Share

Hinaan

Penulis: Centong ajaib
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-03 15:28:56

"Ayo makan siang bersama hari ini? Aku tahu tempat dengan steak terenak di sekitar kantor, aku traktir. Jangan menolak. by: L"

Dahi govan mengerut, sesaat rasa gugup menyerangnya tanpa alasan yang jelas. Ia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang tertutup rapat.

"Apa laras yang menaruh kertas ini di sini?" gumamnya, sedetik kemudian ia mendesah pelan, menaruh kembali kertas itu di atas meja tanpa niat membalas.

Govan mengabaikannya begitu saja, menganggap ajakan itu hanya basa-basi belaka. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan makan siang gratis.

***

Kruuuuk...

Nabila terbangun dengan perut keroncongan. Ia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk, beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur dengan langkah malas.

Di meja makan, sudah tersaji hidangan yang disiapkan sepiring nasi goreng dengan lauk yang terlihat menggoda, aromanya menggelitik hidung. Tanpa berpikir dua kali, ia segera duduk dan mulai melahap makanan itu.

"Seperti biasa, masakan Paman selalu enak!" gumamnya puas, berbicara sendiri sambil mengunyah.

Setelah selesai makan, Nabila tidak melakukan apa-apa. Ia kembali ke kamar dan menyalakan laptopnya, melanjutkan maraton drama Korea yang sedang ia ikuti. Selama liburan semester ini, hampir seluruh waktunya dihabiskan di rumah, tenggelam dalam dunia drama yang penuh dengan romansa dan ketegangan.

Nabila sih pengen aja liburan keluar kota, namun Govan selalu melarangnya, katanya takut terjadi apa-apa nanti susah.

"Kok nasibnya sama ya denganku, kasihan banget," komen Nabila melihat adegan seorang gadis bertubuh gemuk tengah menghadapi hinaan dan ejekan dari orang-orang di sekitarnya.

Nabila terbawa suasana, ia membayangkan jika gadis di dalam drama adalah dirinya sendiri. Sang tokoh utama berjuang keras menurunkan berat badan, ia berubah menjadi sosok yang cantik, anggun dan akhirnya menemukan cinta sejatinya.

"Andai aku bisa sperti dirinya," gumam Nabila pelan, menoleh ke arah perutnya yang buncit, lalu menghela napas panjang.

"Kalau aku diet, apa aku juga bisa jadi secantik dia?" gumamnya pelan.

Entah kenapa, drama yang baru saja ia tonton membekas dalam pikirannya. Ada dorongan dalam dirinya untuk mencoba yang namanya diet.

***

Langit sore mulai menguning ketika Govan pulang membawa sekantong cemilan. Begitu pintu terbuka, Nabila yang sedang bersantai di ruang tamu langsung melompat girang.

"Cemilannya mana?" tanyanya dengan mata berbinar.

Govan mengusap kepalanya dengan lembut sebelum menyerahkan kantong tersebut. "Ini, dasar bocah rakus," godanya.

Nabila mengambil cemilan itu dengan senyum lebar, lalu duduk kembali di depan televisi, melanjutkan menonton drama India kesukaannya. Tangannya sibuk memasukkan makanan ke mulut, matanya terpaku pada layar, sementara sesekali ia tertawa atau berseru mengikuti alur cerita.

"Ini cerita apa sih?" tanya govan melirik layar, ikut duduk di dekatnya, sambil membuka bungkus cemilan lain dan mulai ngemil santai.

"Drama India," jawab Nabila tanpa mengalihkan pandangan. "Pemerannya gagah banget!"

Govan terdiam sejenak, lalu menjilat jarinya dengan santai, menatap ke arah Nabila dengan ekspresi serius.

Merasa ada yang aneh, Nabila menoleh. Saat itu juga, tatapan mereka bertemu, seperti ada sengatan kecil di udara.

Govan tiba-tiba mendekatkan wajahnya, matanya menyipit penuh godaan.

"Apa aku nggak gagah?" tanyanya dengan suara rendah yang terdengar menggoda.

Wajah Nabila langsung memerah. Jantungnya berdebar tak karuan, tapi ia segera mengalihkan pandangannya, menutupi rasa gugupnya dengan merengut.

"Pamanku nggak gagah, soalnya bau!" serunya sambil menutup hidung.

Govan mengangkat alisnya, lalu mendekat lebih lagi seolah ingin membuktikan sesuatu.

"Oh ya? Bau apa?" godanya.

"Bau keringat! Cepat mandi, sana!" Nabila langsung mendorong bahunya dengan panik.

 "Baiklah, baiklah. Aku mandi dulu." Govan bangkit dari sofa diiringi tertawa keras.

Ketika Govan udah hiang dari pandangan, Nabila menempelkan tangan di dadanya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.

Ia mendesah, lalu kembali fokus ke drama India di layar. Tapi anehnya, wajah pemeran utama yang gagah itu perlahan-lahan tergantikan oleh sosok Govan di kepalanya.

Nabila buru-buru menggelengkan kepala.

"Astaga, aku kenapa sih?" gumamnya, lalu memasukkan segenggam cemilan ke dalam mulutnya.

***

Govan membuka kulkas, matanya menyapu isinya yang hampir kosong. Baru ia sadar, persediaan makanan di rumah sudah habis. Dengan tangan di pinggang, ia berpikir keras, lalu berjalan ke ruang tamu menemui Nabila.

"Bil, kapan terakhir kali kita makan di luar?" tanyanya sambil menyandarkan tubuh di sofa.

Nabila menoleh sekilas, lalu berpikir. "Hmm... sekitar dua bulan lalu?" jawabnya dengan ragu.

"Serius? Udah selama itu?" Govan mengernyit.

Nabila mengangguk, sambil terus mengunyah cemilan di tangannya.

 "Baiklah, kita makan di luar malam ini." Govan menghela napas, lalu berdiri tegak.

"YAY! MAKAN DI LUAR!" Nabila langsung bersorak girang sambil melompat-lompat di atas sofa.

"Hei! Turun! Mau ngancurin sofa ini, hah?!" Govan langsung melotot mengomelinya.

"Cerewet banget, sih, Om!" gerutu Nabila berhenti melompat, lalu mengembungkan pipinya kesal.

Nabila segera berlari ke kamar untuk bersiap-siap. Dengan semangat, ia memilih pakaian yang simpel tapi tetap terlihat manis. Setelah memakai sedikit bedak dan lip tint, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.

"Oke, cukup cantik untuk makan malam," gumamnya puas.

Nabila berlari keluar kamar menemui Govan yang menunggunya di bawah.

"Ayo om, aku udah siap!" seru Nabila semangat.

Govan terkekeh mengusap kepala Nabila gemes, lalu mereka keluar rumah dan pergi ke sebuah restoran steak tempat biasanya mereka makan.

Malam itu, Nabila makan dengan lahap, menikmati setiap gigitan steak yang lezat di hadapannya. Govan, yang duduk di seberangnya, hanya tersenyum geli melihat keponakannya begitu menikmati makanannya.

"Om ke toilet sebentar," kata Govan, bangkit dari kursinya. Nabila hanya mengangguk tanpa menghentikan makannya.

Namun, begitu Govan pergi, suara-suara bisikan mulai terdengar di sekelilingnya. Awalnya pelan, tapi cukup jelas untuk menusuk telinganya.

"Astaga, lihat cara makannya. Rakus banget."

"Kasihan cowok itu, pasti kena pelet. Mana mungkin pria setampan itu mau sama cewek gendut begitu?"

"Dia nggak malu apa makan banyak gitu? Pantesan badannya segede itu."

Nabila meremas garpu di tangannya, tiba-tiba selera makannya lenyap begitu saja. Ia menunduk, menatap steak yang belum habis, perutnya terasa mual, bukan karena kenyang, tapi karena hinaan yang tanpa henti menyerangnya.

Ketika Govan kembali, ia langsung menyadari perubahan ekspresi Nabila. Wajah gadis itu terlihat murung, dan yang lebih aneh, steaknya masih utuh.

"Bil? Kenapa nggak dimakan?" tanyanya bingung, menatap piring Nabila.

Nabila terdiam sesaat sebelum akhirnya beranjak dari kursinya.

"Aku ke toilet dulu," katanya pelan, lalu berjalan menjauh tanpa menoleh ke arah Govan.

Nabila berjalan cepat menuju toilet, mencoba menahan emosi yang bercampur aduk di dadanya. Suara-suara hinaan tadi masih menggema di telinganya, membuat dadanya terasa sesak. Ia ingin menangis, tapi menahannya sekuat tenaga.

Begitu masuk ke dalam toilet, ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bibirnya bergetar, matanya berkaca-kaca.

"Apa aku memang seburuk itu?" pikirnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Namun, sebelum ia sempat menenangkan diri, suara langkah kaki terdengar masuk ke dalam toilet. Suara hak sepatu yang familiar mengetuk lantai dengan angkuh.

Nabila menegang melihat sosok itu dari pantulan cermin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Menggoda Sang Paman   Sakit tak berdarah

    "Mereka," gumam hati Nabila, tubuhnya menegang melihat bayangan dua wanita yang tadi mengejeknya masuk dengan senyuman licik.Salah satunya adalah wanita berambut panjang dengan gaun ketat yang membuatnya tampak bak model.Satunya lagi lebih pendek, dengan wajah yang tak kalah cantik, matanya dipenuhi rasa puas setelah mengucapkan hinaan barusan."Astaga, aku masih gak percaya dia bisa makan sebanyak itu. Serius, kasihan banget cowok ganteng itu, pasti terpaksa nemenin dia," ujar suara perempuan itu dengan nada mengejek.Jantung Nabila berdegup kencang pelan-pelan, ia menoleh ke belakang.Mereka berdua kaget saat menyadari keberadaan Nabila, keduanya terdiam sesaat. Lalu, seolah tak merasa bersalah, perempuan bergaun ketat itu menyeringai sinis."Oh? Lihat siapa yang ada di sini," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.Nabila menelan ludah. Tangannya gemetar, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat tidak terpengaruh."Apa ada yang mau kalian bicarakan denganku?" suaranya te

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Menggoda Sang Paman   Diet

    "Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata."Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya."Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.Tapi ia takut.Takut terlihat lemah.Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencob

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-03
  • Menggoda Sang Paman   Larangan paman

    "Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. "Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya."Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci."Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi memb

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-28
  • Menggoda Sang Paman   Dibully

    'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Menggoda Sang Paman   Firasat

    "Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Menggoda Sang Paman   Pengakuan Nabila

    Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-01
  • Menggoda Sang Paman   Hasi diet

    "Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02
  • Menggoda Sang Paman   Body yang sempurna

    Malam.Nabila berdiri di depan cermin kamarnya, menatap bayangannya dengan penuh kebingungan.Setiap baju yang ia coba tampak terlalu longgar, menggantung seperti gorden yang kebesaran. Celana yang dulu pas kini melorot tanpa perlu dibuka kancingnya. Satu-satunya pakaian yang masih bisa ia pakai hanyalah daster."Hah... gawat," gumamnya, menarik bajunya ke belakang, memperlihatkan pinggang rampingnya yang kini terbentuk dengan sempurna.Lengkung tubuhnya jelas terlihat, dan kulitnya yang lebih cerah serta kencang memantulkan cahaya lampu kamar, memberi kesan ‘glossy’ layaknya model papan atas.Senyum puas terukir di bibirnya. Dulu, ia hanya bisa bermimpi memiliki tubuh seperti ini. Sekarang, semua ejekan yang pernah ia terima terasa tak berarti.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka. Govan masuk tanpa mengetuk lebih dulu."Nabila, kamu—" Langkah govan langsung terhenti di ambang pintu, matanya membela

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-02

Bab terbaru

  • Menggoda Sang Paman   Nabila pergi

    Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“

  • Menggoda Sang Paman   Gak boleh bawa itu

    Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G

  • Menggoda Sang Paman   Jangan terlalu mengekang

    Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam

  • Menggoda Sang Paman   Bertengkar

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak

  • Menggoda Sang Paman   Ngambek

    Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me

  • Menggoda Sang Paman   Rencana

    Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering

  • Menggoda Sang Paman   Rencana liburan

    "Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange

  • Menggoda Sang Paman   Nonton film bareng

    Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,

  • Menggoda Sang Paman   Makan malam spesial

    Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status