"Kok segitu marahnya? Gak mau disuruh ambil sampo lagi?"
"Dah, sana!" teriakku lagi seraya menutup paksa pintu kamar mandi.
Hati sangat perih mengingat status Facebo0k itu juga tingkah Mas Agung ketika bertemu dengan Ainun. Hebat sekali mereka mempermainkan aku yang tidak punya dosa padanya.
Padahal teringat satu tahun lalu ketika kami baru pedekate istilahnya. Aku selalu menilai bahwa Mas Agung adalah lelaki baik, sopan dan taat kepada agama bahkan mengira dialah kado terindah yang dikirim Tuhan untukku.
Waktu itu di sebuah warung makan dekat kantorku bekerja, kami bertemu juga dengan Melinda karena Mas Agung mengingatkan tidak ingin berduaan sebelum halal takutnya setan sebagai orang ketiga.
"Kamu mau menikah sama aku?"
Suprise! Pertanyaan Mas Agung membuatku terkejut. Sungguh, aku tidak akan menyangka dilamar secepat itu padahal perkenalan kami masih terbilang singkat.
Aku melirik pada Melinda dengan hati berbunga-bunga, tetapi dia malah memasang tampang tidak suka. Kedua kening mengerut melihat pemandangan itu, tetapi kesempatan ini tidak boleh disia-siakan.
"Ningsih?" panggil Mas Agung.
Tiba-tiba ada sesuatu yang berdesir dalam dada. Aku tersenyum malu bahkan mungkin pipi telah merona karena pertanyaan itu. Selama ini aku tidak pernah pacaran jadi sedikit gugup padahal bukan anak remaja lagi.
"Mas serius?" Aku menatap matanya mencari kebenaran di sana, tetapi dia langsung menunduk.
Ah, mungkin menundukkan pandangan. Aku tahu Mas Agung tidak ingin melakukan kontak mata karena khawatir zina. Hati semakin berbunga-bunga, aku seolah melayang ke angkasa.
Aku yakin, Mas Agung adalah jawaban dari setiap bait doa yang aku gaungkan dalam sujudku. Dia lelaki baik dan pantas sekali menjadi pemimpin rumah tangga.
"Tidak mungkin aku mempermainkan perempuan sebaik dan secantik kamu, Ning," lirihnya.
"Baiklah, kamu datang aja ke rumah, Mas. Bagaimana pun aku harus bilang ke orangtua dulu."
Mas Agung kembali mengangkat wajah dengan senyum semringah. "Baiklah, besok aku datang ke rumahmu!"
"Tapi kamu masih perjaka, kan?" Pertanyaan Melinda membuatku bingung.
"Tentu saja, Lin. Aku ini bujang," jawab Mas Agung dengan suara pelan.
Aku memegang tangan Melinda untuk menenangkannya. Dia memang tidak percaya pada siapa pun apalagi menyangkut soal hati. Tidak heran jika sekarang juga masih hidup sendiri.
Sikap judes Melinda ketika bertemu Mas Agung bisa aku maklumi, lagi pun lelaki di hadapan kami sudah tahu bagaimana sikap sahabat aku itu. Dia bilang tidak apa-apa karena itu manusiawi.
Pesanan kami sudah datang, hanya makan bakso masing-masing seporsi dengan Es Teh. Aku langsung menyantap karena memang kesukaan, begitu juga dengan Melinda.
Sampai kami selesai makan pun Mas Agung tidak pernah memegang ponselnya. Aku jadi semakin yakin kalau dia bujang yang tidak punya istri. Saat keluar warung, dia membayar semuanya.
"Kalau bujang, masa iya ngajakin makan di warung. Cafe kek, restaurant kek!" ketus Melinda begitu mobil Mas Agung benar-benar menghilang dari pandangan.
Aku mengembus napas pelan mencoba memberi pengertian. "Mas Agung itu orangnya tawadhu, dia tidak memandang tempat makan. Di warung kan relatif murah daripada restoran. Aku malah bangga sama dia, Lin karena bisa membedakan mana keinginan mana kebutuhan."
"Kamu kenapa, sih bisa suka sama dia? Kena pelet?" Melinda masih saja memasang wajah tidak suka.
"Ini memang sudah menjadi takdir, Mel. Kamu harusnya mendukung aku."
Melinda kesal, dia bahkan berlalu tanpa kata. Ada satu kemungkinan, ya karena kami sama-sama jomlo. Melinda pasti tidak ingin ditinggal nikah apalagi hanya aku lah sahabatnya.
***
Hari sabtu siang, Mas Agung benar-benar sudah tiba di rumah. Dia seorang diri dulu sebelum membawa kedua orangtuanya. Satu alasan saja, dia ingin kepastian sebelum melibatkan keluarga besar.
Aku memaklumi untuk ke sekian kalinya. Mas Agung juga benar karena kalau papa sama mama menolak, bisa saja memutus silaturahmi.
"Betul kamu masih lajang dan perjaka?"
Itu pertanyaan pertama yang papa lontarkan ketika bertemu dengan Mas Agung. Aku heran dengan semua orang, kenapa malah menanyakan itu padahal jelas-jelas di KTP statusnya belum kawin bukan cerai.
"Betul, Pak." Mas Agung menjawab pelan, tetapi terdengar tegas.
"Sebagai orangtua Ningsih, aku tidak ingin menanyakan apa pekerjaan dan berapa gajimu setiap bulannya." Papa menjeda kalimat dengan menghela napas. "Tetapi, apa kamu bisa menjamin kebahagiaan untuk Ningsih?"
"Insya Allah, Pak. Aku akan memenuhi haknya sebagai seorang istri dan menjadikan Ningsih satu-satunya."
"Kamu salat lima waktu?"
"Iya, Pak. Aku salat lima waktu karena alhamdulillah mengerti bahwa ibadah itu adalah kewajiban yang tidak boleh kita tinggalkan. Jika direstui, lalu menikah, aku janji akan menjadi imam dan kepala rumah tangga yang baik untuk putri Bapak."
Sekali lagi aku mengulum senyum, tetapi dengan kepala menunduk. Jawaban Mas Agung terdengar begitu meyakinkan. Aku semakin percaya bahwa inilah yang terbaik.
"Kalau suatu hari kamu tidak mencintai Ningsih lagi, kembalikan dia pada kami dengan cara terbaik dan jangan beritahu alasan padanya. Kami tidak rela kalau Ningsih menangis karena cinta," tutur mama kemudian.
Aku mengangkat wajah menatap Mas Agung menunggu jawaban apa yang diberikan. Lelaki itu terdiam cukup lama, mungkin terharu mendengarnya.
Lalu, beberapa menit kemudian Mas Agung tersenyum. "Insya Allah, aku tidak akan melakukan itu, Bu. Istri harus dicintai sepenuh hati tanpa ingin tahu kekurangan apa yang dia miliki."
"Kamu serius dengan ucapanmu itu, Nak Agung?"
"Insya Allah, Bu. Allah tahu bagaimana seriusnya hati ini untuk menjadi imam bagi Ningsih."
"Baiklah, kamu bisa bawa orangtuamu dan kita berbincang lagi. Pernikahan itu menyatukan dua keluarga, jangan sampai Ningsih dibenci mertua nanti." Papa mengakhiri pembicaraan ini dengan senyum.
Hati sedikit lega melihatnya karena keraguan yang sejak tadi ditampilkan berangsur hilang.
"Besok, aku akan bawa keluarga, Pak."
"Silakan diminum dulu tehnya!" perintah ibu ketika papa mengangguk mengiyakan.
Sementara itu aku langsung pamit ke kamar dengan hati gembira. Rasanya esok terlalu lama untuk ditunggu. Tidak lupa pula aku menelepon Melinda untuk memberi kabar.
Panggilan ke tiga baru terhubung, mungkin asik rebahan sambil ngemil. Semua perkara tadi aku ceritakan dengan sangat antusias.
"Aku turut bahagia, Ning. Semoga saja memang benar kalau Mas Agung adalah jodoh yang dikirim Tuhan untukmu. Semoga lancar sampai hari H."
"Lin, kok kayak gak semangat gitu jawabnya? Kamu gak bahagia aku dilamar?"
Terdengar embusan napas berat di seberang telepon. "Bukan begitu, tetapi aku khawatir mengingat kalian belum kenal lebih jauh jangan sampai dia itu penipu, terus sudah punya istri!"
"Gak mungkin, Lin. Mas Agung itu orangnya baik!" sangkalku tidak terima ada yang menjelek-jelekkan Mas Agung.
"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda."Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?""Iya." Panggilan diputus sepihak.Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore."Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu.""Tanya aja, Ma.""Kamu yakin mau menikah sama Agung?""Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk seba
Lepas salat isya Mas Agung baru pulang karena memang ada pengajian rutin sehabis magrib di Masjid Al-Hadid. Akan tetapi, yang membuat penasaran adalah kenapa mereka berdua pulang bersamaan bahkan jam sudah menunjuk angka sembilan malam? Mas Agung memasang raut terkejut ketika aku panggil sementara Ainun menyapa dengan senyuman sambil berlalu seperti tidak ada yang perlu dia jelaskan juga. "Kok menunggu di luar?" tanyanya begitu sampai di depanku. Segera kuhidupkan kembali layar ponsel dan mengarahkan ke wajah Mas Agung. "Lihat, Mas. Kamu salat di mana sebenarnya, masa jam sembilan malam baru tiba di rumah padahal jarak ke masjid cuman seratus meteran?" Mas Agung menggaruk tengkuknya. "Itu tadi ... Pak Imam musyawarah, Dek. Jadi, gak enak kalau langsung pulang." "Kok Ainun ikut?" "Aku nggak tahu, di saja juga ada beberapa ibu-ibu." "Musyawarah apa, Mas?" telisikku seraya mengekorinya dari belakang. Nampak sekali kalau Mas Agung tengah berpikir. Dia pasti kesulitan mencari alasan
Mereka kembali melanjutkan perbuatan haram itu. Aku merasa aneh dengan Mas Agung padahal jelas-jelas istri ada di samping malah sibuk video call-an lagian Ainun juga kelewat gatal.Kalau saja boleh, aku lebih memilih hidup dengan Mas Haiqal. Dia itu terkenal sabar dan bertanggung jawab, tetapi Ainun yang bodoh malah membuang suami seperti dia dan memungut sampah di sampingku.Dosa sekarang dianggap manisan yang bisa dinikmati kapan saja. Mas Agung juga bodohnya gak ketulungan, masa iya berani menelepon selingkuhan ketika istrinya juga ada dalam kamar. Apa karena aku memejamkan mata?Kalau mau selingkuh yang pintar dikit, Mas! umpatku dalam hati."Mas, kamu kok sekamar sama Ningsih, sih? Harusnya pisah, cari alasan gitu biar aku gak cemburu!" gerutu Ainun di seberang sana.Tangan terkepal kuat. Dasar wanita penggoda!"Gak apa-apa, Sayang. Toh, mas juga gak ngasih nafkah batin ke Ningsih walau dia selalu merengek minta itu kayak tadi. Cuman mas kepikiran kamu, orang setia!" ucap Mas Agu
"Kamu ini kenapa sih sama tetangga sendiri judes amat!" tegur Mas Agung.Kelihatan sekali dia tidak suka aku memperlakukan Ainun seperti itu. Perselingkuhan mereka semakin jelas, tetapi aku butuh bukti yang cukup kuat.Tidak perlu menuntut harta gono-gini asalkan bisa lepas dari lelaki mata keranjang seperti Mas Agung. Entah bagaimana awal mula kedekatan mereka hingga berani pergi bersama di hadapanku."Emang Mbak Ainun panas kok, Mas!" protesku."Sorry, ya. Sebenarnya yang panas itu kamu karena Mas Agung mau nganterin aku sekalian. Pergi bersama pulang apalagi!" Ainun tersenyum manis."Tetanggaan juga bangga banget!"Ainun langsung meledakkan tawa mendengar ucapanku. Dia pasti mengira aku tidak tahu kedok mereka yang sebenarnya.Tiba-tiba Mbok Inah dan tiga ibu-ibu lainnya lewat, sepertinya mau ke pasar. Ada ide baru nih kebetulan sekali Mas Agung kalau ke kantor pasti melewati pasar."Sebentar, Mas!" Aku mencekal lengan Mas Agung, lalu memanggil Mbok Inah."Ada apa, Neng?" tanyanya.
"Dari mana kamu?!" tanya Mas Agung begitu aku tiba di rumah.Memang jam sudah menunjuk angka delapan malam, tetapi di klinik tadi sangat antri. Melinda juga lapar, jadi kami singgah makan tadi khawatir penyakitnya kumat.Namun, aku tidak menyangka kalau Mas Agung akan pulang cepat dariku hari ini. Matanya menampilkan semburat merah tanda marah. Aku bahkan muak melihatnya."Dari klinik, Mas. Kenapa semarah itu? Aku kan sudah minta kamu nganterin, tapi gak bisa karena harus pergi sama teman-teman. Untung ada–""Haiqal?" potong Mas Agung.Seandainya Mas Haiqal tidak akan kena sembur jika aku mengangguk, sudah pasti kulakukan untuk memanas-manasi Mas Agung. Dengan terpaksa aku menggeleng. "Melinda!""Benar?"Aku memutar bola mata malas, melangkah kaki masuk kamar seraya menyindir pedas, "ya iyalah, Mas, sama Melinda masa sama Mas Haiqal. Aku kan gak berani selingkuh sama tetangga sebelah, lagi pula dosa kalau selalu berduaan dengan yang bukan mahram!""Video call aja kami gak pernah loh,
Sabtu tepat pukul sepuluh pagi, Melinda sudah ada di rumah. Aku sengaja memintanya membawa beberapa buah jambu ke sini sebagai alasan ngidam biar Mas Agung tidak curiga.Kami mengobrol masalah perselingkuhan karena kebetulan Mas Agung sedang berbaring santai di sofa dekat kami duduk. Senyumnya tidak pernah sirna."Serius, Lin? Kok tega ya si Agung selingkuh padahal istrinya itu cantik loh, lagi hamil pula.""Iya, Ning. Aku tuh ya kalau lihat si Agung, pengen kujambak rambutnya," balas Melinda.Kami memang punya teman sekolah dulu, namanya Agung Rifaldi. Cerita sebenarnya adalah teman kami itu menghamili pacarnya kemudian menghilang tanpa jejak.Jadi kalau misal si Buaya yang sedang main hp itu protes, kita bisa menyangkal sambil nunjukin gosip terbaru di grup alumni."Memangnya Agung sekarang secakep apa sih, Lin sampai selingkuh gitu?" Ketika aku melirik sedikit Mas Agung sudah berhenti memainkan benda pipih itu."Ya masih sama kayak dulu. Perutnya buncit, kulit kecokelatan, mukanya
"Apa kamu sudah memikirkan rencana dengan matang, Lin sampai nekat berbuat seperti tadi?"Melinda mengangguk. Akan tetapi, katanya rencana itu masih rahasia jangan sampai aku mengambil tindakan sendiri berujung gagal.Benar juga, dalam keadaan hati yang patah tentu bisa membuatku salah dalam melangkah apalagi jika sudah tersulut emosi. Tindakan Mas Agung memang sudah melebihi batas."Ingat lagi satu hal, kamu gak boleh lemah. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah menangis! Biar saja bahkan sangat bagus kalau Mas Agung menceraikan kamu. Lelaki pecundang sepertinya tidak pantas mendapat kesempatan kedua.""Lalu, kapan kuberitahu mertua tentang perselingkuhan Mas Agung?""Di waktu yang tepat.""Jangan sampai Mas Agung malah memfitnahku lebih dulu.""Kan gak ada bukti, Ning. Lagian kamu juga gak selingkuh, kenapa harus takut? Lagian ya jangan sampai kita ngadu ke mertuamu tanpa bukti yang kuat, padahal mereka malah mendukung kedekatan Ainun sama anaknya."Aku mengangguk paham dengan p
Tepat pukul tiga sore, Mas Agung sudah rapi dengan kemeja kotak dan celana bahannya. Dia beberapa kali menyemprot parfum dan mengubah model rambut. "Mau ke mana sih, sebenarnya?" "Urusan mendadak, pekerjaan kantor. Kamu gak usah nanya, nanti mas pulang agak malem kayaknya, jadi tidur saja!" "Baiklah!" Aku mendesah pelan. Ya mau bagaimana lagi, pasti Mas Agung tetap nekat pergi walau aku berontak sekali pun. Tidak ada niat untuk mengintip lagi karena sudah tahu akan pergi dengan siapa. Sepuluh menit kemudian, deru mobil kembali terdengar memasuki halaman rumah. Anehnya Mas Agung tidak langsung masuk melainkan mengetuk pintu beberapa kali. Dengan penuh rasa malas kulangkahkan kaki ke depan. Begitu daun pintu terbuka lebar, aku memekik dengan suara tertahan. "Mama? Papa?!" "Maaf karena tidak mengabari lebih dulu," kata mama dengan senyum khasnya. Punggung tangan mereka aku cium penuh takzim, kemudian menyilakan masuk rumah dan membawa tas ukuran sedang itu ke kamar kosong depan k