“Tidak! Tolong! Jangan! Jangan lukai dia! Tolong! Kumohon, kumohon, aku akan melakukan apapun juga!” teriak seorang pria dengan suara ketakutan, tubuhnya bergetar hebat, wajahnya berubah menjadi sangat pucat dan dia benar-benar menyedihkan.
Jeritannya semakin menjadi tatkala silaunya cahaya kilat dan guntur yang saling bersusulan menggelegar di angkasa malam ini. Hujan masih turun dengan deras di luar. Lisa segera menghampirinya dan mencoba untuk menenangkan pria itu. “Tenang, tenanglah, ada aku di sini,” ucap Lisa padanya dengan menepuk pelan punggungnya. Namun, tiba-tiba saja, pria itu membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Lisa lalu memeluknya dengan sangat erat. “Tolong, kumohon tolong aku!” Dia berkata lirih. Jantung Lisa berdetak cepat dan darahnya berdesir deras, pria ini memeluknya, dia bahkan belum pernah merasakan hal demikian dari pria yang bukan mahramnya, tetapi entah kenapa rasa empatinya saat ini sangat tinggi membuatnya sangat iba dengan pria ini. “Sabarlah, kamu aman sekarang.” Suara lembut Lisa membuatnya perlahan bisa mengatur ritme napasnya menandakan pria ini sekarang sudah jauh lebih tenang. Namun demikian, pelukannya pada Lisa masih kuat seolah tidak ingin dilepaskan. Tiba-tiba saja, seketika penerangan padam disusul dengan cahaya kilat yang memenuhi ruangan, semakin erat saja pria ini melakukannya, apalagi setelahnya suara petir seolah memecahkan tempat ini. Jantung Lisa kembali berdetak kencang, tubuhnya yang mulai tenang tadi menjadi bergetar hebat kembali, hanya saja kali ini mulut pria itu terkunci rapat. “Tenanglah dulu, aku akan mengambil lilin di belakang.” Lisa berkata menenangkannya. Pria itu menggeleng lalu bersuara lirih menyanyat. “Tolong jangan tinggalkan aku.” Baru saja Lisa ingin membujuknya lagi, kamar ini mendadak terang dengan sinar penerangan dari arah luar masuk melalui celah gorden yang masih terbuka. Banyak pasang mata melihat mereka dalam keadaan seperti ini, yang mana semua orang pasti akan sangat salah paham dengan posisi mereka. Berpelukan di dalam sebuah kamar yang gelap dan hanya berdua saja. “Lisa! Keluar kamu!” Teriak suara dari luar. Lisa benar-benar terkejut, dia ingin segera melepaskan pelukannya, tetapi suara dari luar itu terdengar seperti langsung menerobos masuk ke dalam rumah dan membuat kegaduhan “Pak Duha! Lihat, ini kelakuan putrimu!” serunya dengan lantang. Lisa terlihat panik, dia berusaha untuk menjelaskan. “Tidak-tidak, ini salah paham ini–” “Kita harus menikahkan mereka!” timpal yang lain lagi. Lisa sangat terkejut dengan pernyataan barusan. Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya, dia bermaksud untuk menjelaskan pada ayahnya, tetapi ayahnya memandang dirinya dengan tatapan kecewa. “Tidak, kejadiannya tidak seperti yang bapak-bapak pikirkan ini. Ayah ini semua–” “Jangan berkilah kamu! Untungnya kita cepat datang, kalau tidak kalian pasti sudah melakukan hal diluar norma agama!” Seseorang dengan janggut tebal yang berseru pertama kali tadi bicara dengan nada tinggi pada Lisa. “Pak Duha, Bapak salah satu orang yang terhormat di kampung kita ini, jadi lebih baik kita nikahkan mereka saja malam ini!” Mata Lisa mulai berkaca-kaca, bagaimana mungkin dia menikah dengan pria ini?! “Pak, benar seperti yang Bapak ini bilang, kalau tidak mau Lisa mencoreng nama keluarga kita, kita harus menikahkan mereka.” Suara itu sangat dikenal oleh Lisa, dia adalah Ibu Ida, ibu sambungnya. Lisa menjadi sangat terpojok karena hal ini, tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan pada mereka. Lisa lalu melihat pria itu, jelas makin tidak ada harapan. Pria itu seolah-olah hidup di dunianya sendiri di saat yang segenting ini, pandangannya kosong ke arah depan dan wajahnya terlihat jelas seperti orang bodoh. “Bener, Pak! Perbuatan Mbak Lisa ini tidak dibenarkan, lagipula, takutnya kita juga kena imbasnya! Jadi, mending Mbak Lisa dinikahkan saja sama orang itu!” Kali ini suara Yasmin, adik tiri Lisa, ikut menggema di ruangan ini. Lisa benar-benar tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan, ada rasa sesal yang dalam atas perbuatannya sendiri pada pria itu, tetapi dia tahu, segala sesuatu yang sudah digariskan jelas tidak bisa diubah begitu saja. “Ayah, Lisa tidak begitu, Yah, Lisa tahu batasan–” “Halah batasan! Jangan sok suci kamu! Kalau tahu batasan ngapain kamu berduan di kamar dengan dia? Pake peluk-peluk segala. Pak, kita harus menikahkan Lisa malam ini juga, kalau tidak nama baik keluarga kita menjadi taruhannya.” Ida mendesak Duha yang masih diam melihat anaknya. Lisa melihat ke arah Duha dengan tatapan memohon, tetapi sepertinya sang ayah tidak bisa berbuat banyak. “Baiklah, saya akan menikahkan anak saya malam ini juga dengannya,” putus Duha. Hal ini membuat Lisa tidak bisa mengatakan apapun lagi. Dia tahu betul ayahnya ketika memutuskan sesuatu, sulit untuk ditarik kembali. “Ayah …,” lirih Lisa pada Duha, matanya menatap sendu, tetapi pria itu seolah menulikan telinganya. Saat ini yang ada dalam kepalanya adalah menikah dengan pria ini. Pria asing yang bahkan namanya sendiri saja dia tidak ingat! Duha masih tetap tinggal di kamar ini, dia melihat ke arah Lisa dengan tatapan kecewanya, matanya juga melihat tajam ke arah Lisa. “Lisa, ayah tahu kamu tidak akan melakukan apapun, tapi keadaannya cukup berbeda, semua orang bisa dengan jelas melihat kalau kamu dan dia memiliki hubungan tak biasa.” Duha berkata pada putrinya dengan suara yang berat. “Tapi Yah, ayah tahu sendiri dia ini bagaimana, kita tidak tahu asal-usulnya, bahkan hal paling kecil saja tentang namanya dia tidak tahu. ” tunjuk Lisa dengan suara tercekat pada pria itu. Duha hanya mengangguk dan menarik napas berat. “Menikahlah dengannya.” Kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya bagai sebuah godam yang memukul hatinya dengan paksa. “Tapi ….” “Ini yang terbaik saat ini.” Ayahnya mengelus pelan pucuk kepala Lisa sebelum akhirnya keluar dari kamar ini, meninggalkan Lisa dan pria asing itu dalam kamar ini. Lisa hanya diam, dia tetap tak kuasa untuk meneteskan air matanya saat Ayahnya keluar dari tempat ini. Sebelum berpesan padanya agar segera bersiap-siap untuk merapikan diri. Tiba-tiba, pria itu menghapus jejak air mata yang mengalir di pipi Lisa. “Jangan menangis,” ucapnya dengan suara husky-nya membuat Lisa terkejut mendengarnya. “Kamu …?” Lisa tidak bisa melanjutkan kalimatnya, tatapan pria itu sungguh dalam. “Gandha, namaku Gandha,” ujarnya. Lisa mengerutkan keningnya. Pria ini mengatakan siapa namanya? Apa dia tidak salah dengar? Belum sempat dia mendekati pria itu dan bertanya lebih jauh, suara Ida kembali terdengar nyaring di kamar ini. “Lisa! Kamu harus memakai pakaian yang rapi, biar tidak memalukan keluarga kita! Cukup kamu yang berdua-duaan dengan orang gila ini saja yang membuat keluarga kita malu!” hardik Ida. Lisa mematung, otaknya masih mencoba untuk berpikir cepat dengan apa yang baru saja terjadi. Namun, dia kembali disadarkan saat tangan Ida menariknya paksa keluar dari tempat itu.Lisa diseret masuk ke kamar Yasmin, adik tirinya itu oleh sang Ibu dengan hentakan keras dan kasar. Lalu, mendorong tubuhnya hingga membuatnya jatuh tersungkur di lantai.“Ah!” tanpa sadar Lisa menjerit.“Jangan sok-sok-an tersakiti kamu! Dasar memalukan sekali kamu! Bilang saja kalau kamu kebelet mau kawin, kan?!” ucapan itu terdengar sinis di telinga Lisa.Namun, Lisa yang sudah terbiasa diperlakukan buruk oleh ibunya ini, hanya bisa diam.“Itu!” tunjuknya ke arah pakaian yang ada di atas tempat tidur pada Lisa, “pinjam itu saja dari Yasmin untuk kamu pakai.” Yasmin sang adik tiri berjalan mendekati Lisa yang mencoba untuk berdiri. “Aku hanya bisa meminjamkan baju itu padamu, Mbak, karena badanmu yang kecil itu aku hanya punya baju itu yang layak.” Yasmin berkata dengan santai.Lisa masih diam, dia lalu mengambil pakaian itu, sebuah kebaya model lama berwarna krem, lalu kain batik tulis yang ‘bau lemari’ sangat menempel, baju ini memang cukup sederhana dan pas di badannya.“Ini ala
Entahlah, tapi yang jelas sekarang ini pikiran Lisa, benar-benar berkecamuk hebat. Kemudian dia tiba-tiba terpikir hal lain. Selain dia bisa mengucapkan namanya dengan jelas tadi, kebiasaan pria ini selama ini hanya bisa menjerit-jerit dengan nada pilu dan tidak bisa mengatakan kalimat lain dan kalimat apa pun selain minta tolong. Lalu, pandangannya hanya lurus ke depan dengan tatapan kosong seperti bukan orang yang waras.Tiba-tiba saja, dorongan dari dalam dirinya yang kuat ini akhirnya membuat Lisa diam-diam berdoa dalam hati, agar pria asing ini tidak mampu mengucapkan kalimat sakral itu di hadapan orang ramai.Namun, lantunan doa dalam hatinya itu terganggu, tatkala suara-suara lain kembali tertangkap di telinganya.“Nah, si Lisa akhirnya nikah juga!” Celetuk salah satu tetangga mereka yang dikenal Lisa sangat akrab dengan ibu tirinya ini.“Ya gak masalah juga sih nikah dengan pria ini, yang penting kan laku,” sahut yang lain dengan santai.Lisa hanya bisa diam dan menundukkan ke
“Bagaimana saksi, apa ini sah?”“Sah!” Beberapa orang menjawab dengan lantang. “Alhamdulillah,” ucap yang hadir di sana. Kini, Lisa benar-benar sudah resmi menjadi seorang wanita bersuami.Doa dipanjatkan setelah ijab kabul terdengar. Namun, Lisa masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri, rasanya dia tidak percaya dengan banyak hal yang baru saja terjadi.Tentang kehidupannya yang akan datang bahkan tentang suaminya sendiri.Setelah doa selesai, seperti biasanya pengantin biasanya akan melakukan prosesi cium tangan suami. Kalau selama ini Lisa hanya melihatnya saat menghadiri acara sakral teman-temannya, kali ini dia adalah pengantinnya.Berat rasanya untuk melakukan hal ini, apalagi dengan orang yang tidak dicintainya, bahkan dengan pria asing yang dia tidak kenal sama sekali. Keringat keluar dari telapak tangannya, tatkala pria itu memberikan tangannya di depan Lisa.Bekas goresan luka yang cukup dalam masih terlihat jelas di punggung tangan suaminya itu, hal ini membuat Lisa men
“Mas Gandha, apa kamu paham apa yang aku katakan?” Lisa kembali mengulang tanya untuk memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi jika suaminya bisa diajak bicara dengan normal.“Aku … aku hanya ingat namaku, aku juga ingat kalau aku belum menikah,” ucap Gandha, “tapi selebihnya, aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali ….” Tiba-tiba Gandha menghentikan ucapannya, dia memegang kepalanya dan memejamkan mata, sekarang ekspresi wajahnya menampakkan kalau saat ini dia sedang kesakitan.“Ah … aku … aku tidak bisa mengingat apapun,” ucapnya dengan suara yang serak, matanya masih terpejam.“Sudah, Mas, cukup, tidak perlu memaksakan diri.” Lisa menenangkan suaminya, lalu kemudian dia berjalan ke arah meja, dimana di atasnya terdapat segelas air minum.“Minum dulu, tenangkan dirimu,” ucap Lisa dengan nada khawatir.Gandha melakukannya dengan bantuan Lisa.“Bagaimana rasanya? Apa sudah lebih baik?” tanya Lisa lagi.Dia mengangguk dan memberikan gelas itu pada Lisa. “Terima kasih.”“Mas, aku juga
Lisa tertegun sejenak, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Ibu dan adik tirinya itu. Hanya saja selama ini dia masih diam dan tidak melawan untuk mengurangi percekcokan yang terjadi di rumah ini.Ayah dan ibunya juga kerap kali bertentangan pendapat yang ujung-ujungnya Duha akan mengalah, karena dia merasa bahwa dia sudah gagal menjadi kepala rumah tangga yang tidak bisa membuat keluarganya bahagia.Ah … andai saja ayahnya saat itu tidak ditipu, pasti keluarga mereka akan baik-baik saja saat ini. Pikiran Lisa melayang ke saat itu, karena sejak ayahnya jatuh, mereka terpaksa kembali ke kampung dan bertahan hidup dengan sangat sederhana, sangat berbalik dari kehidupan sebelumnya.“Lisa, ayah mau bicara padamu,” panggil ayahnya setelah Lisa membereskan rumahnya.“Ada apa, Ayah?” tanya Lisa pada Duha, lalu sang ayah memberikan isyarat agar anaknya duduk di sebelahnya.“Lisa, Ayah tahu kamu tidak melakukannya,” ucapnya dengan nada penuh sesal.Lisa terdiam, lalu … kenapa ayah
“Mbak bajuku apa sudah disetrika?” Yasmin menghampiri Lisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga ini.Lisa tersenyum dan mengangguk. “Sudah, tunggu sebentar, ya.” Dia lalu mengambilkan baju yang dimaksud oleh Yasmin dan menyerahkannya. Yasmin mengamati hasil seterika dari Lisa dan kembali berkomentar, “Mbak, ini kenapa masih sedikit kusut? Kalo dipake, bagian ini keliatan banget gak rapinya.”Lisa hanya menghela napas sejenak mendengar celotehan itu.“Mbak rapiin lagi ini, nanti kalo sudah anterin ke kamar, aku mau beres-beres barang.” Yasmin meninggalkan Lisa dan melemparkan bajunya ke wajah Lisa.Paham, Lisa sangat tahu persis kalau ini pasti akan terjadi. Kembali diperhatikannya baju itu, tidak nampak seperti yang dikatakan oleh Yasmin. Adik tirinya itu memang sengaja ingin membuatnya tersiksa saja, karena itu dia berbuat demikian. Sebenarnya beberapa kali Lisa mencoba untuk berontak, tetapi saat mencoba melakukan hal itu, dia kembali berpikir bahwa percuma saja, karena sa
“Mbak Lisa, aku mau ambil bajuku yang kamu pinjam semalam!” Yasmin berkata dengan angkuh sambil menengadahkan tangannya pada Lisa.Lisa hanya menarik napas dalam, dia masih berusaha untuk menahan dirinya. Kemudian, dia mengambil kebaya dan juga kain yang dipakainya semalam, lalu dia menyerahkan pada Yasmin.Namun, saat barang itu diberikan pada Yasmin, wanita itu malah menciumnya dan membentangkannya ke udara. “Mana uang untuk laundrynya? Aku akan membawa gaun ini ke laundry di kota!”Lisa terperangah mendengarnya. “Laundry?” ulangnya.“Ya tentu saja uang laundry-nya! Seharusnya aku minta uang sewa, cuma aku masih berbaik hati. Baju ini kalau dicuci biasa gak bagus nantinya!” Lisa berkata dengan nada ketus. Bukankah itu hanya baju lama yang tidak pernah lagi dipakainya? Lagipula, mau kapan Yasmin memakai pakaian itu lagi? Karena ukurannya sudah pasti kekecilan.“Itu, biar Mbak saja yang cuci lagipula kamu tidak akan memakainya lagi, kan?” Lisa berkata datar.“Apa Mbak bilang?! Dengar,
“Nak Andrian, apa ini tidak merepotkanmu untuk menjemput Yasmin?” suara Duha terdengar saat Lisa akan membawakan minuman itu pada tamu mereka.“Tidak masalah, Om, lagipula aku memang mau pulang ke kota, kebetulan Yasmin juga sama, daripada harus membuat Yasmin menunggu bus lebih baik kami pergi bersama saja, memikirkan Yasmin untuk ganti bus sebanyak dua kali sedikit riskan di zaman sekarang ini, Om.” DEG!Lisa terdiam mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Andrian pada ayahnya. Kalimat itu penuh perhatian dan terdengar sangat lembut sekali. Sama halnya yang dibuat oleh Andrian padanya dulu!‘Ya Tuhan … kenapa ini rasanya sakit sekali?’ lirih Lisa dalam hati, tangannya mencengkram erat baki berisi teh yang dia bawa untuk tamu mereka..“Benar juga, apalagi sekarang marak sekali hal-hal yang menakutkan untuk anak gadis.” Kali ini Ida menambahkan.“Ya, karena itulah, daripada Yasmin pulang sendiri ke kota, lebih baik dia ikut aku saja, lagian aku juga bawa kendaraan. Sekalian
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men
Walaupun wanita itu menggunakan pakaian yang sangat berbeda, tetap saja wajah itu tidak berubah.“Eh iya bener, Bu! Kok dia bisa keluar dari sana? Terus itu kayaknya penampilannya beda banget?” Yasmin mengerutkan keningnya."Kita harus menemuinya sekarang, kita harus tahu darimana dia punya kekuatan untuk melaporkan kita!" Ida berkata dengan nada keras.Ida lalu menarik Yasmin keluar dengan cepat dan meraih es kopi milik Yasmin yang belum sempat diminumnya. “Kita cegat dia sekarang!”Keduanya berjalan cepat hingga akhirnya Yasmin lebih dulu berdiri di depan Lisa. Seperti dugaan Yasmin dia pasti sangat terkejut melihat mereka berdua.“Y-Yasmin?!” Melihat Lisa yang seperti ini, jelas sekali Yasmin berpikir kalau Lisa akan sangat ketakutan, apalagi dia sudah berani-beraninya melaporkan mereka berdua ke polisi.Lalu Ida menyiram Lisa dengan es kopi itu, Yasmin menyeringai saat melihat Lisa sudah dalam keadaan kotor seperti saat ini, dan dia Seperti biasanya, mulai bicara untuk merendahka
Selesai menjalani pemeriksaan di kantor polisi, langkah Ida terasa limbung. Meski dia bersama dengan Yasmin dan juga pengacara, matanya terus menelisik sekeliling—seolah merasa ada yang mengikuti dari belakang. Yasmin, yang biasanya cerewet, hanya terdiam menunduk, wajahnya tegang, nyaris pucat."Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Yasmin saat mereka ada di dalam mobil setelah pulang dari pemeriksaan itu."Tentu saja Ibu harus bak-baik saja." Ida berkata dengan nada sedikit meninggi."Bu, apa yang dikatakan Pak Munir semalam benar?" tanya Yasmin lagi.Semalam, memang Ida menghubungi Munir di kampung. Pernyataan Munir sangat membuatnya terkejut, karena pria itu mengatakan kalau Gandha, pria gila yang menikahi Lisa itu, saat diusir dari kampung, caranya bicara sangat berbeda dari sebelumnya.Dia seperti orang yang normal dan terlihat sangat berwibawa, terlepas dari wajahnya yang masih berantakan dan tidak enak untuk dilihat."Apa jangan-jangan pria itu ...." Yasmin menggantung kalimatnya
Benar saja, keesokan harinya tanpa menunggu lama Andrian membawa keduanya pada seorang pengacara terkenal yang bisa membantu mereka, keduanya sangat senang dengan bantuan yang diberikan oleh Andrian. Ucapan manipulasi dari mulut keduanya memberikan keyakinan yang sangat dalam untuk Andrian. Mereka juga mengatakan kalau hal ini tidak terbukti mereka harus balik menuntut Lisa.“Benar, kami harus menuntut balik Lisa agar dia mendapatkan pelajaran dari perbuatannya ini.” Andrian berkata dengan geram.“Masalah itu, akan dilakukan bertahap, Pak Andrian, saat ini kita harus membuat rencana untuk menghadapi kasus ini terlebih dahulu.” Pengacara itu berkata dengan tenang.“Selama klien bisa memberikan keterangan yang jujur dan benar serta bisa menyangkal semuanya, saya akan pastikan kita memenangkan kasus ini. Lalu, selanjutnya baru kita ke tahap berikutnya.” Kembali pria itu menjelaskan, Andrian menganggukkan kepalanya.Sementara, Ida mengepalkan tangannya di bawah meja, karena tatapan pengac
Beberapa hari sebelumnya di kediaman Ida dan Yasmin.“Berani sekali Lisa melakukan hal ini pada kita!” Ida berkata dengan meremas surat panggilan dari kantor polisi untuk penyelidikan kasus kematian suaminya.“Apa Ibu tahu dia sekarang tinggal dimana? Kita datangi saja dia, seenaknya dia berbuat seperti ini.” Yasmin turut geram dengan hal ini, badannya yang masih pegal-pegal karena pulang dari jaga malam di rumah sakit terasa makin sakit saja.Ida meletakkan gelas dengan kasar di atas meja, nadanya penuh frustrasi. "Kita harus minta tolong sama Andrian."Ia melirik tajam ke arah Yasmin yang duduk di seberangnya. "Dia pasti punya kenalan… orang-orang yang bisa kita manfaatin buat nekan Lisa."Wajahnya mengeras, penuh amarah yang nyaris tak tertahan. "Dasar anak itu!. Dia pikir dia bisa menang lawan kita?!"Dengan kesal, Ida meneguk habis minumannya. Matanya masih menyala, seperti belum puas memuntahkan kekesalan yang sudah lama mendidih.“Aku akan hubungi Mas Adrian, Bu, tenang saja, L
"Apa yang coba kalian lakukan padaku?" tanya Lisa dengan nada dingin.Ida membentak, suaranya meninggi, nyaris histeris. "Hebat, ya, kamu sekarang, Lisa! Udah ngerasa sukses karena jual diri di kota, ya?"Ia melangkah maju, telunjuknya nyaris menyentuh wajah Lisa. "Terus kamu punya nyali ngelaporin kami ke polisi?! Kamu pikir kamu siapa, hah?!"Wajah Ida merah padam, matanya membelalak seperti bara api yang siap menyambar. Nada suaranya tak lagi hanya marah—ia merasa terhina, terancam, dan kalah. "Berani-beraninya kamu ngelakuin itu ke kami! Dasar wanita tidak tahu diri!"Mendapatkan perlakuan barusan sempat membuat Lisa membeku di tempatnya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang menggelegak di dadanya, dia teringat laporan yang dibacanya saat itu. Tentang bagaimana mereka melakukan hal ini dengan cara licik dan sangat jahat. Perbuatan mereka di masa itu seperti racun yang menusuk ingatannya.Tatapan Lisa berubah, menjadi sesuatu yang belum p