan sup ini," guma
Kediaman keluarga Anderson sangat riuh pagi ini. Jazzy dan Mikaela sedang berebut game di ruang keluarga. Sementara Alaina berteriak dari dapur ketika mendengar putrinya mengumpat. Dan Jazzy membalas sama halnya dengan apa yang Mikaela lontarkan."Apa yang kukatakan soal umpatan, Jazzy?!" hardik Alaina.Clara yang memperhatikan pemandangan semeriah ini hanya tertawa. Sesekali ia melirik Alaina dan kembali fokus pada William yang terlihat tidak bersemangat. Pun demikian, Clara tetap menatap serius suaminya itu. Ia mengabaikan keriuhan keluarga Anderson yang amat jauh berbeda dari rumah William."Aku seperti mengurus dua bayi yang baru belajar mengoceh." Alaina menggelengkan kepalanya karena kesal. Ia menjewer telinga Jazzy dan Mikaela supaya menghentikan permainan gamenya, namun tetap saja hal itu sia-sia."Mama!" Jazzy dan Mikaela bersuara bersamaan. "Sial, aku hampir meraih kemenangan keduaku!"Alaina melotot pada Mikaela. "Berhenti mengumpat, Kaela!"Mikaela mengerang kesal. "Menyeb
Darah di mana-mana.Mengotori baju William, jok mobil belakangnya—yang lebih mengerikan dari itu semua adalah baju putih yang Clara kenakan telah bersimbah darah.William ketakutan sekarang.Tak pernah ia merasa setakut ini dalam hidupnya."Clara!" teriak William.Namun Clara telah menutup mata sejak William membawanya ke dalam mobil.Austin yang biasa menyetir dengan ugal-ugalan tapi di saat segenting ini justru menyedot seluruh kesabaran William, "Lebih cepat, Austin!"Austin melirik spion—mengabaikan teriakan William dan mengumpat. "Apakah itu polisi? Brengsek!""Lebih cepat, Austin!" Lagi dan Austin mulai merasakan muak sehingga membalasnya dengan memutar mata malas. "Clara, kumohon. Bertahanlah, Sayang," William bisa merasakan napas putus-putus Clara."Aku telah memecahkan lebih dari tiga kaca spion mobil lain. Aku yakin itu." Austin berujar dengan menukik tajam dan menginjak pedal gas lebih dalam. "Sial! Polisi brengsek itu mengejar kita.""William!""Itu dia! Aku dapat." Willia
Siang berganti malam. Hari berganti hari.William masih setia berada di samping Clara. Ia mulai melakukan beberapa hal yang bisa dilakukannya di kamar Clara. Termasuk membawa serta pekerjaan kantor yang Alex dan Damian kirimkan.Tidak seperti minggu pertama saat menunggu Clara, hanya terpaku dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mulai menjalankan bisnisnya meski peran Austin dan Lucas cukup membantu.William masih ingin berada di samping Clara saat istrinya itu membuka mata. Ia ingin Clara melihatnya saat pertama kali membuka mata—sama seperti ketika mereka bangun di pagi hari.Sesekali baik Alaina atau Stella selalu berkunjung. Hanya beberapa jam supaya William tetap terjaga pada kewarasannya. Ia makan jika makanan di antar dan mandi seperlunya.Seminggu menjadi sepuluh hari. Lalu dua minggu.Dua puluh hari.Tiga puluh hari.Dan ini sudah hari ke lima puluh tapi Clara masih tertidur dengan tenang.Clara terlihat semakin kurus dan tirus. William bisa merasakan tubuh Clara yang menyu
Dua puluh enam jam kemudian William berdiri di atas hamparan rumput cepak yang basah. Tanah di kakinya dingin, begitu pun dengan udara di sekitar meski musim gugur belum tiba. Cahaya di sini redup atau William yang telah kehilangan cahayanya.Ini sama seperti sebelumnya. Ia hanya diam mematung dan memandang batu nisan yang terpampang diukir dengan huruf kesedihan; Clara Anderson.William telah mengejanya puluhan kali dan ukiran nama itu benar adanya.William tak bisa tenang meski ia telah berjanji pada Clara untuk membiarkannya beristirahat dengan tenang.Bagaimana kau bisa tenang ketika separuh dari hidupmu direnggut begitu saja?William tak memiliki waktu lebih banyak untuk membahagiakan Clara padahal ia ingat pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakannya. William berharap bisa memutar waktu agar memiliki banyak kesempatan untuk mewujudkan itu semua tapi nyatanya tidak. Dan William benci tak ada yang bisa ia salahkan di sini.Angin berembus kencang.Hempasannya memeluk
Dan mimpi. Semuanya adalah mimpi meski seolah nyata.Tiga bulan berlalu dan mimpi-mimpi itu terus menyambangi tidurnya. Membuat Clara harus terlonjak bangun di tengah malam dan mendengus kesal. Inginnya tidak berbuat demikian, tapi kesal dengan tingkah William yang berlebihan.Bahkan, terapis yang menangani William sudah berganti delapan orang selama kurun tiga bulan terakhir. Itu menggelikan dan menyebalkan.“Datang lagi?” Hanya itu yang bisa Clara ajukan sebagai tanya. Sembari menyodorkan gelas berisi air dan menumpukan bantal untuk William bersandar. “Aku tidak tahu jika sedalam itu.”William setuju. Lewat anggukan dan tubuhnya yang di bawa menyamping. Netra cokelat yang di timpa cahaya remang lampu kamar menghujam tepat di manik hitam Clara.“Janji padaku?”“Aku sudah berjanji.”“Terus bersamaku.”“Dan aku selalu di sini.”Dialog setiap malamnya yang hafal di luar kepala Clara. Rasanya miris dan mengerikan.“Alexa sudah tidur?”Ah, ingat soal janji Clara untuk memberi satu wajah y
Saya tidak pendendam. Namun jika sudah terlalu memuakkan dan berkelebihan, sedikitpun rasa hormat saya tidak ada lagi untuknya.***Itu benar.Bukan bermaksud ingin membenci apa yang sudah terjadi pada hidupnya. Namun rotasi kehidupan yang berubah-ubah dengan sangat cepat dari satu titik ke titik yang lain, membuat Clara sadar. Bahwa apa pun yang sudah terjadi lebih baik di lupakan. Inginnya begitu. Agar kehidupannya tenang di masa mendatang.Tapi sayangnya, saat segala sesuatu yang baik Clara coba terima, yang menjadikannya sebuah trauma belumlah lenyap sepenuhnya.Saat tubuhnya berdiri tegap dengan kedua kaki yang menyangganya. Tremor yang menjalar di seluruh bagian darahnya menjadi sangat tidak berarti. Dan Clara memberikan tatapan kebencian tiada ampun. Bukan artinya dendam. Lebih daripada itu, Clara kehilangan kewarasannya untuk memberikan hormat.“Perutmu sudah kempes?”Yang terdengar seperti: kau masih hidup?Di rungu Clara, kata-kata seperti itu sungguh menakutkan—awalnya. Ta