Hujan turun cukup deras membasahi Jakarta sore itu. Tampak seorang gadis cantik dengan motor sportnya baru pulang entah dari mana. Dengan pakaian basah, gadis itu masuk kedalam rumah nya. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tertutup, penasaran dengan suara itu, dia menempelkan daun telinganya pada pintu tertutup.
Jantungnya berdegup kencang mendengar suara desahan nikmat saling bersahutan dalam kamar itu. Segera dia menjauh dan berlari menuju kamarnya.Aira Kana Stuart, atau biasa di sapa Kana, gadis cantik berusia 21 tahun yang kini masih kuliah di Universitas ternama di Jakarta. Besar di keluarga broken home, karena kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya yang kabarnya sudah menikah lagi dan tinggal di Malaysia, sedangkan sang Ibu memilih sendiri dan menjadi wanita panggilan pria hidung belang. Dan Kana, tinggal bersama Kakak perempuannya.TokTokTok"Kana, kamu sudah pulang?" terdengar suara dari luar mengetuk pintu. Kana tentu mendengar panggilan itu, tapi dia enggan menanggapi dan memilih menutup telinganya dengan earphone."Kana,"Si pemilik nama tersentak kaget kala sebuah tangan menepuk punggungnya."Kamu pulang kok Kakak gak tau," sebut saja dia Maudy, Kakak Kana berusia 28 Tahun dan belum menikah. Kana melepas earphone nya dan duduk menatap tajam pada Maudy."Ya gimana mau denger, keasikan mendesah sih.""Kana!""Apa? Kakak fikir Kana gak denger? Laki-laki mana lagi, Kak? Apa Kakak gak capek tiap hari ganti pasangan?""Kana! Gak seharusnya kamu bicara begitu, Kana! Mau kemana kamu? Kana!"Kana melenggang begitu saja meninggalkan Maudy dan mengabaikan panggilannya. Dia dengan cepat menuruni tangga, di sana dia melihat sekilas pria muda duduk di sofa sambil menyeduh kopi."Kana!" panggil Maudy mengikuti putrinya yang sudah berhasil meninggalkan rumah dengan motornya."Berantem lagi?" tanya laki-laki tadi, dia mendekati Maudy di ambang pintu."Dia denger kita, Jeff.""Iya 'kan emang udah sering denger."Maudy hanya mendesah kesal dengan kepergian putrinya di malam gerimis begini.Kana melajukan motor sportnya dan berhenti di tepi jalanan taman kota. Dia membuka helm sebelum memasuki area taman untuk menenangkan hatinya yang kesal.DdrrrttDdrrtttKana merogoh saku melihat siapa yang sudah menelfonnya. Melihat panggilan dari Kakaknya, dia memilih menolak panggilan. Kemudian, dia beralih menelfon seseorang."Halo, lo dimana?""Gue ke rumah lo ya, numpang nginep .. Ok, gue otw."Kana lebih dulu mematikan ponselnya agar Maudy tidak menelfon nya. Setelah itu, dia segera pergi dari taman menuju rumah sahabatnya.Bangunan besar dan megah, Kana berdiri di depan gerbang menunggu si pemilik datang membukakan pintu untuknya.Srettt"Kana!" gadis manis seusia Kana berlari memeluknya."Sory ya, Dir. Gue ganggu lo, malam-malam datang ke sini.""Gak papa lagi, Na. Mumpung Bokap juga lagi gak di rumah, yuk masuk."Kana mendorong motor besarnya memasuki kawasan mewah tempat Dira, sahabatnya itu tinggal. Sungguh baik nasib Dira, tinggal di keluarga kaya raya. Tidak seperti dia, walau memiliki tempat tinggal besar, tapi di dalamnya penuh dengan penderitaan."Lo sendiri, Dir.""Enggak. Ada banyak orang yang jaga rumah.""Bokap lo kemana?""London, kerja di sana. Ehh, lo udah makan?""Belum. Kak Maudy gak sediain makan malam tadi,""Yaudah, kita makan yuk. Kebetulan gue juga belum makan, gak enak tadi makan sendiri." Dira langsung menarik tangan Kana menuju ruang makan.Lagi, Kana di buat terpesona dengan pemandangan indahnya ruang makan itu. Di sana deretan para pelayan berseragam siap melayani majikannya. Hidangan lezat dengan porsi besar tertata rapi di atas meja, lengkap dengan dissertnya sekali."Lo mau makan apa?" tanya Dira. Bingung dengan menu makanan sebanyak itu, Kana memilih serupa dengan yang Dira makan.Setelah selesai menikmati makan malam, Dira mengajak Kana ke kamarnya. Dia memberikan piyama untuk Kana pakai karena pakaiannya basah terkena gerimis."Jadi lo kabur lagi?" tanya Dira."Gak tau apa namanya. Tapi yang pasti gue gak mau balik malam ini.""Kalo Kak Maudy nyariin gimana?""Nyariin? Emang kapan gue di cariin? Dia gak se-khawatir itu, Dira.""Lagian Bonyok lo tega banget sih." Bonyok (Bokap_Nyokap)"Udah biasa, kali. Gue juga udah kebal.""Salut gue sama lo, bisa gitu ya lo bertahan dengan situasi begitu.""Sebenernya enggak. Gue udah capek, tapi Tuhan masih benci gue. Dia biarin gue hidup menderita begini.""Gak boleh ngomong gitu, Na. Semua ini pasti akan berakhir kok. Lo sabar ya, gue percaya Tuhan sayang sama lo. Sama kaya gue sayang ke elo.""Thanks ya, Dir."Kana tersenyum getir membalas kalimat penyemangat Dira. Mungkin dia bisa bilang begitu, karena dia tidak merasakan seperti Kana. Dia tidak merasakan saat lapar mencekam tapi tidak ada apapun yang bisa di makan. Dia tidak merasakan bagaimana rasanya tidak memiliki uang sama sekali. Dira tidak merasakan pahitnya hidup Kana.Keesokan paginya |"Yakin gak mau pergi bareng gue?""Enggak. Nanti gue mau langsung pulang.""Oh, ok deh.""Baju lo entar gue balikin ya,""Santai aja. Yuk kita sarapan dulu."Di meja makan |Kana dan Dira menikmati sarapan bersama, menu hidangan yang berganti setiap jam makan tiba. Tidak seperti dia yang kadang menghangatkan makanan kemarin, itupun kalau Maudy sempat masak."Enak ya jadi lo. Makanan lo enak-enak,""Gak juga, Kana. Gue sering gak makan di rumah, gak enak makan sendiri.""Emang bokap lo jarang di rumah 'ya?""Ehmm. Dia sering ke luar negeri buat kerja,""Bokap lo gak mau nikah, gitu?"Dira melirik Kana tajam, dan itu membuatnya menelan susah makanannya."Sorry, gue lupa." Kana nyengir menampakkan gigi kelincinya karena sudah salah bicara pada Dira.Setelah semalam menginap di rumah Dira, dan seharian di kampus. Kini Kana sudah pulang ke rumahnya sendiri. Rumah bertingkat dua itu tampak sepi tanpa penghuni. Kana mencoba membuka pintu, tapi pintu terkunci."Sial! Kemana lagi ni orangnya." gumam Kana kesal. Dia beralih ke kotak surat tempat biasa Maudy menaruh kunci. Benar saja, di sana ada satu buah kunci dan selembar surat. Kana mengambil kertas itu membaca pesan singkat yang ternyata dari Maudy.'Kana, Kakak pergi ke luar kota bersama Jeff. Kamu jaga diri dan jangan nakal ya, Kakak sudah kirim kamu uang. Pergunakan baik-baik selama Kakak pergi. Maaf atas kejadian semalam. Kakak sayang kamu.'Kana meremas kertas itu dan membuangnya ke tanah lalu menginjak-injak saking kesalnya.Dia mengambil ponsel dari dalam tasnya, mencari nomor tujuan telfon. Beberapa saat menunggu, paggilan tersambung."Gak usah pulang sekalian! Kana benci!" teriak Kana singkat dan memutuskan panggilannya begitu saja. Dia mengambil kunci dan segera masuk kedalam rumah.Di sana dia menumpahkan segala kekesalannya dengan menangis. Bahkan dia berulang kali menelfon Ayahnya di Malaysia, pun tidak ada respon dari sana. Begitu juga dengan Ibunya yang kabarnya berada di luar kota bekerja menjadi jalang. Keluarganya benar kacau, sekarang sang Kakak tunggalnya pun ikut mencari nafkah dengan cara menjadi jalang."Gue benci kalian! Gue benci!!" Kana berteriak sekerasnya melepaskan rasa sakit hatinya.Kana menangis sejadi-jadinya di dalam rumah tanpa isi barang mewah itu. Di sana hanya ada sofa dan tv ukuran besar. Tidak ada yang menarik lagi dalam hunian itu. Selain tangga melingkar penghubung antara dua lantai.Malam pukul 9 |Kana terbangun setelah tertidur karena kelelahan menangis. Dia juga terbangun karena merasa lapar. Kana beranjak dari sofa, melirik jam besar."Ck! Jam segini mau makan apa?" gumam Kana. Dia membuka ponselnya, lebih dulu dia mengecek saldo yang katanya sudah di kirim Maudy. Benar, dana 3 juta sudah masuk ke rekeningnya. Bukannya senang, Kana justru semakin kesal.Dia memilih keluar mencari sesuatu yang mungkin masih bisa di temukan. Beberapa meter berjalan dari rumahnya, dia melihat tukang nasi goreng langganannya masih buka. Segera Kana menghampiri penjual nasi goreng yang cukup ramai pembeli itu."Mang, nasinya satu ya di bungkus.""Tumben satu neng, Kakaknya gak beliin?""Enggak. Males.""Ok deh, siap. Tunggu sebentar ya neng." pria paruh baya penjual nasi goreng itu sudah cukup hafal dengan Kana, biasanya Maudy yang selalu membeli nasi goreng 2 porsi dan minta di antar ke rumah."Kok gak minta mamang antar aja neng? Biasanya kan Mbak Maudy selalu pesen minta antar ke rumah?""Enggak Mang, dia lagi pergi.""Ooo!" tak lagi dia bertanya, terjawab sudah rasa penasarannya.Kana mengecek dompet, seingatnya dia masih menyisahkan beberapa lembar uang pecahan. Malas rasanya harus mengambil uang dari rekening, ada banyak kebutuhan lain yang dia harus pandai mengolah uang 3 juta untuk satu bulan. Membayar uang kuliah, bensin, makan, dan kebutuhan lainnya."Ini neng."Kana menerima bungkusan nasi goreng dalam kantung plastik, dia juga memberikan uang pecahan 15 ribu untuk membayar makanannya."Makasih ya Mang.""Iya neng, sama-sama."Kana berjalan lunglai kembali ke rumahnya, sesaat dia menghentikan langkahnya melihat pintu rumahnya terbuka. Rasanya dia menutup pintu sebelum pergi, tapi kenapa kini terbuka? Kana menepiskan rasa curiganya, mungkin dia yang lupa karena fikirannya kalut.Setelah masuk, Kana memastikan mengunci pintu dengan benar, sebelum dia beralih ke dapur untuk menyiapkan makan malam sederhananya. Baru beberapa suap dia makan, tiba-tiba listrik padam begitu saja. Kana yang terkejut langsung menghidupkan senter poselnya sebagai penerang sementara. Tapi, dia merasa seperti ada yang berdiri di belakangnya. Seperti sesuatu yang besar dan tinggi tengah menatapnya.Dengan jantung berdebar, Kana memberanikan diri melirik."Astaga! Apa itu?" bisik Kana mendapati sosok tegap di belakangnya. Dia mengeratkan sendok garpu, bersiap menusuk siapapun yang di belakangnya."Aahhh!""Ssstttt!"Kana bungkam kala seorang pria menutup mulutnya paksa, dia juga mencekram kedua tangan Kana erat agar tidak memberontak."Ssttt diam. Jangan teriak, atau mereka akan datang." bisik pria itu tepat di telinga Kana. Dia menunjuk ke arah jendela, terlihat bayangan dua orang membawa senjata tengah mencoba mengintip. Masih baik jendela itu tertutup tirai, tadi tidak akan terlihat jelas.Kana semakin jantungan, pria itu semakin erat mencekram tangannya. Tercium bau amis dari pria yang membungkamnya, seperti bau darah. Kana di buat mual dengan bau yang begitu menusuk hidungnya itu. Melihat tak lagi ada bayangan dari luar, pria itu melepaskan tangannya dari mulut Kana.Hueekkk!!Hueekkk!!Kana hampir mengeluarkan isi perutnya yang baru sedikit terisi nasi goreng."Siapa lo!" Kana menodongkan garpu yang sedari tadi dia pegang pada pria itu. Bersamaan lampu juga kembali hidup, dan nampaklah sosok pria yang menyusup ke rumahnya begitu saja.Kana menegang melihat pria bertubuh tinggi tegap dengan darah di bagian perutnya."Tolong saya, kamu punya kotak obat darurat?"Kana ketakutan melihat pria itu, dia sampai tidak bisa bicara walau hanya mengangguk saja. Matanya bulat, mulutnya terbuka lebar melihat darah di perut pria itu."Hei! Tolong saya." pinta pria itu lagi. Kana tersadar, dia segera mengambil kotak obat yang tersimpan dekat nakas ruang tamu.Entah kenapa dia se-reflek itu mengambilkan obat, padahal awalnya dia sangat ketakutan. Terlebih saat melihat darah cukup banyak keluar dari perut pria itu.Kana langsung memberikan kotak pertolongan pertama itu, dia membiarkan orang itu menindak dirinya sendiri. Belum selesai pria itu mengeluarkan benda asing di bagian perutnya, satu tembakan berhasil menembus kaca jendela dan nyaris saja mengenai mereka.Pria itu langsung menarik Kana dalam pelukannya, dan membalas tembakan orang dari luar secara bertubi sampai amunisi dalam senjata api itu habis. Kana merasa pusing, terlebih dia melihat darah segar itu sudah mengenainya. Dia sempat melihat orang berdiri di luar jendela. Tatapannya tajam seolah penuh dendam."Om, Kana takut.""Tetap di sini, Kana." Kana tak lagi sanggup menatap lebih, sampai ahirnya dia jatuh pingsan dalam pelukan pria itu.Keesokan paginya |Kana mengerang menarik tubuhnya selepas bangun tidur. Belum beranjak, tubuhnya masih terbungkus selimut tebal, tatapannya nyalang ke arah langit-langit kamar. Sesaat dia sadar, seperti ada yang salah pagi ini. Kana langsung menyibakkan selimut dan hendak turun dari ranjang. Tapi, dia kembali mengurungkan niatnya melihat seseorang duduk di sofa dekat ranjangnya."Ya ampun! Gue gak mimpi?" gumam Kana menepuk kedua pipinya.DapDapDapKana tak berani menatap pria yang tengah berjalan ke arahnya. Tinggi sekali pria itu, tubuhnya tegap dengan otot lengan nyaris merobek bajunya. Pria itu berdiri tepat di depan Kana, dia sedikit membungkuk menarik dagu Kana agar mendongak menatapnya."Kamu, Kana?"Deg!Kana tertegun dengan suara berat dan sedikit serak itu. Seketika jantungnya berpacu kala kedua mata saling bertemu, Kana benar takjub dengan tatapan pria itu."Saya bertanya!" ulang pria itu, kali ini suaranya lebih sedikit meninggi."Om Bara, Kenapa di rumah saya?"Om? Ken
Setelah dia memberikan kunci itu pada Bara, segera mereka meninggalkan rumah yang mungkin saja sudah di incar para kawanan penembak semalam. Bara melajukan motor sport Kana cukup kencang, Kana mengeritkan keningnya melihat jalur keluar dari jalan raya."Om, kita mau kemana?"Bara tak menyahut, dia semakin melajukan kecepatan motornya dan itu berhasil membuat Kana memeluk erat tubuh Bara. Bara tersenyum kecil merasakan lingkaran tangan Kana di perutnya. Tak lagi dia rasakan sakit pada luka tembakan semalam, setelah bertemu dengan Kana, sepertinya luluh semua rasa sakit pada tubuhnya.Bara membelokkan motor itu ke halaman bangunan bertingkat yang di kelilingi pagar tembok tinggi dengan pintu gerbang besi tebal yang otomatis terbuka. Kana semakin bingung, ini bukan rumah dimana Dira tinggal. Kemana Bara membawanya? Di sana mereka di sambut dengan beberapa pengawal bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam. Mereka membungkuk memberi hormat kala Bara melewati para penjaga di sana.Kan
Malam hari |Kana duduk di tepi ranjang sambil meremas jari-jari lentiknya. Tidak dia pedulikan beberapa orang di sana yang sedang menghias kamar menjadi kamar pengantin. Buka hanya itu, di sana juga tampak dua orang tengah sibuk memasang gaun pengantin berwarna putih pada sebuah Mannequen.Lagi, Kana tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja Bara masuk kerumahnya, membawanya pergi dan memintanya menikah. Apa sebenarnya yang Bara inginkan.Ceklek.Bara melirik kamar yang sudah hampir selesai di hiasi dengan dominan warna merah dan bunga mawar merah. Dia melihat Kana duduk termenung di ranjang, memutuskan menghampiri gadis kecil itu."Kamu harus istirahat, besok acara pernikahan akan berlangsung satu hari dan kamu akan kelelahan." kata Bara. Kana mengangkat pandangannya menatap nanar pada pria yang katanya besok akan menikahinya."Enak banget Om ngomongnya. Emangnya Om gak mikir gimana Kana? Masa depan Kana? Om tau keluarga Kana gimana, dan Om juga pasti tau tentang Indira.
Malam hari |Kana melepaskan high heels dari kakinya yang terasa pegal karena seharian berdiri dan berjalan kenalan dengan para kolega Bara. Cukup banyak yang hadir, beberapa orang terpenting yang Bara undang.Kana berdiri mencoba menarik resleting di punggungnya yang sulit dia jangkau. Dia sampai membusungkan dadanya mencari dimana pengait gaun itu."Panggil saya kalau kamu kesulitan, Ai."Kana menegang! Bara datang tiba-tiba menarik pinggangnya dan menurunkan resleting itu. Kana masih memegangi bagian depan gaun agar tidak terlepas. Malu rasanya."Kenapa? Kamu sudah menjadi istri saya, sudah seharusnya saya lihat lekuk tubuh kamu.""Enggak!" Kana menjauh dari Bara sambil menarim selimut menutup tubuhnya."Kana gak mau!"Bara tersenyum miring melihat wajah memerah Kana. Dia menginjak pucuk selimut di lantai dan berjalan mendekati Kana."Om, please. Kana belum siap,"Bara menghentikan langkahnya, jakunnya naik turun menelan salivanya mendengar kalimat Kana. Dia melihat sorot ketakutan
Keesokan paginya |Kana terbangun dari tidurnya tepat pukul 6 pagi. Dia mencoba melepaskan lengan Bara yang melingkar di perutnya. Bukannya terlerai, justru Bara malah semakin mengeratkan pelukannya."Om, ini udah pagi. Kana mau kuliah." Bara tak menghiraukan, dia malah mendusal mengecup ceruk leher Kana."Om!""Mas gak akan lepas kalau kamu masih panggil 'Om.""Kana lupa. Ya udah, lepasin Mas."Bara memutar tubuh Kana agar menghadapnya."Morning, My Wife." ucap Bara mengecup kening Kana. Kana diam tersipu malu, dia merasa kalau wajahnya pasti sudah memerah."Gak mau balas sapaan Mas?""Iya, morning too.""Kok gitu doang, gak sosweet.""Ihh apaan sih! Awas ah, Kana mau mandi, Mas!""Bentar dulu, Ai. Mas masih mau peluk kamu.""Ntar Kana terlambat, kampus Kana makin jauh dari sini."Bara baru ingat, mereka tengah berada jauh dari pusat kota. Untuk sampai ke kampus Kana butuh waktu tempuh sekitar 45 menit. "Mas!""Ok, Mas lepasin. Tapi cium dong, dikit aja."Kana mengeritkan keningnya,
Siang hari |Setelah bertengkar tadi, dan Bara berhasil meluluhkan kembali hati Kana untuk berbaikan. Kana menerima takdir kalau dirinya benar milik sang Bara, bukan hanya status dalam buku nikah. Tapi juga sah status sebagai istri Bara yang mungkin sebentar lagi akan menjadi Ibu."Sayang, Mas izin keluar sebentar 'ya." Bara memeluk Kana yang tengah duduk di depan cermin rias."Mau kemana?""Mau liat perusahaan.""Lama gak?""Enggak."Kana memutar tubuhnya menghadap Bara dan mendongak menatap pria itu."Mas, boleh Kana tanya sesuatu?""Boleh, mau tanya apa?" Bara mengusap rahang mulus Kana. Kana melirik bagian perut Bara dan mengusapnya dari balik kemeja hitam yang Bara kenakan."Sebenarnya Mas ini siapa? Kerja apa?" tanya Kana tanpa menatap Bara.Bara menggenggam tangan Kana, dia langsung menunduk bersimpuh di depan Kana. Sangat me-Ratukan sang istri."Apa itu penting?""Penting Mas. Kayanya pekerjaan Mas berbahaya. Lihat, sampek luka gitu.""Enggak kok, ini cuma ulah orang yang iri
Di tengah jam pelajaran, Kana terus memperhatikan Indira. Dia tidak mengerti dengan jalan fikiran Indira. Apa tidak terfikir di benat Indira untuk menghargai Bara sebagai Ayah, walau tidak kandung."Kana! Kamu dengar saya?"Kana tersentak mendengar dosen pengajar menegurnya keras."I-iya Bu, dengar." jawab Kana."Coba kamu jelaskan, apa yang Ibu katakan tadi."Masih baik Kana murid yang cerdas, tanpa memperhatikan pun dia mengerti jalan pelajaran yang di jelaskan dosen itu. Lihai sekali dia menjelaskan materi pelajaran."Bener 'kan, Bu?" Dosen wanita itu menaikan sebelah alisnya menatap Kana. Sudah salah dia menguji Kana, dia bukan sembarang Siswi yang sulit jika di beri soalan."Lain kali jangan melamun, Ujian Semester kalian sebentar lagi.""Iya Bu!" Kana kembali duduk, posisi duduknya berada tepat di belakang Indira."Lo kenapa, Na?" bisik Indira."Enggak, gue gak apa-apa."Jam pulang sekolah |"Lo balik kemana, Na?""Eumm, kos. Gue sekarang sewa kosan.""Oh ya, dimana?""Emmmm-,"
Ceklek.Pukul 01:20 | Bara kembali masuk ke kamar setelah mengurus Pram yang datang. Dia tidak menyadari kalau Kana tidak ada di ranjang. Bara mengecek luka yang sudah beberapa hari ini dia abaikan, sepertinya luka itu mulai membaik. Obat yang Livy berikan cukup manjur untuk luka tembak yang dia alami beberapa waktu lalu. Iya, Bara hanya mengandalkan dari obat yang Livy suntikan, pil yang di berikan tidak pernah sama sekali dia minum. Bara langsung membuang benda yang tidak pernah dia telan walau sesakit apapun dirinya."Mas," Deg! Bara meremang ketika sebuah tangan menyusup dari belakang mengusap dadanya. Deru nafas hangat terasa menyapu ceruk lehernya, bau parfum yang begitu menggoda kejantanan, membuatnya sulit bernafas. Bara membawa tangan mungil itu, menariknya pelan hingga si pemilik beralih duduk di pangkuannya.Glek!Lagi, Bara di buat jantungan melihat tubuh seksi Kana dalam balutan lingerie merah dengan bahan satin. Tampak pucuk niple mungil Kana menonjol, membuat sang Ba