Di rumah | Bara dan Kana sudah sampai di rumah, para boneka yang Bara dapat tadi dia bawa ke kamar. Kana tenggelam dalam lautan boneka di atas ranjang. Dia memeluk semua boneka menggemaskan dari pasar malam. "Sayang, turunin dulu bonekanya. Mereka gak boleh tidur sama kamu." "Ish apa sih! Masa sama boneka aja cemburu." Kana mendengkus kesal melihat suaminya menurunkan semua boneka dari atas ranjang. "Ganti baju, gih." Bara memberikan dres tidur minim bahan untuk Kana. Kana mengeritkan keningnya melihat lingerie berwarna putih yang Bara berikan. Dia langasung mengerti kenapa suaminya memberikan pakaian haram itu. "Sayang." "Iya, bentar ih!" Kana beranjak dari ranjang, bukannya ke kamar mandi, dia malah ke walk in-closet mengambil piyama. Hampir 30 menit lamanya Bara menunggu sambil mengecek pekerjaan dari gawainya. Kana keluar dari kamar mandi mengenakan piyama ungu, dengan santainya mengabaikan keinginan Bara. "Ai, kenapa gak pake lingerie tadi?" "Dingin." balas Kana sekenan
Tiga bulan kemudian |CeklekLangkah kaki pria tampan itu mendekati branker dimana perempuan kesayangannya tengah terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Bouquet berisi mawar merah berukuran besar yang dia bawa, di letakkan di atas nakas dekat branker."Sayang, Mas datang." bisik laki-laki dengan senyum di bibirnya seraya mengusap lembut pipi wanitanya.Seketika mata perempuan itu terbuka, membalas senyum begitu melihat prianya datang."Jangan bergerak, Ra. Tiduran aja," Bara menahan tubuh Kana agar tidak mengubah posisi tidurnya."Mas, Kana udah baikan.""Enggak, kamu gak boleh banyak bergerak. Luka tembakkan kamu masih belum pulih,"Kana tersenyum, mengusap tangan kekar sang suami dan memberinya kecupan di punggung tangannya."Cepet sembuh sayang, Mas gak tega liat kamu begini. Maaf, karena Mas kamu jadi sakit, Mas akan buat perhitungan buat Dinar.""Dimana dia?" tanya Kana dengan s
Hujan turun cukup deras membasahi Jakarta sore itu. Tampak seorang gadis cantik dengan motor sportnya baru pulang entah dari mana. Dengan pakaian basah, gadis itu masuk kedalam rumah nya. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tertutup, penasaran dengan suara itu, dia menempelkan daun telinganya pada pintu tertutup.Jantungnya berdegup kencang mendengar suara desahan nikmat saling bersahutan dalam kamar itu. Segera dia menjauh dan berlari menuju kamarnya.Aira Kana Stuart, atau biasa di sapa Kana, gadis cantik berusia 21 tahun yang kini masih kuliah di Universitas ternama di Jakarta. Besar di keluarga broken home, karena kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya yang kabarnya sudah menikah lagi dan tinggal di Malaysia, sedangkan sang Ibu memilih sendiri dan menjadi wanita panggilan pria hidung belang. Dan Kana, tinggal bersama Kakak perempuannya.Tok TokTok"Kana, kamu sudah pulang?" terdengar suara dari luar mengetuk pintu. Kana tentu mendengar panggilan itu, tapi dia enggan menanggapi
Keesokan paginya |Kana mengerang menarik tubuhnya selepas bangun tidur. Belum beranjak, tubuhnya masih terbungkus selimut tebal, tatapannya nyalang ke arah langit-langit kamar. Sesaat dia sadar, seperti ada yang salah pagi ini. Kana langsung menyibakkan selimut dan hendak turun dari ranjang. Tapi, dia kembali mengurungkan niatnya melihat seseorang duduk di sofa dekat ranjangnya."Ya ampun! Gue gak mimpi?" gumam Kana menepuk kedua pipinya.DapDapDapKana tak berani menatap pria yang tengah berjalan ke arahnya. Tinggi sekali pria itu, tubuhnya tegap dengan otot lengan nyaris merobek bajunya. Pria itu berdiri tepat di depan Kana, dia sedikit membungkuk menarik dagu Kana agar mendongak menatapnya."Kamu, Kana?"Deg!Kana tertegun dengan suara berat dan sedikit serak itu. Seketika jantungnya berpacu kala kedua mata saling bertemu, Kana benar takjub dengan tatapan pria itu."Saya bertanya!" ulang pria itu, kali ini suaranya lebih sedikit meninggi."Om Bara, Kenapa di rumah saya?"Om? Ken
Setelah dia memberikan kunci itu pada Bara, segera mereka meninggalkan rumah yang mungkin saja sudah di incar para kawanan penembak semalam. Bara melajukan motor sport Kana cukup kencang, Kana mengeritkan keningnya melihat jalur keluar dari jalan raya."Om, kita mau kemana?"Bara tak menyahut, dia semakin melajukan kecepatan motornya dan itu berhasil membuat Kana memeluk erat tubuh Bara. Bara tersenyum kecil merasakan lingkaran tangan Kana di perutnya. Tak lagi dia rasakan sakit pada luka tembakan semalam, setelah bertemu dengan Kana, sepertinya luluh semua rasa sakit pada tubuhnya.Bara membelokkan motor itu ke halaman bangunan bertingkat yang di kelilingi pagar tembok tinggi dengan pintu gerbang besi tebal yang otomatis terbuka. Kana semakin bingung, ini bukan rumah dimana Dira tinggal. Kemana Bara membawanya? Di sana mereka di sambut dengan beberapa pengawal bertubuh tegap dengan pakaian rapi serba hitam. Mereka membungkuk memberi hormat kala Bara melewati para penjaga di sana.Kan
Malam hari |Kana duduk di tepi ranjang sambil meremas jari-jari lentiknya. Tidak dia pedulikan beberapa orang di sana yang sedang menghias kamar menjadi kamar pengantin. Buka hanya itu, di sana juga tampak dua orang tengah sibuk memasang gaun pengantin berwarna putih pada sebuah Mannequen.Lagi, Kana tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja Bara masuk kerumahnya, membawanya pergi dan memintanya menikah. Apa sebenarnya yang Bara inginkan.Ceklek.Bara melirik kamar yang sudah hampir selesai di hiasi dengan dominan warna merah dan bunga mawar merah. Dia melihat Kana duduk termenung di ranjang, memutuskan menghampiri gadis kecil itu."Kamu harus istirahat, besok acara pernikahan akan berlangsung satu hari dan kamu akan kelelahan." kata Bara. Kana mengangkat pandangannya menatap nanar pada pria yang katanya besok akan menikahinya."Enak banget Om ngomongnya. Emangnya Om gak mikir gimana Kana? Masa depan Kana? Om tau keluarga Kana gimana, dan Om juga pasti tau tentang Indira.
Malam hari |Kana melepaskan high heels dari kakinya yang terasa pegal karena seharian berdiri dan berjalan kenalan dengan para kolega Bara. Cukup banyak yang hadir, beberapa orang terpenting yang Bara undang.Kana berdiri mencoba menarik resleting di punggungnya yang sulit dia jangkau. Dia sampai membusungkan dadanya mencari dimana pengait gaun itu."Panggil saya kalau kamu kesulitan, Ai."Kana menegang! Bara datang tiba-tiba menarik pinggangnya dan menurunkan resleting itu. Kana masih memegangi bagian depan gaun agar tidak terlepas. Malu rasanya."Kenapa? Kamu sudah menjadi istri saya, sudah seharusnya saya lihat lekuk tubuh kamu.""Enggak!" Kana menjauh dari Bara sambil menarim selimut menutup tubuhnya."Kana gak mau!"Bara tersenyum miring melihat wajah memerah Kana. Dia menginjak pucuk selimut di lantai dan berjalan mendekati Kana."Om, please. Kana belum siap,"Bara menghentikan langkahnya, jakunnya naik turun menelan salivanya mendengar kalimat Kana. Dia melihat sorot ketakutan
Keesokan paginya |Kana terbangun dari tidurnya tepat pukul 6 pagi. Dia mencoba melepaskan lengan Bara yang melingkar di perutnya. Bukannya terlerai, justru Bara malah semakin mengeratkan pelukannya."Om, ini udah pagi. Kana mau kuliah." Bara tak menghiraukan, dia malah mendusal mengecup ceruk leher Kana."Om!""Mas gak akan lepas kalau kamu masih panggil 'Om.""Kana lupa. Ya udah, lepasin Mas."Bara memutar tubuh Kana agar menghadapnya."Morning, My Wife." ucap Bara mengecup kening Kana. Kana diam tersipu malu, dia merasa kalau wajahnya pasti sudah memerah."Gak mau balas sapaan Mas?""Iya, morning too.""Kok gitu doang, gak sosweet.""Ihh apaan sih! Awas ah, Kana mau mandi, Mas!""Bentar dulu, Ai. Mas masih mau peluk kamu.""Ntar Kana terlambat, kampus Kana makin jauh dari sini."Bara baru ingat, mereka tengah berada jauh dari pusat kota. Untuk sampai ke kampus Kana butuh waktu tempuh sekitar 45 menit. "Mas!""Ok, Mas lepasin. Tapi cium dong, dikit aja."Kana mengeritkan keningnya,
Tiga bulan kemudian |CeklekLangkah kaki pria tampan itu mendekati branker dimana perempuan kesayangannya tengah terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Bouquet berisi mawar merah berukuran besar yang dia bawa, di letakkan di atas nakas dekat branker."Sayang, Mas datang." bisik laki-laki dengan senyum di bibirnya seraya mengusap lembut pipi wanitanya.Seketika mata perempuan itu terbuka, membalas senyum begitu melihat prianya datang."Jangan bergerak, Ra. Tiduran aja," Bara menahan tubuh Kana agar tidak mengubah posisi tidurnya."Mas, Kana udah baikan.""Enggak, kamu gak boleh banyak bergerak. Luka tembakkan kamu masih belum pulih,"Kana tersenyum, mengusap tangan kekar sang suami dan memberinya kecupan di punggung tangannya."Cepet sembuh sayang, Mas gak tega liat kamu begini. Maaf, karena Mas kamu jadi sakit, Mas akan buat perhitungan buat Dinar.""Dimana dia?" tanya Kana dengan s
Di rumah | Bara dan Kana sudah sampai di rumah, para boneka yang Bara dapat tadi dia bawa ke kamar. Kana tenggelam dalam lautan boneka di atas ranjang. Dia memeluk semua boneka menggemaskan dari pasar malam. "Sayang, turunin dulu bonekanya. Mereka gak boleh tidur sama kamu." "Ish apa sih! Masa sama boneka aja cemburu." Kana mendengkus kesal melihat suaminya menurunkan semua boneka dari atas ranjang. "Ganti baju, gih." Bara memberikan dres tidur minim bahan untuk Kana. Kana mengeritkan keningnya melihat lingerie berwarna putih yang Bara berikan. Dia langasung mengerti kenapa suaminya memberikan pakaian haram itu. "Sayang." "Iya, bentar ih!" Kana beranjak dari ranjang, bukannya ke kamar mandi, dia malah ke walk in-closet mengambil piyama. Hampir 30 menit lamanya Bara menunggu sambil mengecek pekerjaan dari gawainya. Kana keluar dari kamar mandi mengenakan piyama ungu, dengan santainya mengabaikan keinginan Bara. "Ai, kenapa gak pake lingerie tadi?" "Dingin." balas Kana sekenan
Malam hari, Rumah Utama |Edgar menemani Indira mengerjakan tugas sekolah yang guru berikan pada Bara waktu itu. Telaten sekali dia mengajari calon istrinya itu mengerjakan soal Matematika. Indira memang tidak secerdas Kana, dia harus ekstra keras untuk belajar agar mendapat nilai yang lumayan bagus. Tidak seperti Kana, cukup dengan sekali mengingat materi, sudah bisa mengerjakan soal dengan mudah."Bang, memangnya Daddy cerita apa aja sama Mamah di Prancis." tanya Indira mengalihkan rasa jenuhnya dengan tugas itu."Masalah apa?""Masalah Dira, kok bisa Daddy tiba-tiba suruh Abang datang dan jodohin sama Dira."Edgar tersenyum menutup buku pelajaran Indira."Sebelum Bara jodohin kita, Abang udah lebih dulu minta kamu jadi jodohnya Abang. Kamu masih kelas 6 SD, abang udah pergi ke Prancis. Dan abang udah janji, akan balik lagi buat nikahin kamu.""Kenapa Abang mikir gitu?""Karena abang suka sama kamu.""Terus, Daddy bilang apa?""Dia cerita banyak hal, Mamah mengerti maksud dia. Begit
"Keluarga Kana? Selama ini gak pernah mereka cari ataupun peduli sama Kana?""Kamu tau pasti tentang keluarganya?""Iya taulah, Bang. Dira tuh udah lama sahabatan sama Kana, dan setau Dira, mereka gak ada sama sekali mikir biaya hidup Kana. Masih baik Kana pinter, jadi biaya sekolah dapet beasiswa. Untuk yang lainnya, dia harus ikut balapan buat dapet uang. Kadang kerja paruh waktu di cafe atau warung kaki lima." jelas Indira panjang lebar mengenai kehidupan Kana."Terus, kenapa sekarang mereka cari Kana?""Dira curiga, pasti ada sesuatu yang gak beres. Terakhir Kak Maudy pergi gitu aja sama pacarnya karena rumah mau di sita.""Jadi, rumahnya udah di sita?""Kayanya udah. Kasihan Kana, Bang. Kalau sampe keluarganya manfaatin Kana, Dira yakin banget ada sesuatu yang buruk bakal nimpa Kana.""Kamu tenang aja, Daddy mu gak akan biarkan itu terjadi. Kana pasti aman sama Daddy Bara, kamu percaya 'kan sama Daddy mu?""Iya percayalah, secarakan keluarga Kana cuma kita. Gak yakin Dira mereka
Setelah selesai membahas masalah kematian Ayahnya, Bara menutup pertemuan dengan adiknya. Edgar meraih ponselnya dan menunjukkan sesuatu pada Bara."Apa ini?""Keluarga Kana. Mereka nyebarin poster kehilangan, mereka udah mulai cari Kana, Bang."Bara mengepalkan erat tangannya, marah sekali melihat deretan poster kehilangan yang sudah menyebar."Dari mana kamu dapat ini?""Mini market, tadi gak sengaja ketemu pas beli rokok. Tadinya aku kira ini bukan Kana, tapi setelah ku lihat lagi ternyata bener.""Brengsek!""Keluarga mereka gak tau, Kana nikah sama Abang?""Enggak.""Kakaknya juga?""Keluarga mereka gak harmonis, Ed. Kamu denger sendiri 'kan, Pram bilang apa? Bahkan Papahnya sendiri punya fikiran buruk itu. Kalau bukan karena Papahnya, udah Abang bunuh tu orang tua.""Terus sekarang gimana? Ini Kana udah di cari, pasti mereka bakal datang ke pihak sekolah dan cari informasi di sana. Mereka tau 'kan Abang yang jadi walinya Kana? Pasti mereka bakal bilang ke keluarga Kana,"Bara me
Malam hari |Bara dan Kana duduk di bangku taman samping rumah, mereka menikmati malam sambil memakan potongan buah dan cemilan lainnya."Mas, gimana kabarnya dokter Livy?" tanya Kana bersandar di lengan sang suami."Mas belum telfon dia." Kana mendongak menatap Bara yang masih menikmati minumannya."Kok belum? Telfon dong, Mas tanya dia udah gimana. Mas jadi temen gak perhatian."Bara menenggak habis minumannya, dan menarik bibir manis Kana, menyesapnya lembut."Dia pasti baik-baik aja." kata Bara di sela pagutannya."Yakin?""Iya, dia akan telfon Mas kalau ada sesuatu.""Emmm.""Kamu kenapa? Kok tiba-tiba tanya dokter Livy?""Kana kepikiran sama kandungannya, Mas. Dia jaga gak ya, bayi itu.""Dia dokter, gak mungkin dia melakukan hal sebodoh itu. Bayi itu gak salah, yang salah perbuatan orang tuanya.""Kalo Kana hamil, Mas seneng gak?"Bara menunduk menatap wajah cantik istrinya yang terkena pantulan sinar rembulan."Kamu mau tau, apa yang akan Mas lakukan saat tau kamu hamil?""Ap
"Masak? Untuk apa?""Untuk suami gue lah.""Hahh? Yakin lo mau masak?""Iya, gue juga mau kasih kesan buat Bara.""Jadi maksud lo, lo mau kasih kesan kaya Dinar, gitu?" Kana mengangguk cepat."Kana, lo bego banget sih. Kalo lo mau kasih kesan buat Daddy, kasih yang lain lah. Jangan masak, Kana.""Kenapa? Lo bilang dia sering masak buat Bara.""Iya, tapi kalo lo buat gitu juga, itu artinya lo sama kaya dia. Lo mau, Daddy anggap lo sama kaya Dinar.""Ya enggak lah, gila lo!""Ya makanya, Kana, kasih kesan yang lain."Kana mencebikan bibirnya kesal, kesan apa yang bisa dia berikan untuk suaminya. Dia hanya lihai dalam semua materi pelajaran dan balapan, sisahnya, nihil."Gue gak tau mau kasih kesan apa? Gue sendri gak tau, Bara sukanya apa? Hobinya apa? Gue gak tau apa-apa tentang suami gue sendiri, gimana mau kasih kesan.""Tanpa kamu lakukan apapun, Mas udah sangat terkesan sama kamu."Kana menegang melihat Bara tiba-tiba datang menghampirinya dan mengecup keningnya. Tampak juga Edgar
Bara baru selesai mengurus masalah kuliah Kana dan Indira. Pihak kampus setuju untuk melakukan Darring pada kedua muridnya itu selama satu minggu kedepan. Bara membawa beberapa materi yang sempat Kana tinggal, guru pengajar memberikan soal ulangan juga."Om Bara!"Bara menoleh kala namanya di panggil, di sana dia melihat tiga remaja pria menghampirinya."Ini kunci motor Kana, saya udah kirim motornya ke alamat yang Om bilang." Bara menerima kunci motor milik Kana dari Rio."Om, kita boleh ketemu Kana sama Dira gak?" kata Alvin."Untuk sentara tidak." balas Bara dengan nada datar."Jadi, kapan dong?""Mau apa kalian bertemu mereka?""Kita cuma mau berkunjung aja kok, Om. Kana dan Dira juga kan teman kita."Bara menatap ketiga remaja itu, setelahnya dia pergi dari sana tanpa bicara sepatah kata pun. Dia bahkan tidak menjawab kapan mereka bisa mengunjungi Kana dan Indira."Tuh liat, gak serem lo pada berurusan sama dia? Gue yakin, di balik jasnya itu, ada pistol." kata Rio."Serius lo, l
Kana duduk di tepi ranjang, memainkan kuku panjangnya yang tak lagi terawat. Walau tampak sibuk dengan kuku, tapi fikirannya tetap mengarah pada masalah tadi. Ternyata benar kata Bara, menjadi keluarga Mafia tidak mudah. Harus pandai menjaga identitas agar musuh tidak mudah mengenali keluarganya."Sayang, kok belum tidur?" tanya Bara yang baru saja masuk kamar."Gimana keadaan Indira, Mas?" Kana langsung berdiri mendekati Bara."Udah lebih tenang, dia udah di temani Edgar.""Kenapa Mas gak bilang, kalau Dira di culik?""Memangnya kalau Mas bilang, kamu mau apa? Ikutan?"Kana mencebikkan bibirnya maju kedepan dengan wajah menekuk kesal."Mas gak mau kamu ribut minta ikut, bisa dalam bahaya kamu. Itu saja kamu udah jadi incarannya, karena masalah Papa mu."Kana menatap tajam pada Bara, barusan dia mengatakan 'Papamu' padahal jelas pria itu adalah mertuanya."Mas! Dia mertua kamu!""Iya, Mas tau. Tapi orang tua mana yang tega, jual anaknya. Apa pantas seperti itu di sebut orang tua?""Ma