KYAAAAA!!!
Jeritan melengking memecah keheningan malam.
Govan yang baru saja memejamkan mata langsung melek, tanpa pikir panjang, dia berlari ke arah kamar Nabila.
Belum sempat membuka pintu, Nabila sudah lebih dulu keluar dengan wajah panik, langsung menerjang tubuh govan hingga tersungkur ke lantai.
"Om! Hantu!!" serunya dengan suara gemetar, memeluk govan yang ada di bawahnya, jari telunjuknya menunjuk ke arah jendela kamarnya.
"Aduh berat, Bil!" Seru Govan sesak nafas ditindih Nabila.
Nabila menyingkir membantu Govan berdiri lalu memeluknya takut.
"Hantunya seram om," cicit Nabila.
"Hantu?" tanyanya seolah-olah tidak percaya, menatap keponakannya dengan ekspresi datar.
"Iya! Aku lihat putih-putih melayang di jendela! Aku takut Om!" Nabila mengangguk cepat.
"Udah besar kok masih takut hantu."
Govan mendesah panjang, dari tadi kesabarannya di uji. Dia menatap langit-langit seolah meminta kesabaran lebih dari Tuhan.
"Udah dibilang jangan kebanyakan nonton film horor. Liat kamu jadi parno kan? Lagian mana ada hantu mau ganggu kamu," ujarnya masuk ke dalam kamar.
"Tapi beneran, Om! Aku liat dengan jelas!" Nabila ikut dibelakangnya.
"Ini akibat kamu pulang larut malam nih, jadi dedemit pada ngikutin," gerutu Govan berjalan ke arah jendela kamar Nabila, menarik tirai dengan gerakan cepat. Matanya langsung tertuju pada sesuatu yang menggantung di luar jendela, berkibar pelan tertiup angin malam.
"Hantu macam apa yang punya jahitan rapi di bagian pinggang?" gumamnya, alisnya naik sebelah heran.
Govan membuka kunci jendela, lalu menjulurkan tangan ke luar. Dengan sedikit usaha, dia menarik benda itu masuk ke dalam kamar.
Ketika Govan berbalik, di tangannya tergantung sebuah rok putih panjang.
Dia menatap Nabila dengan ekspresi datar, lalu mengangkat rok itu di depan wajah keponakannya.
"Ini hantunya?" tanyanya singkat.
Nabila membeku sesaat, lalu nyengir kuda. "Eh… aku lupa… tadi sore aku jemur itu di jendela, biar besok kering..."
"Astaga, Nabila." Govan menepuk dahinya, menarik napas dalam-dalam.
"Tapi kan tadi aku kaget! Kelihatannya serem!" Nabila makin nyengir.
"Mulai besok! Kamu gak boleh lagi nonton film horor dan jangan jemur baju di jendela kalau gak mau ketakutan sendiri," kata Govan penuh penekanan.
"Hehehe... Oke, Om." Nabila menggaruk kepala sambil nyengir lebar.
Govan hanya menggelengkan kepala sebelum keluar kamar. Sementara itu, Nabila memelototi rok putihnya sendiri dan menggumam.
"Rok sialan, bikin jantung mau copot." Nabila menggantung rok itu lalu kembali merebahkan diri di kasur, namun matanya tak kunjung terpejam.
Perasaan setiap di setiap sudut kamarnya seolah ada sesuatu yang mengintai, pikiran tentang film horor yang baru saja ditontonnya siang tadi membuat tubuhnya merinding. Bayangan-bayangan aneh muncul di pikirannya, dan suara-suara aneh seolah terdengar semakin jelas.
"Duh, apaan sih ni otak, kok malah ke ingat film horor sih. gak asik ah," gerutu Nabila pada dirinya, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Nabila merasa seolah ada mata yang menatapnya, memandangi dari balik kegelapan. Ia menoleh cepat ke arah pintu, lalu ke jendela. Tak ada apa-apa, namun rasa takut itu terus menggantung di dadanya.
Gigi Nabila gemetar, ia beranjak dari tempat tidur keluar dari kamar menuju kamar Govan.
"Emm... ketuk gak ya," Ia ragu sejenak, menyentuh gagang pintu dengan tangan yang gemetar, kemudian mengetuk pintu kamar Govan.
Tok... Tok... Tok...
“Om… Om Govan…” suaranya bergetar pelan, hampir seperti bisikan.
Namun, sebelum ia sempat mengetuk lagi, bayangan kemarahan pamannya muncul di benaknya.
"Kamu bukan anak kecil, Nabila! Jangan manja!" suara bentakan Govan yang keras dan tajam menghantui pikirannya.
Sejenak, Nabila membeku di tempatnya, wajahnya memucat.
'Aku udah berbuat salah hari ini, nanti om marah lagi…' pikirnya, menggigit bibirnya.
Nabila tahu, kalau ia meminta pamannya untuk menemaninya tidur, Govan pasti akan marah besar, dan sekarang Govan pasti udah tidur, ia gak mau ganggu waktu istirahat govan.
Nabila menelan ludah, ragu. Ia berbalik ke kamarnya, lalu kembali berbaring di atas ranjang. Ia menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, memaksa matanya untuk terpejam.
*
*
*
"Nabila..."
Samar-samar mendengar suara lembut memanggil namanya. Nabila meringkuk di dalam selimut memeluk erat bantal guling.
"Nabila!" Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras lagi.
“Nabila! Bangun, sudah pagi!” suara govan menarik selimut Nabila.
"Astaga!" Govan kaget melihat Nabila seperti kepiting rebus. Wajahnya merah penuh peluh, kantong matanya hitam seperti habis bergadang.
"Om..." Mata Nabila membuka perlahan.
Matanya menangkap sosok pria bertubuh tinggi tegap duduk di tepi tempat tidurnya. Wajahnya tegas, Kulitnya sawo matang, mempertegas kesan maskulin yang melekat pada dirinya. Rambut hitamnya yang tertata rapi menambah pesona khas pria dewasa.
"Hoommm..." Nabila menguap lebar menatap Govan sayu.
“Kamu bergadang lagi?” tanya Govan menyentuh wajah Nabila khawatir kalau Nabila demam.
"Aku gak bisa tidur om, takut ada hantu," kata Nabila lemah.
"Kamu ini, mana ada hantu di dunia ini. Ya sudah sana tidur, om mau pergi kerja. Kalau lapar makan saja, om udah masakin makanan buat kamu." Govan mengecup kening Nabila, mengusap kepalanya lembut sebelum pergi dari kamarnya.
Wajah Nabila memerah, jantungnya berdegup kencang setiap kali mendapati perlakuan seperti itu dari pamannya.
Nabila merebahkan kembali tubuhnya ke kasur, semalaman dia ketakutan. Sekarang dia tidur dalam hitungan detik.
***
Pagi itu, suasana kantor XXX penuh dengan hiruk-pikuk karyawan yang sibuk menjalankan tugas mereka.
"Pagi pak Direktur," sapa karyawan pada pria dengan setelan jas hitam rapi, kemeja putih bersih di balik dasinya, serta sepatu kulit hitam mengilap. Wajahnya tampan, rahang kokoh membuat auranya tampak tegas sekaligus menawan.
Dialah Govan, pria berusia 32 tahun yang kini menjabat sebagai direktur di perusahaan ternama itu.
"Pagi," balas Govan ramah.
Langkahnya mantap menuju ruangannya. Setiap mata tertuju padanya, bukan hanya karena posisinya yang berpengaruh, tetapi juga karena kharismanya yang tak terbantahkan.
Namun, siapa sangka di balik sosok sukses yang kini berdiri sebagai direktur, Govan tidak sukses dalam hal percintaan. Hubungan percintaannya selalu kandas dengan alasan yang sama, tidak ada wanita yang siap menerima tanggung jawab untuk mengurus Nabila bersamanya.
Kini, di usianya yang ke-32, Govan memilih untuk fokus pada Nabila dan pekerjaannya. Ia memutuskan akan menikah setelah Nabila sukses dan bisa hidup mandiri.
Tok... Tok... Tok...
Pintu ketukan pintu membuyarkan lamunan govan
"Permisi pak." suara wanita lembut di balik pintu.
"Masuk," kata Govan.
Seorang wanita masuk, membawa berkas-berkas di tangannya. Ia adalah sekretaris pribadinya, Laras.
“Selamat pagi, Pak Govan. Ini berkas untuk presentasi rapat siang nanti,” ucap Laras sambil menyodorkan map dengan senyuman profesional.
Laras adalah sosok yang memancarkan pesona di setiap langkahnya. Wanita itu memiliki tubuh semampai dengan lekuk tubuh yang memikat. Rambut hitam panjangnya tergerai sempurna, berkilauan saat terkena sinar matahari. Matanya tajam dengan bulu mata lentik, bibirnya merah alami tanpa perlu banyak polesan, dan kulitnya sehalus porselen.
Setiap kali Laras berjalan, hak sepatunya mengetuk lantai dengan ritme yang seolah memukau siapa saja di sekitarnya.
“Terima kasih, Laras.” Govan menerima map itu, lalu menatap Laras sejenak.
“Sama-sama, Pak. Jika ada yang perlu dipersiapkan lagi, saya siap membantu,” jawab Laras dengan nada lembut.
Di luar kecantikannya yang memesona, Laras adalah seorang profesional yang cerdas dan cekatan. Ia tahu bagaimana membaca situasi dan memahami kebutuhan atasannya. Itulah salah satu alasan Govan memilih Laras sebagai sekretarisnya.
“Pastikan presentasi nanti berjalan lancar. Jangan sampai ada detail yang terlewat,” ujar Govan, suaranya tenang namun penuh otoritas.
“Tentu, Pak. Semua sudah saya siapkan.” Laras mengangguk, senyuman kecil masih menghiasi wajahnya.
Setelah Laras keluar, Govan menghela napas panjang dan bersandar di kursinya. Tangannya mengusap wajah, matanya menatap kosong ke arah berkas di depannya.
Namun, saat ia membuka map untuk mengecek dokumen...
Sebuah kertas kecil terselip di antara halaman.
Alis Govan bertaut. Ia mengambilnya dan membacanya, dahinya mengerut sekejap rasa gugup menyerangnya.
Govan mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang sudah tertutup rapat.
"Ayo makan siang bersama hari ini? Aku tahu tempat dengan steak terenak di sekitar kantor, aku traktir. Jangan menolak. by: L"Dahi govan mengerut, sesaat rasa gugup menyerangnya tanpa alasan yang jelas. Ia mengangkat kepalanya, menoleh ke arah pintu kantornya yang tertutup rapat."Apa laras yang menaruh kertas ini di sini?" gumamnya, sedetik kemudian ia mendesah pelan, menaruh kembali kertas itu di atas meja tanpa niat membalas.Govan mengabaikannya begitu saja, menganggap ajakan itu hanya basa-basi belaka. Ia bukan tipe pria yang tertarik dengan makan siang gratis.***Kruuuuk...Nabila terbangun dengan perut keroncongan. Ia mengusap matanya yang masih setengah mengantuk, beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju dapur dengan langkah malas.Di meja makan, sudah tersaji hidangan yang disiapkan sepiring nasi goreng dengan lauk yang terlihat menggoda, aromanya menggelitik hidung. Tanpa berpikir dua kali, ia segera duduk dan mulai melahap makanan itu."Seperti biasa, masakan Paman
"Mereka," gumam hati Nabila, tubuhnya menegang melihat bayangan dua wanita yang tadi mengejeknya masuk dengan senyuman licik.Salah satunya adalah wanita berambut panjang dengan gaun ketat yang membuatnya tampak bak model.Satunya lagi lebih pendek, dengan wajah yang tak kalah cantik, matanya dipenuhi rasa puas setelah mengucapkan hinaan barusan."Astaga, aku masih gak percaya dia bisa makan sebanyak itu. Serius, kasihan banget cowok ganteng itu, pasti terpaksa nemenin dia," ujar suara perempuan itu dengan nada mengejek.Jantung Nabila berdegup kencang pelan-pelan, ia menoleh ke belakang.Mereka berdua kaget saat menyadari keberadaan Nabila, keduanya terdiam sesaat. Lalu, seolah tak merasa bersalah, perempuan bergaun ketat itu menyeringai sinis."Oh? Lihat siapa yang ada di sini," katanya sambil menyilangkan tangan di dada.Nabila menelan ludah. Tangannya gemetar, tapi ia tetap berdiri tegak, mencoba terlihat tidak terpengaruh."Apa ada yang mau kalian bicarakan denganku?" suaranya te
"Nabila?!" suara Govan meninggi, langkahnya cepat menghampiri Nabila yang terduduk di kasur dengan mata bengkak, jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Ia berlutut di depan gadis itu, tangannya langsung menangkup wajah Nabila, menelusuri pipinya yang lembab bekas air mata."Kamu habis nangis?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari sebelumnya, tapi penuh kekhawatiran. "Kenapa? Ada apa, Bil? Ayo cerita dengan om."Nabila menggeleng pelan, wajahnya keliatan lelah. Govan menatapnya lama, lalu tanpa ragu, ia menarik Nabila ke dalam pelukannya."Kalau ada masalah, cerita sama Om," bisiknya di atas kepala gadis itu. "Jangan dipendam sendiri, nanti sakit."Nabila menggigit bibir, tubuhnya menegang dalam dekapan pamannya. Ia ingin bercerita. Ingin mengeluarkan semua beban di hatinya.Tapi ia takut.Takut terlihat lemah.Takut kalau Govan akan menganggapnya berlebihan. Jadi, ia hanya diam.Govan merasakan gadis itu masih kaku dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Nabila dengan lembut, mencob
"Nabila, transferin 500k dong. Gue butuh banget nih! Kamu kan baik masa gak mau nolongin aku."Mata Govan menyipit membaca pesan tersebut, kata-katanya lembut, namun punya niat terselubung. Rahangnya mengeras seiring dengan jemarinya yang mulai menggulir chat ke atas, membaca pesan demi pesan. Semakin ia membaca puluhan pesan bernada sama, bahkan ada ancaman, tekanan, bahkan hinaan yang terselubung. "Nabila," suara govan rendah, tangannya mengepal kuat, ponsel itu hampir remuk di genggamannya."Apa maksud semua ini?" tanya Govan butuh penjelasan. Nabila menunduk, menggigit bibirnya. Ia tahu tak ada gunanya berbohong, tapi mulutnya terkunci."Om tanya, ini apa?" Govan mengangkat layar ponsel ke hadapan gadis itu, menunjuk deretan pesan yang memenuhi layar.Nabila tetap diam, ia gak ingin bilang yang sebenarnya dengan Govan, takut kalau govan akan marah. Govan semakin kesal melihat sikap diam keponakannya. Ia melemparkan ponsel itu ke sofa dan berdiri, tubuhnya yang lebih tinggi memb
'Om, maaf... Aku pergi jogging dulu...'Govan terdiam sejenak, tangannya gemetar menahan tawa senang. Ternyata keponakannya seniat itu mau diet.Govan menaruh kembali kertas itu di atas meja, tak lupa meninggalkan balasaan.'Semangat ya :)'Govan mulai menyiapkan sarapan pagi. Telur dadar, roti panggang, dan segelas kopi hitam untuk dirinya.Ia baru saja meletakkan sarapan di meja ketika pintu rumah terbuka."Hosh… Hosh…"Govan menoleh dan matanya membulat ketika melihat Nabila memasuki rumah. Gadis itu mengenakan setelan olahraga, kaosnya basah oleh keringat, dan napasnya tersengal-sengal seolah baru berlari berkilometer-kilometer tanpa henti."Kamu dari mana saja?" tanya Govan dengan nada terkejut, meletakkan cangkir kopinya di meja.Nabila melepas jaket olahraganya dan
"Kak berlian!" suara Nabila bergetar.Berlian, seorang pria tampan dengan postur tubuh tinggi sekitar 180 cm. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan hidung mancung yang sempurna.Mata cokelat gelapnya menatap Nabila dengan penuh rasa khawatir. Ia mengenakan kemeja putih yang digulung hingga siku, memperlihatkan lengan berotot yang jelas terbentuk."Kamu kenapa?" tanyanya, suaranya dalam dan lembut, penuh perhatian.Nabila menahan napas memalingkan wajahnya, Ia tidak ingin Berlian yang melihatnya dalam kondisi seperti ini, apalagi seseorang seperti Berlian, pria yang cukup populer di kampus."Nggak apa-apa," jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan Berlian."Kamu berdarah." Berlian menunjuk luka di sudut bibir Nabila. "Siapa yang melakukan ini?""Bukan urusanmu," ujar Nabila, suaranya bergetar."Kalau ada yang menyakitimu, kamu harus bilang. Aku bisa bantu," kata Berlian mendesah.Sebelum Berlian sempat b
Klik...Begitu pintu terbuka, jantungnya hampir berhenti berdetak.Di atas ranjang, sosok keponakannya meringkuk di bawah selimut. Isakan kecil terdengar lirih, menusuk hati Govan lebih dalam daripada sebilah pisau."Nabila?" panggilnya pelan, namun gadis itu tidak merespons.Dengan gerakan hati-hati, Govan duduk di tepi ranjang dan menyingkap selimut itu. Seketika napasnya tercekat melihat wajah Nabila babak belur.Pipi kirinya lebam, sudut bibirnya pecah, dan ada goresan samar di pelipisnya. Bekas kekerasan yang tidak bisa disembunyikan. Hati Govan terasa ditikam ribuan pisau melihat kondisi keponakannya tersebut."Siapa yang menyakitimu Bil?!" Govan menangkap wajah gadis itu, menangkupnya dengan lembut tetapi penuh ketegasan.Mata cokelatnya yang tajam menatap lekat-lekat ke dalam mata Nabila yang basah dan penuh luka."Apa yang terjadi?" suaranya rendah, hampir seperti geraman. "Siapa yang melakukan
"Kamu yakin gak nyesel?" tanya Govan suatu pagi saat mereka duduk di teras, menikmati udara segar setelah joging."Aku gak mau bertemu mereka Om, aku gak mau satu kelas dengan mereka." Nabila mengangguk kecil."Baiklah, jika itu maumu," kata Govan mengizinkan.Sejak kejadian itu Nabila mengambil cuti kuliah selama satu semester, dan selama beberapa cuti itu ia menjalani diet ketat dengan bimbingan Govan.Makanan cepat saji dan cemilan manis yang dulu menjadi pelariannya, kini tak lagi ia sentuh. Setiap pagi, ia joging bersama Govan, kemudian melanjutkan latihan di GYM."Sepuluh menit lagi," ucap Govan suatu pagi saat Nabila hampir menyerah berlari keliling taman."T-tapi, Om..." Nabila mengeluh, kakinya gemetar menopang tubuhnya."Nyerah?" Govan menyeringai."Enggak!" Mata N
Pagi itu, rumah masih diselimuti udara dingin sisa embun malam. Matahari baru saja naik, mewarnai langit dengan semburat jingga pucat. Di dalam rumah, suasana sedikit berbeda. Ada aroma harum dari kopi yang baru diseduh, suara langkah kaki yang sibuk di lantai atas, dan sesekali suara resleting koper yang dibuka-tutup tergesa.Govan berdiri di dapur, memegang cangkir kopi yang belum disentuh sejak tadi. Matanya mengarah ke jam dinding—07.49. Lima menit lagi, jemputan Nabila akan datang. Lima menit lagi, rumah akan terasa lebih hening. Dan kosong.“Nabila…” panggilnya, sedikit keras.Dari atas terdengar jawaban, “Iya, Om! Udah mau turun ini!”Beberapa detik kemudian, Nabila turun dari tangga sambil membawa ransel. Koper kecilnya sudah ditinggalkan di dekat pintu.Govan langsung menoleh. Mata laki-laki itu menyapu seluruh penampilan Nabila. Hoodie oversized warna abu, jeans gelap, dan sneakers putih bersih. Rambutnya dikuncir kuda tinggi, wajah tanpa riasan, tapi tetap terlihat segar.“
Malam itu, rumah sudah sepi. Lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan, menyisakan cahaya redup dari kamar Nabila yang masih menyala terang. Di balik pintu yang terbuka sedikit, terdengar suara gemerisik kain dan gemerincing resleting koper.Govan yang baru saja keluar dari kamar mandi hendak menuju dapur untuk mengambil air, namun langkahnya terhenti saat melihat pintu kamar Nabila yang terbuka. Rasa penasaran membuatnya mendekat.Saat ia mengintip ke dalam, Nabila terlihat sedang duduk di lantai, dikelilingi tumpukan pakaian. Koper terbuka lebar, dan isinya seperti habis diacak-acak.“Belum tidur?” Govan mengetuk pintu pelan. “Belum. Lagi bongkar ulang koper.” Nabila menoleh. “Bongkar ulang? Bukannya udah siap dari kemarin?”“Iya, tapi temen-temenku katanya kita mau nyesuaiin outfit biar matching buat foto-foto,” jawab Nabila santai, sambil mengangkat sehelai atasan warna pastel. “Jadi aku ubah semua rencananya.”“Banyak banget. Kamu cuma pergi tiga hari, bukan pindahan rumah.” G
Malam itu, Govan berbaring di tempat tidurnya yang terasa terlalu luas dan terlalu sepi. Lampu kamar sengaja dibiarkan menyala redup, tapi matanya sama sekali tak mau terpejam. Pikirannya terus melayang pada satu nama.Nabila.Wajah kesalnya, suara tingginya saat berdebat, dan punggungnya yang menjauh dari ruang tengah sore tadi… semua itu terus mengulang di kepalanya. Bukan karena Nabila membantahnya, bukan karena dia bersikeras pergi. Tapi karena Govan tahu… dia menyakiti gadis itu.“Bodoh…” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit. “Harusnya Om gak ngomong kayak tadi…”Ia membalikkan badan. Berkali-kali. Tapi tak ada posisi yang membuatnya nyaman. Akhirnya, ia bangkit, berjalan ke dapur, dan menuang segelas air putih. Hening malam hanya diisi suara detik jam dan denting gelas saat disentuh meja.Matanya melirik ke arah kam
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya.Di dalam kamarnya, Nabila duduk di tepi ranjang, menatap koper yang sudah siap di sudut ruangan. Ia merasa konyol. Seakan-akan semua antusiasmenya sepanjang hari tadi berubah jadi gurauan semesta.Ia membuka ponselnya dan memandangi foto penginapan yang sudah ia pilih. Tempat itu terlalu indah untuk dilewatkan. Tapi tanpa Govan, semua jadi kehilangan makna.Di ruangan lain, Govan duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Ia memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh dengan rasa bersalah. Ia ingin memberi yang terbaik untuk Nabila, tapi dunia nyatanya tak selalu bisa tunduk pada keinginan hati.“Nanti kita cari waktu yang lebih baik. Janji.” Ia berbisik pelan, nyaris tak terdengar.***Sejak malam itu, hari yang sunyi, dingin, dan penuh jeda tak biasa. Sejak pembatalan liburan mendadak
Nabila tengah berbaring santai di sofa ruang tengah, mengenakan kaus longgar dan celana pendek, selimut tipis menyelimuti kakinya. Lampu ruang tengah diredupkan, sementara film diputar di layar televisi. Ia tidak benar-benar menonton, lebih tepatnya hanya menunggu.Tiba-tiba, suara pintu depan terbuka perlahan.Nabila sontak menoleh, tubuhnya terangkat setengah. Ia tidak mendengar suara mobil tadi. Apa karena dia melamun sampai tidak dengar? “Om?”Govan masuk dengan langkah pelan, meletakkan tas kerjanya di dekat pintu dan melepas sepatu. Matanya tampak lelah, tapi ia tetap tersenyum saat melihat Nabila.“Kok nggak tidur?” tanyanya.“Katanya jangan tidur duluan,” sahut Nabila sambil bangkit dan berjalan menghampiri. “Kaget! Kirain Om baru sampe jam sebelas.”“Om baru selesai meeting setengah jam lalu. Lanjut nyetir langsung pulang.” Govan duduk di sofa dan menghela napas dalam, sementara Nabila duduk di sampingnya.“Capek, ya?” Suara Nabila lembut, penuh perhatian.“Banget.” Govan me
Pagi datang dengan sinar mentari yang menyusup lembut lewat sela-sela tirai jendela. Govan berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan dasi biru gelap yang menjadi bagian dari gaya kerjanya yang formal. Udara masih dingin, menyisakan aroma sisa hujan semalam yang tercium samar dari jendela yang sedikit terbuka.Sambil menatap pantulan dirinya, Govan menarik napas dalam-dalam. Bayangan semalam kembali bermain di pikirannya tatapan Nabila, suaranya yang lembut, dan percakapan mereka yang perlahan mulai menggoyahkan batas-batas yang selama ini ia bangun sendiri.Suara ketukan ringan di pintu kamarnya membuat Govan tersadar dari lamunannya. Ia menoleh. Nabila muncul di ambang pintu dengan piyama longgar dan rambut yang masih berantakan."Om, sarapan dulu, yuk. Aku udah masak telur orak-arik dan roti panggang," ujarnya sambil mengucek mata.“Wah, pagi-pagi udah rajin banget.” Govan tersenyum. “Kan aku harus membalas kebaikan Om yang udah mau ajak aku liburan,” kata Nabila sambil menyering
"Om..." suara Nabila terdengar pelan."Hm?""Lihat deh, pemandangannya..." Nabila menunjuk layar televisi, tepat pada adegan yang memperlihatkan hamparan danau biru jernih yang dikelilingi pegunungan hijau. Kabut tipis menggantung di atas air, dan langit senja melukis warna keemasan yang menenangkan."Indah banget," gumamnya, seperti bicara pada dirinya sendiri."Itu kayaknya di Alpen, Swiss. Tempatnya kayak dari dunia lain." Govan menoleh ke arah layar, lalu kembali menatap Nabila yang masih bersandar di dadanya. "Aku pengen ke sana... Pengen ngerasain udara dingin, duduk di pinggir danau, terus diem aja berdua sambil minum cokelat panas..." Nabila mengangguk pelan. Govan hanya tersenyum kecil. "Minggu ini... kita pergi, yuk om? Ke tempat yang mirip, nggak harus sejauh Swiss. Yang penting sejuk, tenang, dan cuma kita berdua."Govan terdiam sejenak. Ajakan Nabila cukup sederhana, tapi pekerjaannya sulit untuk ditinggalkan. "Kamu serius?" tanya Govan lagi, memastikan. "Serius bange
Setelah makan, Nabila berdiri, membawa piring-piring kotor ke dapur. Tapi ia tetap mengobrol sambil mencuci.“Om, kalau aku buka rumah makan, kira-kira bisa sukses nggak?”“Kalau semua makanannya kayak gini, kamu nggak cuma sukses… kamu bisa jadi legenda.” Govan menyahut. “Halah… muji mulu. Tapi aku serius lho, kadang mikir buka rumah kecil aja yang hangat. Bukan soal uang, cuma… soal ngebagiin rasa.”“Kalau kamu bikin warung yang pakai hati kayak gitu, orang bakal datang bukan cuma buat makan. Tapi buat pulang juga.” Govan tersenyum, menatap punggung Nabila dari sofa. “Dan kalau mereka tanya, ‘kenapa sup-nya seenak ini?’ Aku tinggal jawab… karena aku masak sambil mikirin seseorang.” Nabila menjawab setelah terdiam beberapa detik. Suara air kran tak mampu menutupi degup pelan yang mulai berdentum di antara mereka. Kalimat itu menggantung di udara, seolah menunggu respon yang tak juga datang.Tak lama kemudian, Nabila berjalan ke ruang tengah sambil membawa semangkuk popcorn.“Yuk,
Nabila berdiri di depan wastafel dapur, menyalakan keran air. Derasnya air mengalir membasahi tangan mungilnya yang mulai bergerak mencuci piring-piring kotor. Gerakannya cepat, lincah, tapi matanya kosong.Bayangan wajah Govan tak juga hilang dari benaknya. Setiap senyumnya, tatapan matanya, bahkan caranya menyebut namanya pun selalu membuat detak jantungnya tak beraturan.Wajahnya yang tegas, tatapan mata tajam yang selalu membuatnya gugup, suara beratnya yang dalam, yang bahkan saat memanggil namanya terdengar seperti mantera yang menjerat.“Om…” bisiknya lirih.“Aku jatuh cinta…” Sebuah senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ia menggigit bibir bawahnya, membasuh piring terakhir dan mengeringkan tangannya.lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa buah dan bahan makanan lain. Tangannya mulai bergerak lagi, kali ini di atas talenan. Pisau tajam mencincang bawang, aroma menyengat menyeruak, tapi wajahnya tetap tenang, bahkan berbinar.Sesekali ia melirik jam dinding. Jarum jam ter