Share

Larangan paman

Author: Centong ajaib
last update Last Updated: 2025-02-28 13:15:00

"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."

Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. 

Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. 

"Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya.

"Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. 

Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci.

"Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.

Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. 

Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi membuat Nabila semakin merasa terpojok.

"Kamu diancam? Dipalak? Sejak kapan?" desaknya.

Nabila tetap tak menjawab.

"Kenapa kamu gak cerita ke Om? Kamu pikir Om bakal diam aja kalau tahu ada yang nyakitin kamu?" Govan menarik napas dalam, berusaha meredam emosinya.

Nabila mendongak, matanya berkaca-kaca. "Aku takut," suaranya lirih. "Dia... dia temanku satu-satunya."

"Teman? Kamu itu dimanfaatin Nabila." Govan mengusap wajah tak habis pikir ponakannya menganggap tukang palak ini temannya. 

"Tapi, Om—"

"Tidak ada tapi tapi!" suara Govan meninggi. "Dengar baik-baik, mulai sekarang kamu janji dengan om, gak akan kasih dia uang lagi, sepeser pun. Jauhi dia dan jangan kontakan lagi dengan dia." 

Nabila mengepalkan jemarinya, ingin membantah. Tapi tatapan tajam Govan membuatnya menelan kembali protesnya.

"Lalu kalau dia marah gimana?" suara Nabila melemah, penuh keraguan.

Govan mengusap wajahnya kasar, sebenarnya ponakannya ini terlalu pintar atau gimana, sampai gak bsa bedain mana teman mana yang bukan teman. 

"Kalau dia marah, bilang ke om." Govan menepuk kedua bahu Nabila dan menatap gadis itu dalam-dalam.

"Om gak akan biarin dia nyakitin kamu," katanya, suaranya lebih lembut tapi penuh ketegasan. "Kalau dia berani macam-macam, Om sendiri yang bakal urus dia."

Nabila menatap Govan, hatinya masih diliputi ketakutan. Tapi ada sesuatu di mata pamannya, sesuatu yang membuatnya merasa sedikit lebih aman.

"Kamu ngerti?" 

Nabila menarik napas dalam, lalu perlahan mengangguk.

"Pintar." Govan tersenyum tipis, lalu mengacak rambut Nabila dengan lembut. 

Nabila mengabaikan chat dari orang itu sesuai perintah Govan, namun pesan-pesan terus berdatangan dari nomor tak dikenal. Meski ia sudah memblokir para pembully dan teman-temannya.

Ancaman demi ancaman terus berdatangan lewat pesan. Isi pesannya semakin kasar, mengejek fisiknya dan bahkan mengancam akan mempermalukan Nabila nantinya. 

"Aduh gimana nih, mereka marah." Nabila panik ia sempat bingung dengan keputusannya. 

Dengan tangan gemetar, Nabila mematikan ponselnya. Ia tidak ingin melihat pesan-pesan itu lagi. Tidak malam ini. 

Nabila merebahkan tubuhnya di kasur, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi bantal. Ia merasa kecil, tak berdaya. 

"Ih...apaan sih... Hiks... Hiks..." Nabila mengusap air matanya, perasaannya begitu sedih. 

Tanpa disadari, tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah pada kantuk, dan ia pun terlelap.

***

Pagi harinya, Govan bangun lebih awal dari biasanya. Rutinitas paginya dimulai dengan menuju kamar Nabila, berniat membangunkannya untuk joging sesuai janjinya.

"Nabila, ayo bangun, kita-" Govan terdiam begitu pintu kamar Nabila terbuka.

Govan melangkah masuk, matanya menyapu seisi kamar dan tidak mendapati Nabila di mana pun.

"Nabila?" panggilnya, mencoba tetap tenang.

Govan menghela napas, mencoba berpikir jernih. Mungkin Nabila sedang di kamar mandi atau turun ke dapur. Namun, saat ia berbalik hendak keluar, matanya menangkap sesuatu di atas meja belajar.

Sebuah kertas.

Govan mendekat, meraih kertas itu, dan membacanya, tangan yang sedikit bergetar

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Menggoda Sang Paman   Dibully

    'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan

    Last Updated : 2025-03-01
  • Menggoda Sang Paman   Firasat

    "Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b

    Last Updated : 2025-03-01
  • Menggoda Sang Paman   Pengakuan Nabila

    Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan

    Last Updated : 2025-03-01
  • Menggoda Sang Paman   Hasi diet

    "Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N

    Last Updated : 2025-03-02
  • Menggoda Sang Paman   Body yang sempurna

    Malam.Nabila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya dengan penuh kebingungan.Setiap baju yang ia coba tampak terlalu longgar, menggantung seperti gorden yang kebesaran. Celana yang dulu pas kini melorot tanpa perlu dibuka kancingnya. Satu-satunya pakaian yang masih bisa ia pakai hanyalah daster."Hah... gawat," gumamnya, menarik bajunya ke belakang, memperlihatkan pinggang rampingnya yang kini terbentuk dengan sempurna.Lengkung tubuhnya jelas terlihat, dan kulitnya yang lebih cerah serta kencang memantulkan cahaya lampu kamar, memberi kesan ‘glossy’ layaknya model papan atas.Senyum puas terukir di bibirnya. Dulu, ia hanya bisa bermimpi memiliki tubuh seperti ini. Sekarang, semua ejekan yang pernah ia terima terasa tak berarti.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Govan masuk tanpa mengetuk lebih dulu."Nabila, kamu—" Langkah govan langsung terhenti di ambang pintu, matanya membela

    Last Updated : 2025-03-02
  • Menggoda Sang Paman   Manis seperti madu

    "Aku cantik, kan?" tanya Nabila, tersenyum penuh percaya diri. "Soalnya aku gak bisa berhenti ngaca sejak tadi."Govan terdiam sejenak, menatap keponakannya yang kini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tapi juga aura percaya dirinya."Kamu selalu cantik di mata om," jawab Govan dengan nada tenang."Masa sih." Pipi Nabila merona, tapi ia menyembunyikannya dengan terus menyantap makanannya.Dulu, makan sayur terasa menyiksa, tapi sekarang ia bisa menikmatinya. Rasanya tidak lagi pahit atau aneh seperti saat pertama kali ia mencoba diet."Kamu gak percaya? Om berkata jujur lo." Govan menoleh, mengunyah makanannya dengan santai."Hmmm... Percaya deh, kan om gak pernah bohong," kata Nabila tersenyum manis.Govan memalingkan pandangannya ke mangkuk sup miliknya, senyuman Nabila terlalu manis baginya sampai sup yang ia mak

    Last Updated : 2025-03-02
  • Menggoda Sang Paman   Menarik

    Suasana makan malam yang awalnya nyaman mendadak berubah tegang.Nabila yang sedang menikmati makanan tiba-tiba membeku begitu melihat Gisel dan gengnya yang baru saja memasuki restoran. Nafasnya tercekat, tangan yang memegang sendok mulai gemetar.Tanpa pikir panjang, ia langsung menyelinap ke bawah meja, tubuhnya bersembunyi dengan gemetar.Govan yang sedang mengunyah makanannya langsung mengernyit."Kamu ngapain?" tanyanya, menatap ke bawah meja dengan ekspresi bingung.Nabila menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di atas pahanya."G-Gisel ada di sana..." bisiknya, suaranya bergetar.Mata Govan menyipit. Ia menoleh ke arah yang dimaksud. Dari cara Nabila bereaksi, pasti Nabila masih trauma akan kejadian yang lalu. Matanya menelusuri setiap wajah di meja itu, dan dugaannya langsung tertuju p

    Last Updated : 2025-03-03
  • Menggoda Sang Paman   Godaan

    "Hmmm... Na na~" Nabila bersenandung ria memulai membersihkan kamarnya.Nabila membuka lemari dan mulai mengatur baju-baju barunya. Satu per satu baju lama ia keluarkan, menumpuknya di atas tempat tidur. Govan yang baru saja masuk ke kamarnya mengangkat alis melihat keponakannya yang sibuk memilah-milah pakaian."Lagi apa, Bil?" tanya Govan bercanda, bersedekap di ambang pintu."Lagi cari harta karun Om." Nabila menanggapi dengan candaan."Hahaha... Kirain lagi merakit bom," canda Govan tertawa kecil."Ya enggak lah, kan Om liat sendiri. Aku lagi kemas-kemas lemari lah." Nabila mulai bete, mengerucutkan mulutnya."Iya iya kan Om bercanda." Govan mendekati Nabila mengusap kepalanya lalu duduk di tepi ranjang.Namun, setelah setengah jalan, Nabila terdiam menatap tumpukan bajunya yang lama."Ini

    Last Updated : 2025-03-03

Latest chapter

  • Menggoda Sang Paman   Sunrise

    Sinar mentari pertama menelusup masuk melalui celah gorden, menyapu lembut wajah Nabila yang masih terlelap. Udara dingin pagi menggelitik, membuatnya menggeliat pelan dan mengerjapkan mata. Ia menoleh ke samping, melihat Riska masih memeluk guling dengan mulut sedikit terbuka dan suara napas pelannya. Nabila melihat jam di ponselnya. Pukul 05.12 pagi. Ia tersenyum kecil, mengingat rencana mereka menonton matahari terbit di danau tak jauh dari penginapan.Dengan semangat, ia turun dari ranjang dan merapikan hoodie-nya. Rambutnya diikat setengah, dan wajahnya masih segar tanpa riasan, tapi tetap manis. Ia menepuk-nepuk kaki Riska.“Ris… bangun. Udah jam lima lewat. Ayo ke danau,” bisiknya.“Hmm…” Riska meringkuk. “Dingin, Bil… lima menit lagi…”“Lima menit kamu bisa tidur selamanya kalau kita gak keburu liat sunrise,” canda Nabila sambil menepuk Riska.Tak lama, ketiganya sudah berada di luar, berjalan menyusuri jalan menuju danau. Udara pagi masih menusuk kulit, tapi langit perlahan

  • Menggoda Sang Paman   Mimpi govan

    Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh

  • Menggoda Sang Paman   Makan malam penuh rasa

    Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye

  • Menggoda Sang Paman   Obrolan yang ngalir

    Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s

  • Menggoda Sang Paman   Sampai di tujuan

    Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p

  • Menggoda Sang Paman   Govan pergi

    Langit di bandara dipenuhi warna abu kebiruan, pesawat-pesawat hilir mudik di landasan, sibuk seperti semut-semut raksasa yang tak pernah tidur. Di salah satu ruang tunggu gate keberangkatan, Govan duduk dengan tubuh tegak namun wajah lesu. Koper hitam kecil berada di samping kursinya. Di sebelahnya, Laras sang asisten pribadi tengah sibuk memeriksa email di tablet."Boarding jam berapa?" tanya Govan pelan, suaranya sedikit serak.Laras menoleh, “Sekitar lima belas menit lagi, Pak. Tapi biasanya mereka mulai panggil sepuluh menit sebelumnya.”Govan mengangguk, lalu memalingkan wajah ke jendela besar di hadapannya. Di luar sana, pesawat-pesawat terlihat seperti makhluk asing yang hendak terbang ke dunia lain. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya justru penuh. Bayangan wajah Nabila muncul jelas, dia tersenyum, tertawa, marah, hingga manja. Semua campur aduk.Laras melirik pria itu, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Masih kepikiran Nabila, Pak?”“Ya… Gak tahu kenapa rasanya g

  • Menggoda Sang Paman   Nabila pergi

    Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“

  • Menggoda Sang Paman   Gak boleh bawa itu

    Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G

  • Menggoda Sang Paman   Jangan terlalu mengekang

    Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status