KYAAAAA!!!
Jeritan melengking memecah keheningan malam.
Govan yang baru saja memejamkan mata langsung melek, tanpa pikir panjang, dia berlari ke arah kamar Nabila.
Belum sempat membuka pintu, Nabila sudah lebih dulu keluar dengan wajah panik, langsung menerjang tubuh govan hingga tersungkur ke lantai.
"Om! Hantu!!" serunya dengan suara gemetar, memeluk govan yang ada di bawahnya, jari telunjuknya menunjuk ke arah jendela kamarnya.
"Aduh berat, Bil!" Seru Govan sesak nafas ditindih Nabila.
Nabila menyingkir membantu Govan berdiri lalu memeluknya takut.
"Hantunya seram om," cicit Nabila.
"Hantu?" tanyanya seolah-olah tidak percaya, menatap keponakannya dengan ekspresi datar.
"Iya! Aku lihat putih-putih melayang di jendela! Aku takut Om!" Nabila mengangguk cepat.
"Udah besar kok masih takut hantu."
Govan mendesah panjang, dari tadi kesabarannya di uji. Dia menatap langit-langit seolah meminta kesabaran lebih dari Tuhan.
"Udah dibilang jangan kebanyakan nonton film horor. Liat kamu jadi parno kan? Lagian mana ada hantu mau ganggu kamu," ujarnya masuk ke dalam kamar.
"Tapi beneran, Om! Aku liat dengan jelas!" Nabila ikut dibelakangnya.
"Ini akibat kamu pulang larut malam nih, jadi dedemit pada ngikutin," gerutu Govan berjalan ke arah jendela kamar Nabila, menarik tirai dengan gerakan cepat. Matanya langsung tertuju pada sesuatu yang menggantung di luar jendela, berkibar pelan tertiup angin malam.
"Hantu macam apa yang punya jahitan rapi di bagian pinggang?" gumamnya, alisnya naik sebelah heran.
Govan membuka kunci jendela, lalu menjulurkan tangan ke luar. Dengan sedikit usaha, dia menarik benda itu masuk ke dalam kamar.
Ketika Govan berbalik, di tangannya tergantung sebuah rok putih panjang.
Dia menatap Nabila dengan ekspresi datar, lalu mengangkat rok itu di depan wajah keponakannya.
"Ini hantunya?" tanyanya singkat.
Nabila membeku sesaat, lalu nyengir kuda. "Eh… aku lupa… tadi sore aku jemur itu di jendela, biar besok kering..."
"Astaga, Nabila." Govan menepuk dahinya, menarik napas dalam-dalam.
"Tapi kan tadi aku kaget! Kelihatannya serem!" Nabila makin nyengir.
"Mulai besok! Kamu gak boleh lagi nonton film horor dan jangan jemur baju di jendela kalau gak mau ketakutan sendiri," kata Govan penuh penekanan.
"Hehehe... Oke, Om." Nabila menggaruk kepala sambil nyengir lebar.
Govan hanya menggelengkan kepala sebelum keluar kamar. Sementara itu, Nabila memelototi rok putihnya sendiri dan menggumam.
"Rok sialan, bikin jantung mau copot." Nabila menggantung rok itu lalu kembali merebahkan diri di kasur, namun matanya tak kunjung terpejam.
Perasaan setiap di setiap sudut kamarnya seolah ada sesuatu yang mengintai, pikiran tentang film horor yang baru saja ditontonnya siang tadi membuat tubuhnya merinding. Bayangan-bayangan aneh muncul di pikirannya, dan suara-suara aneh seolah terdengar semakin jelas.
"Duh, apaan sih ni otak, kok malah ke ingat film horor sih. gak asik ah," gerutu Nabila pada dirinya, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Nabila merasa seolah ada mata yang menatapnya, memandangi dari balik kegelapan. Ia menoleh cepat ke arah pintu, lalu ke jendela. Tak ada apa-apa, namun rasa takut itu terus menggantung di dadanya.
Gigi Nabila gemetar, ia beranjak dari tempat tidur keluar dari kamar menuju kamar Govan.
"Emm... ketuk gak ya," Ia ragu sejenak, menyentuh gagang pintu dengan tangan yang gemetar, kemudian mengetuk pintu kamar Govan.
Tok... Tok... Tok...
“Om… Om Govan…” suaranya bergetar pelan, hampir seperti bisikan.
Namun, sebelum ia sempat mengetuk lagi, bayangan kemarahan pamannya muncul di benaknya.
"Kamu bukan anak kecil, Nabila! Jangan manja!" suara bentakan Govan yang keras dan tajam menghantui pikirannya.
Sejenak, Nabila membeku di tempatnya, wajahnya memucat.
'Aku udah berbuat salah hari ini, nanti om marah lagi…' pikirnya, menggigit bibirnya.
Nabila tahu, kalau ia meminta pamannya untuk menemaninya tidur, Govan pasti akan marah besar, dan sekarang Govan pasti udah tidur, ia gak mau ganggu waktu istirahat govan.
Nabila menelan ludah, ragu. Ia berbalik ke kamarnya, lalu kembali berbaring di atas ranjang. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, memaksa matanya untuk terpejam.
*
*
*
"Nabila..."
Samar-samar mendengar suara lembut memanggil namanya. Nabila meringkuk di dalam selimut memeluk erat bantal guling.
"Nabila!" Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras lagi.
“Nabila! Bangun, sudah pagi!” suara govan menarik selimut Nabila.
"Astaga!" Govan kaget melihat Nabila seperti kepiting rebus. Wajahnya merah penuh peluh, kantong matanya hitam seperti habis bergadang.
"Om..." Mata Nabila membuka perlahan.
Matanya menangkap sosok pria bertubuh tinggi tegap duduk di tepi tempat tidurnya. Wajahnya tegas, Kulitnya sawo matang, mempertegas kesan maskulin yang melekat pada dirinya. Rambut hitamnya yang tertata rapi menambah pesona khas pria dewasa.
"Hoommm..." Nabila menguap lebar menatap Govan sayu.
“Kamu bergadang lagi?” tanya Govan menyentuh wajah Nabila khawatir kalau Nabila demam.
"Aku gak bisa tidur om, takut ada hantu," kata Nabila lemah.
"Kamu ini, mana ada hantu di dunia ini. Ya sudah sana tidur, om mau pergi kerja. Kalau lapar makan saja, om udah masakin makanan buat kamu." Govan mengecup kening Nabila, mengusap kepalanya lembut sebelum pergi dari kamarnya.
Wajah Nabila memerah, jantungnya berdegup kencang setiap kali mendapati perlakuan seperti itu dari pamannya.
Nabila merebahkan kembali tubuhnya ke kasur, semalaman dia ketakutan. Sekarang dia tidur dalam hitungan detik.
***
Pagi itu, suasana kantor XXX penuh dengan hiruk-pikuk karyawan yang sibuk menjalankan tugas mereka.
"Pagi pak Direktur," sapa karyawan pada pria dengan setelan jas hitam rapi, kemeja putih bersih di balik dasinya, serta sepatu kulit hitam mengilap. Wajahnya tampan, rahang kokoh membuat auranya tampak tegas sekaligus menawan.
Dialah Govan, pria berusia 32 tahun yang kini menjabat sebagai direktur di perusahaan ternama itu.
"Pagi," balas Govan ramah.
Langkahnya mantap menuju ruangannya. Setiap mata tertuju padanya, bukan hanya karena posisinya yang berpengaruh, tetapi juga karena kharismanya yang tak terbantahkan.
Namun, siapa sangka di balik sosok sukses yang kini berdiri sebagai direktur, Govan tidak sukses dalam hal percintaan. Hubungan percintaannya selalu kandas dengan alasan yang sama, tidak ada wanita yang siap menerima tanggung jawab untuk mengurus Nabila bersamanya.
Kini, di usianya yang ke-32, Govan memilih untuk fokus pada Nabila dan pekerjaannya. Ia memutuskan akan menikah setelah Nabila sukses dan bisa hidup mandiri.
Tok... Tok... Tok...
Pintu ketukan pintu membuyarkan lamunan govan
"Permisi pak." suara wanita lembut di balik pintu.
"Masuk," kata Govan.
Seorang wanita masuk, membawa berkas-berkas di tangannya. Ia adalah sekretaris pribadinya, Laras.
“Selamat pagi, Pak Govan. Ini berkas untuk presentasi rapat siang nanti,” ucap Laras sambil menyodorkan map dengan senyuman profesional.
Laras adalah sosok yang memancarkan pesona di setiap langkahnya. Wanita itu memiliki tubuh semampai dengan lekuk tubuh yang memikat. Rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, berkilauan saat terkena sinar matahari. Matanya tajam dengan bulu mata lentik, bibirnya merah alami tanpa perlu banyak polesan, dan kulitnya sehalus porselen.
Setiap kali Laras berjalan, hak sepatunya mengetuk lantai dengan ritme yang seolah memukau siapa saja di sekitarnya.
“Terima kasih, Laras.” Govan menerima map itu, lalu menatap Laras sejenak.
“Sama-sama, Pak. Jika ada yang perlu dipersiapkan lagi, saya siap membantu,” jawab Laras dengan nada lembut.
Di luar kecantikannya yang memesona, Laras adalah seorang profesional yang cerdas dan cekatan. Ia tahu bagaimana membaca situasi dan memahami kebutuhan atasannya. Itulah salah satu alasan Govan memilih Laras sebagai sekretarisnya.
“Pastikan presentasi nanti berjalan lancar. Jangan sampai ada detail yang terlewat,” ujar Govan, suaranya tenang namun penuh otoritas.
“Tentu, Pak. Semua sudah saya siapkan.” Laras mengangguk, senyuman kecil masih menghiasi wajahnya.
Setelah Laras keluar, Govan menghela napas panjang dan bersandar di kursinya. Tangannya mengusap wajah, matanya menatap kosong ke arah berkas di depannya.
Namun, saat ia membuka map untuk mengecek dokumen...
Sebuah kertas kecil terselip di antara halaman.
Alis Govan bertaut. Ia mengambilnya dan membacanya, dahinya mengerut sekejap rasa gugup menyerangnya.
Govan mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang sudah tertutup rapat.
"Ayo makan siang bersama hari ini? Aku tahu tempat dengan steak terenak di sekitar kantor, aku traktir. Jangan menolak. by: L"Dahi govan mengerut, sesaat rasa gugup menyerangnya tanpa alasan yang jelas. Ia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang tertutup rapat."Apa laras yang menaruh kertas ini di sini?" gumamnya, sedetik kemudian ia mendesah pelan, menaruh kembali kertas itu di atas meja tanpa niat membalas.Govan mengabaikannya begitu saja, menganggap ajakan itu hanya basa-basi belaka. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan makan siang gratis.***Kruuuuk...Nabila terbangun dengan perut keroncongan. Ia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk, beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur dengan langkah malas.Di meja makan, sudah tersaji hidangan yang disiapkan sepiring nasi goreng dengan lauk yang terlihat menggoda, aromanya menggelitik hidung. Tanpa berpikir dua kali, ia segera duduk dan mulai melahap makanan itu."Seperti biasa, masakan Paman
"Mereka," gumam hati Nabila, tubuhnya menegang melihat bayangan dua wanita yang tadi mengejeknya masuk dengan senyuman licik.Salah satunya adalah wanita berambut panjang dengan gaun ketat yang membuatnya tampak bak model.Satunya lagi lebih pendek, dengan wajah yang tak kalah cantik, matanya dipenuhi rasa puas setelah mengucapkan hinaan barusan."Astaga, aku masih gak percaya dia bisa makan sebanyak itu. Serius, kasihan banget cowok ganteng itu, pasti terpaksa nemenin dia," ujar suara perempuan itu dengan nada mengejek.Jantung Nabila berdegup kencang pelan-pelan, ia menoleh ke belakang.Mereka berdua kaget saat menyadari keberadaan Nabila, keduanya terdiam sesaat. Lalu, seolah tak merasa bersalah, perempuan bergaun ketat itu menyeringai sinis."Oh? Lihat siapa yang ada di sini," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.Nabila menelan ludah. Tangannya gemetar, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat tidak terpengaruh."Apa ada yang mau kalian bicarakan denganku?" suaranya te
"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata."Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya."Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.Tapi ia takut.Takut terlihat lemah.Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencob
"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. "Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya."Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci."Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi memb
'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan
"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
"Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N
Govan merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia mengalihkan pandangan, berharap bisa menghindari pertanyaan Nabila yang semakin berani."Om, kalau aku bukan keponakan Om, pasti Om bakal tergoda, kan?"Suara Nabila terdengar main-main, tapi Govan tahu betul bahwa gadis itu sedang menguji batas.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran dalam dadanya."Udah jangan naya yang aneh-aneh." Govan berkata dengan nada tegas."Jadi Om tetap nggak tergoda?" Nabila tersenyum tipis, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. "Bil, jangan nanya yang aneh-aneh. Om lagi makan ini," kata Govan dengan kesabaran yang mulai menipis. Nabila mengangkat bahunya, seolah tidak terlalu peduli, tapi ada kilatan menggoda di matanya."Aku cuma penasaran.""Udah selesai makannya?" tanya Govan, sengaja mengalihkan pembicaraan, Nabila menjawab dengan anggukan kecil. "Ya udah, aku mau ganti baju dulu, Om takut aku pakai baju terbuka, kan?" godanya sambil beranjak dari kursi.Govan tidak mer
"Soal mimpi aku..." Seketika tangan Govan berkeringat dingin. “Semalam aku mimpi aneh,” ujarnya santai.Govan yang tengah menyuap nasi gorengnya langsung berhenti. Ia melirik Nabila dengan waspada.“Mimpi apa?” tanyanya, mencoba terdengar biasa saja.Nabila mengunyah makanannya, lalu wajahnya mulai memerah sedikit.“A-aku mimpi dicium seseorang,” katanya pelan, seakan malu mengakuinya."Uhuk..." Govan tersedak. Ia buru-buru meraih gelas air dan meneguknya, sementara Nabila menatapnya dengan heran.“Om nggak apa-apa?” tanya gadis itu, mengernyitkan dahi.“Om… aku baik-baik saja.” Govan batuk kecil, lalu mengangguk cepat. “Aneh banget, di dalam mimpiku wajah nggak kelihatan. Semuanya gelap.” Nabila memutar-mutar sendoknya di dalam piring. Govan menelan ludah. Tentu saja gelap. Itu bukan mimpi, namun kenyataan. Tapi… apakah mungkin Nabila tidak menyadari kalau itu adalah dirinya kan? Govan berusaha fokus pada makanannya, tapi semakin sulit ketika Nabila terus menatapnya dengan ekspr
Govan keluar dari kamar Nabila dengan langkah tergesa. Ia menutup pintu dengan pelan, mengusap wajahnya dengan frustrasi.“Apa yang baru saja kulakukan?” gumamnya.Ia duduk di tepi kasur di kamarnya sendiri, menundukkan kepala sambil meremas rambutnya. Pikirannya penuh dengan kejadian barusan.Bibirnya masih bisa merasakan kelembutan bibir Nabila.Sial. Ia baru saja merebut ciuman pertama keponakannya. Walaupun itu tidak disengaja, tetap saja perasaan bersalah menghantamnya tanpa ampun.Govan menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Ia harus melupakan ini. Ia harus menjaga batasan.Namun... Kejadian itu tidak mudah dilupakan begitu saja. ***Tik... Tik... Suara keyboard terdengar berulang kali di dalam ruangan kerja Govan. Ia duduk tegak di kursinya, menatap layar laptop yang menampilkan dokumen-dokumen penting. Pekerjaan menumpuk, dan ia harus segera menyelesaikannya.Namun, pikirannya tidak bisa sepenuhnya fokus.Setiap kali ia mencoba membaca laporan, bayangan keja
Pesta ulang tahun Laras masih berlangsung meriah, tapi lama kelamaan Nabila merasa sedikit bosan. Ia memang menikmati hidangan lezat dan suasana mewah, tetapi tanpa teman untuk diajak berbincang, rasanya seperti terjebak di tempat yang asing.Sementara itu, Govan tampak sibuk berbicara dengan rekan-rekan kerjanya. Pria itu terlihat begitu tenang dan percaya diri, sesekali tersenyum tipis saat berbicara dengan mereka.Nabila menghela napas pelan, memainkan gelas jusnya dengan bosan. Sejak tadi, banyak pria yang mencuri pandang ke arahnya, tetapi tak ada yang cukup berani mendekatinya setelah melihat bagaimana Govan bersikap protektif sebelumnya.Setelah sekian lama hanya duduk di meja sendirian, akhirnya Govan kembali menghampirinya.“Bosan?” tanyanya dengan nada lembut.“Lumayan.” Nabila menoleh, mengangkat bahunya. “Kalau begitu, kita pulang sekarang.” Govan tersenyum kecil, lalu melirik jam tangannya. Nabila tidak keberatan. Ia segera berdiri dan mengikuti Govan keluar dari venue
Nabila berdiri di salah satu sudut ruangan, mengamati kemewahan pesta yang belum pernah ia hadiri sebelumnya. Musik lembut mengalun, gelas-gelas kristal berkilauan di bawah lampu gantung, dan para tamu tampak bercengkerama dengan elegan.Saat ia sibuk menikmati suasana, seorang pria asing tiba-tiba mendekatinya dengan membawa dua gelas minuman.Pria itu tinggi, mengenakan jas biru tua dengan kemeja putih yang beberapa kancingnya sengaja dibuka, menampilkan dada bidangnya. Rambutnya tertata rapi, dan senyumannya yang penuh percaya diri seakan menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.“Hai,” sapanya dengan suara dalam menyodorkan satu gelas minuman ada Nabila, “Aku perhatikan sejak tadi, kamu sendirian di sini.”“Oh, tidak. Aku hanya menikmati suasana.” Nabila tersenyum sopan melirik gelas itu. Cairan di dalamnya berwarna jingga keemasan, tampak seperti c*ckt**l yang biasa ia lihat di film-film.Ragu sejenak, namun karena tak ingin terlihat aneh, ia akhirnya menerimanya.“Terima kasih,” uca
"Orang-orang seperti aku?" Govan mengangkat alis."Maksudku... orang-orang kaya, pebisnis, eksekutif. Pasti suasananya beda dengan pesta anak kuliahan.""Yah, jangan berharap terlalu banyak. Pesta seperti ini biasanya lebih formal dan membosankan dibandingkan pesta mahasiswa." Govan terkekeh geli. "Ah masa. Gak mungkin ah!" Nabila tertawa kecil, tak sabar ingin melihatnya sendiri.Begitu mereka tiba di lokasi, atmosfer mewah langsung menyambut mereka.Tempat pesta dihiasi dengan lampu-lampu elegan, meja-meja bundar berlapis kain putih, dan pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan berisi minuman serta makanan ringan. Para tamu yang hadir tampak berkelas, sebagian besar mengenakan pakaian formal yang mahal dan elegan.Dan begitu Nabila masuk ke dalam ruangan bersama Govan, hampir seketika perhatian orang-orang langsung tertuju padanya.Beberapa pria meliriknya dengan takjub, sementara beberapa wanita menatapnya dengan tatapan penuh penilaian.Nabila, meskipun awalnya percaya dir
Govan merapikan dasi di depan cermin, memastikan bahwa setelannya tampak rapi dan sempurna. Hari ini ia mengenakan kemeja hitam yang dipadukan dengan jas abu-abu gelap. Rambutnya sudah tertata rapi, dan parfum segar maskulin yang khas sudah ia semprotkan.Setelah memastikan semuanya sudah siap, ia mengambil jam tangan di atas meja dan memakainya."Baiklah, saatnya berangkat," gumamnya sebelum membuka pintu kamar dan melangkah keluar.Namun begitu ia keluar dari kamarnya dan menoleh ke arah tangga, langkahnya langsung terhenti.Matanya melebar, napasnya seolah tertahan melihat Nabila tengah menuruni tangga dengan anggun.Ia mengenakan gaun hitam selutut yang memiliki potongan simpel tapi elegan. Bagian atasnya pas di badan, menonjolkan siluet rampingnya, memberikan kesan manis dan berkelas. Rambut panjangnya yang biasanya terurai kini ditata dalam gelombang lembut, membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya.Govan tak bisa mengalihkan pandangannya.Dia terpesona.Sangat sangat terpes
"Kamu ini ya..." Govan mendecak menatapnya sekilas. Nabila tertawa kecil, lalu kembali makan. Namun, pipinya masih merah. Setelah sarapan selesai, Nabila membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mulai mencuci.Govan menghampirinya, menyandarkan tubuhnya ke meja dapur sambil menatapnya."Mau dibantuin gak," katanya."Santai Om, aku bisa sendiri." Nabila menoleh dan tersenyum. Govan menghela napas, lalu tiba-tiba mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Nabila dengan lembut.Nabila terkejut, matanya membesar."Apa-apaan sih," gerutu Nabila dengan wajah yang seketika memerah."Makasih udah masakin sarapan." Govan hanya tersenyum kecil. Nabila menatapnya beberapa detik, lalu buru-buru menunduk, kembali mencuci piring dengan panik.Govan tersenyum kecil melihat telinga Nabila yang ikut memerah.***Di ruang tamu, suasana cukup tenang.Govan duduk di salah satu ujung sofa, laptopnya terbuka di atas meja dengan beberapa dokumen yang perlu ia tinjau. Ia mengetik dengan tenang, sesekal
Sinar matahari sudah tinggi ketika Govan akhirnya membuka matanya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, masih dalam keadaan setengah sadar."Kenapa rasanya terang banget?" Govan menoleh ke jam digital di meja samping ranjangnya.09.30 AM"Sial." Mata Govan membelalak.Ia jarang sekali bangun kesiangan, bahkan di hari libur sekalipun. Tapi hari ini, ia benar-benar tidur lebih lama dari biasanya.Tubuhnya masih terasa sedikit berat, mungkin karena tekanan pekerjaan yang cukup menguras tenaganya akhir-akhir ini. Tapi tetap saja, bangun hampir jam sepuluh pagi membuatnya merasa bersalah.Setelah mengumpulkan kesadarannya, Govan bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan keluar kamar dengan rambut sedikit berantakan dan kaus kusut.Begitu keluar, ia mencium aroma sesuatu yang familiar langsung menyeruak ke hidungnya."Nasi goreng?" Alisnya mengernyit.Ketika Govan tiba di dapur, matanya menangkap sosok Nabila yang sedang berdiri di depan kompor, mengenakan kaus oversized dan celana pendek.Gadi