Share

Bab 4

Penulis: Aurin99
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.

“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.

Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;

‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ 

Batinnya berbicara.

‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’

Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.

“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.

Dia berjalan di depan, sementara Zia dan seorang supir mengikutinya dengan langkah pelan.

Lagi-lagi pandangan Zia tertarik untuk melihat-lihat keadaan sekitar. Bangunan besar yang di dominasi oleh warna putih dan hitam, tiang-tiang menjulang tinggi, taman dilapisi rerumputan hijau dengan berbagai ukuran pohon bonsai yang sangat indah. Belum lagi lampu-lampu taman yang menyala di setiap titik, membuat suasananya sungguh sangat berbeda.

Lalu dia beralih saat kakinya menapak pada marmer hitam mengkilat di hadapannya, dimanap terdapat pintu yang sangat tinggi dan besar.

Dan pintu itu terbuka lebar ketika wanita di hadapannya mendorong perlahan-lahan.

“Mbak Zia?” Panggilnya.

“Silahkan, barang bawaannya nanti saya bawakan,” ucap supir yang menjemputnya tadi.

Dia menepi dan membiarkan Zia masuk, sementara pria dengan pakaian serba hitam itu kembali memutar tubuh dan pergi saat mereka sudah masuk ke dalam rumah.

Ruangan yang sangat-sangat luas, lampu besar menggantung di langit-langit dengan segala macam kemewahan yang baru pertama kali Zia lihat.

Suasana terasa sangat hening, sampai suara kaku saat mereka melangkah dapat didengar jelas.

Zia terus melangkahkan kaki, mengikuti wanita di hadapannya yang berjalan semakin ke dalam. Dan tibalah Zia di salah satu ruangan yang terletak berdampingan dengan dapur. 

Suasana rumah besar itu benar-benar sunyi, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya yang membuat Zia terheran-heran.

“Ini kamar saya, yang sebentar lagi akan menjadi kamar mbak Zia.” 

Zia menatap wanita itu, kemudian mengangguk.

“Mbak, Ratih. Maaf saya mau tanya, disini saya kerja sendiri?” 

“Ada satu orang lagi, mbak. Cuma sedang ada kepentingan keluarga. Namanya mbak Ida, dia mungkin akan kembali dua atau tiga hari lagi.”

Zia diam dengan pikirannya sendiri. Sudah dapat dia bayangkan bagaimana lelahnya mengurus rumah sebesar ini, tapi dirinya tak mempunyai pilihan lain.

‘Daripada jadi pengangguran!’ Pikir Zia.

Hidup sendiri setelah kepergian putrinya, di campakan mertua dan suami. Lalu apakah Zia harus tetap bersama Ayu? Sementara gadis itu juga hanya seorang karyawan toko dengan gaji pas-pasan.

Apakah dirinya tega jika harus berbagi beban hidup yang sangat berat ini kepada adiknya? Tentu saja tidak.

“Nanti tasnya pak Salman bawain kesini, mbak Zia istirahat saja. Kerjanya mulai besok!” Wanita bernama Ratih itu menjelaskan.

Zia mendudukan diri di tepi ranjang tidur, dia menatap sebuah tas yang sudah tertumpuk rapih, lalu kembali pada Ratih.

“Kenapa berhenti mbak?” Zia menatap Ratih lekat-lekat.

Ratih tersenyum.

“Saya sudah tua, sudah waktunya menghabiskan waktu bersama anak-anak.”

Zia mengangguk, kemudian keadaan hening untuk beberapa menit saat dua wanita berbeda usia itu saling diam.

“Cuma berdua, mbak?” Zia kembali bersuara.

“Awalnya banyak, cuma nggak pada betah.”

Mendengar itu Zia kembali berpikir, apa yang terjadi sehingga para art yang lain tak dapat bertahan lama.

“Kenapa mbak? Majikannya galak ya?” Katanya menerka-nerka.

Ratih menggelengkan kepala, tersenyum sambil mendudukan diri di samping Zia.

“Bukan galak sih, lebih ke apa ya saya bilangnya. Bapak cuma marah kalau kita bikin kesalahan! Yang agak jail itu anaknya, mbak. Asisten disini pada dikerjain terus, tapi mudah-mudahan sama mbak Zia nurut ya?”

“Umurnya berapa tahun, mbak Ratih? Sudah besar?” 

Ratih tidak langsung menjawab, saat melihat Salman masuk dan membawakan sebuah tas berukuran sedang milik Zia, yang pria itu segera letakan di samping pintu.

“Ini tasnya ya mbak, selamat beristirahat.”

“Terima kasih pak Salman,” ucap Ratih.

“Iya mbak, sama-sama.”

“Makasih ya pak!” Zia sambil tersenyum.

“Iya, mbak. Saya pergi yah!”

Wanita-wanita itu menatap kepergian Salman, kemudian saling menoleh dan menatap satu sama lain.

“Cira baru masuk Sd. Ya mungkin art yang lain mikir kelakuannya tidak bisa di tolerir. Tapi menurut saya, apa yang Cira lakukan hanya sebagai bentuk untuk mencari perhatian lebih dari orang lain, maklum mbak. Maminya meninggal sejak Cira masih bayi!” Ratin menjelaskan.

Degg!!

Tiba-tiba Zia teringat kepada mendiang Putri semata wayangnya. Senyuman gadis kecil itu masih terlihat jelas di dalam ingatan, panggilan manja dari Vio juga masih dapat Zia dengar dengan jelas. 

Lalu apakah Zia juga akan merasa kesepian setelah ini? Dia ditinggalkan anak dan dicampakkan oleh suaminya sendiri. Bahkan pergi pun Robi tak pernah datang mencarinya.

“Mbak usia berapa?” Tanya Ratih.

“Saya baru dua lima, mbak!”

“Oalah, masih sangat muda ternyata. Sudah menikah?”

Zia bungkam, menatap Ratih dengan bola mata bergerak-gerak.

“Tidak apa-apa mbak, kalau sudah jodoh nanti datang sendiri. Sekarang nikmati masa muda saja dulu, menikah tidak segampang yang di pikirkan, apalagi kalau urusan ekonomi.”

“Saya sudah menikah mbak Ratih. Dulu saya kira nikah muda itu gampang, ternyata sangat sulit apalagi kalau ujiannya soal uang.”

Wanita itu sontak mengatupkan mulut, raut wajah tak percaya jelas terlihat, lalu suara tawanya terdengar.

“Astaga, saya kira masih lajang.”

Zia menggelengkan kepala.

“Sebulan lalu anak saya meninggal, … sementara hubungan saya dan ayahnya sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi kita juga memburuk, saya terlilit hutang!”

Mendengar itu Ratih tak bereaksi apapun. Namun, sorot matanya menunjukan keterkejutan.

“Ya ampun, turut berduka cita. Kuat ya mbak, kita harus tetap bertahan apapun masalahnya.”

Zia menundukan pandangan, kemudian mengusap sudut mata.

“Ah tidak seharusnya saya berbicara seperti ini, rasanya aneh sekali,” Zia terkekeh.

Namun, perempuan itu mengusap pelupuk matanya lagi dan lagi.

“Saya pernah ada di posisi mbak, … saya tahu rasanya bagaimana. Sakit, kecewa dan hancur sudah pasti! Akan tetapi kita harus tetap bertahan. Sebaiknya kita istirahat sekarang, besok pagi kita harus bekerja!”

“Mbak Ratih nggak pulang?”

“Saya baru diizinkan pulang setelah mbak Zia tahu apa yang harus mbak Zia kerjakan. Itu sudah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah apalagi di ganggu gugat,” ujar Ratih.

Zia mengangguk, dia mulai naik ke atas tempat tidur dan membaringkan dirinya disana. 

Seperti biasa, saat malam menyapa kerinduannya terhadap Viona semakin membuncah. Bohong jika Zia tak ingin menangis, tapi perempuan itu jelas sudah memutuskan. Jika hidup tak berhenti hanya karena Viona pergi, justru dia harus kuat agar putrinya dapat tenang di alam sana.

Sejumlah uang berobat yang dihitung menjadi hutang, jelas akan memberatkan Viona. Dan itu cukup, sehingga Zia harus fokus mengumpulkan rupiah agar dapat segera melunasinya dengan segera.

‘Mama pasti melunasi uang yang kita pakai, … secepatnya. Mama janji!’ Zia membatin, dengan kelopak mata yang perlahan terpejam.

Bab terkait

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 5

    Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 6

    Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 7

    “Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 8

    Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 1

    Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 2

    Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 3

    Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s

Bab terbaru

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 8

    Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 7

    “Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 6

    Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 5

    Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 4

    Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 3

    Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 2

    Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la

  • Menikah Dengan Majikan    Bab 1

    Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D

DMCA.com Protection Status