"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.
Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.
Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk.
"Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.
Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus.
"Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian.
"Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?"
"Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar.
"Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.
Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
"Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N
Malam.Nabila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya dengan penuh kebingungan.Setiap baju yang ia coba tampak terlalu longgar, menggantung seperti gorden yang kebesaran. Celana yang dulu pas kini melorot tanpa perlu dibuka kancingnya. Satu-satunya pakaian yang masih bisa ia pakai hanyalah daster."Hah... gawat," gumamnya, menarik bajunya ke belakang, memperlihatkan pinggang rampingnya yang kini terbentuk dengan sempurna.Lengkung tubuhnya jelas terlihat, dan kulitnya yang lebih cerah serta kencang memantulkan cahaya lampu kamar, memberi kesan ‘glossy’ layaknya model papan atas.Senyum puas terukir di bibirnya. Dulu, ia hanya bisa bermimpi memiliki tubuh seperti ini. Sekarang, semua ejekan yang pernah ia terima terasa tak berarti.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Govan masuk tanpa mengetuk lebih dulu."Nabila, kamu—" Langkah govan langsung terhenti di ambang pintu, matanya membela
"Aku cantik, kan?" tanya Nabila, tersenyum penuh percaya diri. "Soalnya aku gak bisa berhenti ngaca sejak tadi."Govan terdiam sejenak, menatap keponakannya yang kini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tapi juga aura percaya dirinya."Kamu selalu cantik di mata om," jawab Govan dengan nada tenang."Masa sih." Pipi Nabila merona, tapi ia menyembunyikannya dengan terus menyantap makanannya.Dulu, makan sayur terasa menyiksa, tapi sekarang ia bisa menikmatinya. Rasanya tidak lagi pahit atau aneh seperti saat pertama kali ia mencoba diet."Kamu gak percaya? Om berkata jujur lo." Govan menoleh, mengunyah makanannya dengan santai."Hmmm... Percaya deh, kan om gak pernah bohong," kata Nabila tersenyum manis.Govan memalingkan pandangannya ke mangkuk sup miliknya, senyuman Nabila terlalu manis baginya sampai sup yang ia mak
Suasana makan malam yang awalnya nyaman mendadak berubah tegang.Nabila yang sedang menikmati makanan tiba-tiba membeku begitu melihat Gisel dan gengnya yang baru saja memasuki restoran. Nafasnya tercekat, tangan yang memegang sendok mulai gemetar.Tanpa pikir panjang, ia langsung menyelinap ke bawah meja, tubuhnya bersembunyi dengan gemetar.Govan yang sedang mengunyah makanannya langsung mengernyit."Kamu ngapain?" tanyanya, menatap ke bawah meja dengan ekspresi bingung.Nabila menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di atas pahanya."G-Gisel ada di sana..." bisiknya, suaranya bergetar.Mata Govan menyipit. Ia menoleh ke arah yang dimaksud. Dari cara Nabila bereaksi, pasti Nabila masih trauma akan kejadian yang lalu. Matanya menelusuri setiap wajah di meja itu, dan dugaannya langsung tertuju p
"Hmmm... Na na~" Nabila bersenandung ria memulai membersihkan kamarnya.Nabila membuka lemari dan mulai mengatur baju-baju barunya. Satu per satu baju lama ia keluarkan, menumpuknya di atas tempat tidur. Govan yang baru saja masuk ke kamarnya mengangkat alis melihat keponakannya yang sibuk memilah-milah pakaian."Lagi apa, Bil?" tanya Govan bercanda, bersedekap di ambang pintu."Lagi cari harta karun Om." Nabila menanggapi dengan candaan."Hahaha... Kirain lagi merakit bom," canda Govan tertawa kecil."Ya enggak lah, kan Om liat sendiri. Aku lagi kemas-kemas lemari lah." Nabila mulai bete, mengerucutkan mulutnya."Iya iya kan Om bercanda." Govan mendekati Nabila mengusap kepalanya lalu duduk di tepi ranjang.Namun, setelah setengah jalan, Nabila terdiam menatap tumpukan bajunya yang lama."Ini
'Eh!' Govan tersentak kaget saat mata mereka bertemu.Alih-alih sadar akan sesuatu, Nabila justru tersenyum lebar, lalu menunjukkan layar ponselnya."Om, menurut Om baju ini cocok buat aku gak?" tanya Nabila polos.Govan menatap layar ponsel. Sebuah crop top. Ia menghela napas pelan. Pakaian itu memang cocok dengan tubuh Nabila yang sekarang. SANGAT COCOK."Cocok. Kamu jadi makin cantik kalau pakai itu." Govan mengangguk kecil."Benar kah?" Nabila tersenyum puas, ingin langsung menambahkannya ke keranjang belanja. Tapi, ia masih ragu, masih ingin memilih-milih yang lain.Melihatnya ragu, Govan akhirnya berkata, "Kalau kamu suka, ambil saja. Nanti Om yang bayar."Mata Nabila langsung berbinar. Senyum lebarnya semakin mengembang."Benar nih, Om? " tanyanya mema
Pagi itu, matahari masih bersinar hangat ketika Govan dan Nabila berlari-lari kecil di taman dekat rumah mereka. Rambut ekor kuda Nabila berayun mengikuti irama langkahnya, mengiringi tubuh ramping dan proporsionalnya yang kini jauh berbeda dari enam bulan lalu.Tatapan orang-orang di sekitar tak lepas dari sosoknya. Beberapa pria bahkan terang-terangan menatapnya dengan kagum, berbisik-bisik memuji wajah dan tubuhnya."Siapa tuh? Cantik banget.""Body-nya gila... kayak model.""Astaga, idaman banget."Govan yang sejak tadi mendengar celotehan mereka hanya bisa mengerutkan dahi. Rahangnya mengatup, perasaan kesal tiba-tiba menjalari di dadanya.Saat mereka berhenti untuk istirahat sejenak, Nabila membuka botol minumnya dan meneguk air dengan santai. Lagi-lagi, tatapan para pria yang melintas di sekitar mengarah kepadanya."Pakai ini!" Govan melepas jaketnya kesal da
Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh
Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye
Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s
Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p
Langit di bandara dipenuhi warna abu kebiruan, pesawat-pesawat hilir mudik di landasan, sibuk seperti semut-semut raksasa yang tak pernah tidur. Di salah satu ruang tunggu gate keberangkatan, Govan duduk dengan tubuh tegak namun wajah lesu. Koper hitam kecil berada di samping kursinya. Di sebelahnya, Laras sang asisten pribadi tengah sibuk memeriksa email di tablet."Boarding jam berapa?" tanya Govan pelan, suaranya sedikit serak.Laras menoleh, “Sekitar lima belas menit lagi, Pak. Tapi biasanya mereka mulai panggil sepuluh menit sebelumnya.”Govan mengangguk, lalu memalingkan wajah ke jendela besar di hadapannya. Di luar sana, pesawat-pesawat terlihat seperti makhluk asing yang hendak terbang ke dunia lain. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya justru penuh. Bayangan wajah Nabila muncul jelas, dia tersenyum, tertawa, marah, hingga manja. Semua campur aduk.Laras melirik pria itu, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Masih kepikiran Nabila, Pak?”“Ya… Gak tahu kenapa rasanya g
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak