Itu suara ayah mertua. Untung saja Mas Darwis sudah duduk di sisiku. Mereka serentak menjawab salam bersamaan dengan ibu mertua yang keluar membawa Fatir. "Anak siapa itu, mirip sekali sama Agung?" Pertanyaan ayah meyakinkan diri ini kalau dia belum pernah bertemu Fatir atau sekadar mengetahui perselingkuhan anaknya. Memang sejak awal menjadi menantu di rumah ini, ayah bilang sudah menganggap aku sebagai putri sendiri. Terbukti, dia selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah dengan dalih seorang putri terkadang harus dimanjakan. Namun, aku hanya menanggapi dengan senyum, lalu membantu ibu di dapur. "Ningsih, datang kenapa gak bilang-bilang? Agung bilang kamu ngidamnya itu tidak mau melihat muka suami, makanya mama sama mas kamu datang. Sekarang sudah rindu?" Ayah mertua bertanya dengan nada menggoda. Sepertinya memang belum tahu keadaan yang sebenarnya. Senyum lelaki berperut besar itu merekah sempurna apalagi setelah melihat perutku. Dia berdoa agar anak ini sehat wal afiat. "M
~Jangan tertipu dengan seseorang yang kamu lihat baik, sopan dan ramah. Sejatinya setiap insan selalu menyembunyikan aib sendiri terlebih ketika menginginkan sesuatu. Dalam hal apa pun termasuk dalam memilih jodoh, selalu libatkan Allah.~____Bintu Hasan____***"Mas, ponselnya kenapa di-charger lagi, bukannya sebelum isya tadi sudah penuh?" tanyaku ketika melihat Mas Agung meletakkan ponsel di nakas."Biar tahan lama, Dek," jawab Mas Agung dengan senyum kikuk.Aku sedikit bingung dengan jawaban yang selalu sama. Sebenarnya ini bukan kali pertama, Mas Agung memang selalu melakukan itu ketika pulang dari Bengkulu.Namun, untuk menghindari masalah rumah tangga, aku kembali diam. Mas Agung mendekat, mencium pucuk kepalaku sebelum akhirnya tertidur pulas.Mata terbuka pelan, aku melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas malam. Ketika melirik ke samping, aku melihat Mas Agung memainkan ponsel dalam keadaan memunggungiku."Tenang saja, kita aman!" bisik Mas Agung seraya mendekat
Sungguh, aku tidak tahan dengan keadaan ini apalagi sendirian di rumah. Tanpa mengulur waktu, aku mengirim pesan pada Melinda memintanya datang ke rumah. Bertindak sendirian akan lebih berbahaya apalagi dalam keadaan hamil lima bulan.Hati yang tidak tenang membuatku membuang napas kasar berulang kali. Takdir kali ini bagai disambar elang. Bernasib buruk sekali.Hampir dua jam duduk termangu di ruang tamu, kini aku mendengar suara ketukan di pintu. Pasti itu Linda. Aku beranjak dari kursi, membuka daun pintu perlahan."Mas Agung?" Aku terkejut bukan main melihat suami sendiri pulang secepat ini padahal seharusnya sedang bekerja."Mas lupa bawa ponsel, Dek." Mas Agung tersenyum manis, lalu masuk rumah tanpa kata lagi.Sialnya aku malah tidak tahu hal itu karena setelah mereka pergi tadi, aku belum beres-beres rumah melainkan melamun banyak hal.Aku menyusul masuk kamar, dia terlihat mengotak-atik benda pipih itu. Namun, mataku fokus pada sesuatu yang mencurigakan. Kaki menuntun mengiki
Pukul sepuluh malam aku mendengar deru mobil memasuki halaman rumah, dengan gerak cepat tangan menutupi diri dengan selimut sambil memejamkan mata. Mas Agung punya kunci cadangan, jadi tidak perlu repot membukakan pintu untuknya."Dek, mas pulang!" serunya, tetapi tetap diam tanpa sahutan.Mas Agung mengelus pucuk kepalaku, berakhir dengan hadiah kecupan pada kening. Ingin muntah dengan tingkahnya, tetapi misi harus tetap dijalankan. Sengaja aku mengeluarkan suara dengkuran halus untuk mengelabui."Sepertinya kamu lelah mengurus rumah, Dek. Maafkan mas yang selalu pulang telat."'Buaya!' omelku dalam hati.Aku pikir Mas Agung akan langsung tidur, ternyata langkahnya terdengar menjauh. Pelan-pelan aku membuka mata, memindai sekeliling karena lampu utama masih menyala, dia tidak ada.Dengan gerak sangat pelan, aku mencoba turun dari tempat tidur melangkah ke luar kamar setelah menyambar ponsel yang ada di bawah bantal.Dari arah dapur ada suara lelaki, itu milik suamiku. Kaki mengendap-
"Pagi, Ningsih," sapanya, tetapi mata itu tertuju pada pintu rumah yang setengah terbuka."Pagi juga, Mbak Ainun."Perempuan itu tidak lepas memandang pintu. Aku yang sedikit risih langsung menegur tanpa rasa sungkan. "Kenapa pintu rumahku dipantengin gitu, Mbak?""Enggak apa-apa, pintu kamu bagus. Aku jadi kepikiran buat nyuruh Mas Haiqal ganti pintu." Ainun sekali lagi tersenyum ramah.Entah kenapa, di hati tiba-tiba ada perasaan tidak senang dengan kehadirannya. Kami bertetangga sudah lama, tetapi aku tidak pernah mengobrol dengannya. Bukan hanya aku, para tetangga yang lain pun melakukan hal serupa.Kerlingan matanya yang sedikit genit berhasil membuatku menekuk wajah. Pasalnya itu dilakukan bersamaan dengan Mas Agung yang tiba-tiba muncul keluar. Cepat sekali dia berpakaian."Ainun?" binar di matanya mengundang kecurigaan. Namun, hanya sebentar begitu sadar aku mengamati mereka. "Mas berangkat kerja dulu, Dek!" pamit Mas Agung mengulurkan tangannya.Aku meraih dan mencium dengan
"Apa menurutmu baiknya kuberitahu mertua?""Jangan, Ning. Itu hanya akan memperkeruh keadaan. Semua ada waktunya, kita tidak boleh bertindak ceroboh. Sekarang aku tanya, kamu tahu, tidak akun Facebook Ainun?"Aku memutar otak mencoba mengingat-ingat. Nihil, tidak ada hasil. Akan tetapi, tidak sampai di situ karena Melinda memintaku buka aplikasi berlogo F itu dan mencari pertemanan.Ternyata benar berteman. Bukan hanya aku, Mas Agung pun adalah teman yang sama dengannya. Sedikit aneh, tetapi mungkin wajar karena tetanggaan."Coba kepoin akun Ainun!" perintah Melinda.Aku langsung menurut dan membaca bio terlebih dahulu. Tidak ada yang menimbulkan kecurigaan karena hanya nama Mas Haiqal Anwar yang tertera di sana.Layar beranda aku geser ke atas untuk melihat status paling bawah. Ada beberapa berita viral yang di-share. Namun, mata tertuju pada sebuah foto."Ainun sudah punya anak?" gumamku.Melinda merampas benda pipih itu. Sayang sekali wajah anaknya ditutupi dengan stiker. Namanya F
"Kok segitu marahnya? Gak mau disuruh ambil sampo lagi?""Dah, sana!" teriakku lagi seraya menutup paksa pintu kamar mandi.Hati sangat perih mengingat status Facebo0k itu juga tingkah Mas Agung ketika bertemu dengan Ainun. Hebat sekali mereka mempermainkan aku yang tidak punya dosa padanya.Padahal teringat satu tahun lalu ketika kami baru pedekate istilahnya. Aku selalu menilai bahwa Mas Agung adalah lelaki baik, sopan dan taat kepada agama bahkan mengira dialah kado terindah yang dikirim Tuhan untukku.Waktu itu di sebuah warung makan dekat kantorku bekerja, kami bertemu juga dengan Melinda karena Mas Agung mengingatkan tidak ingin berduaan sebelum halal takutnya setan sebagai orang ketiga."Kamu mau menikah sama aku?"Suprise! Pertanyaan Mas Agung membuatku terkejut. Sungguh, aku tidak akan menyangka dilamar secepat itu padahal perkenalan kami masih terbilang singkat.Aku melirik pada Melinda dengan hati berbunga-bunga, tetapi dia malah memasang tampang tidak suka. Kedua kening me
"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda."Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?""Iya." Panggilan diputus sepihak.Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore."Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu.""Tanya aja, Ma.""Kamu yakin mau menikah sama Agung?""Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk seba