Malam hari |
Kana duduk di tepi ranjang sambil meremas jari-jari lentiknya. Tidak dia pedulikan beberapa orang di sana yang sedang menghias kamar menjadi kamar pengantin. Buka hanya itu, di sana juga tampak dua orang tengah sibuk memasang gaun pengantin berwarna putih pada sebuah Mannequen.Lagi, Kana tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja Bara masuk kerumahnya, membawanya pergi dan memintanya menikah. Apa sebenarnya yang Bara inginkan.Ceklek.Bara melirik kamar yang sudah hampir selesai di hiasi dengan dominan warna merah dan bunga mawar merah. Dia melihat Kana duduk termenung di ranjang, memutuskan menghampiri gadis kecil itu."Kamu harus istirahat, besok acara pernikahan akan berlangsung satu hari dan kamu akan kelelahan." kata Bara. Kana mengangkat pandangannya menatap nanar pada pria yang katanya besok akan menikahinya."Enak banget Om ngomongnya. Emangnya Om gak mikir gimana Kana? Masa depan Kana? Om tau keluarga Kana gimana, dan Om juga pasti tau tentang Indira."Bara membuang nafasnya pelan, dia mengusap lembut pipi Kana dan memberikan satu kecupan hangat tepat di keningnya."Saya hanya mau kamu, cuma kamu. Indira putri saya, dan hubungan kami hanya sebatas antara anak dan Ayah."Mata Kana bergerak mengamati wajah tegas Bara, jantungnya berdebar kencang merasakan kecupan yang Bara berikan di keningnya tadi. Suka, dia sangat suka memdapat kecupan di kening. Dia merasa kembali di sayang setelah sekian lama kedua orang tuanya tak lagi pernah memberikan itu. Bahkan dia lupa kapan terakhir Ayah dan Ibu menciumnya, dia lupa kapan terakhir kali dia di peluk. Bahkan juga dia lupa, kapan terakhir kali bicara pada kedua orang tuanya yang kini sama-sama sibuk dan entah di mana."Tapi Om, Dira akan benci Kana kalau sampai hal ini terjadi. Kana sudah merusak impian Dira."Bara menangkup kedua bibirnya, membenarkan perkataan Kana."Saya akan bicara padanya, sekarang kamu tidur. Besok acaranya jam sembilan,"Bara berlalu begitu saja dari hadapan Kana setelah memintanya untuk istirahat. Kana menatap datar kepergian Bara, sepertinya pria itu mulai berfikir untuk bicara pada Indira, putrinya.Bara berjalan menuju balkon kamarnya, dia menatap hamparan luas hutan yang menjadi batas wilayah kekuasaannya. Dia menyesap sedikit wine yang dia dapat dari meja di kamarnya. Fikirannya kembali pada Indira, yang beberapa bulan lalu pernah mengungkapkan sesuatu dan bicara pada Kana yang kebetulan Bara mendengarnya.'Gue anak tiri Daddy, Na. Daddy bawa gue kesini saat usia gue 8 tahun, dan makin gue tumbuh, gue ngerasa kalau sayang gue ke Daddy bukan karena dia bokap gue, tapi karena gue suka sama dia.'Bara meneguk habis minumannya dan meletakan kasar di atas meja kaca. Bagaimana bisa seorang putri yang dari kecil dia anggap sebagai anak, malah menjadi suka padanya. Indira yang dulu dia angkat jadi anak karena merasa iba, dia korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal.Kasihan sekali Bara melihat anak kecil itu menangisi mayat kedua orang tuanya yang tertutup koran di tepi jalan. Bara memutuskan membawa Indira ke kehidupannya, guna menjadi anak."Indira, gak seharusnya kamu bersikap lebih dengan Daddy. Kamu hanya putri Daddy, astaga kenapa kamu malah berfikir seperti itu?"Itulah alasan kenapa Bara sering pergi dengan alasan bekerja di luar Negeri, sebenrnya dia tidak pergi. Dia hanya menghindar dari Indira agar tidak terjadi kesalahan yang mungkin akan fatal akibatnya. Indira yang selalu bergelayut manja padanya, dia kira itu hal yang wajar sebagai hubungan Ayah dan anak. Tapi ternyata dia salah, kedekatannya malah di salah artikan oleh Indira. Dia malah menyukai Daddy nya sendiri, dan berharap kalau Bara akan membalas rasa sukanya.Keesokan paginya |Bara menata dirinya dari cermin, dengan setelan jas berwarna putih, dia sangat tampan. Arloji mahal itu tak lupa dia sematkan di pergelangan tangan kirinya. Tatapan elang yang menjadi pria berdarah campuran itu semakin tampan mempesona. Siapa yang tak kagum padanya, siapa yang tak jatuh hati padanya. Tampan dan kaya raya adalah impian kaum wanita untuk memilih suami.Sedangkan di kamar lain, Kana masih enggan memakai gaun pengantin yang Bara siapkan untuknya. Dia bahkan tidak mengizinkan perias untuk mendandani wajahnya. Kana duduk memeluk lutut di atas ranjang, tak menghiraukan rayuan perias untuk segera memulai ritualnya."Ini salah, ini gak boleh terjadi. Gimana Dira nanti, dia akan marah sama gue." gumam Kana dalam hati. Tatapannya kosong menatap seprai putih pembalut ranjangnya."Gue gak mau nikah sama Om-Om, gak mau!""KANA!"si pemilik nama berjingkat kaget, dia benar terkejut dengan suara besar menegurnya. Di sana dia mendapati Bara sudah berdiri menatapnya dengan tatapan tajam. Sejak kapan pria itu di sana? Bukankah tadi dia masih bersiap?Bara bersimpuh di hadapan Kana, meraih tangan mungil nya dan mengecup lembut punggung tangannya."Jangan fikirkan Indira. Dia tidak akan benci selagi tidak tau,"Kana menarik tangannya lepas dari genggaman Bara."Sampai kapan? Dia tetap akan tau, Om!""Iya, tapi perlahan dia akan mengerti. Saya pastikan Indira akan tetap menjaga hubungan antara Ayah dan anak.""Om tau 'kan gimana Dira? Dia berharap lebih sama Om, bukan sebatas Ayah dan anak.""Saya hanya menganggapnya anak, Kana. Sekarang pakai gaun kamu, berias secantik mungkin. Masalah Dira, saya akan urus nanti."Bara keluar dari kamar setelah menyampaikan kalimat penegasannya. Susah sekali Kana di yakinkan, padahal sudah berulang kali Bara mengatakan untuk mengurus masalah Dira.Bara duduk di sofa menunggu Kana selesai berias. Dia kembali teringat saat pertama kali bertemu Kana dan jatuh cinta pada pandangan pertama."Dad, ini teman Dira, namanya Kana."Bara menatap wajah cantik Kana, hidung mancung, bibir tipis dengan gigi kelinci, rahang tirus dan pipi chuby. Bola mata sedikit ke abuan dengan mahkota lentik di atasnya, alis tertata rapi membuat penampilan Kana pantas di kagumi kaum pria."Bara, Ayah Indira." Bara mengulurkan tangannya menjabat tangan Kana."Kana, maaf Om saya merepotkan karena menginap di sini.""Tidak masalah.""Na, ke kamar gue yuk."Kana mengangguk menyetujui ajakan Dira. Bara tak lepas menatap penuh minat pada gadis seusia putrinya. Dia menginginkan gadis cantik itu, gadis dengan penampilan sedikit tomboy. Tapi tak menghilangkan kesan feminimnya juga, Kana tipe perempuan idaman Bara.TakTakTakLamunan Bara buyar mendengar suara ketukan hels dari lantai tangga. Bara menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Kana sudah tiba dengan gaun pengantin yang besar dan indah. Tubuh mungilnya nyaris tenggelam karena ukuran baju yang begitu besar."Cantik sekali kamu." bisik Bara mengusap lembut pipi merona Kana. Bara menatap lekat kedua bola mata indah Kana, tak ingin lepas rasanya walau sedetik memalingkan pandangan dari ciptaan secantik ini."Dulu saya berfikir, akan menikahi kamu setelah lulus sekolah. Tapi ternyata takdir datang lebih cepat.""Ini bukan takdir, tapi paksaan. Om cuma alasan 'kan, bilang mereka akan bunuh Kana. Itu Om jadikan amunisi untuk menikahi Kana seperti keinginan Om dari dulu."Bara membuang pelan nafasnya. Tangannya turun mengusap kedua bahu terbuka Kana."Saya memang menginginkan kamu sejak lama. Berharap bisa menikahi kamu, tapi kejadian semalam benar bukan saya manfaatkan. Itu benar terjad, mereka mengincar kamu.""Sebenernya Om ini siapa? Kenapa bisa sampek tembak-tembakan, dan kenapa juga mereka ngincar Kana?""Kamu tidak harus tau itu sekarang." Bara menggenggam tangan Kana membawanya keluar dari rumah menuju halaman belakang yang ternyata sudah ramai orang. Tempat itu juga sudah di hiasi layaknya tempat pesta pernikahan. Tepuk tangan dan sorakan bahagia terdengar mengiringi langkah kedua mempelai menuju Altar.Berdengung, telinga Kana seakan tak bisa mendengar apapun setelah Bara menyatakan dirinya siap menjadi suami serta pelindungnya. Semua janji dan sumpah dia ucapkan di hadapan Tuhan, tulus sekali pria itu mengucapkan dengan tenang tanpa ada penekanan sedikit pun. Seketika jantung Kana seperti berhenti berdetak setelah dia mengucapkan sumpah yang sama dengan Bara.Tangannya bergetar menerima cincin pernikahan yang tersemat di antara jari manisnya. Ingin menangis, apa yang harus dia tangisi. Di satu sisi dia ingin hidup, satu sisi lain, dia harus memiliki tumpangan hidup karena keluarganya tak lagi mencukupi kebutuhannya. Dia tau kenapa Maudy pergi, itu karena rumah akan di sita. Dia memilih lebih dulu pergi meninggalkan Kana, tanpa berfikir apa yang akan terjadi pada adiknya nanti.Kana tersadar merasakan sapuan lembut menyapa bibirnya. Setitik air mata berhasil lolos melewati pelupuk matanya, mengalir bercampur dengan kedua bibir yang masih saling menempel. Bara merasakan itu, dia mengusap buliran bening Kana dan mengatakan sesuatu."Maaf, saya benar tulus sama kamu, terserah kapan kamu balas rasa saya. Tapi yang harus kamu ketahui, saya mencintai kamu, Aira Kana Stuart."Setelah mengucapkan kalimat kesungguhannya, Bara mencium kening Kana dan memeluknya erat. Nyaman sekali pelukan paman ini, Kana sampai terhanyut tanpa sadar membalas pelukan itu dan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Bara.Malam hari |Kana melepaskan high heels dari kakinya yang terasa pegal karena seharian berdiri dan berjalan kenalan dengan para kolega Bara. Cukup banyak yang hadir, beberapa orang terpenting yang Bara undang.Kana berdiri mencoba menarik resleting di punggungnya yang sulit dia jangkau. Dia sampai membusungkan dadanya mencari dimana pengait gaun itu."Panggil saya kalau kamu kesulitan, Ai."Kana menegang! Bara datang tiba-tiba menarik pinggangnya dan menurunkan resleting itu. Kana masih memegangi bagian depan gaun agar tidak terlepas. Malu rasanya."Kenapa? Kamu sudah menjadi istri saya, sudah seharusnya saya lihat lekuk tubuh kamu.""Enggak!" Kana menjauh dari Bara sambil menarim selimut menutup tubuhnya."Kana gak mau!"Bara tersenyum miring melihat wajah memerah Kana. Dia menginjak pucuk selimut di lantai dan berjalan mendekati Kana."Om, please. Kana belum siap,"Bara menghentikan langkahnya, jakunnya naik turun menelan salivanya mendengar kalimat Kana. Dia melihat sorot ketakutan
Keesokan paginya |Kana terbangun dari tidurnya tepat pukul 6 pagi. Dia mencoba melepaskan lengan Bara yang melingkar di perutnya. Bukannya terlerai, justru Bara malah semakin mengeratkan pelukannya."Om, ini udah pagi. Kana mau kuliah." Bara tak menghiraukan, dia malah mendusal mengecup ceruk leher Kana."Om!""Mas gak akan lepas kalau kamu masih panggil 'Om.""Kana lupa. Ya udah, lepasin Mas."Bara memutar tubuh Kana agar menghadapnya."Morning, My Wife." ucap Bara mengecup kening Kana. Kana diam tersipu malu, dia merasa kalau wajahnya pasti sudah memerah."Gak mau balas sapaan Mas?""Iya, morning too.""Kok gitu doang, gak sosweet.""Ihh apaan sih! Awas ah, Kana mau mandi, Mas!""Bentar dulu, Ai. Mas masih mau peluk kamu.""Ntar Kana terlambat, kampus Kana makin jauh dari sini."Bara baru ingat, mereka tengah berada jauh dari pusat kota. Untuk sampai ke kampus Kana butuh waktu tempuh sekitar 45 menit. "Mas!""Ok, Mas lepasin. Tapi cium dong, dikit aja."Kana mengeritkan keningnya,
Siang hari |Setelah bertengkar tadi, dan Bara berhasil meluluhkan kembali hati Kana untuk berbaikan. Kana menerima takdir kalau dirinya benar milik sang Bara, bukan hanya status dalam buku nikah. Tapi juga sah status sebagai istri Bara yang mungkin sebentar lagi akan menjadi Ibu."Sayang, Mas izin keluar sebentar 'ya." Bara memeluk Kana yang tengah duduk di depan cermin rias."Mau kemana?""Mau liat perusahaan.""Lama gak?""Enggak."Kana memutar tubuhnya menghadap Bara dan mendongak menatap pria itu."Mas, boleh Kana tanya sesuatu?""Boleh, mau tanya apa?" Bara mengusap rahang mulus Kana. Kana melirik bagian perut Bara dan mengusapnya dari balik kemeja hitam yang Bara kenakan."Sebenarnya Mas ini siapa? Kerja apa?" tanya Kana tanpa menatap Bara.Bara menggenggam tangan Kana, dia langsung menunduk bersimpuh di depan Kana. Sangat me-Ratukan sang istri."Apa itu penting?""Penting Mas. Kayanya pekerjaan Mas berbahaya. Lihat, sampek luka gitu.""Enggak kok, ini cuma ulah orang yang iri
Di tengah jam pelajaran, Kana terus memperhatikan Indira. Dia tidak mengerti dengan jalan fikiran Indira. Apa tidak terfikir di benat Indira untuk menghargai Bara sebagai Ayah, walau tidak kandung."Kana! Kamu dengar saya?"Kana tersentak mendengar dosen pengajar menegurnya keras."I-iya Bu, dengar." jawab Kana."Coba kamu jelaskan, apa yang Ibu katakan tadi."Masih baik Kana murid yang cerdas, tanpa memperhatikan pun dia mengerti jalan pelajaran yang di jelaskan dosen itu. Lihai sekali dia menjelaskan materi pelajaran."Bener 'kan, Bu?" Dosen wanita itu menaikan sebelah alisnya menatap Kana. Sudah salah dia menguji Kana, dia bukan sembarang Siswi yang sulit jika di beri soalan."Lain kali jangan melamun, Ujian Semester kalian sebentar lagi.""Iya Bu!" Kana kembali duduk, posisi duduknya berada tepat di belakang Indira."Lo kenapa, Na?" bisik Indira."Enggak, gue gak apa-apa."Jam pulang sekolah |"Lo balik kemana, Na?""Eumm, kos. Gue sekarang sewa kosan.""Oh ya, dimana?""Emmmm-,"
Ceklek.Pukul 01:20 | Bara kembali masuk ke kamar setelah mengurus Pram yang datang. Dia tidak menyadari kalau Kana tidak ada di ranjang. Bara mengecek luka yang sudah beberapa hari ini dia abaikan, sepertinya luka itu mulai membaik. Obat yang Livy berikan cukup manjur untuk luka tembak yang dia alami beberapa waktu lalu. Iya, Bara hanya mengandalkan dari obat yang Livy suntikan, pil yang di berikan tidak pernah sama sekali dia minum. Bara langsung membuang benda yang tidak pernah dia telan walau sesakit apapun dirinya."Mas," Deg! Bara meremang ketika sebuah tangan menyusup dari belakang mengusap dadanya. Deru nafas hangat terasa menyapu ceruk lehernya, bau parfum yang begitu menggoda kejantanan, membuatnya sulit bernafas. Bara membawa tangan mungil itu, menariknya pelan hingga si pemilik beralih duduk di pangkuannya.Glek!Lagi, Bara di buat jantungan melihat tubuh seksi Kana dalam balutan lingerie merah dengan bahan satin. Tampak pucuk niple mungil Kana menonjol, membuat sang Ba
Siang hari sepulang kuliah |"Kana! Lo kenapa sih?" Indira menarik tangan Kana, menahannya pergi tanpa bicara. Bagaimana Indira tidak panik, sedari tadi Kana enggan bicara padanya. Bahkan saat Indira bertanya pun, Kana mengabaikannya. Tentu itu membuat Indira kesal dan bingung."Lo kalo ada masalah, cerita sama gue!""Mending sekarang lo gak usah ikut campur masalah gue.""Tapi kenapa, Na. Kana!"Indira mematung melihat kepergian Kana begitu saja. Melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. "Dira!"Indira menoleh ke arah sumber suara, dia melihat Rendy berlari mendekatinya."Kana udah pergi?" tanya Rendy senggal."Udah.""Rio, Kana ..""Rio? Kenapa?"Rendy masih mengatur nafasnya agar mudah bicara."Kana terima tawaran Rio, buat balapan.""Hah! Yang bener lo kalo ngomong!""Bener. Gue juga denger, Rio bakal ngerjai Kana, dia mau buat Kana ML sama dia dan ngerekam aksi mereka dan dia bakal nyebarin ke media sosial.""Brengsek! Apa-apaan, kenapa Kana terima tawaran Rio?""Kana gak tau
15 menit sebelumnya |Bara menatap punggung Kana yang sudah memasuki kamar mandi. Dengan membuang nafas kasar, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mata elangnya menatap nyalang langit kamar. Rasa cintanya begitu besar pada Kana, bagaimana sekarang dia mengatasi Livy. Pria brengsek yang sudah menipunya, datang membawa segalanya untuk sahabatnya, dan pergi meninggalkan semua jenis luka pada dokter cantik itu. Salah Bara sudah mengenalkan pria brengsek pada Livy, tapi sumpah demi apapun Bara sendiri tidak tau kalau pria itu memiliki keluarga di negara aslinya, Amerika.DdrrttDdrrttDeg! Bara menegang melihat panggilan dari Indira. Kenapa anak itu harus menelfonnya sekarang? Bara menghela nafas berat sebelum menerima panggilan dari putrinya."Iya, Ra."'Dad ..' terdengar lirih suara Indira dari seberang sana. Bara memijit pelipisnya mendengar suara mengenaskan itu."Dira, maafin Daddy. Daddy akan-,"'Rio udah nyebarin vidio ciuman sama Kana di medsos. Dira gak terima, lakuk
Bara memarkirkan asal mobilnya di depan bangunan megah berlantai dua. Tidak peduli ada banyak penjaga bersenjata yang menghadangnya masuk kedalam hunian itu. Bara menentang, dia menghadapi jejaran orang yang berdiri di depan teras."Panggil Pram keluar, atau tempat ini gue hancurkan!" ucap Bara menahan amarah yang siap meluap."Joe Bara!"Si pemilik nama menatap sumber suara, bersamaan dengan para penjaga yang bergeser memberi jalan pada sang majikan."Kita bicara di dalam?" tawar Pram.Bara mengeluarkan pistol dan menodongkan pada Pram, sontak para anak buah Pram juga mengangkat senjatanya mengarah pada Bara."Lo udah dua kali nyerang gue, dan sekarang gue nyatakan kita resmi perang!""Bara! Tenang, kita bicara baik-baik.""Gak butuh!"Pram menghela nafasnya, meminta para anak buahnya untuk pergi meninggalkan kedua ketua Mafia beda kelas itu."Gue udah bilang, lo serahkan gadis cantik itu, dan gue gak akan lagi mengganggu.""Berapa kali gue jelaskan, jangan bawa wanita dalam urusan p