Darah di mana-mana.Mengotori baju William, jok mobil belakangnya—yang lebih mengerikan dari itu semua adalah baju putih yang Clara kenakan telah bersimbah darah.William ketakutan sekarang.Tak pernah ia merasa setakut ini dalam hidupnya."Clara!" teriak William.Namun Clara telah menutup mata sejak William membawanya ke dalam mobil.Austin yang biasa menyetir dengan ugal-ugalan tapi di saat segenting ini justru menyedot seluruh kesabaran William, "Lebih cepat, Austin!"Austin melirik spion—mengabaikan teriakan William dan mengumpat. "Apakah itu polisi? Brengsek!""Lebih cepat, Austin!" Lagi dan Austin mulai merasakan muak sehingga membalasnya dengan memutar mata malas. "Clara, kumohon. Bertahanlah, Sayang," William bisa merasakan napas putus-putus Clara."Aku telah memecahkan lebih dari tiga kaca spion mobil lain. Aku yakin itu." Austin berujar dengan menukik tajam dan menginjak pedal gas lebih dalam. "Sial! Polisi brengsek itu mengejar kita.""William!""Itu dia! Aku dapat." Willia
Siang berganti malam. Hari berganti hari.William masih setia berada di samping Clara. Ia mulai melakukan beberapa hal yang bisa dilakukannya di kamar Clara. Termasuk membawa serta pekerjaan kantor yang Alex dan Damian kirimkan.Tidak seperti minggu pertama saat menunggu Clara, hanya terpaku dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mulai menjalankan bisnisnya meski peran Austin dan Lucas cukup membantu.William masih ingin berada di samping Clara saat istrinya itu membuka mata. Ia ingin Clara melihatnya saat pertama kali membuka mata—sama seperti ketika mereka bangun di pagi hari.Sesekali baik Alaina atau Stella selalu berkunjung. Hanya beberapa jam supaya William tetap terjaga pada kewarasannya. Ia makan jika makanan di antar dan mandi seperlunya.Seminggu menjadi sepuluh hari. Lalu dua minggu.Dua puluh hari.Tiga puluh hari.Dan ini sudah hari ke lima puluh tapi Clara masih tertidur dengan tenang.Clara terlihat semakin kurus dan tirus. William bisa merasakan tubuh Clara yang menyu
Dua puluh enam jam kemudian William berdiri di atas hamparan rumput cepak yang basah. Tanah di kakinya dingin, begitu pun dengan udara di sekitar meski musim gugur belum tiba. Cahaya di sini redup atau William yang telah kehilangan cahayanya.Ini sama seperti sebelumnya. Ia hanya diam mematung dan memandang batu nisan yang terpampang diukir dengan huruf kesedihan; Clara Anderson.William telah mengejanya puluhan kali dan ukiran nama itu benar adanya.William tak bisa tenang meski ia telah berjanji pada Clara untuk membiarkannya beristirahat dengan tenang.Bagaimana kau bisa tenang ketika separuh dari hidupmu direnggut begitu saja?William tak memiliki waktu lebih banyak untuk membahagiakan Clara padahal ia ingat pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakannya. William berharap bisa memutar waktu agar memiliki banyak kesempatan untuk mewujudkan itu semua tapi nyatanya tidak. Dan William benci tak ada yang bisa ia salahkan di sini.Angin berembus kencang.Hempasannya memeluk
Dan mimpi. Semuanya adalah mimpi meski seolah nyata.Tiga bulan berlalu dan mimpi-mimpi itu terus menyambangi tidurnya. Membuat Clara harus terlonjak bangun di tengah malam dan mendengus kesal. Inginnya tidak berbuat demikian, tapi kesal dengan tingkah William yang berlebihan.Bahkan, terapis yang menangani William sudah berganti delapan orang selama kurun tiga bulan terakhir. Itu menggelikan dan menyebalkan.“Datang lagi?” Hanya itu yang bisa Clara ajukan sebagai tanya. Sembari menyodorkan gelas berisi air dan menumpukan bantal untuk William bersandar. “Aku tidak tahu jika sedalam itu.”William setuju. Lewat anggukan dan tubuhnya yang di bawa menyamping. Netra cokelat yang di timpa cahaya remang lampu kamar menghujam tepat di manik hitam Clara.“Janji padaku?”“Aku sudah berjanji.”“Terus bersamaku.”“Dan aku selalu di sini.”Dialog setiap malamnya yang hafal di luar kepala Clara. Rasanya miris dan mengerikan.“Alexa sudah tidur?”Ah, ingat soal janji Clara untuk memberi satu wajah y
Saya tidak pendendam. Namun jika sudah terlalu memuakkan dan berkelebihan, sedikitpun rasa hormat saya tidak ada lagi untuknya.***Itu benar.Bukan bermaksud ingin membenci apa yang sudah terjadi pada hidupnya. Namun rotasi kehidupan yang berubah-ubah dengan sangat cepat dari satu titik ke titik yang lain, membuat Clara sadar. Bahwa apa pun yang sudah terjadi lebih baik di lupakan. Inginnya begitu. Agar kehidupannya tenang di masa mendatang.Tapi sayangnya, saat segala sesuatu yang baik Clara coba terima, yang menjadikannya sebuah trauma belumlah lenyap sepenuhnya.Saat tubuhnya berdiri tegap dengan kedua kaki yang menyangganya. Tremor yang menjalar di seluruh bagian darahnya menjadi sangat tidak berarti. Dan Clara memberikan tatapan kebencian tiada ampun. Bukan artinya dendam. Lebih daripada itu, Clara kehilangan kewarasannya untuk memberikan hormat.“Perutmu sudah kempes?”Yang terdengar seperti: kau masih hidup?Di rungu Clara, kata-kata seperti itu sungguh menakutkan—awalnya. Ta
Setelah drama berkepanjangan mengenai ‘kejenuhan’ yang William baperkan. Pada akhirnya kembali pada kenyataan dan menerima apa yang sudah Tuhan gariskan adalah jawaban dari segalanya.William mungkin sangatlah konvensional. Tapi bukan artinya tidak ingin mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan.Ingat di awal kisah sudah William jelaskan tentang betapa berharganya Clara?Berarti memang ketiga buah hatinya juga seberharga itu bagi William. Karena mereka lahir dari rahim wanita yang William cintai.Clara …Begitu namanya. Dan dada William berdesir hanya dengan menyebutkan namanya.Clara …Begitu William memanggilnya. Adalah cinta dan saying yang bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Yang William perjuangkan dengan sungguh-sungguh.Clara …Bagian dari napas William. Yang jauh darinya sedetik saja akan William tangisi.William sungguh sebucin itu jika ejekan Chaz masih berlaku yang demikian.Namun … Clara …Satu-satunya wanita yang mempertaruhkan nyawanya demi ketiga buah hatinya hingga Wil
Alaina merenung.Setelah berkutat dengan semua pikiran ruwetnya dan setumpuk masalah yang datangnya berjubel. Akhirnya kata ikhlas dan rela menggaung dengan apik di otaknya. Di dasar kepalanya yang paling dalam. Yang selalu rungsing jika itu berhubungan dengan Austin yang mulai berubah arah. Alaina hanya bergumam; tidak apa.Tidak masalah kalau Austin ingin berhenti sampai di sini.Tidak akan Alaina hentikan bila Austin akan menerima orang baru dan memulai segalanya dari nol.Tiidak apa-apa jika kehadiran Alaina yang selama ini akan hilang secara perlahan.Karena Alaina sudah cukup kuat untuk berdiri sendiri. Alaina sudah cukup tangguh untuk menjadi orangtua rangkap; mama sekaligus papa bagi Mikaela dan Michael. Meski di suatu hari yang akan datang, hadir gunjingan-gunjingan tak mengenakan yang akan membuat mental kedua anaknya terserang. Tidak apa. Akan Alaina lakukan sekuat tenaga bila itu untuk kedua anaknya.Tidak apa-apa. Alaina sudah menyiapkan mentalnya seteguh baja agar bila s
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.Pagi itu, Alaina lepas sejenak kepenatan yang merundung pikirannya. Alaina tak mau berpusing ria dengan dapur dan tetek bengeknya. Jadi, pagi-pagi buta Alaina benar-benar meninggalkan kediamannya. Di saat Austin masih terlelap dan Mikaela serta Michael berada di alam mimpi yang indah.Tujuannya?Alaina belum tahu hendak ke mana. Pikirnya, lepas sejenak untuk semua tekanan stres yang merundungnya. Terkadang, Alaina bisa juga bersikap bodoh. Seperti halnya yang semalam terjadi. Bukankah Tuhan sedang menunjukkan siapa sebenarnya orang-orang yang ada di sekitar kita. Begitu juga yang terjadi pada Austin.Sekeras apa pun Alaina menyangkal, bukankah Austin memang seberengsek itu?Lalu, kenapa Alaina menyangkalnya?Itu lah kenapa Alaina mengatai dirin