Hosh...
Seorang gadis berlari memasuki halaman rumah dengan napas tersengal. Keringat menetes di pelipisnya, membasahi anak rambut yang terlepas dari ikatan asalnya.
Tubuhnya yang berisi bergerak cepat, meski setiap langkah terasa berat. Rambut bergelombang tergerai, sebagian menempel di pipinya yang bulat karena keringat. Kacamata yang bertengger di hidungnya sedikit melorot akibat hentakan langkah tergesa-gesanya.
Gadis itu bernama Nabila, ia dalam masalah besar karena pulang larut malam.
“Astaga…” gumamnya, menepuk dadanya yang masih berdetak kencang. Dada naik turun, menahan rasa panik yang masih menguasai dirinya.
Ia berdiri di depan pintu, mencoba mengatur napas. Lampu teras rumah menyinari wajahnya yang kemerahan karena kelelahan. Nabila menggigit bibir, khawatir membuka pintu rumah.
Jam di ponselnya menunjukkan pukul 11.10 malam.
“Duh, kenapa sih nggak lihat jam tadi? Paman pasti marah...” gumamnya pelan sambil memutar kunci pintu dengan sangat hati-hati, berusaha membuat suara sekecil mungkin.
Pintu depan berderit pelan, saat pintu terbuka kegelapan menyambutnya. Nabila mengendap-endap seperti pencuri.
Nabila mencoba menutup pintu tanpa suara. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Semoga Om Govan sudah tidur, pikirnya. Ia tahu betul bagaimana pamannya bisa berubah menjadi seperti singa kelaparan jika dirinya melanggar aturan.
Namun, harapannya sirna ketika.
klik...
Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala terang.
“Dari mana saja kamu, hah?! Jam segini baru pulang?” Suara berat dan dingin itu membekukan langkah Nabila.
Nabila menoleh perlahan dan mendapati pamannya yang bernama Govan, berdiri di sudut ruangan dengan tatapan penuh amarah.
Tubuh kekarnya yang hanya berbalut celana santai membuatnya tampak seperti patung pahlawan hidup. Matanya sipit menatap tajam Nabila seperti elang yang mengintai mangsanya. Rahang kokohnya mengeras, tanda ia sedang menahan amarah.
"Jawab!” bentak Govan menghampiri nabila, langkahnya menghentak tegas di lantai.
“A-anu, Om…” Nabila menelan ludah, mencengkeram tasnya lebih erat lalu cengengesan, menggaruk kepala yang jelas tidak gatal. Kakinya seolah tertancap di lantai, tak berani bergerak.
“Tadi bilangnya keluar sebentar, tapi pulang jam segini. Ditelepon nggak angkat. Kemana aja kamu, hah?!” tanya Govan penuh tekanan
Nabila hanya menunduk, tidak berani menatap pamannya. Tubuh chubby-nya bergetar kecil, matanya yang bulat di balik kacamata mulai berkaca-kaca. Ia tahu ia salah. Dalam hati, ia mengutuk dirinya yang lupa waktu saat nongkrong dengan temannya.
"Kamu tahu berapa banyak kemungkinan buruk yang bisa terjadi kalau kamu keluyuran malam-malam begini? Kamu masih anak-anak, Nabila! Perempuan pula!” Govan mendesis, suaranya seperti cambuk yang melayang-layang di telinga Nabila.
"Tapi aku bukan anak kecil lagi," cicit Nabila menciut.
"Ha, melawan!" bantak govan Nabila semakin menciut. Ini pertama kalinya dia dimarahin pamannya begini.
“Maaf, Om… Aku nggak bakal ulangi lagi…” gumam Nabila, suaranya hampir seperti isakan. Air mata mulai menggenang di sudut mata nabila, tetapi ia menahan diri untuk tidak menangis. Ia mencuri pandang ke arah pamannya, memasang wajah memelas berharap pria itu melunak.
"Is... Anak ini." Govan mendesis memijat keningnya, frustasi, napasnya berat, bukan karena lelah, tetapi karena amarah yang belum sepenuhnya reda.
Pikirannya melayang ke masa-masa beberapa tahun yang lalu, saat ia menggendong tubuh kecil Nabila yang menangis tanpa henti di pemakaman kedua orang tuanya.
Sejak hari itu, hidupnya berubah drastis. Ia bukan lagi pria bebas yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Ia harus menjadi segalanya bagi Nabila mengantikan peran ayah, ibu, kakak, bahkan pelindung.
"Om?" Melihat Nabila dengan wajah memelas seperti itu membuat amarahnya perlahan mereda.
Bagaimanapun juga Nabila adalah satu-satunya keluarga yang ia punya, dan dia tidak tega memarahinya sampai membuatnya takut seperti ini.
“Om bukan marah karena kamu pulang malam, Nabila. Om marah karena Om takut… Takut kehilangan kamu.” Govan melihat wajah Nabila yang seolah menyesali perbuatannya.
Govan mengusap wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri, suaranya mulai melembut.
“Maaf, Om… Aku nggak bermaksud bikin Om khawatir.” Nabila mendongak perlahan, air matanya akhirnya jatuh membasahi pipinya.
“Walaupun kamu udah dewasa, Om cuma ingin kamu lebih berhati-hati. Dunia ini nggak seaman yang kamu kira. Kalau ada apa-apa terjadi sama kamu, Om nggak tahu apa Om bisa memaafkan diri Om sendiri.” Govan memeluk nabila, menepuk kepalanya dengan lembut.
Nabila terisak pelan dipelukan govan, Govan menghela napas panjang, ia tahu Nabila bukan anak kecil lagi, tetapi bagi dirinya, Nabila akan selalu menjadi gadis kecil yang ia lindungi dengan segenap jiwa.
“Dengar baik-baik,” kata Govan akhirnya, suaranya lebih lembut. “Ini terakhir kalinya kamu begini, jangan pernah pulang larut malam lagi. Kalau ada apa-apa di luar sana, Om yang repot, tahu?”
“Iya, Om.” Nabila mengangkat kepalanya cepat lalu mengangguk seperti burung pelatuk.
“Sekarang tidur, udah larut,” perintah Govan menunjuk ke arah kamar Nabila.
Wajah Nabila langsung cerah. Ia mengangguk penuh semangat, lalu berlari ke arah kamarnya.
“Meski om galak, om itu pria paling tampan dan baik hati yang pernah aku kenal!” candanya sambil tertawa kecil.
“Dasar bocah, ” gumamnya, merasa tersanjung sekaligus geli.
Meski Nabila sering membuatnya kesal, gadis itu adalah alasan terbesar ia tetap bertahan hidup sampai detik ini. Jika ia tidak ada siapa lagi yang mengurus Nabila?
Sanak saudara semuanya melepas tangan, gak mau urus Nabila sejak orang tua Nabila meninggal. Govan satu-satunya yang bersedia mengurus Nabila, meski usianya sangat muda kala itu.
"Hadeh." Govan memijit keningnya.
Di balik pintu kamar.
"Berhasil!" sorak Nabila tersenyum kecil, merasa puas.
Seperti biasa, air matanya menjadi senjata ampuh untuk meluluhkan hati Govan. Ia tahu pamannya keras, tetapi juga punya sisi lembut yang mudah tersentuh jika melihatnya menangis.
“Dasar Om gampang luluh,” gumamnya sambil terkikik pelan.
Namun, senyum di wajahnya segera pudar saat ia melihat pantulan dirinya di cermin. Rambutnya berantakan, wajahnya masih ada bekas keringat, dan kaos yang ia pakai agak kusut karena terburu-buru tadi.
“Astaga, mirip zombie!” desisnya.
Tanpa pikir panjang, Nabila mengambil handuk dan menuju kamar mandi di dalam kamarnya, membersihkan dirinya lalu mengenakan piyama yang lebih nyaman.
Tub...
"Aduh capeknya." Nabila merebahkan dirinya ke kasur, menarik seimut bersiap untuk tidur.
Tuk...
Nabila mendongak melihat ke arah jendela, ia yakin suara tadi berasal dari luar jendela miliknya.
Tuk...
Suara itu terdengar lagi, Nabila semakin parno. Jantung Nabila berdebar cepat, dan seketika rasa takut menyelimuti dirinya.
'Gak mungkin mbak kunti ngikutin dia gara-gara pulang malam, kan?' pikirnya
Nabila mencoba mendekat ke arah jendela, baru beberapa langkah tubuhnya membeku, kakinya gemetar melihat ke arah jendela. ada sebuah bayangan putih bergerak.
“Tu..tunggu... Apa itu?” gumamnya, terlonjak mundur, tubuhnya merinding.
Tiba-tiba, ada ketukan keras di kaca jendela.
“KYAAAA!!!" teriak Nabila nyaring terkejut, wajahnya pucat, tubuhnya kaku, hampir tak bisa bergerak.
KYAAAAA!!!Jeritan melengking memecah keheningan malam.Govan yang baru saja memejamkan mata langsung melek, tanpa pikir panjang, dia berlari ke arah kamar Nabila.Belum sempat membuka pintu, Nabila sudah lebih dulu keluar dengan wajah panik, langsung menerjang tubuh govan hingga tersungkur ke lantai."Om! Hantu!!" serunya dengan suara gemetar, memeluk govan yang ada di bawahnya, jari telunjuknya menunjuk ke arah jendela kamarnya."Aduh berat, Bil!" Seru Govan sesak nafas ditindih Nabila.Nabila menyingkir membantu Govan berdiri lalu memeluknya takut."Hantunya seram om," cicit Nabila. "Hantu?" tanyanya seolah-olah tidak percaya, menatap keponakannya dengan ekspresi datar."Iya! Aku lihat putih-putih melayang di jendela! Aku takut Om!" Nabila mengangguk cepat."Udah besar kok masih takut hantu."Govan mendesah panjang, dari tadi kesabarannya di uji. Dia menatap langit-langit seolah meminta kesabaran lebih dari Tuhan."Udah dibilang jangan kebanyakan nonton film horor. Liat kamu jadi
"Ayo makan siang bersama hari ini? Aku tahu tempat dengan steak terenak di sekitar kantor, aku traktir. Jangan menolak. by: L"Dahi govan mengerut, sesaat rasa gugup menyerangnya tanpa alasan yang jelas. Ia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang tertutup rapat."Apa laras yang menaruh kertas ini di sini?" gumamnya, sedetik kemudian ia mendesah pelan, menaruh kembali kertas itu di atas meja tanpa niat membalas.Govan mengabaikannya begitu saja, menganggap ajakan itu hanya basa-basi belaka. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan makan siang gratis.***Kruuuuk...Nabila terbangun dengan perut keroncongan. Ia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk, beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur dengan langkah malas.Di meja makan, sudah tersaji hidangan yang disiapkan sepiring nasi goreng dengan lauk yang terlihat menggoda, aromanya menggelitik hidung. Tanpa berpikir dua kali, ia segera duduk dan mulai melahap makanan itu."Seperti biasa, masakan Paman
"Mereka," gumam hati Nabila, tubuhnya menegang melihat bayangan dua wanita yang tadi mengejeknya masuk dengan senyuman licik.Salah satunya adalah wanita berambut panjang dengan gaun ketat yang membuatnya tampak bak model.Satunya lagi lebih pendek, dengan wajah yang tak kalah cantik, matanya dipenuhi rasa puas setelah mengucapkan hinaan barusan."Astaga, aku masih gak percaya dia bisa makan sebanyak itu. Serius, kasihan banget cowok ganteng itu, pasti terpaksa nemenin dia," ujar suara perempuan itu dengan nada mengejek.Jantung Nabila berdegup kencang pelan-pelan, ia menoleh ke belakang.Mereka berdua kaget saat menyadari keberadaan Nabila, keduanya terdiam sesaat. Lalu, seolah tak merasa bersalah, perempuan bergaun ketat itu menyeringai sinis."Oh? Lihat siapa yang ada di sini," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.Nabila menelan ludah. Tangannya gemetar, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat tidak terpengaruh."Apa ada yang mau kalian bicarakan denganku?" suaranya te
"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata."Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya."Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.Tapi ia takut.Takut terlihat lemah.Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencob
"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. "Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya."Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci."Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi memb
'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan
"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak
Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me
Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering
"Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange
Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,
Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter