"Apa kamu sudah memikirkan rencana dengan matang, Lin sampai nekat berbuat seperti tadi?"Melinda mengangguk. Akan tetapi, katanya rencana itu masih rahasia jangan sampai aku mengambil tindakan sendiri berujung gagal.Benar juga, dalam keadaan hati yang patah tentu bisa membuatku salah dalam melangkah apalagi jika sudah tersulut emosi. Tindakan Mas Agung memang sudah melebihi batas."Ingat lagi satu hal, kamu gak boleh lemah. Apa pun yang terjadi nanti, jangan pernah menangis! Biar saja bahkan sangat bagus kalau Mas Agung menceraikan kamu. Lelaki pecundang sepertinya tidak pantas mendapat kesempatan kedua.""Lalu, kapan kuberitahu mertua tentang perselingkuhan Mas Agung?""Di waktu yang tepat.""Jangan sampai Mas Agung malah memfitnahku lebih dulu.""Kan gak ada bukti, Ning. Lagian kamu juga gak selingkuh, kenapa harus takut? Lagian ya jangan sampai kita ngadu ke mertuamu tanpa bukti yang kuat, padahal mereka malah mendukung kedekatan Ainun sama anaknya."Aku mengangguk paham dengan p
Tepat pukul tiga sore, Mas Agung sudah rapi dengan kemeja kotak dan celana bahannya. Dia beberapa kali menyemprot parfum dan mengubah model rambut. "Mau ke mana sih, sebenarnya?" "Urusan mendadak, pekerjaan kantor. Kamu gak usah nanya, nanti mas pulang agak malem kayaknya, jadi tidur saja!" "Baiklah!" Aku mendesah pelan. Ya mau bagaimana lagi, pasti Mas Agung tetap nekat pergi walau aku berontak sekali pun. Tidak ada niat untuk mengintip lagi karena sudah tahu akan pergi dengan siapa. Sepuluh menit kemudian, deru mobil kembali terdengar memasuki halaman rumah. Anehnya Mas Agung tidak langsung masuk melainkan mengetuk pintu beberapa kali. Dengan penuh rasa malas kulangkahkan kaki ke depan. Begitu daun pintu terbuka lebar, aku memekik dengan suara tertahan. "Mama? Papa?!" "Maaf karena tidak mengabari lebih dulu," kata mama dengan senyum khasnya. Punggung tangan mereka aku cium penuh takzim, kemudian menyilakan masuk rumah dan membawa tas ukuran sedang itu ke kamar kosong depan k
"Hati-hati, Mas. Mending nikahnya sama yang Mas Darwis kenal lebih dulu. Sekarang perjodohan singkat begitu miris, tidak sedikit dari mereka yang merana karena kurang bahagia!" saranku. "Bagaimana dengan pernikahanmu? Kalian kan kenal cuma sebentar abis itu langsung nikah setahun lalu." Pertanyaan yang bagus, tetapi aku harus tetap berbohong untuk menjatuhkan Mas Agung nanti. Biar saja sekarang terkesan mengalah, aku bahkan tidak peduli kalau dia mengejek dalam hati. "Bahagia, dong, Mas. Apalagi Mas Agung akrab sama tetangga sebelah," sindirku langsung. "Maksudnya?" tanya mama. Sebagai sesama perempuan, dia pasti langsung menaruh curiga. "Mas Haiqal, Ma. Dia akrab banget sama Mas Agung. Mereka sering berbagi cerita dan pengalaman agar rumah tangga bahagia tanpa pelakor!" "Bener, Ma." Mas Agung menambahkan. Aku menoleh menatap wajah yang suka berbohong itu. Huh, apanya yang benar? Nyatanya adalah sering jalan berdua sama Ainun padahal masing-masing sudah punya pasangan. Mereka ti
"Mas gak berangkat kerja? Kok keasyikan bobo?"Mas Agung menggeliat. Sekarang hari senin dan jam sudah menunjuk pukul tujuh pagi, akan sangat telat kalau baru mau mandi dan bersiap ke kantor apalagi jalanan relatif macet.Berulang kali kupul pelan betisnya supaya mau menjawab. Nihil, dia malah menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Sekarang bukan hari libur nasional ketika aku cek kalender tadi."Mas, apa jangan-jangan kamu sengaja mau jadi pengangguran?!" tanyaku sedikit berteriak.Mas Agung membuka mata yang masih lengket itu. "Hari ini libur dulu, aku mengambil cuti karena tidak enak badan."Baru saja aku ingin menempelkan punggung tangan di dahinya, tangan ditepis kasar. Lelaki penipu itu gegas melangkah masuk kamar mandi. Tiba-tiba suara percikan air terdengar mengusik pendengaran.Ponsel yang sedang di-charger aku sambar apalagi sudah penuh sejak tadi malam. Ada beberapa pesan W h a t s A p p. Merasa yakin Mas Agung lagi mandi, aku melakukan cara-cara itu lagi agar bisa membuka
Ainun sudah datang, tetapi dia hanya membawa kursi plastik. Entah dia dapat dari mana yang jelas itu hanya pura-pura saja. Bibirnya kembali mengulum senyum."Oh iya, Ning, tadi aku denger kamu mau minjem motor kan?"Aku menepuk jidat. "Iya, Mbak. Bisa, kan? Toh Mbak Ainun juga sering minjem suami aku!"Raut wajah perempuan itu berubah masa, dia kemudian melirik pada Mas Agung yang hanya bisa mengatup bibir. Merasa tidak mendapat pembelaan, dia langsung menyerahkan kunci motor fino."Mas, genteng kan gak lama dibenerin, abis itu langsung ke apotik ya! Kalau aku balik dan kamu masih di sini, berarti bukan cuma genteng yang kamu urus!""Bener cuma genteng, Dek.""Kali aja kamu mau ngambil jatah mantan, aku aduin sama Mas Haiqal loh!"Perempuan yang tadinya berwajah masam itu berubah tegang. Dia pasti takut ditinggal Mas Haiqal secara lelaki itu lebih ganteng daripada suamiku.Aku tersenyum pada Ainun, kemudian menyalakan mesin motor yang memang terparkir di depan rumah. Bensin full tangk
POV Ainun"Ini, Mbak motornya. Makasih ya dan maaf sekali tadi soalnya lama. Gak apa-apa, kan?"Aku menekuk wajah, lalu memutar bola mata malas ketika melihat wajah Ningsih. Sial, dia malah tersenyum manis sampai amarah kian membuncah."Ya, pulanglah!" usirku bernada ketus.Bagaimana aku bisa bahagia jika melihat perempuan yang baru saja pergi? Sabtu kemarin rencana malam minggu bareng Mas Agung, sudah di perjalanan malah putar balik gara-gara orangtuanya datang.Kedua, hari ini. Hasrat sudah membuncah, baru saja selesai melepas rindu dengan memeluk, dia malah datang meminjam motor. Mas Agung sendiri bodoh mencari alasan, jadinya tertangkap basah di sini.Aku mengembus napas kasar, kemudian menutup pintu kamar. Dalam kamar aku teringat kejadian tadi setelah Ningsih pergi. Benar-benar sial."Sayang, kita anu, yuk!" ajak Mas Agung menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang."Anu apa, Mas?" Sementara aku bertanya pura-pura tidak tahu."Anu-anuan, kuda-kudaan, jungkir balik sana-sini,"
POV Ningsih Selesai mengembalikan motor, aku tidak banyak bicara atau menanyakan apakah Mas Agung lama di rumah Ainun tadi atau tidak. Ya, karena aku ingin terhindar dari luka. Memang mengaku cinta sudah sirna, tetapi diduakan, diselingkuhi, dikhianati tetap saja selalu berhasil membuat hati patah sepatah-patahnya. Tugas memasak masih aku lakukan sekaligus menepikan banyak pikiran. Kata orang, kalau lagi dirundung duka atau luka, maka baiknya dialihkan dengan menyibukkan diri. "Abis dari mana tadi, Dek? Mas nunggu lama loh di rumah," katanya pelan, juga terdengar ragu. Entah itu sebuah kebohongan lagi atau bukan, aku hanya memilih diam. Toh nanti juga akan ketahuan berapa lama dia bertamu di rumah tetangga sebelah karena sudah dipasangi CCTV. "Kok, diam? Gak boleh loh mendiamkan suami." "Iya, Mas. Aku minta maaf, tadi cuma kayak lagi sakit perut aja." "Gak apa-apa. Untung mas ini suami yang baik sekaligus pemaaf." Mas Agung ikut melempar senyum yang memuakkan, lalu kembali bert
Mas Agung sudah kembali bekerja seperti biasa dengan penuh semangat. Sepulang dari rumah sakit, tepatnya malam tadi aku memergokinya menelepon Ainun lagi di dapur.Dia tidak membahas masalah kromosom, malah desah-desahan. Tidak lama kemudian Mas Agung ke luar rumah untung saja sebelum itu aku sudah mengelabuinya dengan cara menutup bantal guling dengan selimut.Cahaya remang-remang tidak berhasil membuatku ketahuan kalau sedang bersembunyi di dekat guci besar. "Malam ini di rumah kosong dekat persimpangan!" kataku mengirim pesan suara pada Mas Haiqal.[Mereka akan ke sana? Pantas saja Ainun sibuk berdandan.] balas Mas Haiqal.Dia hanya mengirim pesan aksara karena ada Ainun di sana. Baiklah, kita akan tahu apa yang mereka lakukan di sana. Mas Haiqal dengan mudah bisa merekam perbuatan bejat keduanya karena Mas Agung tadi membawa senter besar.Suara ketukan di pintu rumah membuyarkan ingatanku perkara tadi malam. Segera kaki melangkah cepat, begitu daun pintu terbuka, Mas Haiqal berdir
Itu suara ayah mertua. Untung saja Mas Darwis sudah duduk di sisiku. Mereka serentak menjawab salam bersamaan dengan ibu mertua yang keluar membawa Fatir. "Anak siapa itu, mirip sekali sama Agung?" Pertanyaan ayah meyakinkan diri ini kalau dia belum pernah bertemu Fatir atau sekadar mengetahui perselingkuhan anaknya. Memang sejak awal menjadi menantu di rumah ini, ayah bilang sudah menganggap aku sebagai putri sendiri. Terbukti, dia selalu melarangku melakukan pekerjaan rumah dengan dalih seorang putri terkadang harus dimanjakan. Namun, aku hanya menanggapi dengan senyum, lalu membantu ibu di dapur. "Ningsih, datang kenapa gak bilang-bilang? Agung bilang kamu ngidamnya itu tidak mau melihat muka suami, makanya mama sama mas kamu datang. Sekarang sudah rindu?" Ayah mertua bertanya dengan nada menggoda. Sepertinya memang belum tahu keadaan yang sebenarnya. Senyum lelaki berperut besar itu merekah sempurna apalagi setelah melihat perutku. Dia berdoa agar anak ini sehat wal afiat. "M
"Bukan urusan aku?!" Melinda tersenyum sinis. "Sejak sebelum kamu menikahi Ningsih, dia memang sahabat aku. Jadi, urusan dia, urusan aku juga!""Mema–""Bayar duit aku kalau kamu masih punya muka!" kataku ketus.Sekarang bukan masanya menghargai suami yang telah menipu dan menghancurkan masa depan kita. Persetan pula dengan rasa cinta, semuanya sudah lenyap.Aku berusaha kuat bukan karena tidak ingin dikata perempuan lemah dan bodoh, tetapi memang ingin menguak kebenaran. Tidak mungkin kita terus mengagungkan cinta pada lelaki penipu."Beri aku waktu, Ning. Selama ini kan kamu juga menikmati gaji aku," lirih Mas Agung.Aku heran kenapa dia bisa memelankan suara sekaligus merubah ekspresi padahal tadi angkuh sekali. Suara hati menolak tegas untuk mengasihaninya."Aku menikmati uangmu, kamu menikmati tubuhku. Ini bukan tentang pelacuran, tetapi nafkah! Kamu pikir nafkah batin cuma perkara hubungan badan? Hati istri juga harus dipikirin, Mas. Lah gimana kamu mau mikirin istri kalau terny
Ditemani Mas Darwis dan Melinda, aku benar-benar meluncur ke rumah ibu mertua sementara mama menjaga rumah sekaligus mencari tahu info tentang Ainun.Aku sengaja duduk di belakang bersama Melinda agar dia tidak canggung-canggung amat. Dalam perjalanan, kami menonton video di beberapa aplikasi."Viral!" pekik Melinda ketika aku baru saja menoleh ke jendela samping kiri."Apa yang viral?"Melinda tidak menjawab karena bibirnya melengkungkan senyum yang merekah indah. Aku lihat itu postingan Bu Yuyun di Facebo0k waktu di rumah Pak RT tadi.Ada ribuan komentar, ribuan laik bahkan ratusan orang yang share tanpa izin. Beragam kalimat umpatan dan sumpah serapah tertuju pada Ainun dan Mas Agung."Mereka memang pantas mendapatkan itu, Lin," kataku kemudian.Bahkan kalau bisa lebih dari itu. Mas Agung telah berani menghancurkan masa depanku. Sekolah yang aku perjuangkan selama bertahun-tahun terasa sia-sia. Namun, tidak mengapa karena pasti ada hikmah di balik semua ini.Aku harus kuat demi ana
"Kamu menikahi aku dengan pura-pura menjadi laki-laki baik padahal itu semua untuk menutupi aib kamu. Berulang kali aku memergokimu teleponan sama Ainun dan kamu pikir aku gak merekam dan mengambil fotomu, Mas?!" Aku membuang napas perlahan. "Semua bukti ada di ponselku!""Tenang, Bu," kata Pak RT. Kali ini sepertinya dia lebih simpatik sama aku."Berhari-hari aku menyimpan sesak sendirian, Mas. Aku terluka, batinku tersiksa dalam keadaan hamil begini. Kamu itu suami pezina dan tidak pantas punya muka!" teriakku lagi sambil memukul kepalanya."Astagfirullah, ternyata Fatir itu bukan anaknya Haiqal!" tukas Bu Ana.Aku berdiri dari kursi, lalu menunjuk wajah Ainun dan Mas Agung bergantian. "Kalian pikir aku ini bodoh apa?! Setiap Ainun datang ke rumah minta nebeng, aku tahu kalau itu cuma modus. Makanya aku berusaha bersabar. Kalian brengsek!" pekikku.Bu RT langsung membawaku dalam pelukannya meminta agar bisa sedikit tenang apalagi sedang mengandung. Kalau saja tidak berdosa, sudah la
Di rumah Pak RT tidak begitu ramai, hanya ada istrinya juga semua orang yang ada di rumah. Jantung sedikit berdegup lebih cepat ketika melirik pada Ainun yang menajamkan pandangan serupa elang yang mencari mangsa.Aku tidak takut padanya, hanya enggan mencari ribut. Sejak dulu aku benci perdebatan dan juga masalah, tetapi sekarang masalah datang dengan kapasitas yang sangat besar.Sampai aku tidak bisa lari. Sampai aku tidak bisa mengelak. Sampai aku sering merasa kalah."Jadi benar kalau Ningsih selingkuh dengan Haiqal, sementara Agung dengan Ainun?" tanya Pak RT. Dia menatap penuh intimidasi."Ya enggaklah, Pak. Yang bener itu Ningsih berusaha ngerebut suami aku," jawab Ainun dengan tawa meremehkan.Tatapannya yang seperti sedang mengejek semakin membangkitkan rasa semangat dan keberanianku untuk mempermalukan mereka di sini. Biar saja viral karena aku tahu, Bu Yuyun sedang menyalakan kamera."Bohong!" elakku tegas."Tunjukkan bukti-bukti. Kalian tidak bisa menuduh atau mengelak tan
"Menduakan apa? Aku gak ngerti, Gung, kenapa kamu datang dengan muka sepucat itu seperti habis dikejar setan aja!" cebik Mas Darwis. "Eh?" Mas Agung tersentak. Keringat di pelipisnya semakin banyak. Bibir itu gemetar, tetapi berusaha dia tutupi dengan melipatnya kuat-kuat. Aku tertawa pelan melihat reaksi Mas Agung. Dia pasti mengira aku sudah cerita semuanya pada masku. Ya memang belum sih, tetapi tetap saja dia sudah tahu karena mendapat inbox itu. Namun, melihat adegan ini membuatku ragu kalau pemilik akun itu adalah Mas Agung. Tidak mungkin dia sebodoh itu sampai ketar-ketir padahal sudah memberi tahu Mas Darwis. Tersangka selanjutnya adalah Ainun. Ah, entahlah. Bisa jadi perempuan itu sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai kami sampai akhirnya bercerai karena diadu domba. "Tadi kamu bilang apa, Mas? Berpaling pada Mas Haiqal?" Aku tersenyum miring. "Sejak kapan aku suka sama suami orang? Aku juga masih punya harga diri." "Memang kamu suka sama Haiqal, kan?" Mas Agung m
"Gak ada bukti?" tanya Melinda dengan tatapan mengejek. "Kalau aku tunjukkan bukti, kamu bakal percaya gak?""Sudah, sudah. Tante percaya sama kamu, Melinda. Bagaimana pun selama ini kamu lah yang menjadi tempat Ningsih berkeluh kesah," sela mama.Mas Darwis yang hendak bicara lagi mendapat cubitan kecil. Aku ingin terbahak, tetapi sungkan juga. Sekalipun kami adalah saudara kandung, entah kenapa aku merasa segan padanya.Ponsel Mas Agung berdering, dia langsung menjauh ketika panggilan itu terhubung. Sementara kami hanya bisa saling diam tanpa kata, mama mengimbangi dengan menyuguhkan roti yang dibeli di perjalanan tadi."Ma, aku pergi sebentar ada urusan mendadak!" pamit Mas Agung tanpa sopan santun.Dia bahkan menghilang sebelum mendapat anggukan dari mertuanya. Aku tersenyum miring mendapati hinaan seperti ini. Siapa lagi yang bisa membuatnya buru-buru seperti itu kalau bukan Ainun.Mas Darwis langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Tentang bagaimana bisa aku selingkuh dal
Sesampainya di rumah diantar Melinda, aku terkejut dengan keberadaan Mas Agung di ambang pintu. Dia terlihat marah sekali.Melinda pun tidak jadi pamit dan ingin mampir sebentar, dia khawatir aku disakiti suami seperti kemarin-kemarin apalagi sedang fisik lemah karena mengandung."Ada apa, Mas?""Kenapa Melinda pamit?!" ketusnya."Mas, kita masuk dulu. Gak enak didengar tetangga!" perintahku sambil mendorong tubuhnya ke belakang.Untung saja saat ini dia menurut atau aku akan kecoplosan duluan jika dipermalukan di depan rumah sementara ada tetangga yang suka menguping pembicaraan orang lain until dijadikan bahan gosip."Mas, biar aku yang jelaskan. Aku singgah ke sini jujur karena khawatir kamu memukul Ningsih lagi. Apa kamu lupa kalau kekerasan dalam rumah tangga itu ada jerat hukum sendiri?""Heh, Lin! Mau aku pukul si Ningsih ini, mau aku tendang dia atau habisi nyawanya, itu bukan urusan kamu! Dia istriku dan aku pantas mendidiknya!"Melinda geram mendapat respon demikian. "Jelas
Setelah menunggu selama tiga minggu beriring deraian air mata karana terus menerus dimarahi Mas Agung, akhirnya hasil tes DNA sudah ada di tangan Mas Haiqal. Selama ini aku pura-pura mengalah dan lugu sesuai perintah Melinda apalagi setiap bertemu Mas Haiqal untuk membicarakan rencana selanjutnya, pasti akun fake itu mengambil gambar kami. Pertengkaran pun kerap terjadi ketika aku hilang kesabaran menghadapi Mas Agung yang selalu membahas perselingkuhan dengan suami tetangga. Sore itu tepat tiga hari lalu, aku hampir dipukul pakai sapu kalau saja Mas Haiqal tidak datang menolong. "Sekali lagi kamu ketemu sama Haiqal, aku laporin perselingkuhan ini ke orangtua kamu!" ancam Mas Agung saat itu dengan mata merah penuh amarah. "Jangan, Mas. Aku ndak selingkuh sama Mas Haiqal, cuma temenen doang." "Berani kamu ngelawan?!" bentaknya. Cih, aku tertawa dalam hati melihat Mas Agung marah karena istrinya sering bertemu lelaki lain. Bahkan gajinya pun disimpan sendiri, kebutuhan dapur hanya