Share

Bab 7

Penulis: Aurin99
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.

Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.

“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”

“Cira!” Sergah Eza.

“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”

“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.

Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.

“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”

“Cira stop!!” Bentak Eza.

Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.

Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memerah juga bibir bergetar seperti hendak menangis.

“Tidak ada yang bisa membuat Zia berhenti, atau pun menahan mbak Ratih untuk pulang. Ini aturan papi, mbak Ratih harus pulang dan sudah ada penggantinya yaitu, Zia. Jangan membuat semuanya menjadi sangat rumit Cira Natasha Mulya, … papi tegaskan sekali lagi suka tidak suka, mau tidak mau Zia akan tetap bertugas menggantikan mbak Ratih!” Eza menegaskan.

Wajah Cira semakin merah, kemudian air matanya menetes begitu saja terjatuh membasahi pipi. Namun, tidak ada suara sedikitpun yang keluar dari gadis kecil itu.

Melihatnya tentu saja membuat Eza merasa sangat menyesal. Dia memejamkan mata, kemudian mengatur nafasnya beberapa kali.

“Jangan terus berulah, Cira! Papi ini lelah kerja, jangan buat masalah terus. Mencari orang yang mau kerja itu sulit,” kini Eza berbicara pelan.

“I’m sorry papi!” Katanya sambil mengusap kedua pipinya yang basah.

“Lagi pula mbak Ratih sudah papi izinkan pulang. Sekarang cobalah untuk menerima orang baru, jangan terus berulah sampai para pekerja tidak betah,” Eza berbicara dengan suara lembut, menatap putrinya dengan penuh permohonan.

Cira mengangguk.

“Sudah berapa kali mbak Ratih gagal pulang hanya karena ulahmu? Apa tidak kasihan? Mbak Ratih juga rindu keluarganya,” Eza menjelaskan lebih dalam lagi, dengan harapan Cira akan semakin paham.

“Cira minta maaf, papi.”

“Baik, kemarilah!” 

Eza membuka kedua tangannya selebar mungkin saat Cira beringsut mendekat, lalu mereka berdua saling berpelukan.

“Maafkan papa ya?”

Cira mengangguk lagi.

“Mulai besok mulailah menurut kepada Zia, sebagaimana kamu menuruti apa kata papi dan mbak Ratih.”

“Oke papi.”

“Jangan pernah membuat para pekerja tidak betah, kalau mereka tidak mau bekerja lagi di rumah kita, memangnya siapa yang mau menjaga Cira? Papi kan sangat sibuk.”

Eza mengusap-usap bagian belakang kepala Cira.

“Nanti juga akan datang asisten baru, jangan Cira kerjain yah? Papi bosan gonta-ganti asisten terus.”

Gadis yang saat ini ada di dalam pelukannya pun mengangguk pelan.

Sementara di balik pintu kamar, Zia hanya mendengarkan. Dia yang sudah membawa pisang panggang keju permintaan gadis kecil itu pun memilih untuk diam dan membiarkannya lebih dulu.

Zia menatap piring tersebut, ke arah pintu kamar lalu pada tangga. 

‘Turun aja dulu, nanti kalau pak Eza sudah keluar balik lagi.’

‘Ih jangan, bolak-balik naik tangga capek tau!’

‘Terus disini mau ngapain? Gimana kalau pak Eza nyangka aku dengerin obrolan mereka.’

Suara di dalam kepalanya terus berdebar, dan ketika Zia berbalik arah untuk pergi. Pintu yang tadinya sedikit tertutup mulai terbuka, dan berdirilah Eza disana.

“Zia?”

‘Nah kan, ketahuan!’

Zia yang tadinya hendak pergi segera memutar tubuh, kemudian tersenyum saat pandangan keduanya bertemu.

“Ini pak, tadi Cira minta pisang panggang,” katanya sambil menunjukan sesuatu di piring yang Zia bawa.

Eza langsung mengangguk.

“Masuklah!” 

Setelah mengatakan itu Eza berlalu pergi, berjalan cepat menuruni tangga seraya memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Tok tok!!

“Cira? Zia boleh masuk?” Dia sambil mendorong pintu itu hingga terbuka lebar.

Tidak ada jawaban, gadis itu tampak duduk di tepi ranjang sambil mengarahkan pandangan pada dirinya. 

Seperti biasa, Cira diam dengan raut wajah tidak suka.

Zia berjalan mendekat sambil tersenyum, meletakan piring berisikan pisang panggang itu, kemudian menarik kursi kehadapan Cira dan duduk.

“Mau di suapin atau makan sendiri?” 

Cira menatapnya, lelu mendelik.

“Ya sudah, Zia suapin yah mumpung masih hanget.”

Zia meraih piring itu kembali, dan ketika hendak memotong pisang panggang dengan sendok, Cira langsung merebutnya dengan kasar.

“Aku udah gede!”

Zia mengulum senyum.

“Iya, Cira lebih besar dari anaknya Zia. Cira sudah masuk sekolah dasar, … kalau Viona baru masuk TK. Seharusnya tahun ini lulus,” Zia bercerita sambil memperhatikan Cira yang mulai melahap pisang panggangan yang ditaburi keju.

“Terus kenapa tidak naik kelas? Pasti malas belajar, kan?”

Zira tersenyum mendengar itu.

“Makanya jangan malas, kaya aku dong. Dari sekolah TK langsung naik kelas satu SD,” Cira terlihat bangga.

“Iya, makanya Cira jangan sulit makan. Jangan makan sembarangan juga agar selalu sehat. Besok biar lebih aman Zia buatkan bekal ya?”

Cira tidak menanggapi, dia kini hanya fokus menyantap makanan miliknya sampai benar-benar habis tanpa tersisa.

“Nih!” Dia memberikan piring yang sudah kosong itu kepada Zia.

Lalu Cira menoleh ke arah nakas, dan kembali menatap Zia.

“Minumnya mana?” Tanya Cira dengan ketus.

Sazia tersenyum.

“Zia ambil dulu,” perempuan itu segera bangkit.

“Tuh kan! Apa-apa lupa … apa-apa tidak tahu … ih ngeselin deh,” Cira bersungut-sungut.

Zia beralih keluar dari kamar, kemudian menuruni tangga rumah itu dengan tergesa-gesa.

“Ada apa mbak?” 

Ida yang sudah kembali pun langsung bertanya saat melihat Zia membawa gelas di dalam laci dengan terburu-buru.

“Saya lupa bawa minum,” tutur Zia seraya menekan salah satu tombol dispenser sampai benda itu dapat mengalirkan air.

“Mbak butuh bantuan apa?” 

Asisten baru yang dibawa Ida segera mendekat.

“Tidak perlu mbak Julpa, … Cira hanya mau minum dan tadi saya lupa membawanya!”

“Pasti ngomel ya?” Tebat Ida, yang langsung Zia jawab dengan anggukan.

“Ish harusnya dimasukin asrama anak kaya gitu, susah banget di didik!” Ida tampak kesal.

Tanpa banyak bicara Zia kembali berlalu dari area dapur, meninggalkan Julpa dan Ida yang terdiam menatap kerusuhannya.

“Memangnya non Cira suka ngomel, teh?” Julpa menatap kakak sepupunya.

Ida menatap Julpa tanpa menjawab apapun.

“Bapak galak nggak?” 

“Bapak baik, cuma tegas aja. Kalau non Ciraaa … kamu nilai sendiri deh nanti kelakuannya kaya gimana!” Ujar Ida.

Ida kembali berdiri di hadapan meja kompor, menatap air yang hampir mendidih di dalam panci berukuran kecil.

“Kamu yang antar yah keruangan bapak!” 

Wanita itu mematikan kompor, kemudian menuangkan air mendidih di dalam panci tadi pada cangkir, dimana di dalamnya sudah terisi serbu kopi hitam tanpa gula.

Satu nampan Ida keluarkan, kemudian meletakan cangkir kopinya di sana. Tak lupa dengan piring kecil, sendok dan juga gula jagung kemasan sachet.

“Cepetan, bapak sudah nungguin kopinya!”

Julpa mengangguk, kemudian meraih nampan itu dan membawanya pergi.

Bab terkait

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 8

    Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 1

    Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 2

    Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 3

    Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 4

    Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 5

    Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 6

    Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu

Bab terbaru

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 8

    Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 7

    “Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 6

    Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 5

    Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 4

    Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 3

    Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 2

    Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 1

    Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D

DMCA.com Protection Status