Pukul sepuluh malam aku mendengar deru mobil memasuki halaman rumah, dengan gerak cepat tangan menutupi diri dengan selimut sambil memejamkan mata. Mas Agung punya kunci cadangan, jadi tidak perlu repot membukakan pintu untuknya.
"Dek, mas pulang!" serunya, tetapi tetap diam tanpa sahutan.
Mas Agung mengelus pucuk kepalaku, berakhir dengan hadiah kecupan pada kening. Ingin muntah dengan tingkahnya, tetapi misi harus tetap dijalankan. Sengaja aku mengeluarkan suara dengkuran halus untuk mengelabui.
"Sepertinya kamu lelah mengurus rumah, Dek. Maafkan mas yang selalu pulang telat."
'Buaya!' omelku dalam hati.
Aku pikir Mas Agung akan langsung tidur, ternyata langkahnya terdengar menjauh. Pelan-pelan aku membuka mata, memindai sekeliling karena lampu utama masih menyala, dia tidak ada.
Dengan gerak sangat pelan, aku mencoba turun dari tempat tidur melangkah ke luar kamar setelah menyambar ponsel yang ada di bawah bantal.
Dari arah dapur ada suara lelaki, itu milik suamiku. Kaki mengendap-endap bagai maling yang takut ketahuan pemilik rumah.
Posisi Mas Agung membelakang, dia berdiri di depan kulkas. Tangan kirinya menempelkan benda pipih itu pada telinga. Aku yakin, dia sedang menelepon selingkuhannya.
"Ningsih sudah tidur, bahkan mendengkur. Jadi, mas bisa telepon kamu sebelum tidur."
Hening beberapa saat.
"Iya, mas juga kangen banget sama kamu. Andai saja bisa, mas mau tidur sambil meluk kamu lagi."
'Lagi?' batinku mengerutkan dahi.
"Mas kan sudah bilang, kamu selalu jadi pemilik hati ini satu-satunya. Dari dulu juga begitu, bahkan setelah aku menikah dengan Ningsih."
Kedua mataku membulat sempurna, mulut sedikit terbuka karena tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Jika sejak dulu cinta Mas Agung untuk perempuan itu, apakah berarti dia perempuan masa lalunya?
Biasanya cinta pertama suami hadir untuk merusak rumah tangga. Sebut saja pelakor dan aku paling anti dengan mereka. Besok pagi, semua harus jelas dengan bukti-bukti.
Satu foto berhasil aku simpan dalam galeri. Nanti akan ada banyak bukti yang menyudutkan Mas Agung. Tidak peduli apakah kelak kami berakhir di pengadilan atau tetap melanjutkan pernikahan konyol ini.
"Kamu suka sama kalungnya?" tanya Mas Agung lagi. Aku yang tidak tahan mendengar kemesraan mereka melangkah mundur sampai depan pintu kamar.
Setelah dirasa cukup aman, aku kembali melangkah pelan menuju dapur sambil memanggil nama Mas Agung. Tidak ada sahutan, melainkan sosoknya yang muncul dengan wajah pucat. Ponsel di tangan segera disembunyikan dalam kantong celana.
"Kamu bangun, Dek?"
"Iya, Mas. Aku haus banget. Sengaja manggil nama kamu karena pintu kamar terbuka, juga seperti mendengar suara. Khawatir itu maling, ternyata benaran kamu, Mas." Bibir mengulum senyum.
Mas Agung bergerak cepat mengambil gelas dan mengisinya dengan air hingga penuh. Dia semakin salah tingkah ketika aku pindai tubuhnya dari bawah ke atas.
"Kamu belum ganti baju, Mas? Terus ngapain di dapur malam-malam begini bukan langsung tidur?"
"Mas tadi mau tidur, cuma lapar. Pas nyampe dapur, laparnya hilang ... anu tadi tiba-tiba ditelepon bos, katanya besok pagi jam tujuh ada meeting dadakan."
Suara yang terdengar gugup itu berhasil membuatku tersenyum miring. Kasihan sekali Mas Agung, dia pasti mengira dirinya selamat karena aku tidak bertanya lebih jauh.
Aku bukan perempuan bodoh yang dengan mudahnya kamu tipu, Mas! cibirku dalam hati.
***
Mentari pagi menyapa begitu hangat, aku tidak ke dapur membuat sarapan karena Mas Agung bilang memilih sarapan di kantor kali ini. Aku hanya mengangguk, lalu menyiapkan baju kerjanya.
Begitu Mas Agung masuk kamar mandi, apalagi katanya kebelet buang air besar, aku langsung mengambil kesempatan. Ponsel yang sedang di-charger padahal penuh itu kusambar dengan hati senang.
"Enam angka?" gumamku ketika hendak memasukkan kata sandi.
Sekitar lima menit aku mencoba memasukkan banyak kata sandi termasuk tanggal lahir, tanggal pernikahan, tanggal lamaran semuanya gagal. Namun, ketika aku masukkan enam digit pertama nomor ponselnya, berhasil!
Sesuai perintah Melinda, aku langsung masuk ke setelah mencari layar kunci dan kata sandi. Butuh waktu beberapa menit untuk memasang sidik jari kedua.
Setelah berhasil, aku langsung membuka aplikasi hijau itu dan membukanya dengan sidik jari. Beruntung tidak ada verifikasi dua langkah.
Dengan tangan gemetar aku melihat pesan yang diarsipkan, ada nama seorang perempuan di sana. 'Ainun Sayangku'. Jantung berdegup tidak normal, ingin sekali aku membanting ponsel itu hingga hancur, tetapi berusaha kutahan demi mendapat bukti.
"Percakapam yang begitu romantis," gumamku sambil memotret isi chat mereka.
Air mata menggenang, bibir sedikit gemetar sampai aku harus menggigitnya sedikit keras. Mereka berselingkuh padahal masing-masing sudah memiliki pasangan halal. Aku tahu karena Mas Agung sempat menanyakan apakah suami Ainun itu curiga atau tidak.
Tidak tahan membaca pesan mereka, aku beralih pada label status. Mas Agung pasang snap What$app pagi ini, 'Selamat pagi, Ainunku!' lalu diiringi tiga ikon love.
"Romantis banget kamu, Mas. Aku aja tidak pernah kamu pasangin snap begini!" gerutuku.
Setelah menghapus jejak pada pipi, aku meletakkan kembali ponsel itu sebelum ketahuan. Pengkhianatan ini akan aku ingat selalu. Demi perempuan lain, Mas Agung tidak pernah mau mengantarku periksa ke dokter kandungan.
Semua bukti aku kirim pada Melinda jangan sampai nanti ponsel ini rusak. Kita tidak tahu kemungkinan apa saja yang bisa terjadi sehingga mencadangkan gambar tentu lebih baik.
[Bagus, Ning. Kirim lebih banyak lagi, aku selalu berdiri di sampingmu!] tulis Melinda via pesan aksara.
[Makasih banyak, Lin. Karena kamu aku jadi tahu cara membuka What$pp yang terkunci dengan sidik jari.]
[Jangan lupa dihapus sidik jarimu biar tidak ketahuan!]
"Astagfirullah," gumamku pelan.
Ponsel Mas Agung kembali aku raih dan masuk ke setelan. Sidik jari dua sudah terhapus juga menutup aplikasi yang sempat dibuka tadi.
Andai Melinda tidak mengingatkan, mungkin aku sudah ketahuan karena meninggalkan jejak. Hati sedikit tenang, kemudian kaki melangkah ke luar kamar ketika mendengar suara percikan air berhenti.
Tentu saja aku harus melakukan aktivitas seperti biasa sekalipun hati gundah-gulana. Bukan hanya Mas Agung, sudah banyak lelaki di luar sana yang tetap bermain api dengan perempuan gatal.
Mereka tidak memikirkan perasaan istrinya di rumah, hanya mengedepankan ego dan nafsu belaka. Bahkan aku pernah membaca status seorang perempuan yang katanya mendapat madu di malam pertama pernikahan.
"Dek, dasi mas kenapa gak ada?"
Aku berhenti menggerakkan sapu. "Ada kok, Mas."
"Mana?"
Dengan kesal aku menyandarkan sapu pada tembok, lalu membuka lemari pakaian. "Dasimu ada di lemari."
Mas Agung terkekeh pelan sambil geleng-geleng, mungkin mengira aku sedang bercanda. Handuk basah itu diberi padaku untuk menjemur di depan.
Dengan sangat terpaksa aku melangkah keluar sambil terus menggerutu. Begitu selesai menjemur, Ainun lewat dengan senyum manisnya.
Tiba-tiba aku teringat kontak di ponsel Mas Agung. Apakah dia?
"Pagi, Ningsih," sapanya, tetapi mata itu tertuju pada pintu rumah yang setengah terbuka."Pagi juga, Mbak Ainun."Perempuan itu tidak lepas memandang pintu. Aku yang sedikit risih langsung menegur tanpa rasa sungkan. "Kenapa pintu rumahku dipantengin gitu, Mbak?""Enggak apa-apa, pintu kamu bagus. Aku jadi kepikiran buat nyuruh Mas Haiqal ganti pintu." Ainun sekali lagi tersenyum ramah.Entah kenapa, di hati tiba-tiba ada perasaan tidak senang dengan kehadirannya. Kami bertetangga sudah lama, tetapi aku tidak pernah mengobrol dengannya. Bukan hanya aku, para tetangga yang lain pun melakukan hal serupa.Kerlingan matanya yang sedikit genit berhasil membuatku menekuk wajah. Pasalnya itu dilakukan bersamaan dengan Mas Agung yang tiba-tiba muncul keluar. Cepat sekali dia berpakaian."Ainun?" binar di matanya mengundang kecurigaan. Namun, hanya sebentar begitu sadar aku mengamati mereka. "Mas berangkat kerja dulu, Dek!" pamit Mas Agung mengulurkan tangannya.Aku meraih dan mencium dengan
"Apa menurutmu baiknya kuberitahu mertua?""Jangan, Ning. Itu hanya akan memperkeruh keadaan. Semua ada waktunya, kita tidak boleh bertindak ceroboh. Sekarang aku tanya, kamu tahu, tidak akun Facebook Ainun?"Aku memutar otak mencoba mengingat-ingat. Nihil, tidak ada hasil. Akan tetapi, tidak sampai di situ karena Melinda memintaku buka aplikasi berlogo F itu dan mencari pertemanan.Ternyata benar berteman. Bukan hanya aku, Mas Agung pun adalah teman yang sama dengannya. Sedikit aneh, tetapi mungkin wajar karena tetanggaan."Coba kepoin akun Ainun!" perintah Melinda.Aku langsung menurut dan membaca bio terlebih dahulu. Tidak ada yang menimbulkan kecurigaan karena hanya nama Mas Haiqal Anwar yang tertera di sana.Layar beranda aku geser ke atas untuk melihat status paling bawah. Ada beberapa berita viral yang di-share. Namun, mata tertuju pada sebuah foto."Ainun sudah punya anak?" gumamku.Melinda merampas benda pipih itu. Sayang sekali wajah anaknya ditutupi dengan stiker. Namanya F
"Kok segitu marahnya? Gak mau disuruh ambil sampo lagi?""Dah, sana!" teriakku lagi seraya menutup paksa pintu kamar mandi.Hati sangat perih mengingat status Facebo0k itu juga tingkah Mas Agung ketika bertemu dengan Ainun. Hebat sekali mereka mempermainkan aku yang tidak punya dosa padanya.Padahal teringat satu tahun lalu ketika kami baru pedekate istilahnya. Aku selalu menilai bahwa Mas Agung adalah lelaki baik, sopan dan taat kepada agama bahkan mengira dialah kado terindah yang dikirim Tuhan untukku.Waktu itu di sebuah warung makan dekat kantorku bekerja, kami bertemu juga dengan Melinda karena Mas Agung mengingatkan tidak ingin berduaan sebelum halal takutnya setan sebagai orang ketiga."Kamu mau menikah sama aku?"Suprise! Pertanyaan Mas Agung membuatku terkejut. Sungguh, aku tidak akan menyangka dilamar secepat itu padahal perkenalan kami masih terbilang singkat.Aku melirik pada Melinda dengan hati berbunga-bunga, tetapi dia malah memasang tampang tidak suka. Kedua kening me
"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda."Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?""Iya." Panggilan diputus sepihak.Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore."Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu.""Tanya aja, Ma.""Kamu yakin mau menikah sama Agung?""Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk seba
Lepas salat isya Mas Agung baru pulang karena memang ada pengajian rutin sehabis magrib di Masjid Al-Hadid. Akan tetapi, yang membuat penasaran adalah kenapa mereka berdua pulang bersamaan bahkan jam sudah menunjuk angka sembilan malam? Mas Agung memasang raut terkejut ketika aku panggil sementara Ainun menyapa dengan senyuman sambil berlalu seperti tidak ada yang perlu dia jelaskan juga. "Kok menunggu di luar?" tanyanya begitu sampai di depanku. Segera kuhidupkan kembali layar ponsel dan mengarahkan ke wajah Mas Agung. "Lihat, Mas. Kamu salat di mana sebenarnya, masa jam sembilan malam baru tiba di rumah padahal jarak ke masjid cuman seratus meteran?" Mas Agung menggaruk tengkuknya. "Itu tadi ... Pak Imam musyawarah, Dek. Jadi, gak enak kalau langsung pulang." "Kok Ainun ikut?" "Aku nggak tahu, di saja juga ada beberapa ibu-ibu." "Musyawarah apa, Mas?" telisikku seraya mengekorinya dari belakang. Nampak sekali kalau Mas Agung tengah berpikir. Dia pasti kesulitan mencari alasan
Mereka kembali melanjutkan perbuatan haram itu. Aku merasa aneh dengan Mas Agung padahal jelas-jelas istri ada di samping malah sibuk video call-an lagian Ainun juga kelewat gatal.Kalau saja boleh, aku lebih memilih hidup dengan Mas Haiqal. Dia itu terkenal sabar dan bertanggung jawab, tetapi Ainun yang bodoh malah membuang suami seperti dia dan memungut sampah di sampingku.Dosa sekarang dianggap manisan yang bisa dinikmati kapan saja. Mas Agung juga bodohnya gak ketulungan, masa iya berani menelepon selingkuhan ketika istrinya juga ada dalam kamar. Apa karena aku memejamkan mata?Kalau mau selingkuh yang pintar dikit, Mas! umpatku dalam hati."Mas, kamu kok sekamar sama Ningsih, sih? Harusnya pisah, cari alasan gitu biar aku gak cemburu!" gerutu Ainun di seberang sana.Tangan terkepal kuat. Dasar wanita penggoda!"Gak apa-apa, Sayang. Toh, mas juga gak ngasih nafkah batin ke Ningsih walau dia selalu merengek minta itu kayak tadi. Cuman mas kepikiran kamu, orang setia!" ucap Mas Agu
"Kamu ini kenapa sih sama tetangga sendiri judes amat!" tegur Mas Agung.Kelihatan sekali dia tidak suka aku memperlakukan Ainun seperti itu. Perselingkuhan mereka semakin jelas, tetapi aku butuh bukti yang cukup kuat.Tidak perlu menuntut harta gono-gini asalkan bisa lepas dari lelaki mata keranjang seperti Mas Agung. Entah bagaimana awal mula kedekatan mereka hingga berani pergi bersama di hadapanku."Emang Mbak Ainun panas kok, Mas!" protesku."Sorry, ya. Sebenarnya yang panas itu kamu karena Mas Agung mau nganterin aku sekalian. Pergi bersama pulang apalagi!" Ainun tersenyum manis."Tetanggaan juga bangga banget!"Ainun langsung meledakkan tawa mendengar ucapanku. Dia pasti mengira aku tidak tahu kedok mereka yang sebenarnya.Tiba-tiba Mbok Inah dan tiga ibu-ibu lainnya lewat, sepertinya mau ke pasar. Ada ide baru nih kebetulan sekali Mas Agung kalau ke kantor pasti melewati pasar."Sebentar, Mas!" Aku mencekal lengan Mas Agung, lalu memanggil Mbok Inah."Ada apa, Neng?" tanyanya.
"Dari mana kamu?!" tanya Mas Agung begitu aku tiba di rumah.Memang jam sudah menunjuk angka delapan malam, tetapi di klinik tadi sangat antri. Melinda juga lapar, jadi kami singgah makan tadi khawatir penyakitnya kumat.Namun, aku tidak menyangka kalau Mas Agung akan pulang cepat dariku hari ini. Matanya menampilkan semburat merah tanda marah. Aku bahkan muak melihatnya."Dari klinik, Mas. Kenapa semarah itu? Aku kan sudah minta kamu nganterin, tapi gak bisa karena harus pergi sama teman-teman. Untung ada–""Haiqal?" potong Mas Agung.Seandainya Mas Haiqal tidak akan kena sembur jika aku mengangguk, sudah pasti kulakukan untuk memanas-manasi Mas Agung. Dengan terpaksa aku menggeleng. "Melinda!""Benar?"Aku memutar bola mata malas, melangkah kaki masuk kamar seraya menyindir pedas, "ya iyalah, Mas, sama Melinda masa sama Mas Haiqal. Aku kan gak berani selingkuh sama tetangga sebelah, lagi pula dosa kalau selalu berduaan dengan yang bukan mahram!""Video call aja kami gak pernah loh,