Sambil menunggu, Lisa memohon izin untuk masuk ke ruang perawatan, meskipun langkahnya terasa berat. Ketika pintu terbuka, aroma obat dan antiseptik langsung menyergap indra penciumannya, menambah sesak di dadanya. Matanya perlahan tertuju pada tubuh ayahnya yang terbaring tak berdaya di atas ranjang. Wajah pria itu, yang selalu menjadi sandaran hidupnya, kini pucat pasi seperti kertas tanpa warna. Napasnya terdengar pelan melalui alat bantu oksigen yang menutupi hidung dan mulutnya. Sangat tidak tega melihat pria itu di sana.Di kepala dan tubuhnya, perban membalut luka-luka yang tampak menyakitkan, bercampur noda darah yang mengering. Lisa melangkah mendekat, lututnya hampir tak sanggup menopang tubuhnya yang gemetar. Hatinya menangis melihat sosok itu, namun ia berusaha tetap tenang. Setiap detik yang berlalu terasa seperti jarum yang menusuk jiwanya."Ayah ... ini Lisa. Ayah dengar aku, kan?" bisiknya dengan suara bergetar. Tapi, tidak ada jawaban.Di belakangnya, Ida mendekat.
Ambulance yang membawa Duha ke rumah sakit akhirnya berputar arah kembali ke kediaman Duha. Sesampainya di sana semua warga bahu membahu bergerak cepat menyiapkan semuanya“Bu Ida, Bapaknya mau dimakamkan hari ini apa besok saja? Karena hari sudah makin siang dan apa kita harus menunggu Yasmin?” tanya Munir, sang kepala kampung.“Secepatnya, Pak.” Ida berkata dengan suara lemah. “Lagipula, sekarang Yasmin sudah jalan pulang kemari.” Dia berkata dengan sesegukan.“Artinya kita memakamkannya setelah Yasmin sampai?” Munir kembali bertanya.“Tidak perlu, Yasmin bilang kalau semuanya sudah selesai makamkan saja tanpa menunggunya.” Ida kembali memberikan keterangan.Di sampingnya, Lisa duduk dengan pikiran kosong, dia melihat semuanya berjalan begitu cepat sampai akhirnya mayat sang ayah sudah dikafani dan siap untuk dikuburkan.Sesaat sebelum mereka memasukkan mayat itu ke keranda, Yasmin menjerit-jerit dari ambang pintu.Dia tiba tepat sesaat sebelum jenazah dimasukkan keranda.“Ayaaaaah!
Kalimat menyakitkan ini benar-benar membuatnya sangat sakit hati. Apa mereka tidak sadar degan ucapan yang dilontarkan dari mulut-mulut mereka?! Namun, saat melihat mayat ayahnya yang belum dikubur membuatnya harus tetap menahan rasa amarahnya.'Ya Tuhan, apa harus menerima semua hinaan mereka?' Lisa berkata dengan lirih.Biarlah, yang jelas apa yang diucapkan mereka tidak benar dan juga, perasaan sedih kehilangan untuk ayahnya yang sesungguhnya tidak penting juga mereka ketahui. Betapa menyakitkan itu, dia tidak perlu validasi atas semuanya. Kalaupun mereka tahu, mereka tidak bisa membantu apa pun.Seperti yang selalu dikatakan ayahnya, tidak perlu melakukan validasi atas sikap kita untuk orang lain, karena Tuhan mengetahuinya, dan juga, manusia yang membenci kita tetap akan membenci kita walau kita mengatakan yang sesungguhnya. Jadi, untuk apa diperdebatkan.Lisa memilih diam dan melewati mereka.Proses ini begitu cepat, setelah Ashar, mayat Duha akhirnya dikuburkan di pemakaman umu
Langit sore perlahan berubah warna, dari jingga ke ungu, mengiringi langkah kaki Lisa yang mulai terasa lebih ringan setelah melepas segala beban di hatinya. Angin yang berhembus lembut di pemakaman umum itu membawa ketenangan, meskipun keheningan yang menyelimutinya terasa sedikit menyesakkan.Lisa akhirnya melepaskan diri dari dekapan Gandha. Ia mendongakkan kepala, menatap suaminya dengan saksama. Wajah Gandha, yang meskipun dihiasi luka lebam serta cambang yang mulai tumbuh liar, tetap memancarkan pesona yang sulit diabaikan. Gandha masih memegang bahunya, ibu jarinya perlahan menghapus sisa air mata yang mengalir di pipi Lisa. Sentuhan lembut itu membuat tubuhnya seolah tersengat, sebuah rasa aneh kembali menyeruak di dadanya.“Sudah lega?” tanya Gandha dengan suara pelan, senyum tipis menghiasi bibirnya. Meskipun singkat, senyum itu cukup untuk membuat Lisa terpana. Ada keteduhan dalam senyum itu, seperti sebuah jendela yang perlahan membuka rahasia di balik identitas pria yang
Lisa menelan ludah, mencoba mengatasi debaran di dadanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, namun suara Gandha kembali terdengar sebelum ia sempat membuka mulut. “Sekarang, kita pulang. Kamu juga perlu tahu seperti apa wajah Ibu dan saudara tirimu yang sebenarnya.”Nada terakhir Gandha terdengar lebih tajam, seperti ada kemarahan terpendam di sana. Hal itu membuat Lisa terkejut dengan pernyataan itu. Perlahan, Gandha meraih tangannya, menggenggamnya erat. Sentuhan itu membuat Lisa merasakan campuran rasa hangat dan canggung, seolah menggenggam janji yang tak terlihat.Mendengar pernyataan barusan membuat Lisa terperangah. “Maksud Mas apa?” tanyanya bingung.Namun, Gandha hanya tersenyum kecil, Ia menggenggamnya dengan lembut lagi, membuat Lisa kembali dilanda rasa canggung. Jantungnya berpacu cepat, sementara pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah ia mulai menyukai pria ini? Perasaan itu terasa aneh, tapi juga sulit ia abaikan.“Ayo kita pulang dulu,” ujar Gandha, sambil menarik
Mendengar hal tersebut membuat Gandha diam. Napasnya terdengar panjang dan berat, seperti sedang bergulat dengan sesuatu yang tak terucapkan. Lisa, yang duduk tak jauh darinya, menggigit bibir. Hatinya bergejolak.“Tapi… sepertinya tidak mungkin, karena waktunya terlalu cepat, kan?” Lisa berbisik, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Suaranya melayang di udara, tapi tak ada jawaban dari Gandha.Gandha masih diam. Tatapannya tertuju pada lantai, kedua tangannya saling meremas di atas lutut. Lisa melirik ke arahnya. Pria itu terlihat semakin tenggelam dalam pikirannya, membuat Lisa bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia sembunyikan."Kamu berpikir begitu, ya?" tanya Gandha.Namun kemudian, Lisa menggeleng cepat. “Tidak ... sepertinya tidak mungkin. Aku hanya kesal sampai berpikir seperti itu. Lagipula, siapa yang bisa mengendalikan hujan deras dan petir, lalu disusul dengan pemadaman listrik?” Lisa mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Ia mengingat malam itu dengan jelas—petir yan
Lisa melangkah masuk ke dalam kamarnya, saat melangkah pergi, ia menangkap pandangan Yasmin yang penuh ejekan, dan senyum kecil di sudut bibir Ida yang terasa menusuk hati.Setelah Lisa masuk ke kamanya Ida menyeringai. Wajahnya memancarkan ekspresi kemenangan. Dia menatap Yasmin dan berkata, “Semua sudah selesai. Besok kamu pulang saja ke kota dengan Andrian. Sisanya bisa Ibu atasi sendiri,” katanya dengan nada penuh penekanan melihat ke arah Yasmin."Iya, kalau itu ibu tidak perlu bilang! Aku pasti akan terus mendekati Mas Andrian." Yasmin berkata santai."Eh, saat Lisa menandatangani dokumen tadi kamu rekam, kan?" tanya Ida."Tentu saja! Mana mungkin aku tidak merekamnya dan juga, aku mendapatkan posisi yang pas, kelihatan kalau dia tidak dengan terpaksa menandatanganinya!" Yasmin berceloteh pada Ibunya. "Untung saja dia mau langsung tandatangan.""Untuk urusan itu, kamu tenang saja. Tidak mungkin dia membaca semuanya." Ida berkata dengan percaya diri."Ah, Ibu memang sangat pintar
“Ada apa di dapur?” Gandha bertanya pada Lisa yang baru saja masuk kamar dengan napas tersengal dan tangannya memegang dadanya.Wanita itu menghela napas sejenak. “Biasa, Mas, siapa lagi kalau bukan Ibu dan Yasmin.”Lisa menjawab sekenanya lalu berjalan ke arah lemari, dia membuka laci yang ada di sana dan melihat sebuah kalung yang dimaksudkan oleh Yasmin tadi.Kalung ini pemberian dari almarhumah ibunya Andrian untuk pria itu, saat Andrian ingin pergi ke kota dia memberikan barang berharga itu pada Lisa. Andrian berkata kalau ini adalah barang yang sangatlah penting untuknya. Sebuah Liontin yang didesain khusus dari asi dan rambutnya saat masih bayi.Kalau dia mengingat hubungannya dengan Andrian, rasanya masih sakit, namun, kalau dia mengingat lagi tentang hari ini, dimana dia sudah menikah dengan pria lain, rasanya dia benar-benar merasa bersalah dengan suaminya sendiri, yang seolah-olah dia masih belum bisa berjalan ke depan dari sosok Andrian.Gandha hanya memperhatikan Lisa dar
“Nyonya?" Yasmin berkata dengan nyaris berbisik."Mbak apa kamu sudah dijual sama pria gila itu dan menjadi simpanan pria kaya?!” tanya Yasmin dengan nada pilu. “Mbak sudah Mbak, ayo kita pulang saja, aku dan ibu masih mau menerima Mbak Lisa kok, ayo Mbak kita mulai lagi dari awal dan–”“Yasmin hentikan mulut kotormu itu!" Lisa membentak dengan suara yang cukup keras."Iyam ayo kita pergi, buang-buang waktu kalau harus meladeni orang seperti itu," tambah Lisa lagi."Dan kamu Mas Andrian ….” Lisa tidak melanjutkan kalimatnya, dia menggantungnya begitu saja, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Andrian dengan tatapan yang cukup rumit.“Mas, bantu aku untuk membuat Mbak Lisa pulang dong, Aku yakin sekali pasti dia saat ini sedang dikuasai oleh pikiran buruk karena pengaruh pria gila yang menjadi suaminya itu.” Suara Yasmin terdengar sayup-sayup di telinga Lisa.Hal ini jelas membuat Iyam menjadi heran apalagi saat ini Lisa mengatur ritme napasnya untuk mengolah emosinya agar tidak
Lisa terkejut lantaran bertemu dengan Andrian di tempat ini. Pria itu menatap Lisa dengan pandangan kecewa yang terasa sangat dalam. “Ternyata benar, kamu adalah orang yang sangat jahat dengan keluargamu sendiri. Aku Kecewa padamu, Lis” Lisa mengernyitkan keningnya heran. 'Kenapa pria ini tiba-tiba berkata seperti itu?' tanya Lisa dalam hati. Akan tetapi, detik berikutnya dia membalas ucapan Andrian barusan dengan tatapan tajam, menyadari pasti semua ini berkaitan dengan Ibu dan juga saudara tirinya. Siapa lagi yang bisa memutar balikkan fakta dalam waktu singkat! Apalagi saat ini dia melihat ke sekitar kalau Ibu Ida yang mengikutinya tadi sudah tidak terlihat. “Mas,” ucap Lisa dengan suara berat dan berjalan mendekati pria itu. “Kuberikan saran padamu untuk berhenti mendengarkan sebelah, cepat atau lambat semua akan terbuka." Lisa berkata dengan suara bergetar. "Dan ... Satu hal lagi, yang ingin aku beritahukan padamu, yang seharusnya kecewa itu adalah aku. Aku benar-benar kece
Pernyataan pria itu sontak membuat Lisa terkejut."Apa yang Mas bilang barusan?" tanyanya sekali lagi, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar.Gandha memintanya untuk belanja apapun yang ia mau. Bagi Lisa, itu terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Bukankah hampir semua wanita menginginkan hal semacam ini?Dulu, ia pernah punya harapan yang sama. Tapi itu hanya sebatas angan yang akhirnya ia kubur dalam-dalam. Dan sekarang, Gandha—pria yang ia anggap jauh dari hal seperti ini—mengucapkannya padanya.Bagaimana mungkin ia tidak bahagia?“Lanjutkan saja, Sayang," ucap Gandha dengan santai."Kata orang-orang yang kudengar, belanjamu tidak menarik kalau kamu masih melirik tag price," lanjut Gandha lagi.Hal ini tentu membuat Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria ini benar-benar ...!"Dan jangan lupa tunggu aku di sana, aku sudah di jalan untuk menjemputmu.” Setelah Gandha mengatakan hal itu, pria itu memutuskan sambungan teleponnya. Wajah Lisa ber
Beberapa saat sebelumnya, di dalam mobil.[Mas aku bertemu dengan Ibu dan Yasmin dan sepertinya mereka sedang mengikuti mobil kami, aku sudah bilang dengan Tono untuk berputar-putar dulu tidak langsung pulang ke rumah.]Pesan itu dikirim Lisa untuk Gandha. Dia tahu, suaminya sedang tenggelam dalam urusan yang pasti tidak sepele. Karena itu, Lisa memilih menahan diri—tidak ingin mengganggu dengan hal-hal kecil. Tapi sampai akhirnya dia memutuskan melangkah ke mall mewah ini pun, belum ada kabar balik dari Gandha.Beruntungnya sesaat setelah dia masuk ke dalam mall ini, ponselnya berdering, nama “Suami Gila” terpampang di layarnya. Lisa mengulas senyum lebar.“Lisa! Kamu nggak apa-apa?" Jelas terdengar suara Gandha terdengar panik saat ini."Aku tidak apa-apa-""Apa yang mereka lakukan padamu? Apa kamu terluka?" potong Gandha cepat."Aku-""Sekarang kamu di mana? Apa masih sama Iyam dan Tono?” Suara Gandha di seberang telepon terdengar panik, bertubi-tubi melemparkan pertanyaan tanpa men
Walaupun wanita itu menggunakan pakaian yang sangat berbeda, tetap saja wajah itu tidak berubah.“Eh iya bener, Bu! Kok dia bisa keluar dari sana? Terus itu kayaknya penampilannya beda banget?” Yasmin mengerutkan keningnya."Kita harus menemuinya sekarang, kita harus tahu darimana dia punya kekuatan untuk melaporkan kita!" Ida berkata dengan nada keras.Ida lalu menarik Yasmin keluar dengan cepat dan meraih es kopi milik Yasmin yang belum sempat diminumnya. “Kita cegat dia sekarang!”Keduanya berjalan cepat hingga akhirnya Yasmin lebih dulu berdiri di depan Lisa. Seperti dugaan Yasmin dia pasti sangat terkejut melihat mereka berdua.“Y-Yasmin?!” Melihat Lisa yang seperti ini, jelas sekali Yasmin berpikir kalau Lisa akan sangat ketakutan, apalagi dia sudah berani-beraninya melaporkan mereka berdua ke polisi.Lalu Ida menyiram Lisa dengan es kopi itu, Yasmin menyeringai saat melihat Lisa sudah dalam keadaan kotor seperti saat ini, dan dia Seperti biasanya, mulai bicara untuk merendahka
Selesai menjalani pemeriksaan di kantor polisi, langkah Ida terasa limbung. Meski dia bersama dengan Yasmin dan juga pengacara, matanya terus menelisik sekeliling—seolah merasa ada yang mengikuti dari belakang. Yasmin, yang biasanya cerewet, hanya terdiam menunduk, wajahnya tegang, nyaris pucat."Bu, apa Ibu baik-baik saja?" tanya Yasmin saat mereka ada di dalam mobil setelah pulang dari pemeriksaan itu."Tentu saja Ibu harus bak-baik saja." Ida berkata dengan nada sedikit meninggi."Bu, apa yang dikatakan Pak Munir semalam benar?" tanya Yasmin lagi.Semalam, memang Ida menghubungi Munir di kampung. Pernyataan Munir sangat membuatnya terkejut, karena pria itu mengatakan kalau Gandha, pria gila yang menikahi Lisa itu, saat diusir dari kampung, caranya bicara sangat berbeda dari sebelumnya.Dia seperti orang yang normal dan terlihat sangat berwibawa, terlepas dari wajahnya yang masih berantakan dan tidak enak untuk dilihat."Apa jangan-jangan pria itu ...." Yasmin menggantung kalimatnya
Benar saja, keesokan harinya tanpa menunggu lama Andrian membawa keduanya pada seorang pengacara terkenal yang bisa membantu mereka, keduanya sangat senang dengan bantuan yang diberikan oleh Andrian. Ucapan manipulasi dari mulut keduanya memberikan keyakinan yang sangat dalam untuk Andrian. Mereka juga mengatakan kalau hal ini tidak terbukti mereka harus balik menuntut Lisa.“Benar, kami harus menuntut balik Lisa agar dia mendapatkan pelajaran dari perbuatannya ini.” Andrian berkata dengan geram.“Masalah itu, akan dilakukan bertahap, Pak Andrian, saat ini kita harus membuat rencana untuk menghadapi kasus ini terlebih dahulu.” Pengacara itu berkata dengan tenang.“Selama klien bisa memberikan keterangan yang jujur dan benar serta bisa menyangkal semuanya, saya akan pastikan kita memenangkan kasus ini. Lalu, selanjutnya baru kita ke tahap berikutnya.” Kembali pria itu menjelaskan, Andrian menganggukkan kepalanya.Sementara, Ida mengepalkan tangannya di bawah meja, karena tatapan pengac
Beberapa hari sebelumnya di kediaman Ida dan Yasmin.“Berani sekali Lisa melakukan hal ini pada kita!” Ida berkata dengan meremas surat panggilan dari kantor polisi untuk penyelidikan kasus kematian suaminya.“Apa Ibu tahu dia sekarang tinggal dimana? Kita datangi saja dia, seenaknya dia berbuat seperti ini.” Yasmin turut geram dengan hal ini, badannya yang masih pegal-pegal karena pulang dari jaga malam di rumah sakit terasa makin sakit saja.Ida meletakkan gelas dengan kasar di atas meja, nadanya penuh frustrasi. "Kita harus minta tolong sama Andrian."Ia melirik tajam ke arah Yasmin yang duduk di seberangnya. "Dia pasti punya kenalan… orang-orang yang bisa kita manfaatin buat nekan Lisa."Wajahnya mengeras, penuh amarah yang nyaris tak tertahan. "Dasar anak itu!. Dia pikir dia bisa menang lawan kita?!"Dengan kesal, Ida meneguk habis minumannya. Matanya masih menyala, seperti belum puas memuntahkan kekesalan yang sudah lama mendidih.“Aku akan hubungi Mas Adrian, Bu, tenang saja, L
"Apa yang coba kalian lakukan padaku?" tanya Lisa dengan nada dingin.Ida membentak, suaranya meninggi, nyaris histeris. "Hebat, ya, kamu sekarang, Lisa! Udah ngerasa sukses karena jual diri di kota, ya?"Ia melangkah maju, telunjuknya nyaris menyentuh wajah Lisa. "Terus kamu punya nyali ngelaporin kami ke polisi?! Kamu pikir kamu siapa, hah?!"Wajah Ida merah padam, matanya membelalak seperti bara api yang siap menyambar. Nada suaranya tak lagi hanya marah—ia merasa terhina, terancam, dan kalah. "Berani-beraninya kamu ngelakuin itu ke kami! Dasar wanita tidak tahu diri!"Mendapatkan perlakuan barusan sempat membuat Lisa membeku di tempatnya. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat, bukan karena takut, tapi karena kemarahan yang menggelegak di dadanya, dia teringat laporan yang dibacanya saat itu. Tentang bagaimana mereka melakukan hal ini dengan cara licik dan sangat jahat. Perbuatan mereka di masa itu seperti racun yang menusuk ingatannya.Tatapan Lisa berubah, menjadi sesuatu yang belum p