Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.
Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.
“Kalian lagi ngapain!?”
Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.
“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.
Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.
“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.
Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.
“Ibu, jangan itu uang Vio!”
“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini lah,” katanya.
Deg!!
Dadanya terasa dihantam godam yang sangat besar, sampai menimbulkan rasa sesak yang sangat luar biasa.
“Jangan, Zia mohon jangan. Zia pasti bayar jika itu memang yang ibu mau! Tapi nggak sekarang, Zia minta waktu.”
Dwi melirik sekilas, tak ada ekspresi sedih sedikitpun. Bahkan sorot mata tajam penuh kebencian terus Zia dapatkan dari ipar dan juga mertuanya.
“Drama banget jadi manusia,” bisik Dwi.
“Mas?” Pandangan Zia menengadah, menatap wajah suaminya dengan raut wajah memohon.
“Itu uang Vio, mas. Jangan di ambil!” Dia kembali menangis.
Dengan derasnya air mata berjatuhan. Belum bisa Zia mengendalikan rasa rindu yang luar biasa terhadap putrinya. Kini dia di hadapkan dengan satu masalah, dimana Zia harus berurusan dengan sang ibu mertua.
Yang Zia kenal sebagai sosok keras kepala, dan tak pernah mau kalah.
“Nggak ada cara lain, hanya uang ini yang bisa kita pakai dulu!” Ujar Robi dengan santai.
Kepergian Viona seperti tak memberikan dampak apa-apa bagi pria itu. Bahkan sejak saat Viona menghembuskan nafas terakhir Robi tak terlihat menangisinya sedikitpun.
“Itu tanggung jawab kamu, harusnya kamu yang berusaha mas. Bukan begini caranya!”
“Diam. Diam!” Robi membentak saat Zia terus memberontak dan berusaha mencapai apa yang dia inginkan.
“Sudah cukup, kamu selalu menumpahkan semua tanggung jawab kepadaku,” dia memegangi kedua pundak Zia, lalu mengguncangnya.
“Kamu pikir aku ini siapa? Setiap Minggu aku berusaha mencarikan uang pinjaman agar kau bisa pergi. Setiap bulan gajiku habis untuk menutup segala keperluan dan hutang yang kau buat di warung-warung sembako. Kalau tidak pinjol kita mau bagaimana? Keluargaku bukan orang kaya, Zia!”
Akhirnya Zia berhenti, dia tak lagi memberontak hanya untuk melepaskan diri dari hadangan suaminya. Kini perempuan itu diam, menangis dan menatap kegiatan yang dilakukan oleh mertua juga iparnya yang masih terus mengumpulkan uang takziah.
“Ini bukan hanya tanggung jawabku, Zia. Tapi kau juga!” Ucap Robi dengan suara rendah
Lalu setelah itu dia kembali duduk di sofa, dan membuka amplop yang masih tersisa.
Zia menatap lekat-lekat suaminya, pria baik yang kini sudah banyak berubah. Sikap penyayang nya seolah pudar, tergantikan dengan sikap acuh dan temperamen setelah ekonomi mereka memburuk.
Dan itu terjadi setelah Viona mengidap penyakit yang mengharuskannya melakukan cuci darah secara rutin.
Malam itu Zia lewati dengan tangisan tanpa henti. Rasa rindu, kecewa dan marah beradu padu menjadi satu. Namun, tak ada yang bisa lakukan selain diam, karena melawan pun hanya akan sia-sia saja.
Dia kembali masuk ke dalam kamar setelah menyaksikan kejadian yang paling menyedihkan di dalam hidupnya. Pria yang seharusnya menjadi sandaran tempat berkeluh kesah, berbagi sedih dan senang kini sudah jauh berubah. Membuat Zia harus memeluk dirinya sendiri agar mampu melewati ujian hidup yang sedang menghampirinya secara bertubi-tubi.
***
Beberapa hari berlalu.
Rumah yang Zia tinggali terasa sangatlah sunyi. Namun, bendera kuning masih terus berkibar di tiang-tiang rumahnya yang tampak seperti tidak ada kehidupan. Apalagi pintu, jendela dan gorden yang terus tertutup, membuat beberapa orang bertanya-tanya dengan keadaan pemilik di dalamnya.
Suasana temaram terlihat di dalam satu ruangan, hanya terlihat sedikit cahaya yang masuk melalui celah ventilasi udara. Sementara Zia, perempuan itu berbaring meringkuk di atas tempat tidur dengan batin yang terguncang, apalagi setelah ia dan Robi bertengkar hebat saat pria itu berniat kembali mengajukan pinjaman ilegal dengan menggunakan identitas milik Zia.
Zia mampu melewati segala macam masalah. Konflik dengan mertua, gesekan emosi dengan iparnya, lalu menghadapi sikap Robi yang mulai berubah, dia kuat akan hal itu. Namun, kepergian Viona merenggut separuh dunianya, sehingga perempuan itu tak lagi memiliki semangat untuk hidup.
Suara ketukan dari arah luar, bersahutan dengan suara seorang perempuan yang terus memanggil-manggil sang empunya rumah.
“Mbak?”
Tentu saja Zia mendengarnya, tapi kali ini tak ada gairah untuk bangkit dan menyambut kedatangan yang ia yakini sebagai adiknya, hingga Zia hanya terus diam dan membiarkannya saja.
“Lah, nggak dikunci?” Suara Ayu terdengar.
“Ini rumah udah berapa hari nggak di buka? Berantakan banget kaya rumah kosong!” Katanya lagi sedikit terdengar panik.
Zia mendengar suara langkah kaki semakin mendekat, dan tanpa ada panggilan atau ketikan Ayu langsung menekan knop pintu sambil menerobos masuk.
“Mbak!” Pandangan antara adik dan kakak kandung itu saling bertemu.
Ruangan memang temaram, tapi Ayu dapat melihat keadaan kakaknya yang tidak baik-baik saja.
“Aku udah feeling mbak di dalam?” Ayu melangkahkan kaki untuk mendekat, kemudian duduk di tepi ranjang.
“Kamu datang?” Suara Zia terdengar lirih.
Perempuan itu bangkit perlahan dengan sisa tenaga yang dia miliki. Lalu merangkul pundak Ayu dan memeluknya cukup erat.
“Ya ampun, rumah tangga macam apa ini?” Ucap Ayu sambil menepuk-nepuk punggung kakaknya.
Dia tahu keadaan rumah tangga Zia yang tidak baik, didukung sikap keluarga Robi yang juga buruk. Akan tetapi, semuanya seolah memuncak sekarang setelah kepergian Viona.
Tak lagi ada tangisan, Zia merasakan air matanya sudah habis dan benar-benar kering. Kini hanya tersisa rasa sedih dan sesak, akan tetap dia tak mampu untuk menangis.
“Kemana mas Robi?”
Zia tidak menjawab.
“Rumah berantakan, sisa amplop berserakan dimana-mana. Ada apa mbak?” Tanya Ayu lagi sambil mengusap-usap punggung kakaknya.
Zia masih tidak mau menjawab.
“Mbak sudah makan?”
Zia merespon dengan gelengan kepala.
Ayu menghela nafasnya cukup kencang, kemudian memegangi pundak Zia dan mendorongnya perlahan sampai mereka dapat kembali saling menatap.
“Ayu tahu pasti sudah terjadi sesuatu. Tapi sekarang Ayu tidak mau bertanya banyak hal, … sebaiknya kita makan lebih dulu. Mbak Zia harus tetap waras agar bisa tetap melanjutkan hidup,” katanya.
“Di dunia ini aku cuma punya mbak. Kalau mbak nggak bisa bertahan terus aku sama siapa? Hancurnya aku, akan seperti hancurnya mbak di tinggal Vio, jadi ayo saling menguatkan untuk tetap bertahan. Hidup tidak pernah bisa sempurna, apalagi berpihak kepada kita.”
Mata Zia mulai memerah dan berkaca-kaca.
“Kalau mbak sudah tidak diharapkan lagi sama keluarga suami mbak, … aku bantu berkemas. Ayo tinggal di kosan aku. Kecil memang, tapi setidaknya disana mbak bisa lebih nyaman.”
“Mungkin mas Robi cuma butuh waktu sendiri, Yu!”
“Dengan membiarkan mbak seperti ini? Sudah jangan terus membenarkan yang salah. Jika mbak berharga bagi mereka, setidaknya salah satu ada yang tetap disini untuk menemani. Lalu kemana ibu mertua mbak? Atau adiknya mas Robi? Mereka sudah benar-benar tidak peduli. Bahkan sejak awal pernikahan bukan?”
Ingatan Zia tertarik ke belakang, dan semuanya terlihat jelas seperti sebuah video yang sedang diputar. Dan ya, Julia memang tidak pernah merestui pernikahan mereka. Keberadaan Viona pun tidak merubah perasaan mereka terhadapnya.
“Mana tasnya? Ayu bantu.”
“Mbak saja, Yu. Mbak cuma mau bawa baju beberapa saja, mungkin satu boneka Vio untuk obat kalau mbak sedang sangat merindukan dia.”
Zia bangkit dari pembaringannya, kemudian membuka lemari dan mengeluarkan sebuah tas berukuran sedang.
Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s
Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara
Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge
Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu
“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera
Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem
Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D
Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem
“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera
Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu
Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge
Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara
Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s
Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la
Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D