"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.
Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata.
"Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."
Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya.
"Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."
Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.
Tapi ia takut.
Takut terlihat lemah.
Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.
Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencoba menenangkan.
"Om di sini, Bil," katanya lagi. "Gak peduli apa pun yang terjadi, Om bakal selalu ada buat kamu."
Saat mendengar itu, akhirnya pertahanan Nabila runtuh. Ia meremas baju Govan, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu, dan tanpa bisa dicegah lagi air matanya jatuh.
Tak ada kata hanya tangisan yang pelan yang menyakitkan dan Govan tanpa berkata apa-apa lagi, hanya memeluknya lebih erat.
"Bil?" panggil Govan lembut.
Nabila mengusap matanya, menahan isakan terakhir sebelum menarik napas panjang.
"Aku baik-baik saja, Om," kata Nabila lirih, meski suaranya masih sedikit bergetar.
Govan menatapnya curiga, tapi ia tak ingin memaksa. Ia hanya menghela napas, lalu mengacak rambut keponakannya dengan lembut.
"Yaudah kalau gak apa-apa jangan nangis lagi, kamu bikin khawatir om." Govan mengusap wajah Nabila lembut. "Ayo sarapan, om mau berangkat kerja. Setelah itu, kamu istirahat."
Nabila mengangguk pelan, mengikuti ajakan pamannya.
Mereka sarapan dalam keheningan. Govan tetap mengawasinya dengan khawatir, tapi memilih tak banyak bicara. Setelah memastikan Nabila makan cukup, Govan berangkat ke kantor, meninggalkannya sendirian di rumah.
"Kalau ada apa-apa, telpon om ya," kata govan sebelum pergi.
Nabila hanya mengangguk melihat kepergian pamannya, lalu ia duduk diam di sofa ruang tamu. Pikirannya melayang ke kejadian tadi malam, tatapan merendahkan, bisikan-bisikan menusuk, dan ejekan yang membuat dadanya sesak.
"Aku gak mau kayak gini terus," gumamnya mengepalkan tangan
Ia menatap pantulan dirinya di layar televisi yang mati. Sosok gadis dengan tubuh berisi, pipi tembam, dan mata yang masih sembab karena menangis.
"Tidak. Tidak boleh menangis lagi. Aku harus berubah," gumamnya menggeleng pelan.
Ia tidak ingin diejek terus-menerus. Tidak ingin melihat tatapan iba atau mendengar orang-orang mempertanyakan kenapa Govan selalu bersamanya.
Dan yang paling penting, ia tidak ingin membuat Govan malu.
"AKU HARUS BERUBAH, HARUS DIET!" pekik Nabila dengan tekad membara, mengepalkan tangan ke atas.
Nabila bangkit dari sofa. Ia mengambil ponselnya, mulai mencari-cari program diet dan olahraga yang cocok untuknya.
Mulai hari ini, semuanya akan berbeda.
***
Langit mulai berwarna jingga saat Govan pulang ke rumah. Suasana rumah terasa lebih sepi dari biasanya.
Biasanya, Nabila selalu menunggu di ruang tamu, menyapa dengan wajah ceria dan segelas es teh di meja. Tapi kali ini, gadis itu tidak ada di sana.
"Bil," panggil govan pelan mencari keberadaan Nabila.
Samar-samar terdengar alunan musik kecil dari halaman belakang. Govan mengerutkan kening, penasaran. Dengan langkah santai, ia berjalan ke sana, dan pemandangan yang ia lihat membuatnya terdiam.
Di halaman belakang, Nabila tengah berolahraga. Ia mengenakan sport bra dan celana olahraga ketat, tubuhnya mandi keringat, gerakannya penuh semangat mengikuti irama musik. Matanya fokus, bibirnya sedikit terbuka saat mengatur napas.
"Nabila?" Govan terkejut melihat keponakannya yang biasanya lebih suka duduk malas-malasan kini berolahraga, ada apakah gerangan?
Nabila menghentikan gerakannya dan menoleh. Matanya melebar saat melihat Govan berdiri di ambang pintu dengan sekantong jajanan di tangannya.
“KYAAA! PAMAN!” Nabila buru-buru meraih handuk dan menutup wajahnya yang memerah karena malu.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Govan menyeringaI, berjalan mendekat.
“Lagi olahraga,” kata Nabila mengusap keringat di dahinya, masih berusaha menormalkan napasnya. “Aku mau kurus.”
“Tapi aku bawa jajanan buat kamu.” Govan melirik kantong plastik di tangannya, lalu mengangkatnya ke udara.
Mata Nabila membulat. Aroma manis dari kantong itu langsung menggoda indra penciumannya. Ia bisa menebak isinya pasti kue-kue favoritnya. Ia menelan ludah, namun dengan cepat menggeleng.
“Gak mau! Aku lagi diet!” katanya tegas.
“Masa sih? Aku beliin donat isi cokelat, loh. Sama roti keju kesukaanmu.” Govan menaikkan sebelah alis, tersenyum menggoda.
Nabila menggigit bibirnya, tubuhnya seakan ingin maju dan merebut kantong itu. Tapi ia menahan diri.
“Aku gak boleh makan itu, Paman,” katanya lirih. “Aku diejek di sekolah karena gendut… Aku nggak mau gendut lagi.”
Govan terdiam sejenak, matanya menatap wajah keponakannya yang tampak serius.
Tiba-tiba, ia tersenyum jahil.
“Kalau dipaksa, gimana?” Ia mengayunkan kantong jajanan di depan wajah Nabila, seakan-akan menggoda seekor kucing dengan ikan.
“Paman! Jangan gitu!” Nabila mengerang kesal.
“Oke, oke. Aku dukung kamu diet.” Govan tertawa, lalu mengacak rambut Nabila.
“Beneran?” Mata Nabila berbinar.
“Mulai sekarang, aku bantu ngawasin diet kamu. Gak ada makanan manis-manis, dan aku bakal beliin makanan sehat, dan kalau kamu tergoda makan yang nggak sehat, Paman cubit pipi kamu.” Govan mencubit pipi Nabila gemes.
“Iiiih... Apaan sih." Nabila tersenyum jengkel, namun hatinya terharu pamannya mendukungnya diet. Dengan cepat, ia memukul dada Govan pelan.
“Tapi kalau kamu sampai pingsan gara-gara kelaperan, aku bakal paksa kamu makan.” Govan tertawa mengejek.
Nabila mendengus, lalu kembali mengelap keringatnya. Ia percaya diet ini akan berhasil karena govan mendukungnya.
***
Kryuuuuk...
Perut Nabila berbunyi pelan, rasa lapar tak tertahankan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur.
"Wanginya enak," gumam Nabila mencium aroma sedap saat mendekati ruang makan, membuat perutnya semakin protes.
Nabila mempercepat langkahnya, penasaran makanan apa yang sedang dimasak Govan.
Namun, begitu sampai di meja makan, langkahnya terhenti dan matanya membelalak.
"I... Itu..." Nabila melihat Govan berdiri santai, mengenakan kaos polos dan celana pendek, tangannya sibuk menata piring.
Tapi yang membuat Nabila tercengang adalah menu makan malamnya, bukan ayam goreng renyah atau steak menggoda seperti yang ia harapkan, melainkan semangkuk besar salad segar dengan potongan ayam panggang tanpa kulit.
"Lapar, ya?" tanya Govan santai, menyeringai saat melihat Nabila yang terpaku di pintu dapur. .
“Paha ayamku mana?” Nabila menelan ludah, matanya masih mencari-cari makanan lain.
"Kamu lupa? Katanya kamu mau diet. Sekarang Paman yang atur pola makanmu, malam ini kita makan sehat." Govan tertawa kecil, lalu berjalan mendekat dan mencubit pipinya pelan.
Nabila mendesah kesal, wajahnya memelas. Govan menggeleng, menarik kursi dan menyuruhnya duduk.
"Udah jangan banyak protes, katanya mau diet." Govan duduk di sebelah Nabila.
Nabila mendesah, menatap salad di hadapannya seolah itu adalah musuh besar. Namun, begitu ia menyendok sedikit dan memasukkannya ke mulut, ia terkejut.
Rasanya ternyata enak! Gurihnya ayam panggang bercampur dengan segarnya sayuran, ditambah saus dressing yang pas di lidah.
"Tuh kan, enak, kan?" Govan tersenyum puas melihat ekspresi Nabila yang mulai menikmati makanannya.
Nabila pura-pura gak dengar, ia melanjutkan mengunyah dengan lahap.
"Enak gak?" tanya Govan meggoda Nabila.
"Lumayan," katanya dengan mulut penuh.
“Mulai sekarang, kalau lapar tengah malam ngemil buah-buahan saja di kulkas, jangan harap nemu gorengan atau makanan instan di rumah ini.” Govan terkekeh.
“Paman kejam.” Nabila mendelik.
"Demi keponakan cantikku juga." Govan mengangkat bahu.
Pipi Nabila memanas, tapi ia pura-pura fokus pada makanannya.
"Oh ya makannya jangan banyak-banyak, harus di batasi juga." Govan mengambil mangkuk salad di hadapannya.
"Eh... Paman!" Nabila merengek merebut mangkuk salad itu dan Govan tertawa puas mengerjai Nabila.
Govan menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Nabila dengan tatapan jahil.
“Jadi, kamu benar-benar serius diet ini?” tanyanya, masih menahan tawa.
“Tentu saja! Aku bakal jadi cantik, Paman akan terpesona nantinya,” kata Nabila yang masih mengunyah saladnya langsung
Govan terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha! Terpesona, katanya!” Govan memegang perutnya sakit.
“Ih, Paman nggak percaya, ya?” Wajah Nabila langsung memerah, merasa malu karena ucapannya sendiri. Ia mengembangkan pipinya, menatap Govan dengan kesal.
“Bukan nggak percaya, Aku cuma penasaran aja. Secantik apa sih keponakanku kalau sudah kurusan nanti?” katanya sambil menahan tawa mengusap kepala Nabila dengan gemas.
“Tunggu aja! Aku bakal jadi cantik plus tobrut!” Nabila melipat tangan di dada, mendongak dengan penuh percaya diri.
Govan tertawa brutal, wajah Nabila semakin memerah.
“Oke, oke. Aku tunggu. Tapi kalau nanti nggak ada perubahan, siap-siap diejek balik.” Govan menggeleng, masih terkekeh.
“Huh! Lihat aja nanti!” Nabila melotot, wajahnya merah gemes.
Govan tersenyum melihat keponakannya yang penuh semangat. Meskipun ia sudah menganggap Nabila cantik apa adanya, melihat tekad gadis itu untuk berubah membuatnya ingin mendukung sepenuh hati.
“Mau jadi secantik apapun, kamu tetap keponakan kesayanganku.” Govan berucap dengan nada lembut, kali ini tanpa candaan.
Mendengar itu, wajah Nabila makin memerah. Ia berdeham, pura-pura sibuk dengan saladnya.
“Pokoknya nanti jangan sampai terpesona sama aku, ya!" seru Nabila kepedean.
“Kita lihat saja nanti.” Govan terkekeh geli.
Setelah makan malam selesai, Nabila beranjak dari kursinya dengan perut kenyang. Govan menatapnya dengan senyum jahil.
"Jangan lupa, besok kita olahraga pagi. Jam lima harus udah bangun."
"Hah?! Paman serius?!" Nabila hampir tersedak.
Govan hanya mengangguk santai, sementara Nabila mengeluh pelan. Tapi sebelum sempat protes lebih jauh, suara notifikasi dari ponsel Nabila berbunyi.
Matanya langsung membulat saat melihat nama yang muncul di layar. Tangan Nabila refleks meraih ponselnya, tapi Govan lebih cepat. Dengan gerakan gesit, ia merebut perangkat itu dari tangan keponakannya.
"Eh, paman! Balikin!" seru Nabila panik.
Namun, saat Govan melihat isi pesan yang baru masuk, ekspresinya langsung berubah.
Tatapan santainya menghilang. Rahangnya menegang. Ia mengangkat wajahnya, menatap Nabila yang kini berdiri membeku di tempatnya.
"Nabila..." suara Govan terdengar dalam dan berbahaya. "Apa maksudnya ini?"
Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang. Napasnya tertahan di tenggorokan.
Ponsel di tangan Govan masih terbuka, menampilkan satu pesan singkat yang membuat darahnya mendidih.
"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. "Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya."Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci."Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi memb
'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan
"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
"Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N
Malam.Nabila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya dengan penuh kebingungan.Setiap baju yang ia coba tampak terlalu longgar, menggantung seperti gorden yang kebesaran. Celana yang dulu pas kini melorot tanpa perlu dibuka kancingnya. Satu-satunya pakaian yang masih bisa ia pakai hanyalah daster."Hah... gawat," gumamnya, menarik bajunya ke belakang, memperlihatkan pinggang rampingnya yang kini terbentuk dengan sempurna.Lengkung tubuhnya jelas terlihat, dan kulitnya yang lebih cerah serta kencang memantulkan cahaya lampu kamar, memberi kesan ‘glossy’ layaknya model papan atas.Senyum puas terukir di bibirnya. Dulu, ia hanya bisa bermimpi memiliki tubuh seperti ini. Sekarang, semua ejekan yang pernah ia terima terasa tak berarti.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Govan masuk tanpa mengetuk lebih dulu."Nabila, kamu—" Langkah govan langsung terhenti di ambang pintu, matanya membela
"Aku cantik, kan?" tanya Nabila, tersenyum penuh percaya diri. "Soalnya aku gak bisa berhenti ngaca sejak tadi."Govan terdiam sejenak, menatap keponakannya yang kini terlihat jauh berbeda dari sebelumnya. Bukan hanya tubuhnya yang berubah, tapi juga aura percaya dirinya."Kamu selalu cantik di mata om," jawab Govan dengan nada tenang."Masa sih." Pipi Nabila merona, tapi ia menyembunyikannya dengan terus menyantap makanannya.Dulu, makan sayur terasa menyiksa, tapi sekarang ia bisa menikmatinya. Rasanya tidak lagi pahit atau aneh seperti saat pertama kali ia mencoba diet."Kamu gak percaya? Om berkata jujur lo." Govan menoleh, mengunyah makanannya dengan santai."Hmmm... Percaya deh, kan om gak pernah bohong," kata Nabila tersenyum manis.Govan memalingkan pandangannya ke mangkuk sup miliknya, senyuman Nabila terlalu manis baginya sampai sup yang ia mak
Suasana makan malam yang awalnya nyaman mendadak berubah tegang.Nabila yang sedang menikmati makanan tiba-tiba membeku begitu melihat Gisel dan gengnya yang baru saja memasuki restoran. Nafasnya tercekat, tangan yang memegang sendok mulai gemetar.Tanpa pikir panjang, ia langsung menyelinap ke bawah meja, tubuhnya bersembunyi dengan gemetar.Govan yang sedang mengunyah makanannya langsung mengernyit."Kamu ngapain?" tanyanya, menatap ke bawah meja dengan ekspresi bingung.Nabila menggigit bibirnya, tangannya mengepal erat di atas pahanya."G-Gisel ada di sana..." bisiknya, suaranya bergetar.Mata Govan menyipit. Ia menoleh ke arah yang dimaksud. Dari cara Nabila bereaksi, pasti Nabila masih trauma akan kejadian yang lalu. Matanya menelusuri setiap wajah di meja itu, dan dugaannya langsung tertuju p
Musik mengalun santai, lampu-lampu gantung menerangi area dengan cahaya kuning redup yang menciptakan suasana hangat sekaligus menggoda. Gelas-gelas minuman berderet di atas meja. Riska dan Wiwin sudah mulai sedikit mabuk, tertawa-tawa sambil berceloteh tak jelas.Nabila, yang biasanya hanya menyentuh jus, malam ini entah kenapa menuruti ajakan mereka. Satu tegukan, dua… tiga… hingga pipinya mulai memerah, kepalanya ringan, dan suara di sekitarnya terasa mengambang.“Hei, kamu masih kuat?” tanya Berlian sambil tertawa, mencondongkan tubuhnya ke arah Nabila yang sedang menyandarkan dagu ke tangan.“Aku... aku baik-baik aja kok,” jawab Nabila dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Matanya mengerjap pelan, fokusnya buyar. “Cuma pusing dikit...”“Kamu gak biasa minum, ya?” Berlian mendekat, wajahnya hanya berjarak beberapa jengkal dari wajah Nabila. “Tapi kamu cantik banget malam ini…”“Hah?” Nabila mengerutkan kening. “Aku serius.” Berlian tersenyum, lalu tangannya terulur menyentuh
Di kamar hotel, lantai delapan.Laras masuk ke dalam kamarnya dengan langkah pelan, namun jantungnya masih berdetak tak beraturan. Seolah udara malam tadi menyisakan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.Tangannya masih menggenggam erat mantel milik Govan yang tebal, hangat, dan wangi. Wangi yang selama ini hanya ia rasakan sekilas saat mereka bekerja bersama, tapi malam ini, terasa jauh lebih dekat… lebih personal.Ia menutup pintu, mematikan lampu utama dan membiarkan lampu meja kecil menyala temaram. Setelah melepas sepatunya, Laras berjalan cepat menuju tempat tidur, seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya sendiri. Ia membenamkan wajah ke dalam mantel itu, menghirup dalam-dalam.“Duh, Pak Govan…” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan rahasia. “Kenapa sih harus sebaik ini…”Ia tertawa pelan, malu sendiri. Jantungnya masih deg-degan. Laras tidak pernah membayangkan akan memiliki momen seperti tadi, makan malam berdua, Govan memberinya perhatian kecil, dan akhirnya menye
Govan melemparkan tubuhnya ke atas kasur hotel yang empuk. AC menyala dingin, menyejukkan udara panas yang menempel di kulitnya sejak tadi. Rambutnya masih basah karena baru saja mandi setelah seharian penuh rapat dengan klien. Kemeja putih santai membalut tubuhnya, dan celana kain longgar memberikan kenyamanan yang telah lama ia rindukan setelah duduk seharian.Ia mengambil ponsel dari atas nakas. Layarnya menyala, ada notifikasi dari WhatsApp.Nabila.Senyum tipis terbit di bibir Govan saat jempolnya menyapu layar. Beberapa foto masuk. Nabila dengan latar pegunungan hijau, danau biru yang tenang, dan satu selfie dengan teman-temannya, termasuk Berlian. “Akhirnya sampai juga! Pemandangannya bener-bener kayak di TV ya, Om! Wish you were here…”Govan menyentuh satu foto lebih lama, memperbesar wajah Nabila yang tersenyum lebar dengan kacamata hitam dan rambut dikuncir ke atas. Bahunya terbuka, terlihat dari tank top putih yang ia kenakan, namun tetap tertutup dengan jaket tipis yang s
Sinar matahari sore menembus jendela mobil, menciptakan bayangan-bayangan hangat di dashboard. Setelah hampir delapan jam perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpangi Nabila dan teman-temannya memasuki kawasan resort pegunungan yang sejuk dan rindang. Jalanan menanjak, diapit pepohonan yang menjulang tinggi dan aroma tanah lembap yang menenangkan.“Wah... tempatnya keren banget!” seru Riska dari kursi belakang, hidungnya nyaris menempel ke jendela.“Kita nginep di sini?” tanya Riska lagi antusias, matanya tak lepas dari bangunan penginapan yang berdiri di tepi tebing, menghadap langsung ke hamparan danau biru yang tenang.“Iya. Aku booking tempat ini karena paling deket sama spot sunrise. View-nya cakep banget,” sahut Nabila .Nabila membuka pintu mobil dan turun perlahan. Angin sejuk langsung menyambutnya, meniup helai-helai rambutnya yang tergerai. Ia mendongak menatap langit, menghirup udara segar dalam-dalam dan tersenyum puas.“Udara di sini seger banget... asli nagih,” gumamnya p
Langit di bandara dipenuhi warna abu kebiruan, pesawat-pesawat hilir mudik di landasan, sibuk seperti semut-semut raksasa yang tak pernah tidur. Di salah satu ruang tunggu gate keberangkatan, Govan duduk dengan tubuh tegak namun wajah lesu. Koper hitam kecil berada di samping kursinya. Di sebelahnya, Laras sang asisten pribadi tengah sibuk memeriksa email di tablet."Boarding jam berapa?" tanya Govan pelan, suaranya sedikit serak.Laras menoleh, “Sekitar lima belas menit lagi, Pak. Tapi biasanya mereka mulai panggil sepuluh menit sebelumnya.”Govan mengangguk, lalu memalingkan wajah ke jendela besar di hadapannya. Di luar sana, pesawat-pesawat terlihat seperti makhluk asing yang hendak terbang ke dunia lain. Tatapan matanya kosong, namun pikirannya justru penuh. Bayangan wajah Nabila muncul jelas, dia tersenyum, tertawa, marah, hingga manja. Semua campur aduk.Laras melirik pria itu, ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, “Masih kepikiran Nabila, Pak?”“Ya… Gak tahu kenapa rasanya g
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak