Entahlah, tapi yang jelas sekarang ini pikiran Lisa, benar-benar berkecamuk hebat. Kemudian dia tiba-tiba terpikir hal lain. Selain dia bisa mengucapkan namanya dengan jelas tadi, kebiasaan pria ini selama ini hanya bisa menjerit-jerit dengan nada pilu dan tidak bisa mengatakan kalimat lain dan kalimat apa pun selain minta tolong. Lalu, pandangannya hanya lurus ke depan dengan tatapan kosong seperti bukan orang yang waras.
Tiba-tiba saja, dorongan dari dalam dirinya yang kuat ini akhirnya membuat Lisa diam-diam berdoa dalam hati, agar pria asing ini tidak mampu mengucapkan kalimat sakral itu di hadapan orang ramai. Namun, lantunan doa dalam hatinya itu terganggu, tatkala suara-suara lain kembali tertangkap di telinganya. “Nah, si Lisa akhirnya nikah juga!” Celetuk salah satu tetangga mereka yang dikenal Lisa sangat akrab dengan ibu tirinya ini. “Ya gak masalah juga sih nikah dengan pria ini, yang penting kan laku,” sahut yang lain dengan santai. Lisa hanya bisa diam dan menundukkan kepalanya. Celotehan dan penghinaan akan dirinya terdengar dengan jelas di telinganya, tetapi dia tidak terlalu menghiraukannya lagi. Toh selama ini dia juga sudah kenyang dengan caci maki mereka dan juga hinaan yang dilontarkan dari mulut-mulut pedas tetangganya yang termakan hasutan dari ibu tirinya itu. “Makanya Lis, jadi orang jangan mimpi ketinggian, mau sama Andrian anak juragan garam Pak Pardi? Gak cocok kamu!” Ucapan Ida benar-benar berhasil meremas hati Lisa. Rasanya sangat sakit dan tidak terima. Lisa langsung mendongakkan wajahnya, dan melihat ke arah Ida, tetapi tatapan Lisa langsung dibalas dengan tajam oleh wanita itu. “Kenapa? Apa ada yang salah?” Ida berkata dengan nada pelan yang sangat ditekan. Lisa hanya diam. “Andrian yang berpendidikan itu jelas tidak sepadan denganmu, lagipula kalau pun dia mau menikah dengan wanita di kampung ini, jelas itu dengan Yasmin!” Ida berkata dengan nada mengejeknya. Tidak disangka, ucapan Ida barusan disambut dengan pembenaran beberapa orang yang ada di sana. “Betul sekali, Bu Ida!” celetuk yang lain. Mereka tertawa seolah mengejek Lisa yang hanya pantas dengan pria itu. Andrian, pria yang menjadi kekasih hatinya dan juga pria yang berjanji padanya akan segera melamarnya, memang belum kunjung datang ke rumahnya untuk merealisasikan hal itu, karena dia masih menuntut ilmu di kota. “Lisa aku akan segera melamarmu, kamu tunggu aku. Aku akan sukses di kota nanti dan membawamu turut pergi ke sana.” Janji Andrian itu kembali terngiang di telinga Lisa Entah kenapa janji itu bahkan tinggal sebuah janji yang tak kunjung ditepati. Bahkan saat lebaran tahun ini, Andrian hanya pulang dua hari saja ke kampung, dan mereka bahkan tidak sempat bertemu, kabarnya Andrian sedang sibuk dengan urusan tesis dan juga pekerjaannya di kota. Lisa hanya menelan kekecewaan. Apalagi saat itu, Yasmin dengan bangga bercerita pada mereka bahwa Andrian selalu membantunya saat di kota. Mendengar kabar dari adik tirinya tentang kedekatan mereka, membuat Lisa sangat kecewa, apalagi Andrian benar-benar seolah-olah lupa dengan hubungan mereka. Namun, saat nama Andrian kembali diungkit, tetap saja rasa sakit itu masih terasa membekas. ‘Lisa, berhentilah berpikir tentang Andrian, sekarang terima saja nasibmu untuk menjadi istri dari pria ini,’ ucap Lisa dalam hati yang sangat bertentangan dengan doa yang dia ucapkan barusan. Hujan di luar sudah reda sejak tadi, tetapi rasa dingin tetap menyelimuti suasana hati Lisa. Kembali Lisa melirik ke arah ‘Pria Gila’ yang dijuluki oleh orang-orang ini. Pria itu masih seperti biasa, pandangan kosong dan lurus ke depan. Luka yang ada di sudut bibir dan pelipis kanannya, membuatnya nampak sekilas sangat menyedihkan. Lalu, wajahnya yang mulai ditumbuhi cambang yang kurang teratur, benar-benar membuat penampilan pria itu tidak seperti orang lain pada umumnya di kampung ini. Hati Lisa mencelos melihat keadaan calon suaminya ini, walaupun sebenarnya pria ini memiliki hidung yang mancung, alis yang lebat dan memiliki kulit yang jauh lebih putih dan bersih dari orang kampung ini, tetap saja hal itu tidak membuatnya spesial di mata orang-orang ini karena tingkah pria itu yang sudah diketahui oleh orang banyak di kampung ini. “Nah, akhirnya Penghulunya sudah datang!” seru Ida dengan nada riang. “Mbak sebentar lagi kamu akan menikah!” Yasmin kali ini menambahkan, ucapannya terdengar mengejek dan merendahkan. Lisa masih diam saja, melihat sosok penghulu dan juga Pak Munir selaku ketua kampung ini masuk ke rumah mereka. Kedua orang itu duduk di dekat ayahnya, mereka terlihat berbincang, dari gerakan bibir ayahnya dia menceritakan tentang kondisi pria ini, sedangkan pria itu jelas tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi sebenarnya. Lisa mengalihkan pandanganya melihat ke arah Yasmin yang nampak bahagia bercerita dengan ibu-ibu tetangga mereka. Satu bulan yang lalu, Yasmin kebetulan mengambil cuti saat mereka menemukan pria ini, lalu esok harinya segera pulang ke kota dengan alasan pekerjaan. Kemarin, adik tirinya ini kembali lagi ke kampung, dengan alasan merindukan ibunya. Kepulangannya kali ini seperti sebelumnya, bercerita pada Ida tentang hubungannya dengan Andrian dengan suara yang besar hingga Lisa harus mendengarnya. “Baiklah, Lisa dan Gandha, apa kalian sudah siap?” tanya penghulu itu pada keduanya, membuat Lisa akhirnya tersadar dari berbagai macam pikirannya sendiri. Jantung Lisa berdegup tak karuan, apalagi saat nama pria itu dengan jelas terdengar di telinganya. Gandha. Sebentar lagi Lisa akan menjadi seorang wanita yang bersuami. Dia sangat gugup, bahkan terus melafalkan doa yang sama. Agar pria itu tidak bisa bicara! Hati kecilnya ingin berontak, tetapi dia tidak bisa melakukannya. “Gandha, apa kamu mengerti dengan apa yang dikatakan oleh pak penghulu ini?” tanya Duha pada Gandha dan pria ini melihat ke arah Duha dengan mengangguk. Lisa melihat ke arah ayahnya menatap lekat pria itu dengan mata yang berkaca-kaca, dia tidak rela kalau sampai ayahnya benar-benar menikahkan dirinya dengan pria yang ada di sebelahnya ini. Namun, dia tidak bisa mengelak lagi. Tubuhnya mulai bergetar saat sang ayah mulai mengucapkan kalimat itu. “Gandha Wongso, aku nikahkan dan kawinkan kamu dengan anak kandungku, Lisa Anastasia dengan mas kawin berupa gelang dibayar tunai,” ucap Duha dengan suara tegas. Jantung Lisa berpacu cepat saat mendengarkan ayahnya mengatakan hal tersebut, dari sana Lisa tahu nama lengkap pria itu, dan mas kawin berupa gelang yang ada di hadapannya ini adalah barang yang melekat pada pria itu saat mereka menemukannya. Lisa melihat ke arah pria itu dengan meremas ujung kebaya yang dia kenakan, hingga tanpa dia sadari kalau tangannya makin terkepal erat tatkala pria itu akan membuka mulutnya dan Lisa menahan napasnya seraya memejamkan mata. “Saya terima nikah dan kawinnya, Lisa Anastasia binti Duha Wicaksono dengan mas kawin tersebut, tunai.” Kalimat yang keluar dari mulut pria itu benar-benar membuat Lisa terperangah. Pria ini menjawab dengan tegas dan suaranya terdengar lantang. Suara itu berat dan benar-benar berbeda. Mata Lisa terbuka seketika dan melihat ke arah pria itu. Untuk sesaat, Pria bernama Gandha ini terlihat sangat berkarisma, sampai mata Lisa menatapnya tanpa kedip! Dan … Bukan hanya Lisa yang terkejut, tetapi juga semua yang ada di sana terperangah dengan apa yang baru saja dikatakan pria itu. Dia bisa mengatakan kalimat itu dalam satu kali tarikan napas dengan sangat jelas. Fakta ini cukup membuat Lisa terkejut, bahwa dia, Pria yang bernama Gandha Wongso … ternyata dia bisa bicara dengan benar!“Bagaimana saksi, apa ini sah?”“Sah!” Beberapa orang menjawab dengan lantang. “Alhamdulillah,” ucap yang hadir di sana. Kini, Lisa benar-benar sudah resmi menjadi seorang wanita bersuami.Doa dipanjatkan setelah ijab kabul terdengar. Namun, Lisa masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri, rasanya dia tidak percaya dengan banyak hal yang baru saja terjadi.Tentang kehidupannya yang akan datang bahkan tentang suaminya sendiri.Setelah doa selesai, seperti biasanya pengantin biasanya akan melakukan prosesi cium tangan suami. Kalau selama ini Lisa hanya melihatnya saat menghadiri acara sakral teman-temannya, kali ini dia adalah pengantinnya.Berat rasanya untuk melakukan hal ini, apalagi dengan orang yang tidak dicintainya, bahkan dengan pria asing yang dia tidak kenal sama sekali. Keringat keluar dari telapak tangannya, tatkala pria itu memberikan tangannya di depan Lisa.Bekas goresan luka yang cukup dalam masih terlihat jelas di punggung tangan suaminya itu, hal ini membuat Lisa men
“Mas Gandha, apa kamu paham apa yang aku katakan?” Lisa kembali mengulang tanya untuk memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi jika suaminya bisa diajak bicara dengan normal.“Aku … aku hanya ingat namaku, aku juga ingat kalau aku belum menikah,” ucap Gandha, “tapi selebihnya, aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali ….” Tiba-tiba Gandha menghentikan ucapannya, dia memegang kepalanya dan memejamkan mata, sekarang ekspresi wajahnya menampakkan kalau saat ini dia sedang kesakitan.“Ah … aku … aku tidak bisa mengingat apapun,” ucapnya dengan suara yang serak, matanya masih terpejam.“Sudah, Mas, cukup, tidak perlu memaksakan diri.” Lisa menenangkan suaminya, lalu kemudian dia berjalan ke arah meja, dimana di atasnya terdapat segelas air minum.“Minum dulu, tenangkan dirimu,” ucap Lisa dengan nada khawatir.Gandha melakukannya dengan bantuan Lisa.“Bagaimana rasanya? Apa sudah lebih baik?” tanya Lisa lagi.Dia mengangguk dan memberikan gelas itu pada Lisa. “Terima kasih.”“Mas, aku juga
Lisa tertegun sejenak, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Ibu dan adik tirinya itu. Hanya saja selama ini dia masih diam dan tidak melawan untuk mengurangi percekcokan yang terjadi di rumah ini.Ayah dan ibunya juga kerap kali bertentangan pendapat yang ujung-ujungnya Duha akan mengalah, karena dia merasa bahwa dia sudah gagal menjadi kepala rumah tangga yang tidak bisa membuat keluarganya bahagia.Ah … andai saja ayahnya saat itu tidak ditipu, pasti keluarga mereka akan baik-baik saja saat ini. Pikiran Lisa melayang ke saat itu, karena sejak ayahnya jatuh, mereka terpaksa kembali ke kampung dan bertahan hidup dengan sangat sederhana, sangat berbalik dari kehidupan sebelumnya.“Lisa, ayah mau bicara padamu,” panggil ayahnya setelah Lisa membereskan rumahnya.“Ada apa, Ayah?” tanya Lisa pada Duha, lalu sang ayah memberikan isyarat agar anaknya duduk di sebelahnya.“Lisa, Ayah tahu kamu tidak melakukannya,” ucapnya dengan nada penuh sesal.Lisa terdiam, lalu … kenapa ayah
“Mbak bajuku apa sudah disetrika?” Yasmin menghampiri Lisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga ini.Lisa tersenyum dan mengangguk. “Sudah, tunggu sebentar, ya.” Dia lalu mengambilkan baju yang dimaksud oleh Yasmin dan menyerahkannya. Yasmin mengamati hasil seterika dari Lisa dan kembali berkomentar, “Mbak, ini kenapa masih sedikit kusut? Kalo dipake, bagian ini keliatan banget gak rapinya.”Lisa hanya menghela napas sejenak mendengar celotehan itu.“Mbak rapiin lagi ini, nanti kalo sudah anterin ke kamar, aku mau beres-beres barang.” Yasmin meninggalkan Lisa dan melemparkan bajunya ke wajah Lisa.Paham, Lisa sangat tahu persis kalau ini pasti akan terjadi. Kembali diperhatikannya baju itu, tidak nampak seperti yang dikatakan oleh Yasmin. Adik tirinya itu memang sengaja ingin membuatnya tersiksa saja, karena itu dia berbuat demikian. Sebenarnya beberapa kali Lisa mencoba untuk berontak, tetapi saat mencoba melakukan hal itu, dia kembali berpikir bahwa percuma saja, karena sa
“Mbak Lisa, aku mau ambil bajuku yang kamu pinjam semalam!” Yasmin berkata dengan angkuh sambil menengadahkan tangannya pada Lisa.Lisa hanya menarik napas dalam, dia masih berusaha untuk menahan dirinya. Kemudian, dia mengambil kebaya dan juga kain yang dipakainya semalam, lalu dia menyerahkan pada Yasmin.Namun, saat barang itu diberikan pada Yasmin, wanita itu malah menciumnya dan membentangkannya ke udara. “Mana uang untuk laundrynya? Aku akan membawa gaun ini ke laundry di kota!”Lisa terperangah mendengarnya. “Laundry?” ulangnya.“Ya tentu saja uang laundry-nya! Seharusnya aku minta uang sewa, cuma aku masih berbaik hati. Baju ini kalau dicuci biasa gak bagus nantinya!” Lisa berkata dengan nada ketus. Bukankah itu hanya baju lama yang tidak pernah lagi dipakainya? Lagipula, mau kapan Yasmin memakai pakaian itu lagi? Karena ukurannya sudah pasti kekecilan.“Itu, biar Mbak saja yang cuci lagipula kamu tidak akan memakainya lagi, kan?” Lisa berkata datar.“Apa Mbak bilang?! Dengar,
“Nak Andrian, apa ini tidak merepotkanmu untuk menjemput Yasmin?” suara Duha terdengar saat Lisa akan membawakan minuman itu pada tamu mereka.“Tidak masalah, Om, lagipula aku memang mau pulang ke kota, kebetulan Yasmin juga sama, daripada harus membuat Yasmin menunggu bus lebih baik kami pergi bersama saja, memikirkan Yasmin untuk ganti bus sebanyak dua kali sedikit riskan di zaman sekarang ini, Om.” DEG!Lisa terdiam mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Andrian pada ayahnya. Kalimat itu penuh perhatian dan terdengar sangat lembut sekali. Sama halnya yang dibuat oleh Andrian padanya dulu!‘Ya Tuhan … kenapa ini rasanya sakit sekali?’ lirih Lisa dalam hati, tangannya mencengkram erat baki berisi teh yang dia bawa untuk tamu mereka..“Benar juga, apalagi sekarang marak sekali hal-hal yang menakutkan untuk anak gadis.” Kali ini Ida menambahkan.“Ya, karena itulah, daripada Yasmin pulang sendiri ke kota, lebih baik dia ikut aku saja, lagian aku juga bawa kendaraan. Sekalian
Lisa menatap Andrian dari kejauhan. Tatapan pria itu, yang biasanya membuatnya nyaman, kini terasa menyesakkan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, seolah-olah semuanya sudah berubah.“Lisa, Yasmin mau pamit pulang ke kota,” suara lembut Ida menginterupsi pikirannya.“I-iya, hati-hati di jalan,” jawab Lisa dengan datar. Tidak ada energi untuk menunjukkan keramahan lebih dari itu.Yasmin berjalan mendekatinya dengan senyuman manis yang terlalu dibuat-buat. Tanpa menunggu reaksi Lisa, Yasmin langsung memeluknya erat. Lisa kaku, merasa pelukan itu jauh lebih seperti pementasan daripada kehangatan.“Mbak Lisa, ada yang mau dititip nggak? Aku bisa belikan apa saja yang Mbak Lisa butuhkan di kota. Nanti aku kirim ke kampung kita,” ujar Yasmin dengan suara lembut, nada yang nyaris tidak pernah dia dengar saat Yasmin bicara padanya.Jelas Lisa merasa kalau itu hanya pertunjukan yang dipertontonkan keduanya di depan Andrian. “Itu... nggak perlu. Kamu nggak usah repot-repot,” jawabnya
“Tidak! Tolong! Jangan! Jangan lukai dia! Tolong! Kumohon, kumohon, aku akan melakukan apapun juga!” teriak seorang pria dengan suara ketakutan, tubuhnya bergetar hebat, wajahnya berubah menjadi sangat pucat dan dia benar-benar menyedihkan.Jeritannya semakin menjadi tatkala silaunya cahaya kilat dan guntur yang saling bersusulan menggelegar di angkasa malam ini. Hujan masih turun dengan deras di luar.Lisa segera menghampirinya dan mencoba untuk menenangkan pria itu.“Tenang, tenanglah, ada aku di sini,” ucap Lisa padanya dengan menepuk pelan punggungnya.Namun, tiba-tiba saja, pria itu membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Lisa lalu memeluknya dengan sangat erat.“Tolong, kumohon tolong aku!” Dia berkata lirih. Jantung Lisa berdetak cepat dan darahnya berdesir deras, pria ini memeluknya, dia bahkan belum pernah merasakan hal demikian dari pria yang bukan mahramnya, tetapi entah kenapa rasa empatinya saat ini sangat tinggi membuatnya sangat iba dengan pria ini.“Sabarlah, kamu ama
Lisa menatap Andrian dari kejauhan. Tatapan pria itu, yang biasanya membuatnya nyaman, kini terasa menyesakkan. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda, seolah-olah semuanya sudah berubah.“Lisa, Yasmin mau pamit pulang ke kota,” suara lembut Ida menginterupsi pikirannya.“I-iya, hati-hati di jalan,” jawab Lisa dengan datar. Tidak ada energi untuk menunjukkan keramahan lebih dari itu.Yasmin berjalan mendekatinya dengan senyuman manis yang terlalu dibuat-buat. Tanpa menunggu reaksi Lisa, Yasmin langsung memeluknya erat. Lisa kaku, merasa pelukan itu jauh lebih seperti pementasan daripada kehangatan.“Mbak Lisa, ada yang mau dititip nggak? Aku bisa belikan apa saja yang Mbak Lisa butuhkan di kota. Nanti aku kirim ke kampung kita,” ujar Yasmin dengan suara lembut, nada yang nyaris tidak pernah dia dengar saat Yasmin bicara padanya.Jelas Lisa merasa kalau itu hanya pertunjukan yang dipertontonkan keduanya di depan Andrian. “Itu... nggak perlu. Kamu nggak usah repot-repot,” jawabnya
“Nak Andrian, apa ini tidak merepotkanmu untuk menjemput Yasmin?” suara Duha terdengar saat Lisa akan membawakan minuman itu pada tamu mereka.“Tidak masalah, Om, lagipula aku memang mau pulang ke kota, kebetulan Yasmin juga sama, daripada harus membuat Yasmin menunggu bus lebih baik kami pergi bersama saja, memikirkan Yasmin untuk ganti bus sebanyak dua kali sedikit riskan di zaman sekarang ini, Om.” DEG!Lisa terdiam mendengar ucapan yang baru saja dilontarkan oleh Andrian pada ayahnya. Kalimat itu penuh perhatian dan terdengar sangat lembut sekali. Sama halnya yang dibuat oleh Andrian padanya dulu!‘Ya Tuhan … kenapa ini rasanya sakit sekali?’ lirih Lisa dalam hati, tangannya mencengkram erat baki berisi teh yang dia bawa untuk tamu mereka..“Benar juga, apalagi sekarang marak sekali hal-hal yang menakutkan untuk anak gadis.” Kali ini Ida menambahkan.“Ya, karena itulah, daripada Yasmin pulang sendiri ke kota, lebih baik dia ikut aku saja, lagian aku juga bawa kendaraan. Sekalian
“Mbak Lisa, aku mau ambil bajuku yang kamu pinjam semalam!” Yasmin berkata dengan angkuh sambil menengadahkan tangannya pada Lisa.Lisa hanya menarik napas dalam, dia masih berusaha untuk menahan dirinya. Kemudian, dia mengambil kebaya dan juga kain yang dipakainya semalam, lalu dia menyerahkan pada Yasmin.Namun, saat barang itu diberikan pada Yasmin, wanita itu malah menciumnya dan membentangkannya ke udara. “Mana uang untuk laundrynya? Aku akan membawa gaun ini ke laundry di kota!”Lisa terperangah mendengarnya. “Laundry?” ulangnya.“Ya tentu saja uang laundry-nya! Seharusnya aku minta uang sewa, cuma aku masih berbaik hati. Baju ini kalau dicuci biasa gak bagus nantinya!” Lisa berkata dengan nada ketus. Bukankah itu hanya baju lama yang tidak pernah lagi dipakainya? Lagipula, mau kapan Yasmin memakai pakaian itu lagi? Karena ukurannya sudah pasti kekecilan.“Itu, biar Mbak saja yang cuci lagipula kamu tidak akan memakainya lagi, kan?” Lisa berkata datar.“Apa Mbak bilang?! Dengar,
“Mbak bajuku apa sudah disetrika?” Yasmin menghampiri Lisa yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga ini.Lisa tersenyum dan mengangguk. “Sudah, tunggu sebentar, ya.” Dia lalu mengambilkan baju yang dimaksud oleh Yasmin dan menyerahkannya. Yasmin mengamati hasil seterika dari Lisa dan kembali berkomentar, “Mbak, ini kenapa masih sedikit kusut? Kalo dipake, bagian ini keliatan banget gak rapinya.”Lisa hanya menghela napas sejenak mendengar celotehan itu.“Mbak rapiin lagi ini, nanti kalo sudah anterin ke kamar, aku mau beres-beres barang.” Yasmin meninggalkan Lisa dan melemparkan bajunya ke wajah Lisa.Paham, Lisa sangat tahu persis kalau ini pasti akan terjadi. Kembali diperhatikannya baju itu, tidak nampak seperti yang dikatakan oleh Yasmin. Adik tirinya itu memang sengaja ingin membuatnya tersiksa saja, karena itu dia berbuat demikian. Sebenarnya beberapa kali Lisa mencoba untuk berontak, tetapi saat mencoba melakukan hal itu, dia kembali berpikir bahwa percuma saja, karena sa
Lisa tertegun sejenak, dia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh Ibu dan adik tirinya itu. Hanya saja selama ini dia masih diam dan tidak melawan untuk mengurangi percekcokan yang terjadi di rumah ini.Ayah dan ibunya juga kerap kali bertentangan pendapat yang ujung-ujungnya Duha akan mengalah, karena dia merasa bahwa dia sudah gagal menjadi kepala rumah tangga yang tidak bisa membuat keluarganya bahagia.Ah … andai saja ayahnya saat itu tidak ditipu, pasti keluarga mereka akan baik-baik saja saat ini. Pikiran Lisa melayang ke saat itu, karena sejak ayahnya jatuh, mereka terpaksa kembali ke kampung dan bertahan hidup dengan sangat sederhana, sangat berbalik dari kehidupan sebelumnya.“Lisa, ayah mau bicara padamu,” panggil ayahnya setelah Lisa membereskan rumahnya.“Ada apa, Ayah?” tanya Lisa pada Duha, lalu sang ayah memberikan isyarat agar anaknya duduk di sebelahnya.“Lisa, Ayah tahu kamu tidak melakukannya,” ucapnya dengan nada penuh sesal.Lisa terdiam, lalu … kenapa ayah
“Mas Gandha, apa kamu paham apa yang aku katakan?” Lisa kembali mengulang tanya untuk memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi jika suaminya bisa diajak bicara dengan normal.“Aku … aku hanya ingat namaku, aku juga ingat kalau aku belum menikah,” ucap Gandha, “tapi selebihnya, aku tidak bisa mengingat apapun, kecuali ….” Tiba-tiba Gandha menghentikan ucapannya, dia memegang kepalanya dan memejamkan mata, sekarang ekspresi wajahnya menampakkan kalau saat ini dia sedang kesakitan.“Ah … aku … aku tidak bisa mengingat apapun,” ucapnya dengan suara yang serak, matanya masih terpejam.“Sudah, Mas, cukup, tidak perlu memaksakan diri.” Lisa menenangkan suaminya, lalu kemudian dia berjalan ke arah meja, dimana di atasnya terdapat segelas air minum.“Minum dulu, tenangkan dirimu,” ucap Lisa dengan nada khawatir.Gandha melakukannya dengan bantuan Lisa.“Bagaimana rasanya? Apa sudah lebih baik?” tanya Lisa lagi.Dia mengangguk dan memberikan gelas itu pada Lisa. “Terima kasih.”“Mas, aku juga
“Bagaimana saksi, apa ini sah?”“Sah!” Beberapa orang menjawab dengan lantang. “Alhamdulillah,” ucap yang hadir di sana. Kini, Lisa benar-benar sudah resmi menjadi seorang wanita bersuami.Doa dipanjatkan setelah ijab kabul terdengar. Namun, Lisa masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri, rasanya dia tidak percaya dengan banyak hal yang baru saja terjadi.Tentang kehidupannya yang akan datang bahkan tentang suaminya sendiri.Setelah doa selesai, seperti biasanya pengantin biasanya akan melakukan prosesi cium tangan suami. Kalau selama ini Lisa hanya melihatnya saat menghadiri acara sakral teman-temannya, kali ini dia adalah pengantinnya.Berat rasanya untuk melakukan hal ini, apalagi dengan orang yang tidak dicintainya, bahkan dengan pria asing yang dia tidak kenal sama sekali. Keringat keluar dari telapak tangannya, tatkala pria itu memberikan tangannya di depan Lisa.Bekas goresan luka yang cukup dalam masih terlihat jelas di punggung tangan suaminya itu, hal ini membuat Lisa men
Entahlah, tapi yang jelas sekarang ini pikiran Lisa, benar-benar berkecamuk hebat. Kemudian dia tiba-tiba terpikir hal lain. Selain dia bisa mengucapkan namanya dengan jelas tadi, kebiasaan pria ini selama ini hanya bisa menjerit-jerit dengan nada pilu dan tidak bisa mengatakan kalimat lain dan kalimat apa pun selain minta tolong. Lalu, pandangannya hanya lurus ke depan dengan tatapan kosong seperti bukan orang yang waras.Tiba-tiba saja, dorongan dari dalam dirinya yang kuat ini akhirnya membuat Lisa diam-diam berdoa dalam hati, agar pria asing ini tidak mampu mengucapkan kalimat sakral itu di hadapan orang ramai.Namun, lantunan doa dalam hatinya itu terganggu, tatkala suara-suara lain kembali tertangkap di telinganya.“Nah, si Lisa akhirnya nikah juga!” Celetuk salah satu tetangga mereka yang dikenal Lisa sangat akrab dengan ibu tirinya ini.“Ya gak masalah juga sih nikah dengan pria ini, yang penting kan laku,” sahut yang lain dengan santai.Lisa hanya bisa diam dan menundukkan ke
Lisa diseret masuk ke kamar Yasmin, adik tirinya itu oleh sang Ibu dengan hentakan keras dan kasar. Lalu, mendorong tubuhnya hingga membuatnya jatuh tersungkur di lantai.“Ah!” tanpa sadar Lisa menjerit.“Jangan sok-sok-an tersakiti kamu! Dasar memalukan sekali kamu! Bilang saja kalau kamu kebelet mau kawin, kan?!” ucapan itu terdengar sinis di telinga Lisa.Namun, Lisa yang sudah terbiasa diperlakukan buruk oleh ibunya ini, hanya bisa diam.“Itu!” tunjuknya ke arah pakaian yang ada di atas tempat tidur pada Lisa, “pinjam itu saja dari Yasmin untuk kamu pakai.” Yasmin sang adik tiri berjalan mendekati Lisa yang mencoba untuk berdiri. “Aku hanya bisa meminjamkan baju itu padamu, Mbak, karena badanmu yang kecil itu aku hanya punya baju itu yang layak.” Yasmin berkata dengan santai.Lisa masih diam, dia lalu mengambil pakaian itu, sebuah kebaya model lama berwarna krem, lalu kain batik tulis yang ‘bau lemari’ sangat menempel, baju ini memang cukup sederhana dan pas di badannya.“Ini ala