Malam hari |
Kana melepaskan high heels dari kakinya yang terasa pegal karena seharian berdiri dan berjalan kenalan dengan para kolega Bara. Cukup banyak yang hadir, beberapa orang terpenting yang Bara undang.Kana berdiri mencoba menarik resleting di punggungnya yang sulit dia jangkau. Dia sampai membusungkan dadanya mencari dimana pengait gaun itu."Panggil saya kalau kamu kesulitan, Ai."Kana menegang! Bara datang tiba-tiba menarik pinggangnya dan menurunkan resleting itu. Kana masih memegangi bagian depan gaun agar tidak terlepas. Malu rasanya."Kenapa? Kamu sudah menjadi istri saya, sudah seharusnya saya lihat lekuk tubuh kamu.""Enggak!" Kana menjauh dari Bara sambil menarim selimut menutup tubuhnya."Kana gak mau!"Bara tersenyum miring melihat wajah memerah Kana. Dia menginjak pucuk selimut di lantai dan berjalan mendekati Kana."Om, please. Kana belum siap,"Bara menghentikan langkahnya, jakunnya naik turun menelan salivanya mendengar kalimat Kana. Dia melihat sorot ketakutan pada bola mata indah Kana, seketika hatinya merasa tidak tega melihat gadis kecilnya ketakutan."It's ok. Saya tidak akan paksa kamu, saya akan tunggu dua pekan. Tapi, jika dalam dua pekan ini kamu masih belum menyerahkan diri, saya akan minta paksa hak saya."Kana menelan susah salivanya, tiba-tiba saja ludahnya terasa kelat sampai sulit sekali meneguknya. Bara melepaskan pijakan kakinya dari selimut dan membiarkan Kana membalut tubuhnya."Pergilah ke kamar mandi, bersihkan diri mu. Semua pakaian kamu ada di sana." Bara menunjuk satu ruangan dan pergi dari sana.Kana menghela nafas lega dengan kepergian pria yang sudah menjadi suaminya. Segera Kana membersihkan diri dari sisah riasan dan bekas peluh yang membuat kulitnya terasa lengket.Setelah selesai membersihkan diri, dan memakai pakaian yang layak dia pakai untuk tidur malam, Kana berniat ingin segera berbaring. Tapi lagi, dia di kejutkan dengan kehadiran Bara yang sudah mapan di tepi ranjang sambil memainkan ponsel."Lihat apa kamu? Kemari." kata Bara tanpa menatap Kana."Kamu gak dengar?""Kenapa Om di sini?" Kana mendekati Bara dengan tatapan kesal."Kamu istri saya, dan saya berhak tidur di sini bersama kamu.""Tapikan-,""Hanya tidur bersama, saya ingat kamu belum siap. Tapi apa dengan tidur bersama pun kamu gak siap?" Bara menaikan sebelah alisnya menatap wajah merona Kana, gemas sekali Bara melihat gadis kecilnya. Ingin rasanya dia lahap habis perempuan cantik ini, tapi dia harus sabar. Dia tidak mau merusak momen malam pertamanya justru menjadi trauma bagi Kana."Hanya tidur saja, Ai. Gak lebih," Bara menepuk tempat sebelahnya menyilahkan agar Kana segera berbaring di dekatnya."Bener, cuma tidur doang 'kan?""Iya, Aira."Kana menghela nafas lebih dulu sebelum memantapkan dirinya untuk tidur bersama. Perlahan Kana naik ke ranjang yang masih di penuhi taburan kelopak bunga mawar."Om!""Cuma peluk saja, Ai."Kana membiarkan Bara memeluknya dari belakang dengan posisi mereka berbaring. Dia dapat merasakan hembusan nafas hangat di tengkuknya."Jangan panggil saya 'Om lagi, Aira. Saya suami kamu.""Jadi, apa?"Bara menautkan tangannya di sela jari-jari lentik Kana dan menggenggamnya erat."Panggil sayang juga boleh." bisik Bara mengecup ceruk leher Kana."Gak mau. Om gak cocok di panggil sayang.""Memangnya kamu gak sayang sama saya?""Untuk saat ini kayanya enggak."Bara tersenyum mendusal wajahnya pada ceruk leher Kana yang terasa hangat."Gak apa-apa, saya akan tunggu sampai kamu sayang dan cinta. Tapi jangan panggil saya 'Om, saya gak se-tua itu, Aira.""Ya jadi mau di panggil apa? Oppa?""Panggil saya, 'Mas, boleh?"Kana menangkup bibirnya menahan senyum, manis sekali suara Bara malam ini."Boleh. Tapi ada syaratnya.""Apa itu?""Om jangan lagi pakai kata 'Saya untuk menyebutkan diri Om. Kana ngerasa kaya lagi ngomong sama Presiden."Tawa Bara pecah menggelegar seketika mendengar kalimat yang entah itu ledekan atau apalah. Lucu sekali Bara mendengarnya, dia memutar tubuh Kana menghadapnya dan mengusap lembut kedua pipinya."Ok, mulai sekarang Mas gak pakai lagi kata 'Saya untuk menyebut diri."Kana semakin merona mendengar Bara sudah mengganti penyebutan dirinya dengan 'Mas. Entah kenapa Kana merasa sangat terkesima mendengar Bara memantapkan diri menyebutnya 'Mas."Gimana, Ai. Cocok 'kan?"Kana mengangguk. Tak sanggup dia menatap mata Bara yang terkesan dalam."Coba, kamu panggil 'Mas.""Iya, Mas Bara.""Duhh! Istrinya Bara." Bara menarik pucuk hidung Kana saking gemasnya."Besok Kana mau kuliah, minggu depan mau ada ujian praktik. Udah dua hari Kana libur, Dira pasti nyariin.""Kamu jangan bilang dulu sama Dira, biar nanti Mas yang bicara sama dia.""Kana ragu, gimana kalau Dira tau nanti. Pasti dia bakal kecewa banget.""Sayang, kamu jangan fikirkan itu. Dira anak Mas, dia gak boleh punya rasa sama Mas.""Tapi nyatanya dia udah suka sama Om."Bara mengeratkan rahangnya, sangat tak suka dengan sebutan itu lagi. Harusnya dia mendengar Kana menyebutnya dengan sebutan 'Mas."Kamu bilang apa? Coba ulangi lagi.""Dira udah terlanjur suka sama Om."Cup!"Om!"Cup!"Panggil, 'Mas, atau kamu Mas cium sepanjang kamu bicara."Kana menutup mulutnya dengan jari-jarinya, dia lupa kalau baru saja Bara memintanya jangan lagi memanggil 'Om."Iya, lupa." kata Kana nyengir menampakkan gigi kelincinya."Mas akan selesaikan, dan kasih paham sama Dira supaya tidak lagi menyukai Mas. Dia sudah Mas anggap anak sendiri, Ai. Kenapa dia bisa sampai berfikir seperti itu?""Mana Kana tau. Yang Kana tau Dira nyaman sama Mas, dia mau jadi sugar Baby nya Mas.""Kana! Kamu ini bicara apa?""Dira yang bilang gitu, Mas.""Aira, kamu tau 'kan Mas suka kamu sejak lama. Mas juga tau loh, kamu pura-pura gak tau dan mencoba menghindari Mas.""Ya 'kan Kana jaga perasaan Dira.""Mas akan selesaikan ini secepatnya, jangan sampai Dira jatuh terlalu dalam sama perasaannya."Kana diam saja, ada perasaan senang di sudut hatinya, dia tak lagi merasa bersaing untuk mendapatkan Bara. Toh Bara sendiri yang datang dan mengatakan suka padanya dari jauh waktu. Indira saja yang sudah terlewat batas, bagaimana bisa seorang anak jatuh cinta pada Ayahnya. Walau sebagai anak angkat, rasanya juga tetap tidak pantas.Bara memeluk Kana yang sudah tertidur, dia mengusap helaian rambut kecoklatan Kana dengan lembut. Fikirannya bermain, memutar otak untuk bicara pada Dira secepatnya. Sebab, urusannya bukan hanya pada Indira, tapi juga pada orang yang semalam bertaruh dengannya. Mungkin saja sekarang orang itu akan mengincar Kana. Tidak ada yang tau orang terdekat Bara, termasuk Indira. Karena mereka sudah melihat Kana, jadi Bara harus melindunginya dari musuh yang datang kapan saja.Keesokan paginya |Kana terbangun dari tidurnya tepat pukul 6 pagi. Dia mencoba melepaskan lengan Bara yang melingkar di perutnya. Bukannya terlerai, justru Bara malah semakin mengeratkan pelukannya."Om, ini udah pagi. Kana mau kuliah." Bara tak menghiraukan, dia malah mendusal mengecup ceruk leher Kana."Om!""Mas gak akan lepas kalau kamu masih panggil 'Om.""Kana lupa. Ya udah, lepasin Mas."Bara memutar tubuh Kana agar menghadapnya."Morning, My Wife." ucap Bara mengecup kening Kana. Kana diam tersipu malu, dia merasa kalau wajahnya pasti sudah memerah."Gak mau balas sapaan Mas?""Iya, morning too.""Kok gitu doang, gak sosweet.""Ihh apaan sih! Awas ah, Kana mau mandi, Mas!""Bentar dulu, Ai. Mas masih mau peluk kamu.""Ntar Kana terlambat, kampus Kana makin jauh dari sini."Bara baru ingat, mereka tengah berada jauh dari pusat kota. Untuk sampai ke kampus Kana butuh waktu tempuh sekitar 45 menit. "Mas!""Ok, Mas lepasin. Tapi cium dong, dikit aja."Kana mengeritkan keningnya,
Siang hari |Setelah bertengkar tadi, dan Bara berhasil meluluhkan kembali hati Kana untuk berbaikan. Kana menerima takdir kalau dirinya benar milik sang Bara, bukan hanya status dalam buku nikah. Tapi juga sah status sebagai istri Bara yang mungkin sebentar lagi akan menjadi Ibu."Sayang, Mas izin keluar sebentar 'ya." Bara memeluk Kana yang tengah duduk di depan cermin rias."Mau kemana?""Mau liat perusahaan.""Lama gak?""Enggak."Kana memutar tubuhnya menghadap Bara dan mendongak menatap pria itu."Mas, boleh Kana tanya sesuatu?""Boleh, mau tanya apa?" Bara mengusap rahang mulus Kana. Kana melirik bagian perut Bara dan mengusapnya dari balik kemeja hitam yang Bara kenakan."Sebenarnya Mas ini siapa? Kerja apa?" tanya Kana tanpa menatap Bara.Bara menggenggam tangan Kana, dia langsung menunduk bersimpuh di depan Kana. Sangat me-Ratukan sang istri."Apa itu penting?""Penting Mas. Kayanya pekerjaan Mas berbahaya. Lihat, sampek luka gitu.""Enggak kok, ini cuma ulah orang yang iri
Di tengah jam pelajaran, Kana terus memperhatikan Indira. Dia tidak mengerti dengan jalan fikiran Indira. Apa tidak terfikir di benat Indira untuk menghargai Bara sebagai Ayah, walau tidak kandung."Kana! Kamu dengar saya?"Kana tersentak mendengar dosen pengajar menegurnya keras."I-iya Bu, dengar." jawab Kana."Coba kamu jelaskan, apa yang Ibu katakan tadi."Masih baik Kana murid yang cerdas, tanpa memperhatikan pun dia mengerti jalan pelajaran yang di jelaskan dosen itu. Lihai sekali dia menjelaskan materi pelajaran."Bener 'kan, Bu?" Dosen wanita itu menaikan sebelah alisnya menatap Kana. Sudah salah dia menguji Kana, dia bukan sembarang Siswi yang sulit jika di beri soalan."Lain kali jangan melamun, Ujian Semester kalian sebentar lagi.""Iya Bu!" Kana kembali duduk, posisi duduknya berada tepat di belakang Indira."Lo kenapa, Na?" bisik Indira."Enggak, gue gak apa-apa."Jam pulang sekolah |"Lo balik kemana, Na?""Eumm, kos. Gue sekarang sewa kosan.""Oh ya, dimana?""Emmmm-,"
Ceklek.Pukul 01:20 | Bara kembali masuk ke kamar setelah mengurus Pram yang datang. Dia tidak menyadari kalau Kana tidak ada di ranjang. Bara mengecek luka yang sudah beberapa hari ini dia abaikan, sepertinya luka itu mulai membaik. Obat yang Livy berikan cukup manjur untuk luka tembak yang dia alami beberapa waktu lalu. Iya, Bara hanya mengandalkan dari obat yang Livy suntikan, pil yang di berikan tidak pernah sama sekali dia minum. Bara langsung membuang benda yang tidak pernah dia telan walau sesakit apapun dirinya."Mas," Deg! Bara meremang ketika sebuah tangan menyusup dari belakang mengusap dadanya. Deru nafas hangat terasa menyapu ceruk lehernya, bau parfum yang begitu menggoda kejantanan, membuatnya sulit bernafas. Bara membawa tangan mungil itu, menariknya pelan hingga si pemilik beralih duduk di pangkuannya.Glek!Lagi, Bara di buat jantungan melihat tubuh seksi Kana dalam balutan lingerie merah dengan bahan satin. Tampak pucuk niple mungil Kana menonjol, membuat sang Ba
Siang hari sepulang kuliah |"Kana! Lo kenapa sih?" Indira menarik tangan Kana, menahannya pergi tanpa bicara. Bagaimana Indira tidak panik, sedari tadi Kana enggan bicara padanya. Bahkan saat Indira bertanya pun, Kana mengabaikannya. Tentu itu membuat Indira kesal dan bingung."Lo kalo ada masalah, cerita sama gue!""Mending sekarang lo gak usah ikut campur masalah gue.""Tapi kenapa, Na. Kana!"Indira mematung melihat kepergian Kana begitu saja. Melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. "Dira!"Indira menoleh ke arah sumber suara, dia melihat Rendy berlari mendekatinya."Kana udah pergi?" tanya Rendy senggal."Udah.""Rio, Kana ..""Rio? Kenapa?"Rendy masih mengatur nafasnya agar mudah bicara."Kana terima tawaran Rio, buat balapan.""Hah! Yang bener lo kalo ngomong!""Bener. Gue juga denger, Rio bakal ngerjai Kana, dia mau buat Kana ML sama dia dan ngerekam aksi mereka dan dia bakal nyebarin ke media sosial.""Brengsek! Apa-apaan, kenapa Kana terima tawaran Rio?""Kana gak tau
15 menit sebelumnya |Bara menatap punggung Kana yang sudah memasuki kamar mandi. Dengan membuang nafas kasar, dia menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Mata elangnya menatap nyalang langit kamar. Rasa cintanya begitu besar pada Kana, bagaimana sekarang dia mengatasi Livy. Pria brengsek yang sudah menipunya, datang membawa segalanya untuk sahabatnya, dan pergi meninggalkan semua jenis luka pada dokter cantik itu. Salah Bara sudah mengenalkan pria brengsek pada Livy, tapi sumpah demi apapun Bara sendiri tidak tau kalau pria itu memiliki keluarga di negara aslinya, Amerika.DdrrttDdrrttDeg! Bara menegang melihat panggilan dari Indira. Kenapa anak itu harus menelfonnya sekarang? Bara menghela nafas berat sebelum menerima panggilan dari putrinya."Iya, Ra."'Dad ..' terdengar lirih suara Indira dari seberang sana. Bara memijit pelipisnya mendengar suara mengenaskan itu."Dira, maafin Daddy. Daddy akan-,"'Rio udah nyebarin vidio ciuman sama Kana di medsos. Dira gak terima, lakuk
Bara memarkirkan asal mobilnya di depan bangunan megah berlantai dua. Tidak peduli ada banyak penjaga bersenjata yang menghadangnya masuk kedalam hunian itu. Bara menentang, dia menghadapi jejaran orang yang berdiri di depan teras."Panggil Pram keluar, atau tempat ini gue hancurkan!" ucap Bara menahan amarah yang siap meluap."Joe Bara!"Si pemilik nama menatap sumber suara, bersamaan dengan para penjaga yang bergeser memberi jalan pada sang majikan."Kita bicara di dalam?" tawar Pram.Bara mengeluarkan pistol dan menodongkan pada Pram, sontak para anak buah Pram juga mengangkat senjatanya mengarah pada Bara."Lo udah dua kali nyerang gue, dan sekarang gue nyatakan kita resmi perang!""Bara! Tenang, kita bicara baik-baik.""Gak butuh!"Pram menghela nafasnya, meminta para anak buahnya untuk pergi meninggalkan kedua ketua Mafia beda kelas itu."Gue udah bilang, lo serahkan gadis cantik itu, dan gue gak akan lagi mengganggu.""Berapa kali gue jelaskan, jangan bawa wanita dalam urusan p
Keesokan paginya |"Harusnya Mas bawa motor Kana dari Basecamp, kenapa malah di tinggal gitu. 'Kan Kana biasa bawa motor ke kampus, Mas." Pagi-pagi begini Kana sudah mengomel pasal motor yang tertinggal di basecamp saat bertengkar kemarin. Saat itu Bara membawa Kana begitu saja tanpa peduli lagi dengan motor kesayangan Kana."Mas lupa, Ai. Nanti Mas beliin yang baru aja, gimana? Sama handphone juga.""Gak mau! Kana mau motor yang lama, Mas. Itu kenangan Kana dari Papah, Mas udah hancurin handphone Kana, masa sekarang mau ganti motornya juga. Mas mau buang semua kenangan Kana? Walau buruk, tapi tetap ada kesannya Mas. Mas -,"Kana bungkam kala Bara menghajar bibir nya, menyesapnya dan menggigitnya lembut."Udah ngomelnya? Masih pagi, Ai. Nanti Mas minta anak buah Mas ambil motor kamu."Kana menangkup rapat bibirnya, menunduk tak berani menatap sang suami."Kamu pergi ke kampus biar Mas yang anter,""Gak usah. Kana bisa nebeng Dira, dia di antar supir 'kan?""Enggak. Mas yang akan anta