Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.
Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.
“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.
Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.
“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.
Ayu mengulum senyum.
“Lebih repot ninggalin mbak sendirian di rumah itu,” tukas Ayu sambil tertawa pelan. “Apalagi itu rumah pemberian mertua mbak, bisa-bisa setelah ini ditagih uang sewa karena terus tinggal disana!” Katanya lagi.
Membuat Zia menganggukan kepala, kemudian bangkit berniat untuk mengantarkan Ayu hingga ambang pintu kamar kost seperti biasa yang selalu ia lakukan.
“Nanti kalau mas Robi jemput, … mungkin mbak pulang saja!” Zia masih berharap.
Ucapan perempuan itu sontak membuat Ayu memutar tubuh, dan menatapnya dengan ekspresi wajah tak suka.
“Sebulan mbak nggak di cari, nggak di peduliin. Masih berharap dijemput? Padahal tahu keadaan mbak lagi nggak baik!” Suara Ayu memekik pelan.
“Mbak sehat?” Ucapnya lagi sambil tersenyum miring dan menggelengkan kepala.
“Habisnya kalau disini terus mau sampai kapan? Lamaran sudah mbak kirim kemana-mana. Tapi belum ada panggilan juga, … apa karena mbak sudah menikah ya?” Zia putus asa.
Ayu duduk di salah satu kursi yang tersedia, kemudian mengenakan sepatu.
“Sabar, setidaknya mbak sudah usaha.”
“Tapi mbak nganggur. Lalu bagaimana mbak harus mempersiapkan diri kalau memang hubungan ini sudah benar-benar tak bisa dipertahankan, tidak mungkin mbak bergantung terus sama kamu,” ujar Zia.
“Ya ampun, sebulan masih belum bisa bikin mbak yakin ya? Suami macam apa selagi masa berkabung ninggalin istrinya sendirian. Dia udah nggak peduli mbak. Bisa-bisanya mbak ada pikiran buat balik sama mas Robi.”
Kata-kata itu membuat segumpal daging di dalam dadanya semakin berdenyut. Bohong jika Zia tidak berharap Robi akan menyusul dan memintanya untuk kembali, lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Tapi semuanya terlihat semakin jelas bahwa hubungan mereka kini sudah sangat memburuk.
“Coba deh mbak gabung sama ibu-ibu yang suka nongkrong di kantin. Sambil nunggu panggilan kerja, gimana kalau terima job lain? Cuci gosok misalnya?” Ayu memberikan usul.
Zia mengangguk.
“Mbak coba tanya-tanya nanti.”
“Ayu berangkat ya, udah siang juga!”
Ayu melangkah maju, merangkul Zia dan mencium pipi kanan dan kiri. Sebelum akhirnya gadis itu beranjak pergi.
Beberapa jam setelah itu.
Selesai membenahi kamar kost yang ditempati adiknya. Zia memutuskan untuk keluar, berjalan ke arah kantin dimana disana sudah terlihat beberapa wanita duduk di sebuah kursi kayu.
Obrolan dan suara tawa terus bersahutan tanpa henti, membuat kedua sudut bibirnya tertarik, Zia tersenyum kepada mereka yang mengarahkan pandangan ke arahnya.
“Anak baru, ya?” Salah satu dari mereka bertanya.
“Bukan. Ini kakaknya Ayu!” Sang pemilik kost keluar dari dalam kantin yang juga miliknya.
Zia mengangguk dan tersenyum.
“Bu, mau nasi telor ya seperti biasa. Makan disini aja!”
“Boleh, minumnya mau apa?”
“Teh anget aja, Bu.”
Wanita yang sempat duduk itu bangkit kembali, dan masuk ke dalam untuk membuatkan pesanan Zia.
“Kirain saya anak baru, soalnya baru kelihatan.”
“Padahal saya disini sudah mau sebulan, Bu. Lagi nunggu panggilan kerja!” Jelas Zia.
Dia yang tak biasa bercakap-cakap terlihat sedikit gugup. Sehingga terus mengalihkan pandangan saat para ibu-ibu memperhatikan.
“Cari kerja sekarang susah, dek. Terlalu banyak syaratnya!” Salah satu dari mereka menuturkan.
Zia mengangguk pelan.
“Eee, … siapa tau ada yang butuh art. Boleh kasih tahu saya aja, Bu.” Kata Zia.
“Bukannya lagi nunggu panggilan kerja? Takutnya kalau mau ambil kerjaan lain nanti tiba-tiba ada panggilan.”
“Sudah sebulan ini belum ada panggilan Bu, padahal saya melamar tidak satu tempat saja,” tutur Zia.
“Mbak sudah menikah?”
Zia menimpali pertanyaan itu dengan anggukan kepala pelan.
“Oh pantes, kebanyakan syarat kerja sekarang kan masih lajang sama berpenampilan menarik, … di kira orang jelek nggak butuh makan kali ya! Tapi mbaknya cantik, kendalanya mungkin hanya status saja!”
Zia mengangguk lagi.
“Oh, kemarin mbak Ranti nanyain yang mau kerja. Dia mau berhenti tapi di suruh nyari gantinya dulu!” Ucap pemilik kost sambil memberikan piring berisikan nasi dengan lauk telur dadar kepada Zia, tak lupa meletakan segelas teh hangat di sampingnya.
Zia menatap wanita di hadapannya lekat-lekat. Tiba-tiba dirinya berharap jika pekerjaan itu masih ada sampai dirinya tak lagi terlunta-lunta dan membuat Ayu kerepotan.
“Boleh di infoin ya, Bu. Siapa tahu masih ada, saya butuh kerjaan!”
“Boleh, … nanti deh saya telepon. Kalau ada kabar ibu kasih tahu lagi!” Katanya kepada Zia.
Zia tersenyum, dan dia memulai acara makannya. Menikmati sepiring nasi putih, bersama telur dadar kecap yang sudah menjadi pesanan tetap perempuan itu.
***
Tok tok tok!!
Ketukan di balik pintu terdengar beberapa kali, membuat Zia segera beranjak mendekat dan membuka pintu kamar kost yang tertutup rapat.
Dan disanalah seorang wanita yang Zia ketahui sebagai pemilik kost. Berdiri tepat di hadapan pintu sambil memegangi handphone.
“Bu?”
“Mbak, gimana? Jadi nggak?” Wanita itu langsung bertanya.
“Kerjaan yang tadi ya? Jadi Bu, jadi.”
Perempuan itu tampak sangat antusias, wajahnya sumringah dengan bibir yang terus memperlihatkan senyum.
Semangat hidup yang sempat hilang seolah kembali, menghadirkan rasa bahagia yang tak bisa Zia jelaskan dengan kata-kata. Lama sudah tak pernah memperoleh hasil sendiri, akhirnya suatu pekerjaan sudah ada di depan mata.
“Tapi jadi art. Yakin nggak apa-apa?” Wanita itu meyakinkan, karena biasanya pekerjaan itu cukup di hindari banyak orang karena alasan gengsi.
Apalagi untuk perempuan muda seperti Zia. Jarang sekali ada yang menerima profesi tersebut.
“Yakin Bu, yang penting saya punya gaji!” Katanya dengan penuh semangat.
Kesedihannya sedikit terobati, tidak tahu kenapa. Tiba-tiba hatinya terasa sangat lapang, sesuatu yang menghimpit di dalam dada terasa lepas dari dalam dirinya.
“Siap-siap aja dulu, nanti katanya di jemput kalau beneran deal mau kerja.”
Zia mengangguk.
“Tempatnya jauh ya, Bu?” Tanya Zia.
“Masih di kota ini, mbak. Cuma ya kalau di bilang Deket nggak juga, … dari sini harus naik transportasi umum. Kalau jalan kaki kejauhan.”
“Harus bawa lamaran kerja juga nggak Bu?”
Wanita di hadapannya tertawa.
“Tidak usah, … hanya menjadi asisten rumah saja mbak!”
“Oh kalau begitu saya siap-siap dulu,” seru Zia yang langsung mendapat anggukan dari wanita yang tak pernah Zia ketahui namanya.
Karena orang-orang selalu memanggil dengan sebutan, ibu kost.
Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara
Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge
Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu
“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera
Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem
Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D
Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la
Angin sejuk terasa menyapu wajah begitu Zia membuka jendela rumah besar itu lebar-lebar. Langit masih sangat gelap, keadaan pun cukup sunyi dan hanya ada beberapa kendaraan yang terdengar lewat di balik gerbang besar sana. Namun, ketiga pegawai rumah itu sudah disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Ida yang sedang membersihkan meja makan dengan sebuah kanebo dan semprotan pembersih kaca, kemudian dia menata beberapa makanan di atas sana yang sudah ia siapkan sekitar 1 jam sebelumnya. Lalu Julpa sibuk menyisir setiap sudut rumah menggunakan mesin penghisap debu, sementara Zia tengah asik menyiapkan bekal untuk anak asuhnya yaitu, Cira. Ke khawatir Zia terhadap Cira yang mempunyai alergi cukup parah, membuat perempuan itu berinisiatif untuk membuatkan bekal yang aman dan sehat tentunya. Perempuan itu membentuk nasi menjadi beberapa gumpalan, lalu menghiasnya dengan Nori yang dipotong menyerupai mata dan hidung. Tak lupa beberapa macam sayuran rebus, ikan dan banyak lagi sampai mem
“Pokoknya aku nggak mau sama Zia. Dia itu tidak tahu apa-apa papi, … semuanya tidak tahu. Beda sama mbak Ratih, mbak Ratih tau semuanya yang Cira mau!” Cira berteriak kencang sampai suaranya menggema memenuhi kamarnya yang berukuran cukup luas.Dia yang duduk di atas tempat tidur pun melemparkan bantal, guling dan juga beberapa boneka. Namun, Eza hanya terdiam tenang melihat kelakuan putrinya yang mulai melakukan drama lagi.“Cira mau mbak Ratih saja yang antar sekolah, … harus mbak …”“Cira!” Sergah Eza.“Aku tidak mau pokoknya papi harus bilang kalau mbak Ratih harus kerja lagi disini sama aku. Aku nggak mau sama Zia …”“Cira!” Pria itu mengeraskan suaranya.Akan tetapi Cira tidak berhenti, dia terus merengek tidak jelas sampai membuat Eza merasa kesabaran nya mulai habis.“Zia itu kampungan, masa aku mau beli sesuatu dia tidak …”“Cira stop!!” Bentak Eza.Yang seketika membuat Cita mengatupkan mulutnya dan diam.Gadis kecil itu menatap ayahnya dengan kata berkaca-kaca, wajah memera
Sebuah mobil mewah berwarna hitam pekat berhenti tepat di depan pintu lobby, tempat yang cukup ramai dan dipenuhi para siswa yang baru saja berdatangan. Eza mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala di atas pangkuannya, kemudian menoleh saat merasa mobil yang dia tumpangi berhenti. Pria itu melihat ke arah Cira yang duduk tenang, memainkan game di dalam Ipad-nya. “Kita sudah sampai sayang!” Kata Eza sambil tersenyum, kemudian mengusap rambut panjang Cira yang dibiarkan terurai. Lalu Cira menekan tombol exit, dan memberikan benda itu kepada sang ayah setelah ia mematikannya terlebih dahulu. “Semangat ya sekolahnya, belajar yang fokus agar tetap menjadi juara kelas,” Eza mencium kening Cira, kemudian memeluknya. “Iya papi,” dan gadis kecil itu menyahut. “Zia, saya titip Cira. Perhatikan setiap apapun yang dia makan, … ingat, sedikit saja kandungan seafood akan berpotensi membuat Cira masuk ke rumah sakit.” Perempuan yang duduk di kursi samping kemudi pun menoleh, lalu
Satu-persatu Zia menyusun piring yang sudah dicuci bersih, dan dikeringkan oleh selembar kain khusus. Dia memasukkan piring-piring ke dalam sebuah laci penyimpanan dimana terdapat sebuah rak disana yang terletak di bagian bawah. Pun dengan barang-barang yang lain, seperti sendok, garpu dan juga gelas, semuanya masuk pada tempat yang sudah di khususkan sampai tersusun dengan rapi. Sementara Ratih, wanita itu sudah sibuk di area depan setelah hidangan pagi selesai. Tidak tahu kemana, sampai hingga saat ini dia meninggalkan Zia sendiri.Tak tak tak …Zia menoleh, ketika mendengar suara derap langkah kaki yang sangat cepat dari arah dalam. Membuat Zia sedikit terkejut dan menoleh ke arah suara terdengar.“Mba, mbak Zia?” Panggil Ratih.Wanita itu terlihat sedikit terburu-buru, membuat kening Zia menjengit juga ujung alis yang hampir bersentuhan antara satu dan lainnya.“Iya, kenapa? Mbak Ratih bikin aku kaget!” Zia menyahut dengan raut wajah panik.Pasalnya wanita itu pun terlihat terge
Mobil yang Zia tumpangi melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota pada malam hari di bawah sorot lampu penerangan jalan. Sehingga hanya dalam waktu 30 menit saja, kendaraan roda empat itu berbelok memasuki sebuah garasi luas saat gerbang rumah besar terbuka lebar.“Mari, mbak Zia!” Wanita yang duduk di kursi penumpang bagian depan menoleh, kemudian dia turun lebih dulu.Zia hanya mengangguk, kemudian dia membuka pintu di sampingnya dan keluar. Mengedarkan pandangan, menatap garasi dan halaman rumah yang sangat luas, bahkan bangunan di hadapannya terlihat sangat besar, sampai membuat Zia berpikir beberapa kali;‘Serius? Aku harus beresin rumah sebesar ini?’ Batinnya berbicara.‘Bisa tidak ya? Ngurus rumah kecil aja kadang udah bikin capek banget!’Suara di dalam hatinya terus bermonolog, dengan pandangan yang menengadah menatap sebuah bangunan yang sangat mewah.“Mbak Zia? Silahkan lewat sini!” Wanita yang tadi menjemputnya mempersilahkan.Dia berjalan di depan, sementara
Setelah beberapa Minggu tinggal bersama Ayu, keadaan Zia berangsur membaik bahkan perempuan itu kini sudah mengirimkan surat lamaran pada beberapa toko. Hampir satu bulan putrinya meninggal dan selama itu juga ia diacuhkan oleh suami juga keluarganya, membuat Zia memutuskan untuk bangkit agar tak lagi berharap pada pria yang saat ini masih berstatus menjadi suaminya itu.Konflik rumah tangganya saat ini seolah memperjelas hubungan yang memang sudah merenggang dari 1 tahun belakangan. Ekonomi yang terus menurun setelah Viona di vonis gagal ginjal, menjadi awal dari segala pertengkaran yang terus berkepanjangan.“Mbak, Ayu berangkat kerja yah! Kalau makan ambil di kanti ibu kost. Ayu udah bilang kok,” gadis itu berujar, seraya menggendong ranselnya.Zia yang sedang duduk di atas tempat tidur segera mengubah posisi duduknya. Dia menatap sang adik dengan perasaan tak enak hati.“Maaf ya, karena mbak kamu repot!” ujar Zia penuh penyesalan.Ayu mengulum senyum.“Lebih repot ninggalin mbak s
Hampir seharian berada di dalam kamar dengan kesedihan yang tak kunjung menghilang. Zia kembali dikejutkan oleh kelakuan ipar, suami dan juga ibu mertuanya.Dwi dan Robi terlihat membuka amplop satu-persatu, sementara Julia mengumpulkan uang di telapak tangannya.“Kalian lagi ngapain!?” Pandangan ketiganya langsung tertuju ke arah Zia berdiri saat ini. Keadaannya terlihat memprihatinkan, dengan wajah yang sembab dan terlihat pucat.“Jangan sentuh, ini uang Viona!” Lantas Zia segera mendekat.Berniat mengambil hak putrinya. Namun, Robi segera berdiri dan menghadang Zia sampai perempuan itu tak mampu untuk meraih sebuah wadah berisi gulungan-gulungan amplop yang diberikan para pelayat.“Mas itu uang untuk sedekah nanti, … untuk Vio!” Zia memohon.Dia terus meronta-ronta, sambil menatap Dwi yang terus membuka amplop dan memberikan uangnya kepada Julia tanpa merasa terganggu.“Ibu, jangan itu uang Vio!”“Iya uang Vio. Makannya ibu kumpulin, ya buat tambah-tambah uang setoran bulan ini la
Seorang perempuan bersimpuh di samping sebuah gundukan tanah yang masih merah bertabur bunga segar berwarna-warni, memeluk nisan kayu sambil terus menangis meraung-raung meminta agar jasad yang sudah terkubur bangkit kembali.Sazia, seorang ibu muda berusia 25 tahun. Yang baru saja ditinggalkan putri semata wayangnya setelah berjuang melawan gagal ginjal yang anak itu derita satu tahun belakangan. Segala macam pengobatan sudah Sazia tempuh. Namun, anaknya menyerah dengan penyakit yang terus menggerogoti hingga harus berpulang ketika usianya baru saja menginjak 5 tahun.“Mbak?” Seorang gadis datang mendekat, dia berjongkok tepat di samping tubuh rapuh itu seraya menarik bahunya memaksa Sazia untuk berhenti memeluk pusara putrinya.“Orang-orang udah pulang, mbak. Langit juga mulai mendung, besok-besok Ayu antar lagi kesini kalau mau, tapi sekarang pulang yuk!” Zia menggelengkan kepala sambil terus menangis. Wajahnya bahkan sudah sembab, hidung merah dengan mata yang sangat bengkak.D