Share

Menggoda Kekasih Ibu Tiri
Menggoda Kekasih Ibu Tiri
Penulis: Delilad Trenna

1. Kekasih Sewaan

Penulis: Delilad Trenna
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-15 00:27:51

𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮

Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam.

Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta.

Pesta pernikahan mantanku.

Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya.

Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku.

Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini.

Lalu aku melihatnya.

Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang tajam dan dingin. Jaket kulit hitam membungkus tubuhnya dengan sempurna, menambah kesan misterius yang berbahaya.

Tepat seperti yang kubutuhkan.

Aku mengangkat dagu, menarik napas, dan melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. Jika aku bisa merayunya, Dion pasti akan menyesal setengah mati.

"Heh, merokok itu tidak sehat, tahu?" tegurku santai, menyandarkan diri ke mobilnya seolah kami sudah saling kenal lama.

Pria itu menoleh perlahan, matanya—gelap, tajam, dan menusuk—mengamati wajahku.

"Dan bicara dengan orang asing di malam begini sehat?"

Nada suaranya datar, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang… menarik.

Aku tersenyum tipis, mengabaikan tatapan dinginnya. "Mungkin tidak. Tapi aku sedang dalam misi darurat."

Dia tidak menanggapi, hanya menatapku seolah menunggu penjelasan.

Aku mendekatkan diri, menatap matanya dengan pandangan yang—mudah-mudahan—cukup menggoda. "Aku butuh pasangan untuk menghadiri pesta pernikahan mantanku. Tertarik jadi penyelamatku malam ini, wahai pria asing yang tampan?"

Dia mengembuskan napas pelan, mematikan rokoknya di aspal, lalu menatapku dengan ekspresi yang sulit ditebak.

"Aku bahkan tidak tahu siapa namamu."

"Calia," jawabku cepat, menyodorkan tangan. "Aku seorang barista."

Dia menatap tanganku sejenak sebelum akhirnya menjabatnya. "Agra."

Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu dalam caranya mengucapkan namanya sendiri yang terasa… berbahaya.

Aku tetap mempertahankan senyumku. "Baiklah, Agra. Ini kerja sama singkat. Kau hanya perlu berjalan di sisiku, mungkin tersenyum sesekali, dan membuat Dion berpikir aku sudah move on. Bagaimana?"

Agra menyilangkan tangan di dada. "Dan apa imbalannya?"

Aku mengedip, otakku bekerja cepat. "Hmm… uang? Tapi aku tidak punya banyak uang." Aku berpikir sejenak, lalu menambahkan dengan nada main-main, "Bagaimana kalau aku jaminkan KTP dulu?"

Dia mendengus kecil, seolah aku ini lelucon berjalan.

"Aku tidak menerima KTP," katanya akhirnya. "Aku hanya ingin kopi buatanmu nanti. Kuharap kau seorang barista yang handal."

Aku memiringkan kepala, tertawa kecil. "Serius cuma kopi?"

"Seratus persen serius."

"Wow, aku kira kau akan meminta sesuatu yang lebih besar," candaku. "Oke. Sepakat. Sekarang, ayo buat mantanku menyesal!"

---

𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮

Pesta pernikahan Dion berlangsung meriah. Lampu-lampu kristal bersinar mewah, musik jazz mengalun lembut, dan tamu-tamu dengan gaun serta jas mahal saling bercengkerama.

Dan aku? Aku berjalan masuk dengan Agra di sisiku.

Aku bisa merasakan tatapan orang-orang tertuju pada kami, terutama tatapan Dion yang langsung berubah begitu melihatku.

Aku menggenggam lengan Agra lebih erat, membiarkan tubuhku lebih dekat dengannya. Panas tubuhnya terasa di kulitku, solid dan kuat.

"Jadi itu mantanmu?" bisik Agra, nada suaranya terdengar malas.

Aku melirik Dion yang berdiri di dekat meja dessert, rahangnya mengeras. "Ya. Tipe pria sok sempurna yang menganggap semua wanita akan menyesal kehilangannya."

Agra tersenyum kecil, seolah menikmati permainan ini. "Buktikan dia salah, oke?"

Aku tersenyum penuh arti. "Dengan senang hati."

Kami berjalan melewati Dion, dan aku bisa melihat bagaimana matanya langsung menyipit, menilai pria di sampingku.

"Calia, kau datang," sapanya dengan senyum yang jelas dipaksakan.

Aku memasang ekspresi puas. "Tentu saja."

Aku menoleh ke Agra, lalu dengan suara yang sengaja dibuat lebih lembut, aku berkata, "Kenalkan, ini Agra, kekasihku."

Aku tidak menyangka, tapi Agra benar-benar memainkan perannya dengan baik. Dia mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Dion, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Senang bertemu denganmu."

Dion terlihat kaget—sangat kaget—tapi dia cepat-cepat menutupi ekspresinya. Dia menjabat tangan Agra, meski sekilas aku bisa melihat bagaimana jemarinya menegang.

"Senang bertemu denganmu juga, Agra."

Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Dion cemburu. Aku tahu itu.

Aku mengambil kesempatan ini untuk menggoda Agra lebih jauh—menggandeng tangannya lebih erat, sesekali berbisik ke telinganya sambil tertawa kecil. Aku bisa melihat bagaimana Dion menegang setiap kali aku menyentuh Agra.

Sukses besar.

Setelah pesta selesai, aku berjalan keluar bersama Agra. Udara malam terasa lebih dingin, tetapi aku merasa puas.

"Terima kasih sudah jadi pahlawan malam ini," kataku riang, menoleh ke arahnya. "Kamu benar-benar baik, Agra."

Dia tetap menatapku, ekspresinya sulit dibaca.

Lalu, tiba-tiba dia berkata, "Calia, lain kali, jangan bermain-main dengan orang asing."

Nada suaranya rendah, hampir seperti peringatan.

Aku mengernyit, tapi sebelum aku sempat bertanya, Agra berbalik. Mobil hitam yang tadi terparkir tiba-tiba muncul dari kegelapan, membawanya pergi dalam sekejap, meninggalkanku di trotoar dengan ribuan pertanyaan di kepala.

Aku mendesah panjang, menyandarkan tubuh ke dinding bangunan terdekat.

Siapa sebenarnya pria itu?

Lalu aku teringat sesuatu.

Aku belum memberi tahu alamat café-ku.

Jadi… bagaimana Agra akan menagih kopinya?

𝘈𝘨𝘳𝘢

Nama yang terus berputar-putar di dalam benak ku sepanjang malam.

Keesokan harinya

Aku menerima undangan makan malam dari Manda, ibu tiriku. Aku mengira ini hanya acara makan malam biasa.

Tapi dugaanku salah.

Saat tiba di sana, Manda menyambutku dengan senyum penuh kemenangan.

"Kenalkan, sayang. Ini Agra Calief, kekasih baruku."

Aku membeku.

Aku menatap pria di sampingnya, dan saat mata kami bertemu, Agra tersenyum tipis, senyum yang seolah mengatakan bahwa dia tahu sesuatu yang tidak aku tahu.

Pria yang kusewa untuk menghadiri pernikahan Dion… ternyata kekasih ibu tiriku sendiri.

Aku menahan napas, otakku berteriak satu hal: 𝘚𝘐𝘈𝘓𝘈𝘕

Bersambung…

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   2. Permainan Dimulai

    Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   3. Kesepakatan

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   4. Hari Pertama

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   5. Kebenaran

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-15
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   6.

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-16
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   7.

    𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-25
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   8

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-29
  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   9

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Seperti yang sudah di rencanakan, malam ini aku mengikuti Agra memasuki ruang rapat di dalam gedung nya. Ruang rapat tersebut sangat luas dan mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, menerangi meja panjang di tengah ruangan. Sekitar enam orang sudah duduk di sana, wajah mereka serius dan penuh kewaspadaan.Begitu kami masuk, percakapan mereka langsung terhenti. Semua mata tertuju padaku.Aku menelan ludah, tapi tetap menjaga ekspresi datar. Tidak ingin terlihat gugup, meskipun suasananya begitu menekan.Agra berjalan santai ke kursinya di ujung meja, lalu duduk dengan tenang. Aku tetap berdiri di sampingnya, menunggu instruksi."Ini Calia," kata Agra, suaranya tegas. "Mulai sekarang, dia akan bekerja sebagai asistanku, tetapi hal ini harus dijaga dan dirahasiakan"Tak ada tepuk tangan atau sambutan hangat. Yang ada hanya tatapan penuh analisis, seolah mereka sedang menimbang apakah aku pantas berada di

    Terakhir Diperbarui : 2025-03-30

Bab terbaru

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   9

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮Seperti yang sudah di rencanakan, malam ini aku mengikuti Agra memasuki ruang rapat di dalam gedung nya. Ruang rapat tersebut sangat luas dan mewah. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit, menerangi meja panjang di tengah ruangan. Sekitar enam orang sudah duduk di sana, wajah mereka serius dan penuh kewaspadaan.Begitu kami masuk, percakapan mereka langsung terhenti. Semua mata tertuju padaku.Aku menelan ludah, tapi tetap menjaga ekspresi datar. Tidak ingin terlihat gugup, meskipun suasananya begitu menekan.Agra berjalan santai ke kursinya di ujung meja, lalu duduk dengan tenang. Aku tetap berdiri di sampingnya, menunggu instruksi."Ini Calia," kata Agra, suaranya tegas. "Mulai sekarang, dia akan bekerja sebagai asistanku, tetapi hal ini harus dijaga dan dirahasiakan"Tak ada tepuk tangan atau sambutan hangat. Yang ada hanya tatapan penuh analisis, seolah mereka sedang menimbang apakah aku pantas berada di

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   8

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menatap kontrak di tanganku, mata masih terpaku pada salah satu poin yang barusan kubaca. 'Dilarang jatuh cinta pada Agra.' Memangnya aku akan jatuh cinta dengan nya? Aku hanya mendekati nya karena Manda, tidak lebih. Konyol. Benar-benar konyol. Aku mengangkat wajahku, melotot ke arahnya. "Kau serius?" Agra menyilangkan tangan di dada, ekspresinya tetap tenang. "Kau pasti sudah menyadari jika aku adalah pemimpin Panthers. Sebelum tanda tangan. . . baca baik-baik kesepakatan itu." Tentu saja aku tahu siapa dia dan tentu saja aku tidak sebodoh itu untuk mengabaikan sesuatu yang aneh dalam kontrak ini. Tapi tetap saja . . . ini benar-benar tidak masuk akal. Aku kembali menunduk, membaca ulang kalimatnya untuk memastikan aku tidak salah lihat. Tidak ada yang berubah. Masih sama. Masih sama gilanya. Satu bulan. Hanya satu bulan kesempatan ku untuk mendekati nya. Aku menggigit bibir, lalu menatap Agra dengan tatapan penuh arti. "Bagaimana kalau justru kau yang jatuh

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   7.

    𝗔𝗴𝗿𝗮 Bau mesiu masih menggantung di udara. Aku melepaskan napas pelan, menurunkan pistol dengan gerakan santai. Tubuh pria itu tergeletak tak bernyawa di lantai, darahnya mulai menggenang di bawah kepalanya. Gudang ini sunyi kecuali suara langkah kaki para anak buahku yang mulai merapikan sisa kekacauan. Mataku beralih ke Calia. Dia masih berdiri di tempatnya, tubuhnya menegang, matanya lekat menatap mayat di lantai. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya sedikit gemetar di sisi tubuhnya, meski wajahnya berusaha tetap tanpa ekspresi. "Jangan menatap terlalu lama," suaraku rendah, nyaris seperti bisikan. "Kau akan terbiasa lebih cepat dari yang kau kira." Calia menoleh ke arahku, dan aku melihat sesuatu di matanya—bukan ketakutan, tapi sesuatu yang lain. Sesuatu yang belum bisa kupahami sepenuhnya. Aku menyimpan pistolku, lalu berjalan melewatinya, memberi isyarat agar dia mengikutiku. "Kita selesai di sini." Tanpa banyak bicara, kami meninggalkan gudang dan mengantar nya ke

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   6.

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Malam ini, aku kembali berada di dalam mobil Agra. Aku masih belum tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi setelah semua yang kulihat sejauh ini—aku tahu satu hal: aku sudah masuk terlalu dalam untuk mundur. Sore tadi, tepat setelah café tutup, aku menerima pesan dari nomor yang lagi-lagi berbeda. "Aku akan menjemputmu jam delapan. Bersiaplah." Tentu saja itu dari Agra. Aku membalas singkat seperti biasa, tapi kali ini kutambahi sedikit godaan. "Baik, tuan penguasa yang ganteng." Tidak ada balasan. Tentu saja. Dan sekarang, di sinilah aku. Duduk di kursi penumpang, menatap jalanan yang diterangi lampu kota, sementara Agra mengemudi dengan ekspresi datar seperti biasa. "Apa kali ini aku akan melihat seseorang mati lagi?" tanyaku, mencoba terdengar santai, meskipun jauh di dalam, aku tidak yakin dengan jawabannya. Agra melirikku sekilas. "Mungkin." Jawaban itu membuat punggungku menegang. Tidak ada kepastian dalam dunia Agra, dan itu menakutkan. Kami berhenti di

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   5. Kebenaran

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku masih merasakan getaran di ujung jariku. Rasanya seperti sengatan listrik halus, kecil namun tak kunjung hilang. Tubuhku terasa lemas, keringat dingin mengalir di punggungku, dan bayangan darah yang menggenang di lantai tadi masih menari-nari dalam pikiranku. Pria itu benar-benar mati. Ditembak oleh Agra di depan mata ku. Aku mengira bisa mengendalikan situasi, bisa bermain dengan Agra demi membalas dendam pada Manda. Tapi sekarang, kenyataan menghantamku keras—aku tidak sedang bermain di zona nyaman. Aku sedang bermain di dunia Agra. Dunia yang penuh kekejaman tanpa belas kasihan. Di depanku, Agra hanya berdiri dengan santai, ekspresinya tetap tenang seolah apa yang baru saja terjadi bukan sesuatu yang luar biasa. Seolah membunuh hanyalah bagian dari rutinitas hariannya. "Kau bisa pergi sekarang," katanya, nada suaranya ringan, hampir seperti sedang menawarkan minuman. "Aku tidak akan menahanmu." Aku masih membeku di tempat, tidak bisa berpikir jernih. Agra m

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   4. Hari Pertama

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini terasa lebih panjang dari biasanya. Aku baru saja menyelesaikan shift sore di café. Lita sudah pulang lebih dulu, meninggalkanku sendirian untuk merapikan meja dan menutup kasir. Mataku terasa berat, tubuhku lelah, dan aku sudah membayangkan kasur empuk di apartemen kecilku. Namun, rencana itu buyar begitu suara berat yang familier terdengar jelas. "Siap bekerja?" Aku menoleh dan mendapati Agra berdiri di depan meja kasir. Dia mengenakan setelan hitam yang jauh lebih rapi dibanding biasanya. Tidak ada jaket kulit, tidak ada rokok di tangan, hanya kemeja hitam yang pas di tubuhnya, memperlihatkan bahunya yang tegap dan dada bidangnya. Aura misteriusnya tetap sama—mungkin justru lebih kuat dalam pakaian seperti itu. Aku menyandarkan tangan di meja kasir, menatapnya dengan alis terangkat. "Serius? Aku pikir pekerjaan ini dimulai besok pagi. Ini kan hampir malam banget." Dia menyeringai tipis. "Kau pikir jadi asisten ku itu seperti pekerjaan kantoran yang punya j

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   3. Kesepakatan

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Hari ini seharusnya menjadi hari biasa di café kecilku. Seperti biasa, aku bersiap menghadapi pelanggan yang hanya datang untuk mencari WiFi gratis atau sekadar berfoto tanpa membeli apa pun. Tapi hari ini, takdir rupanya ingin bermain-main denganku lagi. Begitu pintu café terbuka, aku mendongak, dan napasku langsung tercekat. Agra. Pria itu berdiri di ambang pintu dengan santai, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat sangat mahal. Tatapannya tajam seperti biasa, penuh misteri yang tak bisa kutebak. Aku bahkan bisa merasakan aura intimidatifnya membuat Lita, karyawanku, menegang di belakang mesin kasir. Aku segera mengangkat alis, berusaha tetap tenang meski hatiku berdegup kencang. Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Agra melangkah santai ke meja kasir, seolah ini bukan pertama kalinya dia datang ke sini. "Kau terlihat terkejut," katanya, suaranya tetap datar. Aku menyandarkan tangan di meja dan menyipitkan mata. "Bagaimana kau tahu aku di sini?" Dia menyeringai

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   2. Permainan Dimulai

    Calia Aku duduk di meja makan dengan perasaan campur aduk. Perutku terasa mual, bukan karena makanan di hadapanku, tetapi karena pemandangan menjijikkan di seberang meja. Manda—ibu tiriku, yang selalu terlihat angkuh dan tak tersentuh—hari ini tersenyum lembut seperti gadis remaja yang baru jatuh cinta. Tatapannya berbinar, tangannya dengan santai melingkar di lengan pria di sampingnya. Pria itu adalah Agra. Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan ekspresi kesal. Takdir memang punya selera humor yang kejam. Kemarin malam, aku menyewa pria asing untuk menjadi pasangan pura-puraku di pesta pernikahan mantan. Dan sekarang? Aku justru mendapati pria yang sama duduk dengan santai di samping ibu tiriku. Dunia benar-benar gila. Aku melirik ke arah Agra, mencoba mencari petunjuk di wajahnya. Tapi pria itu tetap dengan ekspresi datarnya, seolah kehadiranku di sini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Dia tampak santai, bahkan nyaris bosan, sementara Manda terus menempel padanya dengan

  • Menggoda Kekasih Ibu Tiri   1. Kekasih Sewaan

    𝗖𝗮𝗹𝗶𝗮 Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku di cermin besar di kamarku. Gaun hijau zamrud dengan potongan rendah menghiasi tubuhku, membingkai kulitku dengan sempurna. Kainnya lembut, membelai kulitku setiap kali aku bergerak. Tapi tetap saja, meski tampak luar biasa di luar, perutku terasa seperti diaduk dari dalam. Aku menarik napas dalam. Tenang, Calia. Ini hanya pesta. Pesta pernikahan mantanku. Bodoh? Ya, sangat. Tapi aku tidak akan membiarkan Dion berpikir aku masih terluka karena pengkhianatannya. Masalahnya… aku tidak punya pasangan. Semua teman yang kumintai tolong mendadak sibuk, termasuk Lita, satu-satunya karyawan di café-ku. Aku berjalan keluar apartemen menelusuri trotoar, membiarkan angin malam menampar wajahku. Aku butuh seseorang—siapa pun—untuk jadi penyelamatku malam ini. Lalu aku melihatnya. Seorang pria bersandar santai di mobil hitam mengilap, merokok dengan tenang. Asap putih tipis mengepul di udara malam yang sejuk, mengitari wajahnya yang

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status