Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus.
Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi.
Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.
Tak tak tak …
Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.
“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.
Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.
“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.
Pasalnya wanita itu pun terlihat tergesa-gesa, seperti tengah ada dalam tekanan. Dan ya, pengalaman pertama menjadi seorang asisten rumah tangga membuat Zia sedikit was-was.
“Dipanggil bapak, cepet!” bisik Ratih.
‘Duh, ada apa ya?’
Ratih langsung menggenggam pergelangan tangan Zia, kemudian menariknya ke arah dalam sambil berlari hingga membuat langkah perempuan itu terseok-seok saat berusaha menyeimbangkan diri.
Zia merasakan gugup yang luar biasa. Apalagi saat mereka sampai di dalam satu ruangan yang sangat luas, dengan meja makan yang besar. Duduklah seorang pria dengan kisaran usia 35 tahun, sudah berpakaian rapi. Kemudian di kursi sampingnya terlihat seorang gadis cantik dengan rambut panjang terurai, memakai seragam sekolah.
‘Vio!’ Hatinya menjerit, tiba-tiba Zia mengingat putrinya.
“Pak, ini asisten yang akan menggantikan saya. Namanya mbak Zia,” ujar Ratih.
Pria yang sedang mengoleskan selai pada permukaan selembar roti melirik sekilas, kemudian meletakkannya di piring yang sudah tersedia di hadapan putrinya tanpa bersuara sedikitpun.
“Thank you papa!” Ucap Cira lembut dengan senyuman manis.
Pria itu membalas senyuman putrinya, dan mengangguk.
Lalu Ratih menyenggol lengan Zia.
“S-selamat pagi pak, perkenalkan nama saya Sazia!” Perempuan itu tersenyum canggung. “Biasa di panggil Zia, pak!” Lanjut perempuan itu.
Masih tidak ada respon, baik dari tutur kata ataupun ucapan basa-basi. Wajahnya datar, sikapnya cukup dingin, dan dengan tatapan tajam apalagi saat melirik perlahan ke arah Zia.
Zia menoleh ke arah Ratih, dia meminta wanita itu untuk menyelamatkannya dari situasi yang cukup rumit untuk dijelaskan.
“Saya belum bertanya,” pria itu berujar dengan suara yang terdengar rendah.
Tidak ada sedikitpun senyuman ramah, yang mendominasi hanya ekspresi wajah datar dan tatapan yang sangat dingin.
“Hhheuh!” Pria itu menghela nafas, seraya merapatkan punggung pada sandaran kursi kayu di belakangnya.
Dia menatap Zia tajam.
“Siapa namanya tadi?” Pria itu bertanya kepada Ratih.
“Mbak Sazia, pak!” Kata Ratih.
Zia diam tak bersuara, lagi-lagi dia tampak tersenyum canggung.
Pandangannya yang awalnya terarah pada Ratih, perlahan beralih menatap Zia yang seketika membuat nyalinya kembali menciut.
“Usia?” Tanyanya singkat.
“Dua puluh lima tahun pak,” Zia menjawab.
“Dia sudah tahu saya siapa Ratih?”
Ratih sedikit memperlihatkan senyum, kemudian menggelengkan kepala.
“Mbak Zia, ini pak Mulya Syahreza. Di rumah ini hanya perintah dan izin pak Eza yang dituruti, … selebihnya jangan didengar termasuk permintaan dari non Cira sekalipun,” jelas Ratih yang langsung dijawab Zia oleh anggukan kepala.
Merasa namanya di sebut, gadis itu lantas menoleh dan mengarahkan pandangan pada Ratih dengan tatapan tajam. Hal yang sama juga terjadi pada Zia, Cira menatap beberapa detik dan mendelikan mata setelahnya.
“Apa saja yang tidak boleh dilakukan, Ratih!” Tegas Eza.
“Non Cira tidak boleh terlalu banyak makan permen, coklat dan makanan-makanan ringan seperti; keripik dan ciki-cikian. Semuanya harus benar-benar diperhatikan, seperti makan buah yang teratur dan terjadwal. Tidur non Cira juga tidak boleh terlalu larut,” jelas Ratih.
Eza mengangguk-anggukan kepala.
“Lalu apa yang harus benar-benar diperhatikan?” Eza terus meminta wanita itu untuk menjelaskan.
Ratih dan Zia saling menatap satu sama lain.
‘Ini aneh, kenapa banyak sekali aturan? Bukannya aku kerja jadi asisten rumah tangga ya? Kok yang dijelaskan semuanya tentang Cira?’ Zia membatin.
“Non Cira tidak boleh makan seafood. Maka dari itu semuanya harus benar-benar diperiksa dengan teliti, terutama saat makan di luar, usahakan non Cira tidak memakan olahan laut. Benar-benar tidak boleh!”
Zia menggaruk tengkuknya yang tak terasa gatal.
“Eeee, … begini. Maaf sebelumnya mbak Ratih, bukannya saya kerja sebagai art? Tapi yang dijelaskan kenapa semuanya tentang non Cira? Kerjaan yang lain bagaimana?” Ragu-ragu Zia bertanya.
Ratih diam, wanita itu beralih menatap ke arah Eza seolah meminta pria itu untuk menjelaskan.
“Urusan rumah sudah ada Ida, kebetulan dia akan membawa satu orang kerabatnya untuk bekerja. Kamu, … fokus saja kepada Cira, dia butuh pendamping.”
Mulut Zia menganga.
Dia memang seorang wanita yang pernah melahirkan, lalu mengurus putrinya hingga Vio berusia 5 tahun. Namun, mengasuh anak orang lain pastilah tidak mudah karena sifat dan karakternya yang berbeda, dan butuh penanganan yang berbeda pula.
“Karena mbak Zia gantiin saya. Kebetulan saya juga jagain non Cira, …”
“Ya, dulu Ratih mengurus rumah dan mengawasi Cira sekaligus, baby sitter yang saya sewa tidak ada yang betah sampai Ratih lah yang mengambil alih tugas itu. Tapi karena akan ada pekerja yang baru, mungkin lebih baik kamu fokus kepada Cira saja!” Eza memperjelas.
Zia meremas kain lap yang dia bawa dari dapur.
“Oh saya lupa, … kau memiliki suami? Jika iya apa dia mengizinkan kamu bekerja disini? Soalnya saya tidak mau ada keributan di kemudian hari!”
“Emm, … hanya masih terikat pak. Tapi cukup rumit jika dijelaskan,” dia menuturkan. “Terlepas dari itu, aya jamin tidak akan ada yang membuat masalah disini,” lanjut Zia.
Eza mengangguk.
“Itu bagus. Sekarang bersiaplah, kau harus pergi mengantar Cira sekolah!”
“Hah!?” Zia sedikit tidak percaya.
‘Kelas satu sekolah dasar apa harus tetap di temani? Tidak salah?’ Zia merasa tidak percaya.
“Bersiap, ini hari pertamamu bekerja.”
Setelah mengatakan itu Eza meraih cangkir kecil di hadapannya, dan menyeruput minuman yang tampak masih mengepulkan asap.
“Mbak?” Ratin menyentuh lengan Zia yang terus diam.
“Ayo, tunggu apa lagi? Nanti Cira terlambat!”Suara Eza memekik kencang.
Zia mengangguk, dia berbalik badan untuk kemudian kembali ke arah dimana sebuah area khusus art berada. Tidak ada sesuatu yang bisa Zia lakukan, selain menuruti apa yang kini sudah jelas menjadi tugasnya.
“Mbak Zia, saya boleh bertanya? Hanya untuk meyakinkan saja.”
Zia mengangguk.
“Hubungan mbak sama suami sudah benar-benar tidak bisa diselamatkan?”
Zia diam.
“Kalau begitu segera selesaikan, sebelum terjadi masalah. Saya takut bapak marah sama saya nanti!”
“Sesegera mungkin mbak, jika sudah ada biaya mungkin saya yang akan membawanya ke pengadilan agama agar semuanya jelas. Mbak Ratih tenang saja, jika dia mau mencari saya makan sudah pasti pria itu lakukan sejak beberapa Minggu lalu. Ini sudah satu bulan lebih dan saya tetap di campakan,” katanya.
Perempuan itu tersenyum, walau rasa sesak mendominasi di dalam dadanya. 6 tahun berumah tangga bukanlah waktu yang singkat, sehingga tidak semudah membalikan telapak tangan untuk dapat benar-benar melupakan Robi.
“Ya sudah, mungkin nanti bisa minta tolong pak Eza.”
Kening Zia mengernyit dengan tatapan heran.
“Pak Eza? Tapi mbak Ratih saya tidak akan membawa hal pribadi ke sini.”
Ratih tersenyum.
“Pak Eza seorang advokat, … mungkin beliau dapat membantu mbak Zia mengatasi masalah ini. Tapi tidak sekarang, tunggulah dulu hingga waktunya terasa tepat.”
“Oh,” Zia mengangguk.
“Kalau begitu cepat ganti pakaian. Pilih pakaian terbaik karena pak Eza tidak suka bawahannya terlihat lusuh,” Ratih memberi usul.
“Iya,” Zia mengangguk.
Ratih mengulum senyum, dia menutup pintu kamarnya dan membiarkan Zia untuk berganti pakaian seperti yang diperintahkan oleh Eza.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu
“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera
Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem
Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D
Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la
Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s
Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara
Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem
“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera
Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu
Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge
Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara
Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s
Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la
Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D