Lisa tertegun sejenak, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Ibu dan adik tirinya itu. Hanya saja selama ini dia masih diam dan tidak melawan untuk mengurangi percekcokan yang terjadi di rumah ini.
Ayah dan ibunya juga kerap kali bertentangan pendapat yang ujung-ujungnya Duha akan mengalah, karena dia merasa bahwa dia sudah gagal menjadi kepala rumah tangga yang tidak bisa membuat keluarganya bahagia. Ah … andai saja ayahnya saat itu tidak ditipu, pasti keluarga mereka akan baik-baik saja saat ini. Pikiran Lisa melayang ke saat itu, karena sejak ayahnya jatuh, mereka terpaksa kembali ke kampung dan bertahan hidup dengan sangat sederhana, sangat berbalik dari kehidupan sebelumnya. “Lisa, ayah mau bicara padamu,” panggil ayahnya setelah Lisa membereskan rumahnya. “Ada apa, Ayah?” tanya Lisa pada Duha, lalu sang ayah memberikan isyarat agar anaknya duduk di sebelahnya. “Lisa, Ayah tahu kamu tidak melakukannya,” ucapnya dengan nada penuh sesal. Lisa terdiam, lalu … kenapa ayah tiba-tiba begitu saja menyetujui usulan itu? tanya Lisa dalam hati, tetapi tidak bisa dia ungkapkan. “Nak, mungkin ke depan akan sangat berat untukmu, tapi cobalah untuk terus bersabar.” Duha kembali berkata dengan nada lirih pada putrinya. Duha menggenggam tangan putrinya dengan lembut, Lisa bisa merasakan getaran ketulusan di sana dan juga rasa sesal yang dalam karena tidak bisa menolongnya untuk menentukan pilihannya sendiri terkait pernikahannya. “Iya, Lisa mengerti, Yah. Jangan dianggap beban untuk Ayah, Lisa tahu ini sudah menjadi takdir Lisa.” Lisa mengeluarkan kata-kata afirmasi positif untuk sang ayah. Sebenarnya dia juga mengatakan hal itu untuk menguatkan dirinya sendiri, dia harus menerima semua yang menjadi takdirnya. “Nak,” ucap Duha dengan menghela napas berat, “sebenarnya suami kamu itu adalah pria yang baik, kamu hanya perlu membantunya melewati masa-masa sulitnya saja.” Lisa mengerutkan keningnya dan merasa sangat penasaran. “Apa ayah pernah komunikasi dua arah dengannya?” Duha menundukkan kepalanya, dia kembali menarik napas dalam dan mengangguk. “Apa dia terlihat seperti orang normal pada umumnya?” tanya Lisa lagi. Duha kembali mengangguk. “Sebenarnya dalam seminggu terakhir dan keadaan tertentu beberapa kali dia terlihat seperti orang normal dan bicara dengan baik pada ayah. Mungkin dia ada trauma berat akan sesuatu sampai mengakibatkan psikisnya terganggu.” Lisa mendengarkan ucapan ayahnya. “Sama halnya seperti tadi sebelum dia mengatakan ijab kabul. Dia mengerti dengan kondisi yang sebenarnya. Setelah ayah memastikan kepercayaan yang dianutnya, dia menyerahkan gelang yang dipakainya pada ayah. Dia mengatakan kalau dia tidak memiliki apapun sebagai mas kawinnya.” Lisa terperangah dengan apa yang baru saja dia dengar dari sang ayah. “Jadi sebenarnya ayah tahu tentang dirinya?” Lisa bertanya dengan cepat. Duha menggeleng lemah. “Tidak seperti itu, kami hanya sempat beberapa kali bicara, dan dia mengingat namanya, tetapi kenapa sampai dia ada di sana mungkin butuh waktu untuknya.” Lisa mengangguk pelan. Lalu, dia memejamkan mata meresapi semua apa yang dikatakan oleh ayahnya barusan. “Yah, biarkan si Lisa bersama dengan suaminya malam ini. Hari ini ayah pasti sangat lelah, jadi istirahatlah.” Ida keluar dari kamar dan menegur suaminya, melihat dengan tatapan tajam ke arah Lisa. “Lisa mending kamu temenin suami kamu sana! Mana tahu nanti dia minta tolong pipis atau–” “Bu, jangan bicara seperti itu pada Lisa,” tegur Duha. “Apaan sih, Ayah! Dia ini sudah buat malu keluarga kita! Ayo ayah cepetan istirahat besok masih harus kerja lagi! Kalau ayah sakit siapa yang mau cari duit?!” Ida berkata dengan sedikit membentak lalu menghentakkan kakinya ke dalam kamar. Sejak kejatuhan ayahnya Ida memang tidak terlihat menghormati suaminya lagi. Pernah beberapa kali Lisa bertanya pada ayahnya, tetapi ayahnya tidak terlalu menanggapinya, malah menyuruhnya untuk bersabar atas semua yang terjadi. Demi menghormati ayahnya dia masih terus memendam semuanya. Lisa melihat ayahnya beranjak dari tempat itu, dan perlahan masuk ke kamarnya, menyisakan dirinya seorang di ruangan ini. Baru saja Lisa akan masuk kamar dengan hati yang sangat berat. Yasmin keluar lagi dari kamarnya dengan wajah yang sedikit kusut. “Nah ini dia!” serunya pada Lisa membuat Lisa mengerutkan keningnya. “Kenapa Yasmin?” tanya Lisa pelan. “Mbak Lisa belum setrika baju kuning yang aku pake kemaren ya?” Yasmin bertanya dengan nada kesal. “Kalau siang tadi belum kering, karena hari ini kan banyak mendungnya dan juga hujan beberapa kali.” Lisa menjawab dengan suaranya yang lembut. “Duh, ck!” Yasmin terlihat berdecak. “Liatin dong, Mbak, mungkin udah kering tuh baju! Kalo udah kering setrika ya, aku mau pake besok! Aku besok mau pulang ke kota pagi-pagi!” perintah Yasmin pada Lisa. “Mbak Lihat dulu, ya, tapi kalo belum kering tunggu sampai besok saja baru bisa disetrika.” Lisa berkata dengan sabar. “Terserah! yang penting besok bajunya harus sudah bisa dipakai untuk aku pulang ke kota!” Setelah mengatakan hal itu Yasmin berbalik ke kamarnya layaknya seorang Nona Muda yang harus dilayani dengan segera. ‘Astagfirullah’ gumam Lisa dalam hati. Dia sebenarnya ingin marah, tapi dia harus tetap bersabar. Lisa tidak terlalu peduli, dia berjalan masuk ke kamar dan mendapati Gandha duduk di tepi tempat tidur dengan memandang lurus ke depan. Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan pakaian biasa yang sering dia gunakan. Hal ini membuat Lisa terkejut. Sejak kapan pria ini bisa mengganti pakaiannya sendiri?! Ini benar-benar cukup[ mengejutkan! Selama ini pria ini tidak bisa melakukan apapun kalau tidak dibantu oleh ayahnya. Atau … tadi ayahnya masuk ke kamarnya dan membantu Gandha mennggantikan pakaiannya? tanya Lisa dalam hati. Dia perlahan mendekati Gandha yang saat ini pandangannya masih kosong menatap ke arah depan, wajahnya bengong dan seolah tidak ada cahaya kehidupan di dalam dirinya. Melihat hal itu, Lisa segera menyadarkan diriinya, kalau sepertinya ayahnya yang membantu pria itu mengganti pakaiannya. “Mas belum tidur?” Lisa bertanya dengan pelan. Gandha melihat ke arah Lisa, dia menggeleng pelan. Melihat respons itu Lisa makin penasaran, dia lalu duduk di sebelah Gandha. “Lisa, maafkan aku karena menambahkan beban baru untukmu,” ucap Gandha dengan suara rendah sambil menatap Lisa dengan tatapan penuh makna. Sebentar?! Apa pria ini kembali bicara layaknya orang normal? Beberapa saat Lisa meyakinkan dirinya tidak salah dengar. “Lisa, maaf karena selama di sini aku membuatmu sangat tidak nyaman, bahkan kamu terusir dari kamarmu sendiri dan terpaksa tidur di kursi depan.” Gandha menarik napas panjang. Namun, bukan itu poin pentingnya! Yang menjadikan Lisa penasaran adalah, pria ini benar-benar bisa bicara normal! Apa dia benar-benar tidak salah mengenali orang?! “Lisa apa … kamu mendengarkanku?” tanya Gandha dengan suara lembutnya. “Aku ….” Lisa kehabisan kata-katanya, kini Gandha berdiri tepat di depannya, mereka saling berhadapan dengan pandangan yang saling bertemu. Apa yang dikatakan ayahnya benar, untuk beberapa saat pria ini bertingkah normal. “Malam ini, kamu tidurlah di atas, aku akan tidur di bawah.” Gandha berkata pada Lisa sambil mengambil bantal dan meletakkannya ke lantai. “Mas … tapi ….” “Hanya ini yang bisa aku lakukan untukmu sekarang.” Kalimat itu terdengar sangat tulus. Lisa diam. Otaknya kebal berpikir, tetapi saat kembali ingin bertanya dengan Gandha, pria itu kembali memasang wajah bengongnya seperti biasa. Sebenarnya … dia pura-pura atau ada hal lain yang ingin dilakukannya?“Mbak bajuku apa sudah disetrika?” Yasmin menghampiri Lisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga ini.Lisa tersenyum dan mengangguk. “Sudah, tunggu sebentar, ya.” Dia lalu mengambilkan baju yang dimaksud oleh Yasmin dan menyerahkannya. Yasmin mengamati hasil seterika dari Lisa dan kembali berkomentar, “Mbak, ini kenapa masih sedikit kusut? Kalo dipake, bagian ini keliatan banget gak rapinya.”Lisa hanya menghela napas sejenak mendengar celotehan itu.“Mbak rapiin lagi ini, nanti kalo sudah anterin ke kamar, aku mau beres-beres barang.” Yasmin meninggalkan Lisa dan melemparkan bajunya ke wajah Lisa.Paham, Lisa sangat tahu persis kalau ini pasti akan terjadi. Kembali diperhatikannya baju itu, tidak nampak seperti yang dikatakan oleh Yasmin. Adik tirinya itu memang sengaja ingin membuatnya tersiksa saja, karena itu dia berbuat demikian. Sebenarnya beberapa kali Lisa mencoba untuk berontak, tetapi saat mencoba melakukan hal itu, dia kembali berpikir bahwa percuma saja, karena sa
“Mbak Lisa, aku mau ambil bajuku yang kamu pinjam semalam!” Yasmin berkata dengan angkuh sambil menengadahkan tangannya pada Lisa.Lisa hanya menarik napas dalam, dia masih berusaha untuk menahan dirinya. Kemudian, dia mengambil kebaya dan juga kain yang dipakainya semalam, lalu dia menyerahkan pada Yasmin.Namun, saat barang itu diberikan pada Yasmin, wanita itu malah menciumnya dan membentangkannya ke udara. “Mana uang untuk laundrynya? Aku akan membawa gaun ini ke laundry di kota!”Lisa terperangah mendengarnya. “Laundry?” ulangnya.“Ya tentu saja uang laundry-nya! Seharusnya aku minta uang sewa, cuma aku masih berbaik hati. Baju ini kalau dicuci biasa gak bagus nantinya!” Lisa berkata dengan nada ketus. Bukankah itu hanya baju lama yang tidak pernah lagi dipakainya? Lagipula, mau kapan Yasmin memakai pakaian itu lagi? Karena ukurannya sudah pasti kekecilan.“Itu, biar Mbak saja yang cuci lagipula kamu tidak akan memakainya lagi, kan?” Lisa berkata datar.“Apa Mbak bilang?! Dengar,
“Nak Andrian, apa ini tidak merepotkanmu untuk menjemput Yasmin?” suara Duha terdengar saat Lisa akan membawakan minuman itu pada tamu mereka.“Tidak masalah, Om, lagipula aku memang mau pulang ke kota, kebetulan Yasmin juga sama, daripada harus membuat Yasmin menunggu bus lebih baik kami pergi bersama saja, memikirkan Yasmin untuk ganti bus sebanyak dua kali sedikit riskan di zaman sekarang ini, Om.” DEG!Lisa terdiam mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Andrian pada ayahnya. Kalimat itu penuh perhatian dan terdengar sangat lembut sekali. Sama halnya yang dibuat oleh Andrian padanya dulu!‘Ya Tuhan … kenapa ini rasanya sakit sekali?’ lirih Lisa dalam hati, tangannya mencengkram erat baki berisi teh yang dia bawa untuk tamu mereka..“Benar juga, apalagi sekarang marak sekali hal-hal yang menakutkan untuk anak gadis.” Kali ini Ida menambahkan.“Ya, karena itulah, daripada Yasmin pulang sendiri ke kota, lebih baik dia ikut aku saja, lagian aku juga bawa kendaraan. Sekalian
Lisa menatap Andrian dari kejauhan. Tatapan pria itu, yang biasanya membuatnya nyaman, kini terasa menyesakkan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, seolah-olah semuanya sudah berubah.“Lisa, Yasmin mau pamit pulang ke kota,” suara lembut Ida menginterupsi pikirannya.“I-iya, hati-hati di jalan,” jawab Lisa dengan datar. Tidak ada energi untuk menunjukkan keramahan lebih dari itu.Yasmin berjalan mendekatinya dengan senyuman manis yang terlalu dibuat-buat. Tanpa menunggu reaksi Lisa, Yasmin langsung memeluknya erat. Lisa kaku, merasa pelukan itu jauh lebih seperti pementasan daripada kehangatan.“Mbak Lisa, ada yang mau dititip nggak? Aku bisa belikan apa saja yang Mbak Lisa butuhkan di kota. Nanti aku kirim ke kampung kita,” ujar Yasmin dengan suara lembut, nada yang nyaris tidak pernah dia dengar saat Yasmin bicara padanya.Jelas Lisa merasa kalau itu hanya pertunjukan yang dipertontonkan keduanya di depan Andrian. “Itu... nggak perlu. Kamu nggak usah repot-repot,” jawabnya
Yasmin yang baru saja pulang bulan lalu ke kampung ini mendadak pulang lagi, hal ini membuat Lisa heran, karena jarang-jarang Yasmin mau pulang dalam waktu dekat seperti ini, biasanya setelah pulang kampung makan dua tau tiga bulan lagi baru dia kembali lagi.Sebenarnya, saat Yasmin pulang dari kota, artinya tugas Lisa menjadi lebih banyak lagi! Selain bekerja di pabrik pengolahan garam milik Pak Pardi, dia bertugas menyuapi makan pria asing itu di rumahnya. Lalu, ditambah dengan Yasmin, sudah barang tentu makin menambah pekerjaannya.“Mbak Lisa, nanti baju kotorku yang putih ini, jangan lupa dicuci yang bersih, ya!” perintahnya pada Lisa dengan sangat santai sambil menyerahkan pakaian kotor miliknya yang dia bawa dari kota kemarin sebanyak satu kantong plastik besar.“Lisa, nanti kamu kasih makan orang gila itu jangan pakai lauk ikan! Ikannya cuma ada satu, dan itu punya Yasmin! Kalau mau makan yang enak-enak suruh ayahmu kerja lebih keras lagi, biar bisa beli makan yang bergizi untu
Lisa berdiri mematung, ucapan Gandha masih terngiang-ngiang di telinganya. “Aku suamimu sekarang.” Kalimat itu terasa seperti gemuruh yang mengguncang dinding hatinya. Lisa yang tadi begitu yakin ingin meledakkan kemarahannya, kini terpaksa menelan emosi yang sudah sampai di ujung tenggorokan. Dia tak sanggup melawan ucapan Gandha barusan yang menyatakan dengan jelas kalau dia adalah suaminya. kata-kata itu menembus ke dalam jiwanya, dia akhirnya menundukkan wajahnya dan tenggelam dengan pikirannya sendiri.Benar, untuk apa dia marah pada mereka? Lagipula kalaupun dia mengatakan yang sebenarnya pada Andrian tentang kesalahpahaman yang terjadi hingga dia menikah dengan Gandha, apa yang diharapkannya?Menginginkan Andrian untuk menikahinya? Tentu tidak mungkin, karena dia sudah bersuami. Dan kalaupun dia melakukan hal itu, sudah barang tentu dia menyakiti suaminya sendiri. Bukankah ini sama saja dengan dia melakukan pengkhianatan? Lisa terdiam pikirannya berkecamuk hebat.Marah juga ti
Suasana mendadak sunyi. Gandha diam, bibirnya terbuka seolah ingin berbicara, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar. Tatapannya tetap tertuju pada Lisa, namun ada sesuatu di matanya—keraguan, atau mungkin rasa sakit yang tersembunyi. Waktu seolah berhenti di antara mereka, hanya diisi oleh detak jantung Lisa yang terasa menggema di telinganya sendiri."Katakan dengan jujur padaku Mas, apa kamu sudah mengingat semuanya?" tanya Lisa lagi dengan penuh penekanan.Sementara Gandha hanya diam, dia memejamkan mata, terlihat itu adalah caranya untuk menenangkan diri.Gandha terlihat mengepalkan tangannya, matanya menatap kosong, hal yang sedikit dibenci oleh LIsa. Selalu saja seperti ini."Mas, kamu sudah bisa berjalan ke sini sendiri dan kamu bisa melakukan aktivitas lainnya tanpa dibantu," ucap Lisa pada Gandha, "katakan padaku, apa kamu sudah mengingat sesuatu tentang dirimu?" tanya Lisa dengan sorot mata penuh harap.Ya berharap penuh kalau Gandha benar-benar mau menjawab dengan jujur.
Ingatan Lisa terputar beberapa saat yang lalu.Ditengah kedatangan Andrian ke rumah mereka, Duha dipanggil oleh Pak Munir untuk membantu kegiatan warga agar bisa bekerja gotong royong memperbaiki balai desa yang rusak karena hujan deras seharian kemarin sampai malam harinya. Tanpa banyak tanya Duha langsung memenuhi panggilan tersebut."Lisa, Ayah pergi dulu ke balai desa," pamit Duha pada Lisa yang saat itu masih ada di belakang, lalu dia juga berpamitan pada Andrian, Yasmin dan Ida yang ada di ruangan depan.Rasanya baru saja ayahnya pergi belum sampai satu jam dan dia mendapatkan kabar seperti ini, membuat Lisa cukup terkejut.Ingatan itu segera terpecah saat Ida bersuara. "Bagaimana keadaan suami saya?" tanya Ida dengan suara tercekat, sementara Lisa masih memapah tubuhnya yang nyaris ambruk."Pak Duha pingsan dan .…" kata seorang pria dengan gugup.Ah, entah kenapa firasatnya menjadi tidak enak saat melihat pembawa berita itu berkata seperti barusan."Di mana Ayah saya sekarang?"
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men
Walaupun wanita itu menggunakan pakaian yang sangat berbeda, tetap saja wajah itu tidak berubah.“Eh iya bener, Bu! Kok dia bisa keluar dari sana? Terus itu kayaknya penampilannya beda banget?” Yasmin mengerutkan keningnya."Kita harus menemuinya sekarang, kita harus tahu darimana dia punya kekuatan untuk melaporkan kita!" Ida berkata dengan nada keras.Ida lalu menarik Yasmin keluar dengan cepat dan meraih es kopi milik Yasmin yang belum sempat diminumnya. “Kita cegat dia sekarang!”Keduanya berjalan cepat hingga akhirnya Yasmin lebih dulu berdiri di depan Lisa. Seperti dugaan Yasmin dia pasti sangat terkejut melihat mereka berdua.“Y-Yasmin?!” Melihat Lisa yang seperti ini, jelas sekali Yasmin berpikir kalau Lisa akan sangat ketakutan, apalagi dia sudah berani-beraninya melaporkan mereka berdua ke polisi.Lalu Ida menyiram Lisa dengan es kopi itu, Yasmin menyeringai saat melihat Lisa sudah dalam keadaan kotor seperti saat ini, dan dia Seperti biasanya, mulai bicara untuk merendahka
Selesai menjalani pemeriksaan di kantor polisi, langkah Ida terasa limbung. Meski dia bersama dengan Yasmin dan juga pengacara, matanya terus menelisik sekeliling—seolah merasa ada yang mengikuti dari belakang. Yasmin, yang biasanya cerewet, hanya terdiam menunduk, wajahnya tegang, nyaris pucat."Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Yasmin saat mereka ada di dalam mobil setelah pulang dari pemeriksaan itu."Tentu saja Ibu harus bak-baik saja." Ida berkata dengan nada sedikit meninggi."Bu, apa yang dikatakan Pak Munir semalam benar?" tanya Yasmin lagi.Semalam, memang Ida menghubungi Munir di kampung. Pernyataan Munir sangat membuatnya terkejut, karena pria itu mengatakan kalau Gandha, pria gila yang menikahi Lisa itu, saat diusir dari kampung, caranya bicara sangat berbeda dari sebelumnya.Dia seperti orang yang normal dan terlihat sangat berwibawa, terlepas dari wajahnya yang masih berantakan dan tidak enak untuk dilihat."Apa jangan-jangan pria itu ...." Yasmin menggantung kalimatnya
Benar saja, keesokan harinya tanpa menunggu lama Andrian membawa keduanya pada seorang pengacara terkenal yang bisa membantu mereka, keduanya sangat senang dengan bantuan yang diberikan oleh Andrian. Ucapan manipulasi dari mulut keduanya memberikan keyakinan yang sangat dalam untuk Andrian. Mereka juga mengatakan kalau hal ini tidak terbukti mereka harus balik menuntut Lisa.“Benar, kami harus menuntut balik Lisa agar dia mendapatkan pelajaran dari perbuatannya ini.” Andrian berkata dengan geram.“Masalah itu, akan dilakukan bertahap, Pak Andrian, saat ini kita harus membuat rencana untuk menghadapi kasus ini terlebih dahulu.” Pengacara itu berkata dengan tenang.“Selama klien bisa memberikan keterangan yang jujur dan benar serta bisa menyangkal semuanya, saya akan pastikan kita memenangkan kasus ini. Lalu, selanjutnya baru kita ke tahap berikutnya.” Kembali pria itu menjelaskan, Andrian menganggukkan kepalanya.Sementara, Ida mengepalkan tangannya di bawah meja, karena tatapan pengac
Beberapa hari sebelumnya di kediaman Ida dan Yasmin.“Berani sekali Lisa melakukan hal ini pada kita!” Ida berkata dengan meremas surat panggilan dari kantor polisi untuk penyelidikan kasus kematian suaminya.“Apa Ibu tahu dia sekarang tinggal dimana? Kita datangi saja dia, seenaknya dia berbuat seperti ini.” Yasmin turut geram dengan hal ini, badannya yang masih pegal-pegal karena pulang dari jaga malam di rumah sakit terasa makin sakit saja.Ida meletakkan gelas dengan kasar di atas meja, nadanya penuh frustrasi. "Kita harus minta tolong sama Andrian."Ia melirik tajam ke arah Yasmin yang duduk di seberangnya. "Dia pasti punya kenalan… orang-orang yang bisa kita manfaatin buat nekan Lisa."Wajahnya mengeras, penuh amarah yang nyaris tak tertahan. "Dasar anak itu!. Dia pikir dia bisa menang lawan kita?!"Dengan kesal, Ida meneguk habis minumannya. Matanya masih menyala, seperti belum puas memuntahkan kekesalan yang sudah lama mendidih.“Aku akan hubungi Mas Adrian, Bu, tenang saja, L
"Apa yang coba kalian lakukan padaku?" tanya Lisa dengan nada dingin.Ida membentak, suaranya meninggi, nyaris histeris. "Hebat, ya, kamu sekarang, Lisa! Udah ngerasa sukses karena jual diri di kota, ya?"Ia melangkah maju, telunjuknya nyaris menyentuh wajah Lisa. "Terus kamu punya nyali ngelaporin kami ke polisi?! Kamu pikir kamu siapa, hah?!"Wajah Ida merah padam, matanya membelalak seperti bara api yang siap menyambar. Nada suaranya tak lagi hanya marah—ia merasa terhina, terancam, dan kalah. "Berani-beraninya kamu ngelakuin itu ke kami! Dasar wanita tidak tahu diri!"Mendapatkan perlakuan barusan sempat membuat Lisa membeku di tempatnya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang menggelegak di dadanya, dia teringat laporan yang dibacanya saat itu. Tentang bagaimana mereka melakukan hal ini dengan cara licik dan sangat jahat. Perbuatan mereka di masa itu seperti racun yang menusuk ingatannya.Tatapan Lisa berubah, menjadi sesuatu yang belum p