Share

Bab 4

"Pagi, Ningsih," sapanya, tetapi mata itu tertuju pada pintu rumah yang setengah terbuka.

"Pagi juga, Mbak Ainun."

Perempuan itu tidak lepas memandang pintu. Aku yang sedikit risih langsung menegur tanpa rasa sungkan. "Kenapa pintu rumahku dipantengin gitu, Mbak?"

"Enggak apa-apa, pintu kamu bagus. Aku jadi kepikiran buat nyuruh Mas Haiqal ganti pintu." Ainun sekali lagi tersenyum ramah.

Entah kenapa, di hati tiba-tiba ada perasaan tidak senang dengan kehadirannya. Kami bertetangga sudah lama, tetapi aku tidak pernah mengobrol  dengannya. Bukan hanya aku, para tetangga yang lain pun melakukan hal serupa.

Kerlingan matanya yang sedikit genit berhasil membuatku menekuk wajah. Pasalnya itu dilakukan bersamaan dengan Mas Agung yang tiba-tiba muncul keluar. Cepat sekali dia berpakaian.

"Ainun?" binar di matanya mengundang kecurigaan. Namun, hanya sebentar begitu sadar aku mengamati mereka. "Mas berangkat kerja dulu, Dek!" pamit Mas Agung mengulurkan tangannya.

Aku meraih dan mencium dengan takzim. Sekilas mata melirik pada Ainun, dia memasang wajah tidak suka. Aneh padahal sudah punya suami sendiri yang bertanggung jawab sampai rela berangkat abis subuh ke toko.

Mas Agung menggaruk belakang kepalanya seperti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Aku menanti sambil bersedekap.

"Mas Agung, boleh nebeng lagi nggak? Motor aku bannya kempes, Mas Haiqal sudah berangkat duluan."

Suara manja itu menggelitik jiwa, aku menimpali. "Kenapa Mbaknya tidak pesan taksi online ketimbang ikut suami aku?"

Mas Agung mengibas tangan di depan wajah. "Sudah, Dek. Tidak apa-apa, barangkali kami sejalur atau Ainun tidak punya kuota. Bukankah sebagai saudara muslim kita harus saling menolong? Apalagi tetangga kita, loh, Dek."

'Manis banget omongan kamu, Mas. Mentang Mbak Ainun cantik, coba kalau dia sudah tua dan keriput, apa tetap mau nganterin?' gerutuku dalam hati.

"Sering-sering ya, Mbak minta tolongnya biar suami aku dapat banyak pahala!" sindirku sengaja, kemudian melangkah masuk rumah dengan kaki yang dihentak-hentakkan.

Aku tidak langsung masuk kamar atau dapur, tentu saja harus mengintip di balik jendela melihat aksi mereka. Namun, sampai mereka pergi, tidak ada hal yang mencurigakan. Bahkan aku melihat sendiri perempuan itu duduk di belakang.

Ada perasaan lega, gegas aku masuk kamar dan menghubungi Melinda. Dia memang tidak punya pekerjaan apalagi suaminya membayar pembantu. Enak sekali hidup sahabatku itu.

"Bagaimana, Ning?" tanya Melinda di balik telepon.

"Entahlah, aku curiga pada Ainun tetangga sebelah rumah karena sudah dua hari ini dia suka nebeng sama Mas Agung."

"Serius? Bukannya tetangga kamu itu sudah punya suami?"

Aku menghela napas panjang, lalu memberitahu Melinda perkara barusan. Dia pun akhirnya ikut menuduh Ainun dan akan mencari bukti kuat sampai mereka tidak bisa mengelak.

Dalam diam aku menangis merutuki diri yang mendapat takdir seburuk ini. Dikhianati seorang suami dalam keadaan hamil itu sakitnya dua kali lipat daripada diputusin pacar.

"Kalau benar selingkuhan suami kamu adalah Ainun yang tadi, itu akan memudahkan misi kita mempermalukan mereka!" seru Melinda terdengar berapi-api.

"Gimana?"

"Pokoknya ada cara sendiri. Siang nanti aku ke sana, kita makan bareng. Ibu hamil harus menjaga kesehatan, demi anakmu."

Aku memilih diam mengingat anak yang ada dalam kandungan adalah benih Mas Agung. Tega sekali dia menyimpan benih dalam rahimku, kemudian mencari perempuan lain. Semua tidak pernah aku bayangkan.

***

[Mas, hari ini kamu pulangnya cepat, 'kan?] Sengaja aku mengirim pesan itu karena melihat akun Mas Agung sedang online.

Ada balasan selang lima menit.

[Mas usahakan demi istri tercinta. Pulang nanti mau mas bawakan apa, Sayang?]

[Bawakan madu, Mas.]

[Serius kamu mau madu? Ikhlas?] Kali ini Mas Agung membalas cepat.

Kini aku bisa menebak bahwa madu yang dia pikir adalah istri kedua. Padahal aku menginginkan madu murni yang bisa diminum itu. Laki-laki kalau bahas poligami memang selalu terdepan mengatakan itu sunnah.

Banyak sekali suami di luar sana yang sibuk mengurus sunnah Rasulullah yang satu itu dan melupakan sunnah lainnya seperti bersiwak atau membekam. Ah, tidak! Bahkan mereka lupa dengan kewajiban seharusnya.

"Mas, aku mau madu murni yang bisa diminum. Bukan yang bisa kamu minum!" ketusku membalas dengan pesan suara agar Mas Agung salah tingkah.

[Mas cuma bercanda, Dek. Iya, nanti dicarikan.]

Setelah itu, akun What$app-nya tidak lagi online. Seandainya saja tadi aku bilang rela punya adik madu tiga sekaligus, ada kemungkinan Mas Agung akan pulang detik ini juga sambil membawa hadiah.

Aku bukan membenci apalagi mengharamkan poligami, tetapi para suami tidak memperhatikan syarat dan hanya fokus pada praktiknya. Memang bagus seandainya niat betul ingin menolong janda tua yang miskin, pada kenyataannya mencari daun muda.

Bagaimana jika saja poliandri itu boleh, apakah suamiku akan mengizinkan istrinya membagi cinta sekaligus melahirkan anak orang lain?

"Ningsih?" panggil Melinda dari luar.

Aku segera menemui dan memeluknya penuh kasih sayang. Kali ini kami mengobrol di ruang tengah. Cemilan sudah tersedia, rupanya Melinda benar membawa dua bungkus nasi goreng.

Sambil makan, aku bertanya rencana selanjutnya karena jujur sedikit takut melangkah sendirian. Kata orang tua dulu, musyawarah itu perlu agar nanti tidak menyesal jika salah dalam melangkah atau saling menyalahkan.

"Kita tinggal cari tahu informasi Ainun lebih dalam. Kalau perlu datangi suaminya."

"Senekat itu, Lin?" Melinda mengangguk. "Tidak, aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Kenapa kita harus melibatkan suami Ainun?"

Melinda meneguk air mineral yang dibawanya tadi hingga menyisakan setengah. Setelah itu dia memberitahu bahwa dengan melibatkan Mas Haiqal akan memudahkan kita menemukan bukti.

Aku bisa bekerja sama dengan Mas Haiqal untuk menjebak mereka berdua sehingga senjata bisa makan tuan. Entah, aku tidak terlalu mengerti dengan rencana Melinda.

"Pokoknya nurut aja. Gak mungkin aku mencelakai kamu, 'kan?"

"Ya iya, sih. Cuman gimana kalau selingkuhan Mas Agung bukan Ainun tetangga sebelah rumah?"

"Kamu gak cek foto profil memangnya?"

Aku menggeleng. Saking gugup dan sakitnya hati sampai aku melupakan tugas terpenting itu. Melinda menepuk pundakku mengatakan tidak apa-apa karena bisa melakukannya nanti.

Memang benar karena aku pun sudah tahu caranya. Semoga urusan kami dipermudah oleh Tuhan dan tidak ketahuan sampai waktunya.

"Ngomong-ngomong, Ainun kenapa sebebas itu keluarnya. Apa gak punya anak kayak aku, Ning?"

Aku menggeleng. "Entah. Kami tidak kenal baik bahkan aku tidak pernah lewat di depan rumahnya. Mas Haiqal saja hanya beberapa kali bertemu itu pun kalau dia gak cepat berangkat ke toko."

Melinda mengangguk-angguk. "Tapi kamu tahu di mana toko Mas Haiqal?"

"Tahu, emang kenapa?"

"Bertemu di toko lebih aman ketimbang di rumahnya!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
bnr Ningsih LBH baik krj sama sama suami Ainun buat jebak suami mu dan ainun
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status