Aroma sup jamurnya menguar memenuhi udara. Clara menyajikan sup itu di mangkuk dan memberi taburan bawang goreng di atasnya. Semuanya telah siap dan Clara tinggal menyuruh Nancy yang sedari tadi hanya menonton—itu termasuk permintaannya untuk tidak ikut serta membantu menyajikannya di atas meja. Clara masih patuh akan peringatan William untuk jangan membawa barang berat. Meski Clara sangat ingin keras kepala menentang tapi tidak juga ia lakukan."Mau mencicipi, Nancy?" tawar Clara.Wanita empat puluhan itu menggeleng, "Sudah, Nyonya," jawabnya sambil tersenyum.Clara terkikik, "Kudengar taco buatanmu adalah favorit William.""Bukankah taco kegemaran Tuan William sudah berganti?"Clara merona. Ia tidak tahu dari siapa Nancy mendengarnya atau memang sedang menggodanya. Tapi mengingat wajah William yang selalu lahap makan, membuat Clara merindukan lelaki itu.Astaga, apa yang terjadi padanya? Saat ini ia ingin sekali melihat William makan."Aku ingin William segera memakan sup ini," guma
Kediaman keluarga Anderson sangat riuh pagi ini. Jazzy dan Mikaela sedang berebut game di ruang keluarga. Sementara Alaina berteriak dari dapur ketika mendengar putrinya mengumpat. Dan Jazzy membalas sama halnya dengan apa yang Mikaela lontarkan."Apa yang kukatakan soal umpatan, Jazzy?!" hardik Alaina.Clara yang memperhatikan pemandangan semeriah ini hanya tertawa. Sesekali ia melirik Alaina dan kembali fokus pada William yang terlihat tidak bersemangat. Pun demikian, Clara tetap menatap serius suaminya itu. Ia mengabaikan keriuhan keluarga Anderson yang amat jauh berbeda dari rumah William."Aku seperti mengurus dua bayi yang baru belajar mengoceh." Alaina menggelengkan kepalanya karena kesal. Ia menjewer telinga Jazzy dan Mikaela supaya menghentikan permainan gamenya, namun tetap saja hal itu sia-sia."Mama!" Jazzy dan Mikaela bersuara bersamaan. "Sial, aku hampir meraih kemenangan keduaku!"Alaina melotot pada Mikaela. "Berhenti mengumpat, Kaela!"Mikaela mengerang kesal. "Menyeb
Darah di mana-mana.Mengotori baju William, jok mobil belakangnya—yang lebih mengerikan dari itu semua adalah baju putih yang Clara kenakan telah bersimbah darah.William ketakutan sekarang.Tak pernah ia merasa setakut ini dalam hidupnya."Clara!" teriak William.Namun Clara telah menutup mata sejak William membawanya ke dalam mobil.Austin yang biasa menyetir dengan ugal-ugalan tapi di saat segenting ini justru menyedot seluruh kesabaran William, "Lebih cepat, Austin!"Austin melirik spion—mengabaikan teriakan William dan mengumpat. "Apakah itu polisi? Brengsek!""Lebih cepat, Austin!" Lagi dan Austin mulai merasakan muak sehingga membalasnya dengan memutar mata malas. "Clara, kumohon. Bertahanlah, Sayang," William bisa merasakan napas putus-putus Clara."Aku telah memecahkan lebih dari tiga kaca spion mobil lain. Aku yakin itu." Austin berujar dengan menukik tajam dan menginjak pedal gas lebih dalam. "Sial! Polisi brengsek itu mengejar kita.""William!""Itu dia! Aku dapat." Willia
Siang berganti malam. Hari berganti hari.William masih setia berada di samping Clara. Ia mulai melakukan beberapa hal yang bisa dilakukannya di kamar Clara. Termasuk membawa serta pekerjaan kantor yang Alex dan Damian kirimkan.Tidak seperti minggu pertama saat menunggu Clara, hanya terpaku dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia mulai menjalankan bisnisnya meski peran Austin dan Lucas cukup membantu.William masih ingin berada di samping Clara saat istrinya itu membuka mata. Ia ingin Clara melihatnya saat pertama kali membuka mata—sama seperti ketika mereka bangun di pagi hari.Sesekali baik Alaina atau Stella selalu berkunjung. Hanya beberapa jam supaya William tetap terjaga pada kewarasannya. Ia makan jika makanan di antar dan mandi seperlunya.Seminggu menjadi sepuluh hari. Lalu dua minggu.Dua puluh hari.Tiga puluh hari.Dan ini sudah hari ke lima puluh tapi Clara masih tertidur dengan tenang.Clara terlihat semakin kurus dan tirus. William bisa merasakan tubuh Clara yang menyu
Dua puluh enam jam kemudian William berdiri di atas hamparan rumput cepak yang basah. Tanah di kakinya dingin, begitu pun dengan udara di sekitar meski musim gugur belum tiba. Cahaya di sini redup atau William yang telah kehilangan cahayanya.Ini sama seperti sebelumnya. Ia hanya diam mematung dan memandang batu nisan yang terpampang diukir dengan huruf kesedihan; Clara Anderson.William telah mengejanya puluhan kali dan ukiran nama itu benar adanya.William tak bisa tenang meski ia telah berjanji pada Clara untuk membiarkannya beristirahat dengan tenang.Bagaimana kau bisa tenang ketika separuh dari hidupmu direnggut begitu saja?William tak memiliki waktu lebih banyak untuk membahagiakan Clara padahal ia ingat pernah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakannya. William berharap bisa memutar waktu agar memiliki banyak kesempatan untuk mewujudkan itu semua tapi nyatanya tidak. Dan William benci tak ada yang bisa ia salahkan di sini.Angin berembus kencang.Hempasannya memeluk
Dan mimpi. Semuanya adalah mimpi meski seolah nyata.Tiga bulan berlalu dan mimpi-mimpi itu terus menyambangi tidurnya. Membuat Clara harus terlonjak bangun di tengah malam dan mendengus kesal. Inginnya tidak berbuat demikian, tapi kesal dengan tingkah William yang berlebihan.Bahkan, terapis yang menangani William sudah berganti delapan orang selama kurun tiga bulan terakhir. Itu menggelikan dan menyebalkan.“Datang lagi?” Hanya itu yang bisa Clara ajukan sebagai tanya. Sembari menyodorkan gelas berisi air dan menumpukan bantal untuk William bersandar. “Aku tidak tahu jika sedalam itu.”William setuju. Lewat anggukan dan tubuhnya yang di bawa menyamping. Netra cokelat yang di timpa cahaya remang lampu kamar menghujam tepat di manik hitam Clara.“Janji padaku?”“Aku sudah berjanji.”“Terus bersamaku.”“Dan aku selalu di sini.”Dialog setiap malamnya yang hafal di luar kepala Clara. Rasanya miris dan mengerikan.“Alexa sudah tidur?”Ah, ingat soal janji Clara untuk memberi satu wajah y
Saya tidak pendendam. Namun jika sudah terlalu memuakkan dan berkelebihan, sedikitpun rasa hormat saya tidak ada lagi untuknya.***Itu benar.Bukan bermaksud ingin membenci apa yang sudah terjadi pada hidupnya. Namun rotasi kehidupan yang berubah-ubah dengan sangat cepat dari satu titik ke titik yang lain, membuat Clara sadar. Bahwa apa pun yang sudah terjadi lebih baik di lupakan. Inginnya begitu. Agar kehidupannya tenang di masa mendatang.Tapi sayangnya, saat segala sesuatu yang baik Clara coba terima, yang menjadikannya sebuah trauma belumlah lenyap sepenuhnya.Saat tubuhnya berdiri tegap dengan kedua kaki yang menyangganya. Tremor yang menjalar di seluruh bagian darahnya menjadi sangat tidak berarti. Dan Clara memberikan tatapan kebencian tiada ampun. Bukan artinya dendam. Lebih daripada itu, Clara kehilangan kewarasannya untuk memberikan hormat.“Perutmu sudah kempes?”Yang terdengar seperti: kau masih hidup?Di rungu Clara, kata-kata seperti itu sungguh menakutkan—awalnya. Ta
Setelah drama berkepanjangan mengenai ‘kejenuhan’ yang William baperkan. Pada akhirnya kembali pada kenyataan dan menerima apa yang sudah Tuhan gariskan adalah jawaban dari segalanya.William mungkin sangatlah konvensional. Tapi bukan artinya tidak ingin mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan.Ingat di awal kisah sudah William jelaskan tentang betapa berharganya Clara?Berarti memang ketiga buah hatinya juga seberharga itu bagi William. Karena mereka lahir dari rahim wanita yang William cintai.Clara …Begitu namanya. Dan dada William berdesir hanya dengan menyebutkan namanya.Clara …Begitu William memanggilnya. Adalah cinta dan saying yang bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Yang William perjuangkan dengan sungguh-sungguh.Clara …Bagian dari napas William. Yang jauh darinya sedetik saja akan William tangisi.William sungguh sebucin itu jika ejekan Chaz masih berlaku yang demikian.Namun … Clara …Satu-satunya wanita yang mempertaruhkan nyawanya demi ketiga buah hatinya hingga Wil
Clara merasa jika loncatan dalam hidupnya terjadi begitu cepat. Sekarang siapa yang menyangka jika pada akhirnya Clara berada di sini, di sisi William Anderson yang arogan dan konvensional tapi tidak dipungkiri jika Clara pun mencintai pria kaku ini. Clara tidak akan menjadi munafik sekadar mengakui jika dirinya memang takut kehilangan William. Setelah kesepian seorang diri dan ditemukan dengan William, pelangi yang tidak pernah Clara lihat nyatanya memang seindah itu."Memikirkan apa?"Malam adalah waktu yang tepat bagi Clara dan William menghabiskan waktu bersama. Sudah sejak dulu kala pillowtalk menjadi pilihan keduanya untuk mengungkapkan perasaan satu sama lain dan apa-apa saja yang sudah dilalui hari ini. Bersama mau pun tidak, dekat atau jauh mereka berdua akan selalu terhubung satu sama lain. Bahkan semesta seperti memberi dukungan untuk keduanya melakukan hal itu."Keringkan rambutmu dengan benar."William baru selesai dengan urusan mandinya. Hari ini William pulang agak laru
"Sejak dulu mereka selalu penurut. Kamu membuatku iri melihat bagaimana mereka tumbuh dengan baik." Alaina datang dari arah pintu garasi yang membuat Clara terpekik kaget sekaligus senang. "Kapan datang? Kamu tidak memberi kabar akan datang." Clara memanyunkan bibir persis seperti bocah tidak diberi permen keinginannya. "Bagaimana kabarmu?" Clara bertanya karena melihat lingkaran hitam di bawah mata Alaina kentara terlihat. "Berhenti mengomeliku!" Alaina duduk di kursi dekat Clara dan tersenyum tipis. "Aku sedang iri dengan caramu mendidik mereka. Tahukah kamu bahwa Kaela bukan lagi Kaela yang aku kenal? Dan ya aku baik. Aku ini orang paling handal dalam menjadi diri." Clara tidak punya daya untuk membela atau membenarkan kisah hidup yang Alaina alami dengan segala keputusan yang menurut orang dewasa matang tapi bagi Kaela itu tidak adil. Menjadi dewasa memang memusingkan sejak dulu kala dan Clara membenarkan hal itu. Dan apa pun yang Alaina katakan semuanya terasa sangat menyesa
Pancake buatan Clara selalu menjadi favorit William. William bahkan bersumpah jika seumur hidupnya dia mau menikmati pancake buatan Clara setiap harinya. Namun berbanding terbalik dengan kedua putranya yang memandangi pancake itu diikuti hidung mengkerut tanda tidak sukanya."Kenapa?" William menyeruput kopi hitamnya setelah menelan pancakenya. "Kalian akan protes tentang masakan mama dan apa yang sudah papa beri? Kalian tidak mau mensyukuri itu?" William bukan tipe orang tua keras yang akan langsung menghakimi tindakan anaknya. William hanya bersikap tegas untuk membuat anak-anaknya merasa ditegasi."Aku merasa kenyang papa." Alex mengutarakan yang dirasakannya. "Pancake buatan mama bukannya tidak enak tapi bukan termasuk favoritku.""Lalu, apa makanan favoritmu?" tanya William santai dan memasukan lagi potongan pancakenya. "Ah, kamu menyukai makanan cepat saji seperti sampah yang akan membuatmu tidak hidup sehat, begitu?""Bukan begitu papa." Kali ini Axel membuka suaranya yang leb
Sudah memutuskan menikah, artinya sudah memperkirakan apa saja yang akan terjadi. Bukan hal aneh jika sekarang banyak yang melakukan perjanjian pranikah sebelum akhirnya berhadapan dengan pendeta dan Tuhannya. Itu juga yang Clara pikirkan melihat kondisi dewasa saat ini. Meski pernikahannya bersama William terbilang singkat, jelas, dan padat bukab berarti tidak ada masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga mereka. Perjalanan mereka terbilang penuh liku. Bukannya tidak mensyukuri sudah diberi bahagia sampai sejauh ini. Clara hanya ingin berbagi cerita, kisah dan mungkin sedikit nasihat. Bahwa sebelum meyakinkan diri untuk terikat dalam sebuah komitmen yang panjang maka pikirkanlah matang-matang. Menikah tidak sekadar memiliki ikatan dan merubah status namun juga menyatukan dua kepala dalam satu pemikiran. Agar tidak timbul ego untuk menang sendiri dan merasa paling benar."Apa yang kamu pikirkan?"William selesai dengan mandinya. Hari ini William pulang lebih awal karena tidak ada p
Kehidupan Clara dan William yang sesungguhnya baru dimulai. Ketiga anaknya telah beranjak dewasa dan William punya kesibukan yang selalu tak terduga. Clara merasa kesepian tapi selalu ditepisnya. Beruntungnya ada Valerie dan Stella yang bisa menjadi temannya."Kalian sudah berkenalan?" Clara sedikit terkejut saat Valerie dan Stella jauh lebih akrab dari bayangannya. "Aku senang mendengarnya. Jadi Stella, ada kue apalagi di tokomu?""William memberiku resep.""William?" Clara terperangah tidak percaya. "Manusia es itu berubah jadi baik dan memberimu resep?""Yang tidak pernah aku duga-duga. Manusia itu bukan lagi sedingin kutub, dia mulai hangat.""Aku tidak percaya ini.""Aku juga. Tapi ini kenyataan yang terjadi. Dia sungguh memberiku resep kue dan setelah aku sajikan di etalase semua pelanggan menyukainya.""Kamu harus membaginya padaku. Aku juga ingin tahu rasanya. Sebaik apa resep kue dari William sampai-sampai dia sangat pelit." Clara menyesap kopi panasnya sambil membayangkan ra
Kata berakhir tidak benar-benar selalu berakhir. Buktinya Clara dan William menemukan sebuah kehidupan sulit meski bukan dari dirinya langsung. Adalah Valeria yang terpuruk karena Justin, kekasihnya, yang bimbang ingin membersamai siapa. Belum lagi dengan fakta di mana Valeria menyembunyikan kehamilannya.Valerie hanya diam mematung menatap langit sore yang mulai kekuningan. Sunyi di rumah Clara adalah yang biasa karena anak-anaknya belum kembali dari tempat les. Tapi bagi Valerie itu sebuah penyiksaan. Dan dengan sabarnya, Clara ikut diam duduk di kursi santai.Jika melepas adalah ungkapan kata yang selaras dengan tindakan, bisa jelaskan padaku adakah rasa sakit? Jika ada, bisakah berhenti dan biarkan genggaman tangan ini tetap bertaut. Aku tak bisa—walau aku sudah memaksa. Genggaman tangan ini, kau tahu? Meski ini erat, kehangatan yang tersalur bahkan tak mampu memberi ketenangan, sedikit pun.Kau tahu soal sakit tapi tak berdarah? Sepertinya inilah definisi rasa sakit tapi tak meng
“Karena semuanya sudah berakhir …” Bradley mengembuskan napasnya. Wanita paruh baya itu ada di kediaman Clara dan William. Sedang bersama dengan Axel, Alex, Alexa, dan Michael. Menunggu Alaina yang baru saja tiba. “Ini bukan tentang siapa yang salah dan siapa yang benar. Aku juga tidak tahu ingin mengatakan ini sebagai apa. Tapi setidaknya kau lebih beruntung mengambil keputusan. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik. Kau punya rencana?”Alaina menggeleng sebentar dan berpikir. Wajahnya terlampau tenang dan baik-baik saja padahal baru mengambil keputusan besar. Clara sampai terheran-heran di buatnya.“Ah, aku punya satu tempat di ruang terbuka. Di pinggiran kota yang lumayan banyak lalu-lalang pelancong. Mungkin, aku bisa membuka toko kue di sana. Menjajakan kue-kue buatanku.”Semuanya terdiam. Alaina juga terdiam bahkan William yang menjadi pria satu-satunya di sana juga terdiam. Lalu berdeham setelah melirikkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri.“Kau bilang ingin kembali ke Ontario.”
Karena tidak semua kisah harus berakhir dengan bahagia. Meski permulaan selalu membahagiakan. Tapi sudah konsekuensi dari setiap pertemuan selalu ada perpisahan.Alaina memaknai perjalanan hidupnya seperti itu. Toh itu sudah di catat sejak dulu kala. Sudah menjadi hukum alam bahwa kehidupan yang kita jalani akan ada pengakhiran.Sama halnya dengan selembar kertas yang sudah Alaina bubuhkan tanda tangannya. Pada akhirnya, pertemuan manisnya dengan Austin dan perjalanan susah senang yang dilaluinya harus ada di titik ini: berpisah.Alaina sudah memaafkan, andai itu dijadikan pertanyaan mengapa bisa ada perpisahan.Mengenai Austin yang berselingkuh, Alaina menutup bukunya rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ingin Alaina ajukan. Termasuk; apa kurangnya Alaina. Bukan itu saja, Alaina juga ingin menanyakan perihal apa maunya Austin sehingga bisa berbuat seperti ini. Tapi alih-alih mengucapkannya, Alaina justru menemukan dua fakta yang lebih berguna. Pertama, Alaina merasa happy dan bers
Sesi pillowtalk milik Clara dan William setiap malam selalu terjadi. Sesibuk apa pun William, akan ada waktu penting seperti ini untuk ketiga anaknya dan Clara. William hanya menyadari sesusah apa untuk mempertahankan setelah mendapatkan dan enggan untuk bermain-main dengan sesuka hati. William hanya menjaga dan diimbangi oleh Clara.“Apa lagunya?” tanya William dengan melingkarkan tangan kekarnya di perut Clara. Yang masih ramping dan seksi meski sudah melahirkan tiga anak sekaligus.“Pillowtalk. Sesuai dengan hobi kita.” Clara ciumi telapak tangan besar William. Telapak tangan yang sudah sangat bekerja keras untuk keluarga ini dan menjaga Clara serta ketiga anaknya.“Out Of Love, bagaimana?” William ingin mendengarkan lagu itu. Yang terdengar lembut dan ingin segera memejamkan kedua kelopak matanya dalam dekapan Clara. “Hari ini melelahkan,” ucapnya.Clara memutar lagu sesuai yang William mau dan mengelusi tangannya yang melingkar di perutnya.“Sesuatu yang buruk?”Komunikasi antara