"Mereka," gumam hati Nabila, tubuhnya menegang melihat bayangan dua wanita yang tadi mengejeknya masuk dengan senyuman licik.
Salah satunya adalah wanita berambut panjang dengan gaun ketat yang membuatnya tampak bak model.
Satunya lagi lebih pendek, dengan wajah yang tak kalah cantik, matanya dipenuhi rasa puas setelah mengucapkan hinaan barusan.
"Astaga, aku masih gak percaya dia bisa makan sebanyak itu. Serius, kasihan banget cowok ganteng itu, pasti terpaksa nemenin dia," ujar suara perempuan itu dengan nada mengejek.
Jantung Nabila berdegup kencang pelan-pelan, ia menoleh ke belakang.
Mereka berdua kaget saat menyadari keberadaan Nabila, keduanya terdiam sesaat. Lalu, seolah tak merasa bersalah, perempuan bergaun ketat itu menyeringai sinis.
"Oh? Lihat siapa yang ada di sini," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.
Nabila menelan ludah. Tangannya gemetar, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat tidak terpengaruh.
"Apa ada yang mau kalian bicarakan denganku?" suaranya terdengar lebih tenang dari yang ia rasakan.
"Oh, jadi kamu dengar? Yah, maaf, tapi aku cuma mengatakan yang sebenarnya. Maksudku… lihat dirimu." wanita yang lebih pendek terkikik menatap geli Nabila.
Tatapan mereka menyapu tubuh Nabila dari atas ke bawah dengan pandangan meremehkan.
"Kasihan banget sih cowok itu. Ganteng, tapi harus punya cewek kayak kamu? Apa kamu pakai pelet, hah?" timpal wanita berambut panjang.
Seketika, darah Nabila mendidih, tapi di saat yang sama, ada rasa sakit yang tak bisa ia tolak. Ia ingin membalas ngata-ngatain mereka dengan sesuatu yang bisa membungkam mereka, tapi lidahnya terasa kelu.
Dan sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, perempuan bergaun ketat itu melangkah mendekat, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Apa pun yang kamu lakukan, kamu gak akan pernah pantas buat pria seperti dia. Gendut," bisiknya pelan, tepat di telinga Nabila.
Lalu, dengan tawa kecil, kedua wanita itu berjalan keluar, meninggalkan Nabila yang masih berdiri membeku.
Saat pintu toilet tertutup, Nabila merasakan seluruh tubuhnya melemah. Tangannya menggenggam erat wastafel, kepalanya tertunduk, napasnya berat.
"Ugh... Hiks... Hiks..." Nabila tak bisa menahan air matanya, ia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perkataan mereka.
Nabila menghapus air matanya, membasuh wajahnya, mencoba menenangkan diri sebelum keluar dari toilet. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Tapi bagaimana pun ia mencoba, dadanya tetap terasa sesak.
Ketika ia kembali ke meja, Govan masih duduk di sana, perlahan mengunyah makanannya. Begitu melihat mata Nabila yang memerah, alisnya bertaut.
"Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya terdengar penuh perhatian.
"Mata aku kemasukan debu," jawab Nabila cepat, buru-buru menghindari tatapannya, ia mencoba tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.
Govan menatapnya lama, seolah tidak percaya. Tapi akhirnya, ia hanya menghela napas pelan, tanpa berkata apa-apa, ia mengambil potongan daging steak dari piringnya dan meletakkannya di piring Nabila.
"Makanlah yang banyak," katanya singkat.
Nabila terpaku, menatap daging itu sejenak, lalu memasukkan potongan daging itu ke mulutnya dan mengunyah pelan, Nabila rasanya sulit sekali menelan daging itu.
Makan malam terasa begitu lama dan hambar bagi Nabila. Setelah selesai, mereka meninggalkan restoran dan singgah di supermarket untuk membeli persediaan makanan.
"Kamu mau beli apa? Ambil aja," kata Govan sambil mendorong troli.
Govan memilih berbagai bahan makanan, dari ayam potong, sayuran, hingga beberapa makanan cepat saji.
"Baik om," jawab Nabila lesu.
Sepanjang perjalanan mereka di supermarket, Nabila bisa merasakan tatapan orang-orang dan bisikan-bisikan lirih yang mencoba mereka sembunyikan, tapi tetap terdengar.
"Dia gendut banget, ya. Makannya pasti banyak."
"Cowok itu pasti pacarnya, ya? Kok bisa sih?"
"Dia lebih cocok jalan sama cewek yang lebih cantik. Sayang banget..."
"Kena pelet kali ya tu cowok."
Setiap kata itu menusuk telinga Nabila seperti jarum tajam. Langkahnya melambat, matanya tertunduk.
Govan, yang sedari tadi diam saja, akhirnya berhenti di depan rak minuman dingin. Ia mengambil sebotol susu cokelat lalu menyerahkannya pada Nabila.
"Ambil ini," katanya ringan.
"Buat apa?" Nabila menatap botol itu, lalu mengangkat kepalanya menatap Govan.
"Kamu kelihatan murung. Biasanya kalau om kasih susu cokelat, kamu langsung ceria lagi." Govan mengangkat bahu santai.Ia tahu kenapa Nabila kelihatan lesu, dan ia berusaha menghibur keponakannya itu.
Nabila terdiam merasakan sesuatu menghangat di dadanya, tapi rasa sesak itu masih terasa di dadanya.
"Makasih, om." Nabila menggenggam botol susu itu erat, lalu tersenyum kecil.
Govan mengacak rambutnya sekilas sebelum kembali mendorong troli belanja.
Setelah selesai berbelanja, mereka pulang.
Disepanjang perjalanan pulang, Govan beberapa kali melirik Nabila yang duduk diam di sebelahnya.
"Kamu mau beli martabak gak?" tawar Govan santai mencairkan suasana.
Nabila hanya diam tidak membalas, biasanya dia cerewet, selalu banyak tagihan. Tapi sejak tadi, ia hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
"Bagimana kalau sempol? Bakor? Seblak? Atau es krim? Kamu mau yang mana?" tawar Govan lagi.
"Gak mau om. Aku mau langsung pulang aja." Nabila menggeleng tanpa menoleh.
Govan menghela napas pelan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia mengarahkan mobilnya langsung ke rumah.
Setibanya di rumah, mereka langsung menuju dapur untuk membereskan belanjaan. Govan meletakkan kantong belanja di meja, lalu melirik Nabila yang masih memasukkan barang ke dalam kulkas dengan wajah murung.
"Hei," panggil Govan bersandar di meja, menyilangkan tangan di dada.
Nabila menoleh.
"Kamu tetap cantik, Bil. Jangan insecure. om bakal tetap sayang sama kamu, bagaimana pun bentuk kamu." Govan menatapnya dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut dari biasanya.
Nabila membeku. Kata-kata itu begitu tulus, tapi terasa begitu menusuk di hatinya.
"Ke...kenapa om tiba-tiba bilang gitu?" tanya Nabila gagap.
"Om tahu kamu dikata-katain." Govan menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya, "Buat om, kamu berharga. Jadi jangan sedih lagi, ya? om gak suka lihat kamu sedih."
Nabila menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi yang mendesak di dadanya. Ia ingin menangis, tapi ia tak mau Govan melihatnya begitu rapuh. Jadi, ia memaksakan senyum kecil.
"Aku gak sedih kok, om. Aku juga gak peduli kata-kata mereka. Om gak usah khawatir," kata Nabila menahan pilu.
Govan menatapnya lama, seolah tidak yakin. Tapi akhirnya, ia hanya mengusap kepala Nabila dengan kasar, seperti kebiasaannya.
"Bagus kalau gitu."
Setelah beres, Nabila kembali ke kamarnya. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit dengan kosong. Air matanya mengalir, hinan itu masih berputar di kepalanya.
Nabila menarik selimut, menutupi wajahnya, lalu menangis dalam diam. Ia menangis hingga lelah, sebelum akhirnya tertidur dengan mata yang masih basah.
***
Tok... Tok... Tok...
"Bil?" panggil Govan sambil mengetuk pintu kamar Nabila.
Tidak ada jawaban.
Govan menghela napas, lalu membuka pintu, saat melihat isi kamar itu, jantungnya berdegup lebih kencang.
"Nabila?!" suaranya meninggi, matanya membelalak kaget.
"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata."Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya."Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.Tapi ia takut.Takut terlihat lemah.Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencob
"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. "Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya."Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci."Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi memb
'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan
"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
"Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N
Malam.Nabila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya dengan penuh kebingungan.Setiap baju yang ia coba tampak terlalu longgar, menggantung seperti gorden yang kebesaran. Celana yang dulu pas kini melorot tanpa perlu dibuka kancingnya. Satu-satunya pakaian yang masih bisa ia pakai hanyalah daster."Hah... gawat," gumamnya, menarik bajunya ke belakang, memperlihatkan pinggang rampingnya yang kini terbentuk dengan sempurna.Lengkung tubuhnya jelas terlihat, dan kulitnya yang lebih cerah serta kencang memantulkan cahaya lampu kamar, memberi kesan ‘glossy’ layaknya model papan atas.Senyum puas terukir di bibirnya. Dulu, ia hanya bisa bermimpi memiliki tubuh seperti ini. Sekarang, semua ejekan yang pernah ia terima terasa tak berarti.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Govan masuk tanpa mengetuk lebih dulu."Nabila, kamu—" Langkah govan langsung terhenti di ambang pintu, matanya membela
"Aku cantik, kan?" tanya Nabila, tersenyum penuh percaya diri. "Soalnya aku gak bisa berhenti ngaca sejak tadi."Govan terdiam sejenak, menatap keponakannya yang kini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tapi juga aura percaya dirinya."Kamu selalu cantik di mata om," jawab Govan dengan nada tenang."Masa sih." Pipi Nabila merona, tapi ia menyembunyikannya dengan terus menyantap makanannya.Dulu, makan sayur terasa menyiksa, tapi sekarang ia bisa menikmatinya. Rasanya tidak lagi pahit atau aneh seperti saat pertama kali ia mencoba diet."Kamu gak percaya? Om berkata jujur lo." Govan menoleh, mengunyah makanannya dengan santai."Hmmm... Percaya deh, kan om gak pernah bohong," kata Nabila tersenyum manis.Govan memalingkan pandangannya ke mangkuk sup miliknya, senyuman Nabila terlalu manis baginya sampai sup yang ia mak
Sinar mentari pertama menelusup masuk melalui celah gorden, menyapu lembut wajah Nabila yang masih terlelap. Udara dingin pagi menggelitik, membuatnya menggeliat pelan dan mengerjapkan mata. Ia menoleh ke samping, melihat Riska masih memeluk guling dengan mulut sedikit terbuka dan suara napas pelannya. Nabila melihat jam di ponselnya. Pukul 05.12 pagi. Ia tersenyum kecil, mengingat rencana mereka menonton matahari terbit di danau tak jauh dari penginapan.Dengan semangat, ia turun dari ranjang dan merapikan hoodie-nya. Rambutnya diikat setengah, dan wajahnya masih segar tanpa riasan, tapi tetap manis. Ia menepuk-nepuk kaki Riska.“Ris… bangun. Udah jam lima lewat. Ayo ke danau,” bisiknya.“Hmm…” Riska meringkuk. “Dingin, Bil… lima menit lagi…”“Lima menit kamu bisa tidur selamanya kalau kita gak keburu liat sunrise,” canda Nabila sambil menepuk Riska.Tak lama, ketiganya sudah berada di luar, berjalan menyusuri jalan menuju danau. Udara pagi masih menusuk kulit, tapi langit perlahan
Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh
Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye
Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s
Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p
Langit di bandara dipenuhi warna abu kebiruan, pesawat-pesawat hilir mudik di landasan, sibuk seperti semut-semut raksasa yang tak pernah tidur. Di salah satu ruang tunggu gate keberangkatan, Govan duduk dengan tubuh tegak namun wajah lesu. Koper hitam kecil berada di samping kursinya. Di sebelahnya, Laras sang asisten pribadi tengah sibuk memeriksa email di tablet."Boarding jam berapa?" tanya Govan pelan, suaranya sedikit serak.Laras menoleh, “Sekitar lima belas menit lagi, Pak. Tapi biasanya mereka mulai panggil sepuluh menit sebelumnya.”Govan mengangguk, lalu memalingkan wajah ke jendela besar di hadapannya. Di luar sana, pesawat-pesawat terlihat seperti makhluk asing yang hendak terbang ke dunia lain. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya justru penuh. Bayangan wajah Nabila muncul jelas, dia tersenyum, tertawa, marah, hingga manja. Semua campur aduk.Laras melirik pria itu, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Masih kepikiran Nabila, Pak?”“Ya… Gak tahu kenapa rasanya g
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam