'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'
Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.
Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.
'Semangat ya :)'
Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.
Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka.
"Hosh… Hosh…"
Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti.
"Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.
Nabila melepas jaket olahraganya dan melemparkannya ke sandaran kursi, lalu berjalan ke kulkas dan mengambil sebotol air. Ia meneguknya dengan rakus sebelum menjawab.
"Aku cuman keliling komplek saja, Om." Nabila duduk mengatur nafasnya. Kakinya seakan mati rasa setelah keliling komplek dari jam 4 pagi.
"Dari jam berapa kamu jogging? Kenapa gak ajak Om?" tanya Govan, alisnya masih berkerut.
"Jam 4 pagi-"
"Prfff... Uhuk... Uhuk... Apa jam 4 pagi?!" Govan tersedak kopi miliknya mendengar perkataan Nabila.
"Hehehe..." Nabila cengengesan menggaruk Kepala yang tidak gatal.
"Lain kali jangan keluar pagi-pagi buta sendirian. Kalau mau jogging, ajak Om. Om gak keberatan." Govan menghela napas panjang.
"Baik Om. Tadi aku ingin mengajak Om jogging, tapi aku cuman gak ganggu tidur om saja." Nabila memperbaiki posisi duduknya memainkan jarinya.
"Kamu ini, kalau om bilang gak keberatan ya gak keberatan, daripada terjadi sesuatu sama kamu, nanti om juga yang susah." Govan memberikan roti tawar yang sudah di beri selai coklat pada Nabila.
Nabila mengangguk ia mengambil roti itu lalu memakannya. Mereka sarapan seperti biasanya, diselangi obrolan kecil.
***
Sesuai janji, mereka rutin jogging bersama setiap pagi. Nabila mulai menikmati perubahan kecil yang terjadi dalam dirinya, terutama ketika melihat angka di timbangan mulai turun secara perlahan. Ia semakin bersemangat menjalani pola hidup sehatnya.
Namun, liburannya tak berlangsung selamanya. Saat perkuliahan kembali aktif, Nabila harus menghadapi ketakutannya.
"Semoga gak terjadi apa-apa hari ini," gunam Nabila meyakinkan dirinya. Dengan berat hati, ia melangkahkan kakinya ke kampus.
Namun semua tak sesuai harapan Nabila, hari pertama kembali ke kampus tidak berjalan mulus.
Begitu ia tiba, Gisel cewek cantik yang selama ini sering membully dan memalaknya langsung menghadangnya bersama gengnya.
"Eh, lihat siapa yang akhirnya muncul!" Gisel menyeringai sinis. "Kamu kira bisa lolos dari kami setelah nggak transfer uang yang kemarin gue minta?"
Nabila tak sempat menghindar. Tangan Gisel sudah mencengkeram pergelangan tangannya, menyeretnya ke dalam toilet perempuan. Sebelum sempat melawan, tubuhnya disiram dengan air kotor dari ember pel.
"Dasar nyebelin! Kamu pikir bisa ngacangin gue?!" Gisel melampiaskan amarahnya.
Nabila terdiam, tubuhnya gemetar. Napasnya tercekat oleh kejutan dinginnya air dan rasa takut yang perlahan kembali menyelimutinya.
"Cih... Lemah. Makanya lu jadi orang sadar diri masih mending gue mau jadi teman lu, gue minta batuan tapi lu gak nolongin gue. Rasain tuh," cibir Gisel menatapnya dengan seringai puas.
Nabila terdiam, tubuhnya gemetar. Napasnya tercekat oleh kejutan dinginnya air dan rasa takut yang perlahan kembali menyelimutinya.
Di belakang Gisel, teman-temannya tertawa puas, menikmati penderitaan Nabila seperti tontonan gratis.
Tangan Nabila mengepal. Ia bangkit dengan sekuat tenaga, ia melayangkan pukulan ke wajah Gisel hingga gadis itu terhuyung ke belakang.
"A-Apa?!" Gisel memegang pipinya yang terasa panas akibat pukulan Nabila.
"Aku bukan orang yang bisa kalian hina dan perlakukan seenaknya lagi!" suara Nabila bergetar namun sorot matanya tajam.
Teman-teman Gisel langsung bereaksi, menyerbu Nabila dengan pukulan dan tendangan. Meski sempat melawan, tubuh Nabila kalah jumlah. Ia dihajar habis-habisan hingga terjatuh di lantai toilet yang dingin.
"Gila kaget gue cok!" Maki Gisel ikut menendang Nabila.
"Sok keren lu, lu kira gue bakal takut hah! Cih..." Gisel meludahi Nabila.
Dengan napas tersengal dan tubuh penuh luka, Nabila berusaha berdiri, tetapi rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia memaksakan diri untuk berjalan tertatih keluar dari toilet, meninggalkan tawa puas Gisel dan gengnya di belakang.
Hari pertama kuliah yang seharusnya menjadi awal baru baginya justru berakhir dengan luka dan rasa sakit.
"Om..." Nabila bergumam menahan tangis terus berjalan tanpa menghiraukan tatapan para mahasiswa di sekitarnya.
Saat sampai di gerbang kampus, Nabila berdiri lemah sambil menunggu taksi. Matanya berkunang-kunang, tetapi ia tetap berusaha terlihat tegar.
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekatinya.
"Nabila?" Suara seorang pria membuatnya tersentak.
Nabila menoleh, matanya melotot mendapati seorang pria berdiri di belakangnya.
"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
"Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N
Malam.Nabila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya dengan penuh kebingungan.Setiap baju yang ia coba tampak terlalu longgar, menggantung seperti gorden yang kebesaran. Celana yang dulu pas kini melorot tanpa perlu dibuka kancingnya. Satu-satunya pakaian yang masih bisa ia pakai hanyalah daster."Hah... gawat," gumamnya, menarik bajunya ke belakang, memperlihatkan pinggang rampingnya yang kini terbentuk dengan sempurna.Lengkung tubuhnya jelas terlihat, dan kulitnya yang lebih cerah serta kencang memantulkan cahaya lampu kamar, memberi kesan ‘glossy’ layaknya model papan atas.Senyum puas terukir di bibirnya. Dulu, ia hanya bisa bermimpi memiliki tubuh seperti ini. Sekarang, semua ejekan yang pernah ia terima terasa tak berarti.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Govan masuk tanpa mengetuk lebih dulu."Nabila, kamu—" Langkah govan langsung terhenti di ambang pintu, matanya membela
"Aku cantik, kan?" tanya Nabila, tersenyum penuh percaya diri. "Soalnya aku gak bisa berhenti ngaca sejak tadi."Govan terdiam sejenak, menatap keponakannya yang kini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tapi juga aura percaya dirinya."Kamu selalu cantik di mata om," jawab Govan dengan nada tenang."Masa sih." Pipi Nabila merona, tapi ia menyembunyikannya dengan terus menyantap makanannya.Dulu, makan sayur terasa menyiksa, tapi sekarang ia bisa menikmatinya. Rasanya tidak lagi pahit atau aneh seperti saat pertama kali ia mencoba diet."Kamu gak percaya? Om berkata jujur lo." Govan menoleh, mengunyah makanannya dengan santai."Hmmm... Percaya deh, kan om gak pernah bohong," kata Nabila tersenyum manis.Govan memalingkan pandangannya ke mangkuk sup miliknya, senyuman Nabila terlalu manis baginya sampai sup yang ia mak
Suasana makan malam yang awalnya nyaman mendadak berubah tegang.Nabila yang sedang menikmati makanan tiba-tiba membeku begitu melihat Gisel dan gengnya yang baru saja memasuki restoran. Nafasnya tercekat, tangan yang memegang sendok mulai gemetar.Tanpa pikir panjang, ia langsung menyelinap ke bawah meja, tubuhnya bersembunyi dengan gemetar.Govan yang sedang mengunyah makanannya langsung mengernyit."Kamu ngapain?" tanyanya, menatap ke bawah meja dengan ekspresi bingung.Nabila menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di atas pahanya."G-Gisel ada di sana..." bisiknya, suaranya bergetar.Mata Govan menyipit. Ia menoleh ke arah yang dimaksud. Dari cara Nabila bereaksi, pasti Nabila masih trauma akan kejadian yang lalu. Matanya menelusuri setiap wajah di meja itu, dan dugaannya langsung tertuju p
"Hmmm... Na na~" Nabila bersenandung ria memulai membersihkan kamarnya.Nabila membuka lemari dan mulai mengatur baju-baju barunya. Satu per satu baju lama ia keluarkan, menumpuknya di atas tempat tidur. Govan yang baru saja masuk ke kamarnya mengangkat alis melihat keponakannya yang sibuk memilah-milah pakaian."Lagi apa, Bil?" tanya Govan bercanda, bersedekap di ambang pintu."Lagi cari harta karun Om." Nabila menanggapi dengan candaan."Hahaha... Kirain lagi merakit bom," canda Govan tertawa kecil."Ya enggak lah, kan Om liat sendiri. Aku lagi kemas-kemas lemari lah." Nabila mulai bete, mengerucutkan mulutnya."Iya iya kan Om bercanda." Govan mendekati Nabila mengusap kepalanya lalu duduk di tepi ranjang.Namun, setelah setengah jalan, Nabila terdiam menatap tumpukan bajunya yang lama."Ini
'Eh!' Govan tersentak kaget saat mata mereka bertemu.Alih-alih sadar akan sesuatu, Nabila justru tersenyum lebar, lalu menunjukkan layar ponselnya."Om, menurut Om baju ini cocok buat aku gak?" tanya Nabila polos.Govan menatap layar ponsel. Sebuah crop top. Ia menghela napas pelan. Pakaian itu memang cocok dengan tubuh Nabila yang sekarang. SANGAT COCOK."Cocok. Kamu jadi makin cantik kalau pakai itu." Govan mengangguk kecil."Benar kah?" Nabila tersenyum puas, ingin langsung menambahkannya ke keranjang belanja. Tapi, ia masih ragu, masih ingin memilih-milih yang lain.Melihatnya ragu, Govan akhirnya berkata, "Kalau kamu suka, ambil saja. Nanti Om yang bayar."Mata Nabila langsung berbinar. Senyum lebarnya semakin mengembang."Benar nih, Om? " tanyanya mema
Govan merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengalihkan pandangan, berharap bisa menghindari pertanyaan Nabila yang semakin berani."Om, kalau aku bukan keponakan Om, pasti Om bakal tergoda, kan?"Suara Nabila terdengar main-main, tapi Govan tahu betul bahwa gadis itu sedang menguji batas.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran dalam dadanya."Udah jangan naya yang aneh-aneh." Govan berkata dengan nada tegas."Jadi Om tetap nggak tergoda?" Nabila tersenyum tipis, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bil, jangan nanya yang aneh-aneh. Om lagi makan ini," kata Govan dengan kesabaran yang mulai menipis. Nabila mengangkat bahunya, seolah tidak terlalu peduli, tapi ada kilatan menggoda di matanya."Aku cuma penasaran.""Udah selesai makannya?" tanya Govan, sengaja mengalihkan pembicaraan, Nabila menjawab dengan anggukan kecil. "Ya udah, aku mau ganti baju dulu, Om takut aku pakai baju terbuka, kan?" godanya sambil beranjak dari kursi.Govan tidak mer
"Soal mimpi aku..." Seketika tangan Govan berkeringat dingin. “Semalam aku mimpi aneh,” ujarnya santai.Govan yang tengah menyuap nasi gorengnya langsung berhenti. Ia melirik Nabila dengan waspada.“Mimpi apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.Nabila mengunyah makanannya, lalu wajahnya mulai memerah sedikit.“A-aku mimpi dicium seseorang,” katanya pelan, seakan malu mengakuinya."Uhuk..." Govan tersedak. Ia buru-buru meraih gelas air dan meneguknya, sementara Nabila menatapnya dengan heran.“Om nggak apa-apa?” tanya gadis itu, mengernyitkan dahi.“Om… aku baik-baik saja.” Govan batuk kecil, lalu mengangguk cepat. “Aneh banget, di dalam mimpiku wajah nggak kelihatan. Semuanya gelap.” Nabila memutar-mutar sendoknya di dalam piring. Govan menelan ludah. Tentu saja gelap. Itu bukan mimpi, namun kenyataan. Tapi… apakah mungkin Nabila tidak menyadari kalau itu adalah dirinya kan? Govan berusaha fokus pada makanannya, tapi semakin sulit ketika Nabila terus menatapnya dengan ekspr
Govan keluar dari kamar Nabila dengan langkah tergesa. Ia menutup pintu dengan pelan, mengusap wajahnya dengan frustrasi.“Apa yang baru saja kulakukan?” gumamnya.Ia duduk di tepi kasur di kamarnya sendiri, menundukkan kepala sambil meremas rambutnya. Pikirannya penuh dengan kejadian barusan.Bibirnya masih bisa merasakan kelembutan bibir Nabila.Sial. Ia baru saja merebut ciuman pertama keponakannya. Walaupun itu tidak disengaja, tetap saja perasaan bersalah menghantamnya tanpa ampun.Govan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus melupakan ini. Ia harus menjaga batasan.Namun... Kejadian itu tidak mudah dilupakan begitu saja. ***Tik... Tik... Suara keyboard terdengar berulang kali di dalam ruangan kerja Govan. Ia duduk tegak di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan dokumen-dokumen penting. Pekerjaan menumpuk, dan ia harus segera menyelesaikannya.Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus.Setiap kali ia mencoba membaca laporan, bayangan keja
Pesta ulang tahun Laras masih berlangsung meriah, tapi lama kelamaan Nabila merasa sedikit bosan. Ia memang menikmati hidangan lezat dan suasana mewah, tetapi tanpa teman untuk diajak berbincang, rasanya seperti terjebak di tempat yang asing.Sementara itu, Govan tampak sibuk berbicara dengan rekan-rekan kerjanya. Pria itu terlihat begitu tenang dan percaya diri, sesekali tersenyum tipis saat berbicara dengan mereka.Nabila menghela napas pelan, memainkan gelas jusnya dengan bosan. Sejak tadi, banyak pria yang mencuri pandang ke arahnya, tetapi tak ada yang cukup berani mendekatinya setelah melihat bagaimana Govan bersikap protektif sebelumnya.Setelah sekian lama hanya duduk di meja sendirian, akhirnya Govan kembali menghampirinya.“Bosan?” tanyanya dengan nada lembut.“Lumayan.” Nabila menoleh, mengangkat bahunya. “Kalau begitu, kita pulang sekarang.” Govan tersenyum kecil, lalu melirik jam tangannya. Nabila tidak keberatan. Ia segera berdiri dan mengikuti Govan keluar dari venue
Nabila berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati kemewahan pesta yang belum pernah ia hadiri sebelumnya. Musik lembut mengalun, gelas-gelas kristal berkilauan di bawah lampu gantung, dan para tamu tampak bercengkerama dengan elegan.Saat ia sibuk menikmati suasana, seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman.Pria itu tinggi, mengenakan jas biru tua dengan kemeja putih yang beberapa kancingnya sengaja dibuka, menampilkan dada bidangnya. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang penuh percaya diri seakan menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.“Hai,” sapanya dengan suara dalam menyodorkan satu gelas minuman ada Nabila, “Aku perhatikan sejak tadi, kamu sendirian di sini.”“Oh, tidak. Aku hanya menikmati suasana.” Nabila tersenyum sopan melirik gelas itu. Cairan di dalamnya berwarna jingga keemasan, tampak seperti c*ckt**l yang biasa ia lihat di film-film.Ragu sejenak, namun karena tak ingin terlihat aneh, ia akhirnya menerimanya.“Terima kasih,” uca
"Orang-orang seperti aku?" Govan mengangkat alis."Maksudku... orang-orang kaya, pebisnis, eksekutif. Pasti suasananya beda dengan pesta anak kuliahan.""Yah, jangan berharap terlalu banyak. Pesta seperti ini biasanya lebih formal dan membosankan dibandingkan pesta mahasiswa." Govan terkekeh geli. "Ah masa. Gak mungkin ah!" Nabila tertawa kecil, tak sabar ingin melihatnya sendiri.Begitu mereka tiba di lokasi, atmosfer mewah langsung menyambut mereka.Tempat pesta dihiasi dengan lampu-lampu elegan, meja-meja bundar berlapis kain putih, dan pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan berisi minuman serta makanan ringan. Para tamu yang hadir tampak berkelas, sebagian besar mengenakan pakaian formal yang mahal dan elegan.Dan begitu Nabila masuk ke dalam ruangan bersama Govan, hampir seketika perhatian orang-orang langsung tertuju padanya.Beberapa pria meliriknya dengan takjub, sementara beberapa wanita menatapnya dengan tatapan penuh penilaian.Nabila, meskipun awalnya percaya dir
Govan merapikan dasi di depan cermin, memastikan bahwa setelannya tampak rapi dan sempurna. Hari ini ia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu gelap. Rambutnya sudah tertata rapi, dan parfum segar maskulin yang khas sudah ia semprotkan.Setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mengambil jam tangan di atas meja dan memakainya."Baiklah, saatnya berangkat," gumamnya sebelum membuka pintu kamar dan melangkah keluar.Namun begitu ia keluar dari kamarnya dan menoleh ke arah tangga, langkahnya langsung terhenti.Matanya melebar, napasnya seolah tertahan melihat Nabila tengah menuruni tangga dengan anggun.Ia mengenakan gaun hitam selutut yang memiliki potongan simpel tapi elegan. Bagian atasnya pas di badan, menonjolkan siluet rampingnya, memberikan kesan manis dan berkelas. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.Govan tak bisa mengalihkan pandangannya.Dia terpesona.Sangat sangat terpes
"Kamu ini ya..." Govan mendecak menatapnya sekilas. Nabila tertawa kecil, lalu kembali makan. Namun, pipinya masih merah. Setelah sarapan selesai, Nabila membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencuci.Govan menghampirinya, menyandarkan tubuhnya ke meja dapur sambil menatapnya."Mau dibantuin gak," katanya."Santai Om, aku bisa sendiri." Nabila menoleh dan tersenyum. Govan menghela napas, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Nabila dengan lembut.Nabila terkejut, matanya membesar."Apa-apaan sih," gerutu Nabila dengan wajah yang seketika memerah."Makasih udah masakin sarapan." Govan hanya tersenyum kecil. Nabila menatapnya beberapa detik, lalu buru-buru menunduk, kembali mencuci piring dengan panik.Govan tersenyum kecil melihat telinga Nabila yang ikut memerah.***Di ruang tamu, suasana cukup tenang.Govan duduk di salah satu ujung sofa, laptopnya terbuka di atas meja dengan beberapa dokumen yang perlu ia tinjau. Ia mengetik dengan tenang, sesekal
Sinar matahari sudah tinggi ketika Govan akhirnya membuka matanya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, masih dalam keadaan setengah sadar."Kenapa rasanya terang banget?" Govan menoleh ke jam digital di meja samping ranjangnya.09.30 AM"Sial." Mata Govan membelalak.Ia jarang sekali bangun kesiangan, bahkan di hari libur sekalipun. Tapi hari ini, ia benar-benar tidur lebih lama dari biasanya.Tubuhnya masih terasa sedikit berat, mungkin karena tekanan pekerjaan yang cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini. Tapi tetap saja, bangun hampir jam sepuluh pagi membuatnya merasa bersalah.Setelah mengumpulkan kesadarannya, Govan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar kamar dengan rambut sedikit berantakan dan kaus kusut.Begitu keluar, ia mencium aroma sesuatu yang familiar langsung menyeruak ke hidungnya."Nasi goreng?" Alisnya mengernyit.Ketika Govan tiba di dapur, matanya menangkap sosok Nabila yang sedang berdiri di depan kompor, mengenakan kaus oversized dan celana pendek.Gadi