Share

Bab 2

Sungguh, aku tidak tahan dengan keadaan ini apalagi sendirian di rumah. Tanpa mengulur waktu, aku mengirim pesan pada Melinda memintanya datang ke rumah. Bertindak sendirian akan lebih berbahaya apalagi dalam keadaan hamil lima bulan.

Hati yang tidak tenang membuatku membuang napas kasar berulang kali. Takdir kali ini bagai disambar elang. Bernasib buruk sekali.

Hampir dua jam duduk termangu di ruang tamu, kini aku mendengar suara ketukan di pintu. Pasti itu Linda. Aku beranjak dari kursi, membuka daun pintu perlahan.

"Mas Agung?" Aku terkejut bukan main melihat suami sendiri pulang secepat ini padahal seharusnya sedang bekerja.

"Mas lupa bawa ponsel, Dek." Mas Agung tersenyum manis, lalu masuk rumah tanpa kata lagi.

Sialnya aku malah tidak tahu hal itu karena setelah mereka pergi tadi, aku belum beres-beres rumah melainkan melamun banyak hal.

Aku menyusul masuk kamar, dia terlihat mengotak-atik benda pipih itu. Namun, mataku fokus pada sesuatu yang mencurigakan. Kaki menuntun mengikis jarak, tanganku kini memegang daun telinga Mas Agung.

"Mas, telingamu kenapa merah kayak ada bekas gigitan?"

Mas Agung terperanjat sambil menepis kasar tanganku. "Ini digigit semut tadi. Sudahlah, mas mau balik ke kantor."

"Mas!" tekanku dengan suara keras.

Perempuan mana yang akan percaya ketika melihat bekas gigitan manusia yang dikata semut. Anak kecil saja bisa membedakan itu. Akan tetapi, Mas Agung gegas pergi dengan langkah cepat.

Sekali lagi aku hanya bisa mengelus dada. Belum ada bukti tentang perselingkuhan Mas Agung sehingga aku terpaksa diam. Jika bertindak tanpa bukti malah akan melukai hati sementara dia tertawa senang dengan kekasih gelapnya.

Pintu rumah kembali terketuk, aku yakin kali ini adalah Melinda. Dengan napas yang masib memburu aku keluar kamar dan membuka pintu utama. Dia datang dengan senyum manis.

"Masuk, Lin!"

"Kamu yakin Mas Agung selingkuh?" tanya Melinda setelah aku ceritakan perkara semalam dan kejadian serupa sebelumnya.

"Yakin banget, Lin. Dia manggil sayang dan ngasih kecupan. Tadi aja Mas Agung sempat balik karena lupa ponselnya, aku lihat ada bekas gigitan di telinganya." Akhirnya, air mata jatuh tanpa permisi.

Melinda mendekat, dia duduk di sampingku dan membawa diri ini dalam pelukannya. Aku menangis sedu sedan karena luka yang menohok hati.

Pernikahan dengan Mas Agung baru setahun kami jalani, tetapi sudah ada sosok yang menggoyahkan bahtera kami. Ada rasa khawatir yang menguasai diri karena sadar kami menikah lewat perkenalan singkat.

Tidak ada pacaran, hanya kenal biasa. Dalam waktu satu bulan, Mas Agung datang menemui bapak berkeinginan untuk melamar. Kala itu, beberapa saudara menentang karena kami belum mengenal terlalu jauh, hanya saja sikap Mas Agung yang sopan serta perhatian berhasil membuka hati ini begitu mantap.

"Bukannya sebelum menikah sudah ada gelagat aneh, Ning? Makanya aku bilang periksa ponselnya." Melinda mengurai pelukan, dia menatapku dalam.

"Lin, aku percaya banget sama Mas Agung itu karena lihat sikapnya. Apalagi dia rajin salat dan mengirim voice note mengaji."

"Seminggu sebelum menikah kita melihat Mas Agung jalan dengan seorang perempuan, 'kan? Sayang sekali perempuan itu pakai masker."

"Aku sudah menanyakan itu, Lin. Katanya mereka saudara sesusuan. Waktu menikah dia tidak datang, entah karena apa. Aku tidak ingin bertanya terlalu dalam, takutnya disangka suudzon," jelasku dengan suara parau.

Melinda menghela napas panjang, kemudian mengatup bibir. Perempuan yang selalu cantik dengan jilbabnya itu menunduk, mungkin memikirkan jalan keluar.

Kalau saja boleh jujur, aku cemburu pada Melinda yang suaminya setia sekalipun kerja di Kalimantan. Sampai sekarang kabarnya rumah tangga mereka baik-baik saja padahal belum dikaruniai anak di usia pernikahan menuju lima tahun.

"Kayaknya lebih baik bertanya langsung sama Mas Agung daripada terus berprasangka seperti sekarang. Kalau semua sudah jelas, kamu tinggal memintanya memilih ingin hidup dengan istri atau selingkuhannya."

Aku menatap Melinda yang baru saja mengangkat wajah. Di mata itu ada binar luka, memang hal wajar sebagai seorang sahabat.

"Tidak, Lin. Aku tidak akan pernah menanyakan itu pada Mas Agung. Lihat kondisiku sekarang, lagi mengandung anaknya. Khawatir anak ini lahir tanpa sosok ayah." Tangan kananku mengelus perut perlahan dengan derai air mata.

Melinda menutup mata, mungkin menelan luka yang sedang menggerogoti jiwa. Seandainya marah pun, aku akan tetap diam karena Melinda selalu mengingatkan bahwa lelaki yang sedang mendekatiku belum tentu bertabiat baik.

Saat itu aku marah, menuduh Melinda cemburu karena Mas Agung lebih tampan dari suaminya. Tentu tersinggung, tetapi dia tidak berubah bahkan turut berbahagia di hari pernikahanku.

"Malam nanti, awasi pergerakan Mas Agung. Kalau bisa kamu pura-pura tidur saja tanpa ada masalah biar dia tidak curiga. Aku akan membantumu dari jauh nanti, apa pun yang terjadi kita harus saling menguatkan. Kamu bersedia?" Melinda mengulur tangannya.

"Aku bersedia," balasku.

"Jangan lupa foto dia kalau sedang mainin ponsel, ganti kata sandi agar Mas Agung tidak bisa mengecek galeri dan percakapan kita. Kalau ponselnya disimpan, kamu harus bisa membukanya!"

"Ponsel Mas Agung dikunci dengan sidik jari, apalagi What$App, tentu diamankan dua kali." Aku mendesah putus asa mengingat sudah pernah mencoba membuka aplikasi hijau itu.

Berbeda dengan Melinda, dia malah tersenyum dan membisikkan sesuatu padaku. Tentu saja cara membuka aplikasi yang terkunci dengan sidik jari. Walau sedikit susah karena harus mencari tahu kata sandi utama, tetapi aku bersikeras akan melakukannya.

"Kita akan berhasil, Lin? Kamu yakin?"

"Tentu saja. Cara itu sudah pernah aku lakukan ketika membuka aplikasi sosial media milik Mas Tono. Beruntung tidak ada kontak perempuan selain aku, ibu dan saudara kandungnya. Kontaknya juga sangat sedikit, jadi tidak ada kemungkinan dia bermain api di Kalimantan."

Aku mengangguk paham, sambil menghafal cara yang dibisikkan Melinda tadi. Nanti malam biar menguping lagi, kalau ada kesempatan tinggal foto. Nah, besok saat Mas Agung mandi, aku bisa mengotak-atik ponsel itu.

"Apa kira-kira akan cukup waktu, Lin? Mas Agung itu mandi sekitar setengah jam." Aku bertanya ragu.

"Tentu saja cukup. Aku malah mengecek waktu Mas Tono ke masjid untuk salat subuh. Singkat banget, kan? Lagian bisa kali ngeceknya dicicil asal tidak ketahuan suami aja."

Jiwa berdenyut nyeri begitu mengingat kejadian semalam. Aku memantapkan hati sekaligus memberi kekuatan pada diri sendiri agar tidak lemah. Seorang istri tidak boleh diam saja ketika ada benalu yang mencoba merebut suami kita.

Sungguh aku mencintai Mas Agung dengan tulus, tetapi dia malah berkhianat. Suatu hari dia pasti menyesal, lalu bertekuk lutut meminta maaf.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g laku ya? sebulan kenal mau aha diajak nikah
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
Ayuk Ningsih qm pasti bisa membuktikan perselingkuhannya suami mu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status