POV Ainun"Ini, Mbak motornya. Makasih ya dan maaf sekali tadi soalnya lama. Gak apa-apa, kan?"Aku menekuk wajah, lalu memutar bola mata malas ketika melihat wajah Ningsih. Sial, dia malah tersenyum manis sampai amarah kian membuncah."Ya, pulanglah!" usirku bernada ketus.Bagaimana aku bisa bahagia jika melihat perempuan yang baru saja pergi? Sabtu kemarin rencana malam minggu bareng Mas Agung, sudah di perjalanan malah putar balik gara-gara orangtuanya datang.Kedua, hari ini. Hasrat sudah membuncah, baru saja selesai melepas rindu dengan memeluk, dia malah datang meminjam motor. Mas Agung sendiri bodoh mencari alasan, jadinya tertangkap basah di sini.Aku mengembus napas kasar, kemudian menutup pintu kamar. Dalam kamar aku teringat kejadian tadi setelah Ningsih pergi. Benar-benar sial."Sayang, kita anu, yuk!" ajak Mas Agung menyandarkan kepalaku di dadanya yang bidang."Anu apa, Mas?" Sementara aku bertanya pura-pura tidak tahu."Anu-anuan, kuda-kudaan, jungkir balik sana-sini,"
POV Ningsih Selesai mengembalikan motor, aku tidak banyak bicara atau menanyakan apakah Mas Agung lama di rumah Ainun tadi atau tidak. Ya, karena aku ingin terhindar dari luka. Memang mengaku cinta sudah sirna, tetapi diduakan, diselingkuhi, dikhianati tetap saja selalu berhasil membuat hati patah sepatah-patahnya. Tugas memasak masih aku lakukan sekaligus menepikan banyak pikiran. Kata orang, kalau lagi dirundung duka atau luka, maka baiknya dialihkan dengan menyibukkan diri. "Abis dari mana tadi, Dek? Mas nunggu lama loh di rumah," katanya pelan, juga terdengar ragu. Entah itu sebuah kebohongan lagi atau bukan, aku hanya memilih diam. Toh nanti juga akan ketahuan berapa lama dia bertamu di rumah tetangga sebelah karena sudah dipasangi CCTV. "Kok, diam? Gak boleh loh mendiamkan suami." "Iya, Mas. Aku minta maaf, tadi cuma kayak lagi sakit perut aja." "Gak apa-apa. Untung mas ini suami yang baik sekaligus pemaaf." Mas Agung ikut melempar senyum yang memuakkan, lalu kembali bert
Mas Agung sudah kembali bekerja seperti biasa dengan penuh semangat. Sepulang dari rumah sakit, tepatnya malam tadi aku memergokinya menelepon Ainun lagi di dapur.Dia tidak membahas masalah kromosom, malah desah-desahan. Tidak lama kemudian Mas Agung ke luar rumah untung saja sebelum itu aku sudah mengelabuinya dengan cara menutup bantal guling dengan selimut.Cahaya remang-remang tidak berhasil membuatku ketahuan kalau sedang bersembunyi di dekat guci besar. "Malam ini di rumah kosong dekat persimpangan!" kataku mengirim pesan suara pada Mas Haiqal.[Mereka akan ke sana? Pantas saja Ainun sibuk berdandan.] balas Mas Haiqal.Dia hanya mengirim pesan aksara karena ada Ainun di sana. Baiklah, kita akan tahu apa yang mereka lakukan di sana. Mas Haiqal dengan mudah bisa merekam perbuatan bejat keduanya karena Mas Agung tadi membawa senter besar.Suara ketukan di pintu rumah membuyarkan ingatanku perkara tadi malam. Segera kaki melangkah cepat, begitu daun pintu terbuka, Mas Haiqal berdir
POV AUTHORHaiqal pulang dalam keadaan rumah seperti kapal pecah. Ainun menangis dalam kamar karena merasa dikhianati. Dia bahkan lupa apa kesalahan yang sudah dilakukan sendiri."Ainun, kamu kenapa?" tanyanya pura-pura tidak tahu."Keluar kamu dari sini, Mas. Aku muak melihat wajahmu!" teriak Ainun histeris.Hatinya bagai disayat sembilu, dada pun terasa sesak. Foto suaminya sedang tertawa bahagia dengan Ningsih membuatnya mood-nya rusak."Maaf, Pak. Tadi Bu Ainun pesan supaya Bapak tidak muncul di depannya," kata pengasuh Fatir yang bernama Inem itu."Loh, memangnya ada apa, Bi? Apa aku punya salah?"Inem pun menceritakan semua yang dia dengar tadi. Awalnya Ainun sedang video call dengan seorang teman lelaki, sekitar lima menit kemudian dia sudah berteriak tidak jelas.Ponsel dilempar dan untung tidak hancur. Ainun berteriak seperti orang gila, terus mengumpat mengutuk Ningsih.Haiqal melebarkan senyum mendengar penjelasan pengasuh Fatir. Dia merasa perlahan dendam terbalaskan. Buka
Setelah menunggu selama tiga minggu beriring deraian air mata karana terus menerus dimarahi Mas Agung, akhirnya hasil tes DNA sudah ada di tangan Mas Haiqal. Selama ini aku pura-pura mengalah dan lugu sesuai perintah Melinda apalagi setiap bertemu Mas Haiqal untuk membicarakan rencana selanjutnya, pasti akun fake itu mengambil gambar kami. Pertengkaran pun kerap terjadi ketika aku hilang kesabaran menghadapi Mas Agung yang selalu membahas perselingkuhan dengan suami tetangga. Sore itu tepat tiga hari lalu, aku hampir dipukul pakai sapu kalau saja Mas Haiqal tidak datang menolong. "Sekali lagi kamu ketemu sama Haiqal, aku laporin perselingkuhan ini ke orangtua kamu!" ancam Mas Agung saat itu dengan mata merah penuh amarah. "Jangan, Mas. Aku ndak selingkuh sama Mas Haiqal, cuma temenen doang." "Berani kamu ngelawan?!" bentaknya. Cih, aku tertawa dalam hati melihat Mas Agung marah karena istrinya sering bertemu lelaki lain. Bahkan gajinya pun disimpan sendiri, kebutuhan dapur hanya
Sesampainya di rumah diantar Melinda, aku terkejut dengan keberadaan Mas Agung di ambang pintu. Dia terlihat marah sekali.Melinda pun tidak jadi pamit dan ingin mampir sebentar, dia khawatir aku disakiti suami seperti kemarin-kemarin apalagi sedang fisik lemah karena mengandung."Ada apa, Mas?""Kenapa Melinda pamit?!" ketusnya."Mas, kita masuk dulu. Gak enak didengar tetangga!" perintahku sambil mendorong tubuhnya ke belakang.Untung saja saat ini dia menurut atau aku akan kecoplosan duluan jika dipermalukan di depan rumah sementara ada tetangga yang suka menguping pembicaraan orang lain until dijadikan bahan gosip."Mas, biar aku yang jelaskan. Aku singgah ke sini jujur karena khawatir kamu memukul Ningsih lagi. Apa kamu lupa kalau kekerasan dalam rumah tangga itu ada jerat hukum sendiri?""Heh, Lin! Mau aku pukul si Ningsih ini, mau aku tendang dia atau habisi nyawanya, itu bukan urusan kamu! Dia istriku dan aku pantas mendidiknya!"Melinda geram mendapat respon demikian. "Jelas
"Gak ada bukti?" tanya Melinda dengan tatapan mengejek. "Kalau aku tunjukkan bukti, kamu bakal percaya gak?""Sudah, sudah. Tante percaya sama kamu, Melinda. Bagaimana pun selama ini kamu lah yang menjadi tempat Ningsih berkeluh kesah," sela mama.Mas Darwis yang hendak bicara lagi mendapat cubitan kecil. Aku ingin terbahak, tetapi sungkan juga. Sekalipun kami adalah saudara kandung, entah kenapa aku merasa segan padanya.Ponsel Mas Agung berdering, dia langsung menjauh ketika panggilan itu terhubung. Sementara kami hanya bisa saling diam tanpa kata, mama mengimbangi dengan menyuguhkan roti yang dibeli di perjalanan tadi."Ma, aku pergi sebentar ada urusan mendadak!" pamit Mas Agung tanpa sopan santun.Dia bahkan menghilang sebelum mendapat anggukan dari mertuanya. Aku tersenyum miring mendapati hinaan seperti ini. Siapa lagi yang bisa membuatnya buru-buru seperti itu kalau bukan Ainun.Mas Darwis langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan. Tentang bagaimana bisa aku selingkuh dal
"Menduakan apa? Aku gak ngerti, Gung, kenapa kamu datang dengan muka sepucat itu seperti habis dikejar setan aja!" cebik Mas Darwis. "Eh?" Mas Agung tersentak. Keringat di pelipisnya semakin banyak. Bibir itu gemetar, tetapi berusaha dia tutupi dengan melipatnya kuat-kuat. Aku tertawa pelan melihat reaksi Mas Agung. Dia pasti mengira aku sudah cerita semuanya pada masku. Ya memang belum sih, tetapi tetap saja dia sudah tahu karena mendapat inbox itu. Namun, melihat adegan ini membuatku ragu kalau pemilik akun itu adalah Mas Agung. Tidak mungkin dia sebodoh itu sampai ketar-ketir padahal sudah memberi tahu Mas Darwis. Tersangka selanjutnya adalah Ainun. Ah, entahlah. Bisa jadi perempuan itu sengaja menyewa seseorang untuk memata-matai kami sampai akhirnya bercerai karena diadu domba. "Tadi kamu bilang apa, Mas? Berpaling pada Mas Haiqal?" Aku tersenyum miring. "Sejak kapan aku suka sama suami orang? Aku juga masih punya harga diri." "Memang kamu suka sama Haiqal, kan?" Mas Agung m