Tepat pukul tiga sore, Mas Agung sudah rapi dengan kemeja kotak dan celana bahannya. Dia beberapa kali menyemprot parfum dan mengubah model rambut. "Mau ke mana sih, sebenarnya?" "Urusan mendadak, pekerjaan kantor. Kamu gak usah nanya, nanti mas pulang agak malem kayaknya, jadi tidur saja!" "Baiklah!" Aku mendesah pelan. Ya mau bagaimana lagi, pasti Mas Agung tetap nekat pergi walau aku berontak sekali pun. Tidak ada niat untuk mengintip lagi karena sudah tahu akan pergi dengan siapa. Sepuluh menit kemudian, deru mobil kembali terdengar memasuki halaman rumah. Anehnya Mas Agung tidak langsung masuk melainkan mengetuk pintu beberapa kali. Dengan penuh rasa malas kulangkahkan kaki ke depan. Begitu daun pintu terbuka lebar, aku memekik dengan suara tertahan. "Mama? Papa?!" "Maaf karena tidak mengabari lebih dulu," kata mama dengan senyum khasnya. Punggung tangan mereka aku cium penuh takzim, kemudian menyilakan masuk rumah dan membawa tas ukuran sedang itu ke kamar kosong depan k
"Hati-hati, Mas. Mending nikahnya sama yang Mas Darwis kenal lebih dulu. Sekarang perjodohan singkat begitu miris, tidak sedikit dari mereka yang merana karena kurang bahagia!" saranku. "Bagaimana dengan pernikahanmu? Kalian kan kenal cuma sebentar abis itu langsung nikah setahun lalu." Pertanyaan yang bagus, tetapi aku harus tetap berbohong untuk menjatuhkan Mas Agung nanti. Biar saja sekarang terkesan mengalah, aku bahkan tidak peduli kalau dia mengejek dalam hati. "Bahagia, dong, Mas. Apalagi Mas Agung akrab sama tetangga sebelah," sindirku langsung. "Maksudnya?" tanya mama. Sebagai sesama perempuan, dia pasti langsung menaruh curiga. "Mas Haiqal, Ma. Dia akrab banget sama Mas Agung. Mereka sering berbagi cerita dan pengalaman agar rumah tangga bahagia tanpa pelakor!" "Bener, Ma." Mas Agung menambahkan. Aku menoleh menatap wajah yang suka berbohong itu. Huh, apanya yang benar? Nyatanya adalah sering jalan berdua sama Ainun padahal masing-masing sudah punya pasangan. Mereka ti
"Mas gak berangkat kerja? Kok keasyikan bobo?"Mas Agung menggeliat. Sekarang hari senin dan jam sudah menunjuk pukul tujuh pagi, akan sangat telat kalau baru mau mandi dan bersiap ke kantor apalagi jalanan relatif macet.Berulang kali kupul pelan betisnya supaya mau menjawab. Nihil, dia malah menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Sekarang bukan hari libur nasional ketika aku cek kalender tadi."Mas, apa jangan-jangan kamu sengaja mau jadi pengangguran?!" tanyaku sedikit berteriak.Mas Agung membuka mata yang masih lengket itu. "Hari ini libur dulu, aku mengambil cuti karena tidak enak badan."Baru saja aku ingin menempelkan punggung tangan di dahinya, tangan ditepis kasar. Lelaki penipu itu gegas melangkah masuk kamar mandi. Tiba-tiba suara percikan air terdengar mengusik pendengaran.Ponsel yang sedang di-charger aku sambar apalagi sudah penuh sejak tadi malam. Ada beberapa pesan W h a t s A p p. Merasa yakin Mas Agung lagi mandi, aku melakukan cara-cara itu lagi agar bisa membuka
Ainun sudah datang, tetapi dia hanya membawa kursi plastik. Entah dia dapat dari mana yang jelas itu hanya pura-pura saja. Bibirnya kembali mengulum senyum."Oh iya, Ning, tadi aku denger kamu mau minjem motor kan?"Aku menepuk jidat. "Iya, Mbak. Bisa, kan? Toh Mbak Ainun juga sering minjem suami aku!"Raut wajah perempuan itu berubah masa, dia kemudian melirik pada Mas Agung yang hanya bisa mengatup bibir. Merasa tidak mendapat pembelaan, dia langsung menyerahkan kunci motor fino."Mas, genteng kan gak lama dibenerin, abis itu langsung ke apotik ya! Kalau aku balik dan kamu masih di sini, berarti bukan cuma genteng yang kamu urus!""Bener cuma genteng, Dek.""Kali aja kamu mau ngambil jatah mantan, aku aduin sama Mas Haiqal loh!"Perempuan yang tadinya berwajah masam itu berubah tegang. Dia pasti takut ditinggal Mas Haiqal secara lelaki itu lebih ganteng daripada suamiku.Aku tersenyum pada Ainun, kemudian menyalakan mesin motor yang memang terparkir di depan rumah. Bensin full tangk
POV Ainun"Ini, Mbak motornya. Makasih ya dan maaf sekali tadi soalnya lama. Gak apa-apa, kan?"Aku menekuk wajah, lalu memutar bola mata malas ketika melihat wajah Ningsih. Sial, dia malah tersenyum manis sampai amarah kian membuncah."Ya, pulanglah!" usirku bernada ketus.Bagaimana aku bisa bahagia jika melihat perempuan yang baru saja pergi? Sabtu kemarin rencana malam minggu bareng Mas Agung, sudah di perjalanan malah putar balik gara-gara orangtuanya datang.Kedua, hari ini. Hasrat sudah membuncah, baru saja selesai melepas rindu dengan memeluk, dia malah datang meminjam motor. Mas Agung sendiri bodoh mencari alasan, jadinya tertangkap basah di sini.Aku mengembus napas kasar, kemudian menutup pintu kamar. Dalam kamar aku teringat kejadian tadi setelah Ningsih pergi. Benar-benar sial."Sayang, kita anu, yuk!" ajak Mas Agung menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang."Anu apa, Mas?" Sementara aku bertanya pura-pura tidak tahu."Anu-anuan, kuda-kudaan, jungkir balik sana-sini,"
POV Ningsih Selesai mengembalikan motor, aku tidak banyak bicara atau menanyakan apakah Mas Agung lama di rumah Ainun tadi atau tidak. Ya, karena aku ingin terhindar dari luka. Memang mengaku cinta sudah sirna, tetapi diduakan, diselingkuhi, dikhianati tetap saja selalu berhasil membuat hati patah sepatah-patahnya. Tugas memasak masih aku lakukan sekaligus menepikan banyak pikiran. Kata orang, kalau lagi dirundung duka atau luka, maka baiknya dialihkan dengan menyibukkan diri. "Abis dari mana tadi, Dek? Mas nunggu lama loh di rumah," katanya pelan, juga terdengar ragu. Entah itu sebuah kebohongan lagi atau bukan, aku hanya memilih diam. Toh nanti juga akan ketahuan berapa lama dia bertamu di rumah tetangga sebelah karena sudah dipasangi CCTV. "Kok, diam? Gak boleh loh mendiamkan suami." "Iya, Mas. Aku minta maaf, tadi cuma kayak lagi sakit perut aja." "Gak apa-apa. Untung mas ini suami yang baik sekaligus pemaaf." Mas Agung ikut melempar senyum yang memuakkan, lalu kembali bert
Mas Agung sudah kembali bekerja seperti biasa dengan penuh semangat. Sepulang dari rumah sakit, tepatnya malam tadi aku memergokinya menelepon Ainun lagi di dapur.Dia tidak membahas masalah kromosom, malah desah-desahan. Tidak lama kemudian Mas Agung ke luar rumah untung saja sebelum itu aku sudah mengelabuinya dengan cara menutup bantal guling dengan selimut.Cahaya remang-remang tidak berhasil membuatku ketahuan kalau sedang bersembunyi di dekat guci besar. "Malam ini di rumah kosong dekat persimpangan!" kataku mengirim pesan suara pada Mas Haiqal.[Mereka akan ke sana? Pantas saja Ainun sibuk berdandan.] balas Mas Haiqal.Dia hanya mengirim pesan aksara karena ada Ainun di sana. Baiklah, kita akan tahu apa yang mereka lakukan di sana. Mas Haiqal dengan mudah bisa merekam perbuatan bejat keduanya karena Mas Agung tadi membawa senter besar.Suara ketukan di pintu rumah membuyarkan ingatanku perkara tadi malam. Segera kaki melangkah cepat, begitu daun pintu terbuka, Mas Haiqal berdir
POV AUTHORHaiqal pulang dalam keadaan rumah seperti kapal pecah. Ainun menangis dalam kamar karena merasa dikhianati. Dia bahkan lupa apa kesalahan yang sudah dilakukan sendiri."Ainun, kamu kenapa?" tanyanya pura-pura tidak tahu."Keluar kamu dari sini, Mas. Aku muak melihat wajahmu!" teriak Ainun histeris.Hatinya bagai disayat sembilu, dada pun terasa sesak. Foto suaminya sedang tertawa bahagia dengan Ningsih membuatnya mood-nya rusak."Maaf, Pak. Tadi Bu Ainun pesan supaya Bapak tidak muncul di depannya," kata pengasuh Fatir yang bernama Inem itu."Loh, memangnya ada apa, Bi? Apa aku punya salah?"Inem pun menceritakan semua yang dia dengar tadi. Awalnya Ainun sedang video call dengan seorang teman lelaki, sekitar lima menit kemudian dia sudah berteriak tidak jelas.Ponsel dilempar dan untung tidak hancur. Ainun berteriak seperti orang gila, terus mengumpat mengutuk Ningsih.Haiqal melebarkan senyum mendengar penjelasan pengasuh Fatir. Dia merasa perlahan dendam terbalaskan. Buka