~Jangan tertipu dengan seseorang yang kamu lihat baik, sopan dan ramah. Sejatinya setiap insan selalu menyembunyikan aib sendiri terlebih ketika menginginkan sesuatu. Dalam hal apa pun termasuk dalam memilih jodoh, selalu libatkan Allah.~
____Bintu Hasan____
***
"Mas, ponselnya kenapa di-charger lagi, bukannya sebelum isya tadi sudah penuh?" tanyaku ketika melihat Mas Agung meletakkan ponsel di nakas.
"Biar tahan lama, Dek," jawab Mas Agung dengan senyum kikuk.
Aku sedikit bingung dengan jawaban yang selalu sama. Sebenarnya ini bukan kali pertama, Mas Agung memang selalu melakukan itu ketika pulang dari Bengkulu.
Namun, untuk menghindari masalah rumah tangga, aku kembali diam. Mas Agung mendekat, mencium pucuk kepalaku sebelum akhirnya tertidur pulas.
Mata terbuka pelan, aku melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas malam. Ketika melirik ke samping, aku melihat Mas Agung memainkan ponsel dalam keadaan memunggungiku.
"Tenang saja, kita aman!" bisik Mas Agung seraya mendekatkan benda pipih berwarna hitam itu ke wajahnya. Dia mengirim voice note pada seseorang.
Aku mengangkat kepala diam-diam untuk mengintip jangan sampai ketahuan, tetapi sulit. Apalagi Mas Agung berdehem seperti menyadari sesuatu. Buru-buru aku menarik selimut, menutupi seluruh kepala.
Mas Agung terkekeh pelan. Kali ini suaranya semakin terdengar jelas. Mungkin dia membalik badan khawatir aku bangun dan mengintip. Baiklah, biar telinga saja yang mendengar semuanya.
"Iya, besok kita ketemu. Kamu tidak perlu risau, Sayang," bisik Mas Agung lagi mengakhiri kalimat itu dengan kecupan basah yang terdengar menjijikkan.
Hati tiba-tiba merasakan perih, air mata pun menjadi saksi bisu perbuatan Mas Agung. Dia selingkuh, tetapi aku belum tahu dengan siapa.
Detik selanjutnya Mas Agung mendesah nikmat. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukan, apakah hanya suara atau berlanjut pada adegan tidak senonoh, misalnya saja video call sex.
Tawa Mas Agung begitu menyakitkan, beruntung selimut menutupi wajah atau akan ketahuan. Ternyata suamiku bermain api dengan perempuan lain, pantas saja satu bulan ini dia sering bangun tengah malam.
"Iya, aku sudah beli hadiahnya. Ningsih tidak akan tahu karena kalung itu aku sembunyikan." Suara Mas Agung kembali terdengar.
Setelah beberapa menit berlalu, dia memegang kepalaku. "Nengsih?"
Aku sengaja tidak menyahut, malah bergerak memunggunginya tanpa menyibak selimut. Entah apa maksud Mas Agung memanggil namaku.
"Nengsih benar-benar lelap, kita bisa lanjut. Dia kalau udah tidur emang susah bangunnya."
Bibir tersenyum miring, rupanya memanggil namaku tadi untuk memastikan dia tidak ketahuan. Bodoh sekali kamu, Mas!
Waktu terus berputar, aku tidak tahu sudah pukul berapa yang pasti dua orang dewasa itu sedang dimabuk asmara. Keduanya sama-sama mendesah nikmat. Aku tahu karena Mas Agung menambah volume suara ponselnya.
***
Lepas salat subuh, aku langsung menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Kali ini masih menu yang sama; nasi goreng dan telur dadar karena itu kesukaan Mas Agung.
Sekalipun perut sudah mulai membuncit karena hamil, tetapi tidak pernah membatasi pergerakanku. Ayah mertua selalu meminta kami menginap di rumahnya, tetapi aku menolak halus karena tidak ingin memberatkan.
"Mas!" panggilku setelah semua sudah terhidang di meja makan. Namun, berulang kali aku memanggil, tidak ada respon.
Khawatir dia sedang mencari sesuatu, aku menyusul ke kamar. Di balik daun pintu yang terbuka setengah, aku bisa melihat Mas Agung melakukan panggilan video dengan seorang perempuan.
Mereka tertawa bahagia. Aku tidak bisa mengenali betul siapa perempuan itu karena sebagian wajahnya ditutupi selimut. Perih kembali merajai hati, tetapi berusaha aku telan sepenuhnya.
"Mas, sarapan sudah siap!" panggilku setelah mundur beberapa langkah tadi.
Semua aku lakukan agar Mas Agung tidak tahu aku sempat memergokinya. Bukan berarti lemah dan membiarkan suami bahagia dengan perempuan lain, tetapi aku tidak ingin bertindak gegabah.
Sesampainya di depan pintu, Mas Agung terlihat memasang dasi dengan ponsel terletak manja di tempat tidur. Aku memaksa senyum agar dia mengira semua baik-baik saja.
"Pagi ini kamu cantik sekali, Dek!" puji Mas Agung mengecup lembut keningku.
Jujur, kini aku merasa risih diperlakukan seperti itu setelah kejadian semalam. Namun, untuk menghindar akan menimbulkan kecurigaan sehingga gagal mengetahui siapa perempuan kedua itu.
Sejak awal aku menekankan pada Mas Agung agar tidak bermain api apalagi memberiku adik madu selama masih sanggup mengurus suami dan bisa memberi anak. Dia setuju, tetapi sekarang malah melanggar.
Kami duduk saling berhadapan. Mas Agung menyendokkan nasi goreng itu ke mulutnya. "Masakan kamu memang selalu enak, Sayang."
"Terimakasih, Mas."
Ponsel Mas Agung berdering, tetapi dia tidak merespon. Mungkin nasi goreng itu benar-benar membiusnya. Aku tidak memasukkan apa-apa, hanya memasak penuh cinta seperti dulu.
"Mas, ponselnya berdering. Kamu makan saja biar aku ambilkan."
"Tidak usah, Dek. Paling orang iseng."
"Siapa tahu penting, Mas!"
Mas Agung melempar sendok di tangannya asal, lalu melenggang masuk kamar. Aku paham sekarang, hatinya benar-benar direbut perempuan lain. Harapan untuk tetap berdua sampai menua kini pupus sudah.
Banyak cerita yang pernah aku baca di aplikasi biru berlogo F bahwa suami selingkuh karena istri yang tidak becus mengurus rumah dan merawat diri alhasil membawa perempuan kedua dalam istananya. Saat itu aku memberi komentar, menegaskan bahwa suamiku orang setia.
Sekarang nyatanya berbeda. Mas Agung sebentar lagi akan mengenalkan aku pada perempuan itu dan menjadikanku babu di sini. Pasti, karena memang selalu berakhir demikian dari banyaknya cerita yang aku baca.
"Mas, sudah mau berangkat?" tanyaku mengekorinya dari belakang.
Mas Agung tidak menjawab, dia melangkah begitu cepat sambil menggantung kunci mobil di jari telunjuk kirinya. Sebuah mobil yang kami beli sehari setelah menikah.
Ya, dulu aku bekerja di Dinas Pendidikan, tetapi setelah menikah dengan Mas Agung dia memintaku resign dan menjadi ibu rumah tangga saja. Katanya, perempuan lebih baik merawat diri di rumah dan menanti suami pulang.
Aku bahagia karena merasa dijadikan ratu oleh suami. Akan tetapi, ratu yang memiliki seorang selir.
"Kamu jangan ke mana-mana, mas akan pulang telat karena ada meeting di luar." Mas Agung mengulur tangannya untuk kucium dengan takzim seperti biasa.
"Kira-kira pulang jam berapa, Mas?"
"Mungkin jam sepuluh malam."
Tidak ada pilihan, aku hanya mengangguk. Mas Agung pamit, tetapi langkahnya terhenti begitu melihat Ainun. Tanpa meminta izin, dia langsung mengajak berangkat bersama padahal belum tahu perempuan akan ke mana.
Mereka terlihat ramah. Namun, aku tidak boleh berprasangka buruk toh kami tetanggaan apalagi Ainun sudah punya suami, mapan lagi tampan. Perempuan itu juga memakai jilbab saat ke luar rumah, tidak mungkin gatal pada Mas Agung.
"Mas, kamu tahu aja kalau kita searah!" seru Ainun dengan suara manja. Dia bahkan membuka pintu depan mobil membuat kedua alisku saling bertaut.
Sungguh, aku tidak tahan dengan keadaan ini apalagi sendirian di rumah. Tanpa mengulur waktu, aku mengirim pesan pada Melinda memintanya datang ke rumah. Bertindak sendirian akan lebih berbahaya apalagi dalam keadaan hamil lima bulan.Hati yang tidak tenang membuatku membuang napas kasar berulang kali. Takdir kali ini bagai disambar elang. Bernasib buruk sekali.Hampir dua jam duduk termangu di ruang tamu, kini aku mendengar suara ketukan di pintu. Pasti itu Linda. Aku beranjak dari kursi, membuka daun pintu perlahan."Mas Agung?" Aku terkejut bukan main melihat suami sendiri pulang secepat ini padahal seharusnya sedang bekerja."Mas lupa bawa ponsel, Dek." Mas Agung tersenyum manis, lalu masuk rumah tanpa kata lagi.Sialnya aku malah tidak tahu hal itu karena setelah mereka pergi tadi, aku belum beres-beres rumah melainkan melamun banyak hal.Aku menyusul masuk kamar, dia terlihat mengotak-atik benda pipih itu. Namun, mataku fokus pada sesuatu yang mencurigakan. Kaki menuntun mengiki
Pukul sepuluh malam aku mendengar deru mobil memasuki halaman rumah, dengan gerak cepat tangan menutupi diri dengan selimut sambil memejamkan mata. Mas Agung punya kunci cadangan, jadi tidak perlu repot membukakan pintu untuknya."Dek, mas pulang!" serunya, tetapi tetap diam tanpa sahutan.Mas Agung mengelus pucuk kepalaku, berakhir dengan hadiah kecupan pada kening. Ingin muntah dengan tingkahnya, tetapi misi harus tetap dijalankan. Sengaja aku mengeluarkan suara dengkuran halus untuk mengelabui."Sepertinya kamu lelah mengurus rumah, Dek. Maafkan mas yang selalu pulang telat."'Buaya!' omelku dalam hati.Aku pikir Mas Agung akan langsung tidur, ternyata langkahnya terdengar menjauh. Pelan-pelan aku membuka mata, memindai sekeliling karena lampu utama masih menyala, dia tidak ada.Dengan gerak sangat pelan, aku mencoba turun dari tempat tidur melangkah ke luar kamar setelah menyambar ponsel yang ada di bawah bantal.Dari arah dapur ada suara lelaki, itu milik suamiku. Kaki mengendap-
"Pagi, Ningsih," sapanya, tetapi mata itu tertuju pada pintu rumah yang setengah terbuka."Pagi juga, Mbak Ainun."Perempuan itu tidak lepas memandang pintu. Aku yang sedikit risih langsung menegur tanpa rasa sungkan. "Kenapa pintu rumahku dipantengin gitu, Mbak?""Enggak apa-apa, pintu kamu bagus. Aku jadi kepikiran buat nyuruh Mas Haiqal ganti pintu." Ainun sekali lagi tersenyum ramah.Entah kenapa, di hati tiba-tiba ada perasaan tidak senang dengan kehadirannya. Kami bertetangga sudah lama, tetapi aku tidak pernah mengobrol dengannya. Bukan hanya aku, para tetangga yang lain pun melakukan hal serupa.Kerlingan matanya yang sedikit genit berhasil membuatku menekuk wajah. Pasalnya itu dilakukan bersamaan dengan Mas Agung yang tiba-tiba muncul keluar. Cepat sekali dia berpakaian."Ainun?" binar di matanya mengundang kecurigaan. Namun, hanya sebentar begitu sadar aku mengamati mereka. "Mas berangkat kerja dulu, Dek!" pamit Mas Agung mengulurkan tangannya.Aku meraih dan mencium dengan
"Apa menurutmu baiknya kuberitahu mertua?""Jangan, Ning. Itu hanya akan memperkeruh keadaan. Semua ada waktunya, kita tidak boleh bertindak ceroboh. Sekarang aku tanya, kamu tahu, tidak akun Facebook Ainun?"Aku memutar otak mencoba mengingat-ingat. Nihil, tidak ada hasil. Akan tetapi, tidak sampai di situ karena Melinda memintaku buka aplikasi berlogo F itu dan mencari pertemanan.Ternyata benar berteman. Bukan hanya aku, Mas Agung pun adalah teman yang sama dengannya. Sedikit aneh, tetapi mungkin wajar karena tetanggaan."Coba kepoin akun Ainun!" perintah Melinda.Aku langsung menurut dan membaca bio terlebih dahulu. Tidak ada yang menimbulkan kecurigaan karena hanya nama Mas Haiqal Anwar yang tertera di sana.Layar beranda aku geser ke atas untuk melihat status paling bawah. Ada beberapa berita viral yang di-share. Namun, mata tertuju pada sebuah foto."Ainun sudah punya anak?" gumamku.Melinda merampas benda pipih itu. Sayang sekali wajah anaknya ditutupi dengan stiker. Namanya F
"Kok segitu marahnya? Gak mau disuruh ambil sampo lagi?""Dah, sana!" teriakku lagi seraya menutup paksa pintu kamar mandi.Hati sangat perih mengingat status Facebo0k itu juga tingkah Mas Agung ketika bertemu dengan Ainun. Hebat sekali mereka mempermainkan aku yang tidak punya dosa padanya.Padahal teringat satu tahun lalu ketika kami baru pedekate istilahnya. Aku selalu menilai bahwa Mas Agung adalah lelaki baik, sopan dan taat kepada agama bahkan mengira dialah kado terindah yang dikirim Tuhan untukku.Waktu itu di sebuah warung makan dekat kantorku bekerja, kami bertemu juga dengan Melinda karena Mas Agung mengingatkan tidak ingin berduaan sebelum halal takutnya setan sebagai orang ketiga."Kamu mau menikah sama aku?"Suprise! Pertanyaan Mas Agung membuatku terkejut. Sungguh, aku tidak akan menyangka dilamar secepat itu padahal perkenalan kami masih terbilang singkat.Aku melirik pada Melinda dengan hati berbunga-bunga, tetapi dia malah memasang tampang tidak suka. Kedua kening me
"Terserah deh, kamu kayaknya lebih percaya dia daripada aku!" sewot Melinda."Bukan begitu, Lin. Cuman kita harus berprasangka baik sama semua orang. Toh di luar sana juga banyak yang langgeng pernikahannya padahal baru kenal seminggu. Kamu tenang saja, aku akan selalu bahagia nanti. Oke?""Iya." Panggilan diputus sepihak.Sikap Melinda tidak pernah sejudes itu apalagi sama aku. Dia seperti ada dendam pribadi pada Mas Agung, tetapi tidak ingin menguaknya.Aku merebahkan diri di tempat tidur seraya menatap langit-langit kamar. Mata perlahan terpejam hingga terbuai di alam mimpi.Sentuhan lembut menyentuh kepala membuatku terjaga. Ketika selesai mengucek mata, rupanya itu mama. Segera aku bangun dan melihat jam sudah menunjuk angka tiga sore."Ningsih, mama mau tanya sesuatu sama kamu.""Tanya aja, Ma.""Kamu yakin mau menikah sama Agung?""Kenapa, Ma? Ada masalah tadi ya?"Buru-buru mama menggeleng. Ternyata beliau hanya ingin memastikan kemantapan hati anaknya. Aku pun mengangguk seba
Lepas salat isya Mas Agung baru pulang karena memang ada pengajian rutin sehabis magrib di Masjid Al-Hadid. Akan tetapi, yang membuat penasaran adalah kenapa mereka berdua pulang bersamaan bahkan jam sudah menunjuk angka sembilan malam? Mas Agung memasang raut terkejut ketika aku panggil sementara Ainun menyapa dengan senyuman sambil berlalu seperti tidak ada yang perlu dia jelaskan juga. "Kok menunggu di luar?" tanyanya begitu sampai di depanku. Segera kuhidupkan kembali layar ponsel dan mengarahkan ke wajah Mas Agung. "Lihat, Mas. Kamu salat di mana sebenarnya, masa jam sembilan malam baru tiba di rumah padahal jarak ke masjid cuman seratus meteran?" Mas Agung menggaruk tengkuknya. "Itu tadi ... Pak Imam musyawarah, Dek. Jadi, gak enak kalau langsung pulang." "Kok Ainun ikut?" "Aku nggak tahu, di saja juga ada beberapa ibu-ibu." "Musyawarah apa, Mas?" telisikku seraya mengekorinya dari belakang. Nampak sekali kalau Mas Agung tengah berpikir. Dia pasti kesulitan mencari alasan
Mereka kembali melanjutkan perbuatan haram itu. Aku merasa aneh dengan Mas Agung padahal jelas-jelas istri ada di samping malah sibuk video call-an lagian Ainun juga kelewat gatal.Kalau saja boleh, aku lebih memilih hidup dengan Mas Haiqal. Dia itu terkenal sabar dan bertanggung jawab, tetapi Ainun yang bodoh malah membuang suami seperti dia dan memungut sampah di sampingku.Dosa sekarang dianggap manisan yang bisa dinikmati kapan saja. Mas Agung juga bodohnya gak ketulungan, masa iya berani menelepon selingkuhan ketika istrinya juga ada dalam kamar. Apa karena aku memejamkan mata?Kalau mau selingkuh yang pintar dikit, Mas! umpatku dalam hati."Mas, kamu kok sekamar sama Ningsih, sih? Harusnya pisah, cari alasan gitu biar aku gak cemburu!" gerutu Ainun di seberang sana.Tangan terkepal kuat. Dasar wanita penggoda!"Gak apa-apa, Sayang. Toh, mas juga gak ngasih nafkah batin ke Ningsih walau dia selalu merengek minta itu kayak tadi. Cuman mas kepikiran kamu, orang setia!" ucap Mas Agu