"Pagi, Ningsih," sapanya, tetapi mata itu tertuju pada pintu rumah yang setengah terbuka.
"Pagi juga, Mbak Ainun."
Perempuan itu tidak lepas memandang pintu. Aku yang sedikit risih langsung menegur tanpa rasa sungkan. "Kenapa pintu rumahku dipantengin gitu, Mbak?"
"Enggak apa-apa, pintu kamu bagus. Aku jadi kepikiran buat nyuruh Mas Haiqal ganti pintu." Ainun sekali lagi tersenyum ramah.
Entah kenapa, di hati tiba-tiba ada perasaan tidak senang dengan kehadirannya. Kami bertetangga sudah lama, tetapi aku tidak pernah mengobrol dengannya. Bukan hanya aku, para tetangga yang lain pun melakukan hal serupa.
Kerlingan matanya yang sedikit genit berhasil membuatku menekuk wajah. Pasalnya itu dilakukan bersamaan dengan Mas Agung yang tiba-tiba muncul keluar. Cepat sekali dia berpakaian.
"Ainun?" binar di matanya mengundang kecurigaan. Namun, hanya sebentar begitu sadar aku mengamati mereka. "Mas berangkat kerja dulu, Dek!" pamit Mas Agung mengulurkan tangannya.
Aku meraih dan mencium dengan takzim. Sekilas mata melirik pada Ainun, dia memasang wajah tidak suka. Aneh padahal sudah punya suami sendiri yang bertanggung jawab sampai rela berangkat abis subuh ke toko.
Mas Agung menggaruk belakang kepalanya seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Aku menanti sambil bersedekap.
"Mas Agung, boleh nebeng lagi nggak? Motor aku bannya kempes, Mas Haiqal sudah berangkat duluan."
Suara manja itu menggelitik jiwa, aku menimpali. "Kenapa Mbaknya tidak pesan taksi online ketimbang ikut suami aku?"
Mas Agung mengibas tangan di depan wajah. "Sudah, Dek. Tidak apa-apa, barangkali kami sejalur atau Ainun tidak punya kuota. Bukankah sebagai saudara muslim kita harus saling menolong? Apalagi tetangga kita, loh, Dek."
'Manis banget omongan kamu, Mas. Mentang Mbak Ainun cantik, coba kalau dia sudah tua dan keriput, apa tetap mau nganterin?' gerutuku dalam hati.
"Sering-sering ya, Mbak minta tolongnya biar suami aku dapat banyak pahala!" sindirku sengaja, kemudian melangkah masuk rumah dengan kaki yang dihentak-hentakkan.
Aku tidak langsung masuk kamar atau dapur, tentu saja harus mengintip di balik jendela melihat aksi mereka. Namun, sampai mereka pergi, tidak ada hal yang mencurigakan. Bahkan aku melihat sendiri perempuan itu duduk di belakang.
Ada perasaan lega, gegas aku masuk kamar dan menghubungi Melinda. Dia memang tidak punya pekerjaan apalagi suaminya membayar pembantu. Enak sekali hidup sahabatku itu.
"Bagaimana, Ning?" tanya Melinda di balik telepon.
"Entahlah, aku curiga pada Ainun tetangga sebelah rumah karena sudah dua hari ini dia suka nebeng sama Mas Agung."
"Serius? Bukannya tetangga kamu itu sudah punya suami?"
Aku menghela napas panjang, lalu memberitahu Melinda perkara barusan. Dia pun akhirnya ikut menuduh Ainun dan akan mencari bukti kuat sampai mereka tidak bisa mengelak.
Dalam diam aku menangis merutuki diri yang mendapat takdir seburuk ini. Dikhianati seorang suami dalam keadaan hamil itu sakitnya dua kali lipat daripada diputusin pacar.
"Kalau benar selingkuhan suami kamu adalah Ainun yang tadi, itu akan memudahkan misi kita mempermalukan mereka!" seru Melinda terdengar berapi-api.
"Gimana?"
"Pokoknya ada cara sendiri. Siang nanti aku ke sana, kita makan bareng. Ibu hamil harus menjaga kesehatan, demi anakmu."
Aku memilih diam mengingat anak yang ada dalam kandungan adalah benih Mas Agung. Tega sekali dia menyimpan benih dalam rahimku, kemudian mencari perempuan lain. Semua tidak pernah aku bayangkan.
***
[Mas, hari ini kamu pulangnya cepat, 'kan?] Sengaja aku mengirim pesan itu karena melihat akun Mas Agung sedang online.
Ada balasan selang lima menit.
[Mas usahakan demi istri tercinta. Pulang nanti mau mas bawakan apa, Sayang?][Bawakan madu, Mas.]
[Serius kamu mau madu? Ikhlas?] Kali ini Mas Agung membalas cepat.
Kini aku bisa menebak bahwa madu yang dia pikir adalah istri kedua. Padahal aku menginginkan madu murni yang bisa diminum itu. Laki-laki kalau bahas poligami memang selalu terdepan mengatakan itu sunnah.
Banyak sekali suami di luar sana yang sibuk mengurus sunnah Rasulullah yang satu itu dan melupakan sunnah lainnya seperti bersiwak atau membekam. Ah, tidak! Bahkan mereka lupa dengan kewajiban seharusnya.
"Mas, aku mau madu murni yang bisa diminum. Bukan yang bisa kamu minum!" ketusku membalas dengan pesan suara agar Mas Agung salah tingkah.
[Mas cuma bercanda, Dek. Iya, nanti dicarikan.]
Setelah itu, akun What$app-nya tidak lagi online. Seandainya saja tadi aku bilang rela punya adik madu tiga sekaligus, ada kemungkinan Mas Agung akan pulang detik ini juga sambil membawa hadiah.
Aku bukan membenci apalagi mengharamkan poligami, tetapi para suami tidak memperhatikan syarat dan hanya fokus pada praktiknya. Memang bagus seandainya niat betul ingin menolong janda tua yang miskin, pada kenyataannya mencari daun muda.
Bagaimana jika saja poliandri itu boleh, apakah suamiku akan mengizinkan istrinya membagi cinta sekaligus melahirkan anak orang lain?
"Ningsih?" panggil Melinda dari luar.
Aku segera menemui dan memeluknya penuh kasih sayang. Kali ini kami mengobrol di ruang tengah. Cemilan sudah tersedia, rupanya Melinda benar membawa dua bungkus nasi goreng.
Sambil makan, aku bertanya rencana selanjutnya karena jujur sedikit takut melangkah sendirian. Kata orang tua dulu, musyawarah itu perlu agar nanti tidak menyesal jika salah dalam melangkah atau saling menyalahkan.
"Kita tinggal cari tahu informasi Ainun lebih dalam. Kalau perlu datangi suaminya."
"Senekat itu, Lin?" Melinda mengangguk. "Tidak, aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Kenapa kita harus melibatkan suami Ainun?"
Melinda meneguk air mineral yang dibawanya tadi hingga menyisakan setengah. Setelah itu dia memberitahu bahwa dengan melibatkan Mas Haiqal akan memudahkan kita menemukan bukti.
Aku bisa bekerja sama dengan Mas Haiqal untuk menjebak mereka berdua sehingga senjata bisa makan tuan. Entah, aku tidak terlalu mengerti dengan rencana Melinda.
"Pokoknya nurut aja. Gak mungkin aku mencelakai kamu, 'kan?"
"Ya iya, sih. Cuman gimana kalau selingkuhan Mas Agung bukan Ainun tetangga sebelah rumah?"
"Kamu gak cek foto profil memangnya?"
Aku menggeleng. Saking gugup dan sakitnya hati sampai aku melupakan tugas terpenting itu. Melinda menepuk pundakku mengatakan tidak apa-apa karena bisa melakukannya nanti.
Memang benar karena aku pun sudah tahu caranya. Semoga urusan kami dipermudah oleh Tuhan dan tidak ketahuan sampai waktunya.
"Ngomong-ngomong, Ainun kenapa sebebas itu keluarnya. Apa gak punya anak kayak aku, Ning?"
Aku menggeleng. "Entah. Kami tidak kenal baik bahkan aku tidak pernah lewat di depan rumahnya. Mas Haiqal saja hanya beberapa kali bertemu itu pun kalau dia gak cepat berangkat ke toko."
Melinda mengangguk-angguk. "Tapi kamu tahu di mana toko Mas Haiqal?"
"Tahu, emang kenapa?"
"Bertemu di toko lebih aman ketimbang di rumahnya!"
"Apa menurutmu baiknya kuberitahu mertua?""Jangan, Ning. Itu hanya akan memperkeruh keadaan. Semua ada waktunya, kita tidak boleh bertindak ceroboh. Sekarang aku tanya, kamu tahu, tidak akun Facebook Ainun?"Aku memutar otak mencoba mengingat-ingat. Nihil, tidak ada hasil. Akan tetapi, tidak sampai di situ karena Melinda memintaku buka aplikasi berlogo F itu dan mencari pertemanan.Ternyata benar berteman. Bukan hanya aku, Mas Agung pun adalah teman yang sama dengannya. Sedikit aneh, tetapi mungkin wajar karena tetanggaan."Coba kepoin akun Ainun!" perintah Melinda.Aku langsung menurut dan membaca bio terlebih dahulu. Tidak ada yang menimbulkan kecurigaan karena hanya nama Mas Haiqal Anwar yang tertera di sana.Layar beranda aku geser ke atas untuk melihat status paling bawah. Ada beberapa berita viral yang di-share. Namun, mata tertuju pada sebuah foto."Ainun sudah punya anak?" gumamku.Melinda merampas benda pipih itu. Sayang sekali wajah anaknya ditutupi dengan stiker. Namanya F
"Kok segitu marahnya? Gak mau disuruh ambil sampo lagi?""Dah, sana!" teriakku lagi seraya menutup paksa pintu kamar mandi.Hati sangat perih mengingat status Facebo0k itu juga tingkah Mas Agung ketika bertemu dengan Ainun. Hebat sekali mereka mempermainkan aku yang tidak punya dosa padanya.Padahal teringat satu tahun lalu ketika kami baru pedekate istilahnya. Aku selalu menilai bahwa Mas Agung adalah lelaki baik, sopan dan taat kepada agama bahkan mengira dialah kado terindah yang dikirim Tuhan untukku.Waktu itu di sebuah warung makan dekat kantorku bekerja, kami bertemu juga dengan Melinda karena Mas Agung mengingatkan tidak ingin berduaan sebelum halal takutnya setan sebagai orang ketiga."Kamu mau menikah sama aku?"Suprise! Pertanyaan Mas Agung membuatku terkejut. Sungguh, aku tidak akan menyangka dilamar secepat itu padahal perkenalan kami masih terbilang singkat.Aku melirik pada Melinda dengan hati berbunga-bunga, tetapi dia malah memasang tampang tidak suka. Kedua kening me
"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda."Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?""Iya." Panggilan diputus sepihak.Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore."Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu.""Tanya aja, Ma.""Kamu yakin mau menikah sama Agung?""Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk seba
Lepas salat isya Mas Agung baru pulang karena memang ada pengajian rutin sehabis magrib di Masjid Al-Hadid. Akan tetapi, yang membuat penasaran adalah kenapa mereka berdua pulang bersamaan bahkan jam sudah menunjuk angka sembilan malam? Mas Agung memasang raut terkejut ketika aku panggil sementara Ainun menyapa dengan senyuman sambil berlalu seperti tidak ada yang perlu dia jelaskan juga. "Kok menunggu di luar?" tanyanya begitu sampai di depanku. Segera kuhidupkan kembali layar ponsel dan mengarahkan ke wajah Mas Agung. "Lihat, Mas. Kamu salat di mana sebenarnya, masa jam sembilan malam baru tiba di rumah padahal jarak ke masjid cuman seratus meteran?" Mas Agung menggaruk tengkuknya. "Itu tadi ... Pak Imam musyawarah, Dek. Jadi, gak enak kalau langsung pulang." "Kok Ainun ikut?" "Aku nggak tahu, di saja juga ada beberapa ibu-ibu." "Musyawarah apa, Mas?" telisikku seraya mengekorinya dari belakang. Nampak sekali kalau Mas Agung tengah berpikir. Dia pasti kesulitan mencari alasan
Mereka kembali melanjutkan perbuatan haram itu. Aku merasa aneh dengan Mas Agung padahal jelas-jelas istri ada di samping malah sibuk video call-an lagian Ainun juga kelewat gatal.Kalau saja boleh, aku lebih memilih hidup dengan Mas Haiqal. Dia itu terkenal sabar dan bertanggung jawab, tetapi Ainun yang bodoh malah membuang suami seperti dia dan memungut sampah di sampingku.Dosa sekarang dianggap manisan yang bisa dinikmati kapan saja. Mas Agung juga bodohnya gak ketulungan, masa iya berani menelepon selingkuhan ketika istrinya juga ada dalam kamar. Apa karena aku memejamkan mata?Kalau mau selingkuh yang pintar dikit, Mas! umpatku dalam hati."Mas, kamu kok sekamar sama Ningsih, sih? Harusnya pisah, cari alasan gitu biar aku gak cemburu!" gerutu Ainun di seberang sana.Tangan terkepal kuat. Dasar wanita penggoda!"Gak apa-apa, Sayang. Toh, mas juga gak ngasih nafkah batin ke Ningsih walau dia selalu merengek minta itu kayak tadi. Cuman mas kepikiran kamu, orang setia!" ucap Mas Agu
"Kamu ini kenapa sih sama tetangga sendiri judes amat!" tegur Mas Agung.Kelihatan sekali dia tidak suka aku memperlakukan Ainun seperti itu. Perselingkuhan mereka semakin jelas, tetapi aku butuh bukti yang cukup kuat.Tidak perlu menuntut harta gono-gini asalkan bisa lepas dari lelaki mata keranjang seperti Mas Agung. Entah bagaimana awal mula kedekatan mereka hingga berani pergi bersama di hadapanku."Emang Mbak Ainun panas kok, Mas!" protesku."Sorry, ya. Sebenarnya yang panas itu kamu karena Mas Agung mau nganterin aku sekalian. Pergi bersama pulang apalagi!" Ainun tersenyum manis."Tetanggaan juga bangga banget!"Ainun langsung meledakkan tawa mendengar ucapanku. Dia pasti mengira aku tidak tahu kedok mereka yang sebenarnya.Tiba-tiba Mbok Inah dan tiga ibu-ibu lainnya lewat, sepertinya mau ke pasar. Ada ide baru nih kebetulan sekali Mas Agung kalau ke kantor pasti melewati pasar."Sebentar, Mas!" Aku mencekal lengan Mas Agung, lalu memanggil Mbok Inah."Ada apa, Neng?" tanyanya.
"Dari mana kamu?!" tanya Mas Agung begitu aku tiba di rumah.Memang jam sudah menunjuk angka delapan malam, tetapi di klinik tadi sangat antri. Melinda juga lapar, jadi kami singgah makan tadi khawatir penyakitnya kumat.Namun, aku tidak menyangka kalau Mas Agung akan pulang cepat dariku hari ini. Matanya menampilkan semburat merah tanda marah. Aku bahkan muak melihatnya."Dari klinik, Mas. Kenapa semarah itu? Aku kan sudah minta kamu nganterin, tapi gak bisa karena harus pergi sama teman-teman. Untung ada–""Haiqal?" potong Mas Agung.Seandainya Mas Haiqal tidak akan kena sembur jika aku mengangguk, sudah pasti kulakukan untuk memanas-manasi Mas Agung. Dengan terpaksa aku menggeleng. "Melinda!""Benar?"Aku memutar bola mata malas, melangkah kaki masuk kamar seraya menyindir pedas, "ya iyalah, Mas, sama Melinda masa sama Mas Haiqal. Aku kan gak berani selingkuh sama tetangga sebelah, lagi pula dosa kalau selalu berduaan dengan yang bukan mahram!""Video call aja kami gak pernah loh,
Sabtu tepat pukul sepuluh pagi, Melinda sudah ada di rumah. Aku sengaja memintanya membawa beberapa buah jambu ke sini sebagai alasan ngidam biar Mas Agung tidak curiga.Kami mengobrol masalah perselingkuhan karena kebetulan Mas Agung sedang berbaring santai di sofa dekat kami duduk. Senyumnya tidak pernah sirna."Serius, Lin? Kok tega ya si Agung selingkuh padahal istrinya itu cantik loh, lagi hamil pula.""Iya, Ning. Aku tuh ya kalau lihat si Agung, pengen kujambak rambutnya," balas Melinda.Kami memang punya teman sekolah dulu, namanya Agung Rifaldi. Cerita sebenarnya adalah teman kami itu menghamili pacarnya kemudian menghilang tanpa jejak.Jadi kalau misal si Buaya yang sedang main hp itu protes, kita bisa menyangkal sambil nunjukin gosip terbaru di grup alumni."Memangnya Agung sekarang secakep apa sih, Lin sampai selingkuh gitu?" Ketika aku melirik sedikit Mas Agung sudah berhenti memainkan benda pipih itu."Ya masih sama kayak dulu. Perutnya buncit, kulit kecokelatan, mukanya