"Raka... Tahu ga di mana Aziz dah hampir seminggu ga berangkat sekolah?" Tanya Husna setibanya di ruang kelas Aziz.
"Memang dia ga kasih tahu kamu kalau ibunya masuk rumah sakit?" Sahut Raka.
"Dia ga ngabarin soal itu hanya bilang dia lagi g pengen diganggu gitu aja sih" ucap Husna.
"Ya udah kalau itu pesennya jangan dihubungi untuk sementara waktu atau datang aja ke rumahnya nanti sore bareng aku. Ibunya siang ini dah balik kok dari rumah sakit"
"Beneran ya, nanti aku ditungguin loh jangan ditinggal" pinta Husna.
"Oke. Tapi jangan lupa uang bensinnya yaa!" Sahut Raka.
"Nah anak orang kaya kok g ada bensin ga modal banget" ketus Husna.
"Lah kan aku sopir kamu penumpang tetap bayar ongkos yaa...ya..!" Sahut Raka.
"Oke deh buat Aziz apa sih yang enggak buat dia" Husna tersenyum seketika wajahnya berbinar.
"Awas jangan bucin loh, siapa tahu dia punya cewek selain kamu. Dia kan tampan banyak cewek yang ngejar" Raka mulai jahil menggoda Husna.
"Dia ga mungkin begitu ya, dia tipe cowok setia" ucap Husna malu malu membuat Raka semakin ingin mengerjainya.
"Benarkah, tapi kapan hari aku ngeliat dia di mall bareng cewek cakep. Coba aja kamu tanyain pasti dia ga akan ngaku"
"Awas kalau kamu bohong ya, tak masukin karung loh" sahut Husna dengan kesal berlalu dari kelas Raka.
Raka yang melihatnya tertawa renyah. "Tak kerjain kalian berdua"
***
"Eh Pak Fadli, ada apa datang ke butik apa ada kerjasama baru lagi? Tapi Bu Ayana belum datang. Soalnya masih sakit" ucap Rahma.
"Aku kesini bukan untuk kerja tapi untuk nemuin kamu" sahut Fadli.
"Maksudnya...?" Rahma bingung.
"Sudahlah aku kesini special nemuin kamu, aku kangen sama kamu lama g ketemu" bisik Fadli membuat dada Rahma berdesir.
"Halah gombal rayuannya ga akan mempan saya sudah kebal" sahut Rahma.
"Beneran...? Yuk makan siang, sekalian aku mau minta tolong sama kamu" ucap Fadli.
"Tuh kan bener ada udang di balik gorengan. Sudah bisa ketebak sih" sahut Rahma mencebikkan bibirnya.
"Aish... Malah sengaja ya kamu menggodaku" sahut Fadli reflek menarik pinggang Rahma.
Cup!
Mendarat tepat di bibir Rahma membuatnya merona seketika.
"Kalau ada yang lihat bagaimana?" Protes Rahma.
"Biarkan saja lagian salah siapa?" Fadli pun tak ingin disalahkan.
"Ayo pergi keburu cacing diperutku demo" lanjut Fadli.
Rahma meraih tas Selempang ya menyusul Fadli ke cafe depan butik.
"Memang apa ingin kau bicarakan? Apa penting banget?" Tanya Rahma penasaran.
"Ya bisa dibilang cukup penting sih, ini menyangkut bosmu itu?"
"Maksudnya Bu Ayana, kenapa memangnya dengan beliau?"
"Apa dia sudah punya kekasih...?"
Rahma tertegun sejenak menatap Fadli lekat lekat.
"Kenapa, kamu cemburu? Yang jelas bukan buatku tapi kakakku Ammar" lanjut Fadli.
Rahma terkejut seketika.
"Maksudnya mau nyomblangi mereka begitu?" Rahma semakin penasaran.
Fadli menganggukan kepala.
"Menurutmu bagaimana? Apa mereka cocok?"
"Ga tahu juga ya harus omong apa. Tapi apa Bu Ayana mau sedangkan selama ini dia anti terhadap laki laki" ujar Rahma.
"Brarti bagus dong kakaku ga ada saingannya" sahut Fadli.
"Masalahnya anaknya... Apa Aziz anaknya mau punya Bapak lagi? Sementara dia sudah dewasa"
"Tapi kan Ayana masih muda bukan begitu? Masih kuatlah buat melayani kakakku di ranjang" Fadli terkekeh.
"Kau..... Omongannya terlalu vulgar ditempat umum banyak yang dengar"
"Ga papa mereka juga sudah dewasa" ujar Fadli menatap kesekelilingnya.
"Bagaimana kau bisa bantu aku kan?"
"Buat.....?"
"MasyaAllah, dari tadi aku ngomong kau tak dengerin dan sekarang ga nyambung. Rahma....." Fadli berdecak kesal.
"Baiklah, aku nyerah. Iya nanti aku bantu buat ngedeketin Bu Ayana dengan kakakmu Pak Ammar. Puas?" Rahma ikutan kesal jadinya krna dianggap telmi.
"Kapan kita mulai misinya?" Ujar Fadli.
"Secepatnya.... Kalau gitu aku balik dulu yaa. Masih ada beberapa desain yang harus ku kerjakan. Makasih makan siangnya. Bye...." Rahma langsung keluar menuju butik.
Ayana pulang ke rumah diantar Ammar. Sepanjang perjalanan Aziz diam malah wajahnya ditekuk, dia merasa terasingkan karena kehadiran Ammar belakangan ini merasa mengganggunya. Dia takut jika posisinya akan digeser oleh Ammar. Prioritasnya dan perhatian Ayana bakal terbagi dan dia terabaikan.
Tidak... Dia tidak ingin seperti itu. Tapi disisi lain Aziz juga ingin ibunya bahagia dengan pria lain tanpa harus mengingat masa lalunya.
"Ya Allah Aziz harus gimana?" Batin Aziz bergejolak.
"Makasih ya Pak Ammar sudah antar saya sampai rumah dengan selamat"
"Tidak masalah"
"Masalah buat saya Om" ketus Aziz membuat Ayana dan Ammar kaget.
"Maksudnya apa nak?" Ayana mencoba meminta penjelasan.
"La kalau ibu tiap hari Deket dengan Om Ammar Aziz takut ibu lupa sama Aziz" wajahnya makin ditekuk.
Ayana merasa bersalah pada Aziz.
"Tidak ada yang menomor duakan sayang, liat ibu. Apa ibu pernah bedain Aziz dengan Ara atau Raka. Atau Om Ikhsan misalnya, tidak kan semua sama porsinya lebih banyak ke Aziz malahan."
Benar ibunya memang benar adanya mungkin karena perasaan cemburu dalam hati sehingga membuat Aziz curiga pada orang lain dan tak bisa melihat betapa ibunya teramat sayang padanya.
Ammar yang melihatnya jadi serba salah dengan Aziz.
"Maaf jika kehadiran Om bikin kamu ga nyaman" sahut Ammar tulus.
Ayana dan Aziz langsung menoleh menatap Ammar.
"Tidak bukan salahmu, maaf mungkin Aziz memang lagi sensi jadi ya begitulah" Ayana tersenyum ketika melihat sang anak Aziz langsung masuk ke dalam.
Ting....tong....
"Sebentar aku buka pintu dulu yaa!" Seru Ayana.
"Hai ada Husna sama Raka, masuk nak!" Ayana mengajak Husna masuk.
"Kok ga bilang kalau mau main?"
"Mendadak Tante maaf, Husna kangen itu sama Aziz dah seminggu ga ketemu katanya" ujar Raka menggoda Husna.
"Bohong Tante siapa juga yang kangen, lagian temen ga kelihatan lebih dari sehari wajar dong dicariin" sahut Husna ketus.
Ayana tersenyum melihat interaksi mereka.
"Baiklah bisa dipahami. Aziz ada di dalam masuk aja mungkin lagi main game. Karna seminggu nunguuin Tante di rumah sakit ga sempet main PS kayaknya"
Raka dan Husna masuk ke dalam ternyata dugaan Ayana benar Aziz sedang asyik main PS sehingga tak menyadari ada kedua temannya yang datang.
***
"Apa mereka sedekat itu?" Ammar menatap ketiga anak remaja yang sedang asyik bersenda gurau.
Ayana menoleh kebelakang pada ketiganya. "Begitulah, Raka anak kakakku sementara Husna anaknya pelanggan di butikku ya mereka seperti itu. Kenapa Pak Ammar?"
"Tidak ada, Oia bisa saya minta tolong?" Ammar menatap Ayana intens.
"Bisakah kau memanggilku dengan sebutan nama saja jangan terlalu formal" pinta Ammar.
Ayana menunduk salah tingkah dengan tatapan Ammar. "Maaf, tapi kayaknya berasa gimana ya canggung gitu" ujar Ayana.
"Dan rasanya ga sopan juga iya" lanjutnya.
"Ga masalah, saya malah suka terlihat lebih santai" seru Ammar tersenyum.
"Baiklah jika memang panggilan nama lebih nyaman. Begitu juga sebaliknya ya" Ayana tersenyum membuat hati Ammar meleleh dan detak jantungnya berpacu lebih cepat.
"MasyaAllah inikah yang disebut jatuh cinta?" Gumam batin Ammar.
Hari berganti sore, setelah mengantar pulang Husna dan Raka, Ammar langsung ke apartemennya untuk rehat di sana. Namun baru saja dirinya keluar dari lift dia dikagetkan dengan kehadiran Dinda di depan pintu apartemennya.
"Ngapain disini Nda?" Seru Ammar melangkah menuju Dinda.
"Ya ngapain lagi jika bukan nengok calon tunangannya. Kamu dari mana mas?" Menatap Ammar dari atas hingga bawah.
"Kenapa apa ada yang aneh? Kenapa melihatku seperti itu dan sebaiknya kau pulanglah aku akan istirahat jadi tolong jangan ganggu aku" ucap Ammar datar.
"Aku jauh jauh datang kau malah mengusirku. Tega sekali kau" protes Dinda.
"Bukan begitu tapi sungguh aku benar-benar lelah dan butuh istirahat mengertilah" Ammar memijat keningnya perlahan.
"Baiklah jika memang begitu, tapi nanti aku pasti akan balik lagi kesini" Dinda berlalu dari apartemen Ammar dan pergi ke klub. Nanti menjelang makan malam dia berencana kembali lagi dia takkan menyerah begitu saja.
Dinda meraba ponselnya di dashboard mobilnya dan menggulir satu nama di sana Bayu.
"Hai, apa kau disana sekarang?"
"Siapa ini?"
"Astaga kau lupa denganku? Teman kencan satu malammu"
"Kau bukankah kau sedang di luar negeri"
"Aku sudah kembali. Apa kau tak merindukanku?"
"Tentu kemarilah aku dengan teman-teman ku sedang party sekarang. Datanglah!"
"Oke. Aku segera kesana. Bye"
Klik
****
"Ibu kenapa melamun disini?" Seru Aziz.
"Siapa yang ngalamin ibu sedang lihat itu" Ayana menunjuk sesuatu di bawah sana sepertinya pasar malam.
"Ibu pasti ingat ayah ya?" Azizmasih menatap lurus ke bawah.
Ayana menoleh menatap Aziz dari samping. "Kau mirip sekali ayahmu nak. Ibu memang merindukannya tapi rasa kecewa mengalahkan segalanya"
"Ayah sudah tenang di atas sana Bu. Tolong maafkanlah dia bagaimanapun dia adalah ayahku" pinta Aziz.
"Ya, ibu sudah memaafkannya" Ayana menepuk bahu Aziz.
Sudah malam, segeralah istirahat bukankah besok kau harus sekolah" lanjut Ayana.
"Iya Bu, besok biar sekalian berangkat dengan Om Ikhsan" sahutnya.
"Kok dengan Om Ikhsan kan ada ibu. Nanti berangkat bareng biar diantarkan ke sekolah dulu baru ke butik"
"Tidak, ibu harus istirahat dulu di rumah baru ke butik. Aziz tak mau ada apa apa nantinya. Siapa yang mau disalahkan?"
"Iya.. iya, anak ini benar-benar"sahut Ayana kesal.
"Ini juga bukan buat ibu saja tapi juga buatku ibu" seru Aziz melirik Ayana.
"Loh kok bisa buatmu sementara ini ga ada kaitannya denganmu ya" protes Ayana.
"Jelas ada lah Bu jika ibu terus terusan sakit siapa yang kasih uang buat kebutuhan Aziz haiyo" ujar Aziz mantab.
"Ya deh kali ini ibu kalah, tapi awas kalau ga berprestasi uang jajannya dipotong. Oke" Ayana tersenyum puas karena berhasil membuat Aziz kelabakan. Bukannya apa Aziz ga mau terlihat mencolok diantara temannya karna tak ingin nantinya dikirim ke luar negeri oleh Ayana makanya dia sengaja melemahkan satu mata pelajaran agar tak bisa pergi jauh dari Ayana.
"Btw ibu bolehkah Aziz tanya sesuatu?" Selidik Aziz hati hati.
"Apa itu nak, kayaknya penting banget?" Ayana penasaran juga dengan pertanyaan Aziz.
"Emm... Bilang ga ya?" Aziz menimbang nimbang.
"Tapi ibu ga boleh marah loh sama Aziz" lanjutnya.
"Ya tergantung apa dulu. Kalau memang harus marah pastilah ibu marah sama kamu nak. Memangnya seberapa pentingkah itu? Sampai ibu harus janji dulu sama kamu. Rahasia ya?"Ayana semakin penasaran.
"Janji dulu pokoknya. Baru dech Aziz kasih tahu" Aziz menatap Ayana.
"Baik ibu janji ga bakal marah. Puas belum?"
"Oke. Begini ibu, apakah ibu punya perasaan dengan Om Ammar?"
Deg
Seketika Ayana terdiam.
Ayana apa boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu?" Ucap Ammar hati hati."Boleh memangnya ada apa?" Ayana menatap Ammar sekilas."Apa kau tidak berencana untuk menikah lagi?" Suara Ammar pelan.Ayana tercengang mendengar pertanyaan Ammar namun dengan segera dia menguasai perasaannya."Menikah? Dengan siapa? Memangnya masih ada yang mau menerimaku dengan status janda beranak satu" Ayana terkekeh."Jika kau mau pastinya banyak yang mau sama kamu. Kamu masih cantik dan menarik" komentar Ammar membuat Ayana tercengang untuk kedua kalinya."Jangan melawak tidak lucu sama sekali" sahut Ayana menata perasaannya karna dalam hatinya pun tak menampik bahwa dia masih terlihat seperti gadis berusia dua delapan tahun padahal sudah kepala tiga."Kau tidak percaya dengan ucapanku?" Ammar menatap lekat wajah Ayana."Kau ada ada saja" gur
Ibu, kapan sampai? Kok ga ngabarin Ammar kalau mau datang kan bisa Ammar jemput." Rengek Ammar khas manjanya anak kecil."Ibu telpon kamu ga diangkat ya sudah Fadli yang antar kesini tadi. Kok tumben pulang sore banget biasanya jam enam dah balik?" Salma menatap Ammar lekat-lekat."Kapan kamu mau nganter itu calon istri kamu? Mama ingin cepat-cepat ketemu.""Sabar Bu, Ammar lagi atur kembali jadwalnya biar bisa ketemu dengannya lebih lama jadi lebih puas ngobrol dengannya. Memangnya ada apa bu, kok Ibu buru-buru gitu?""Ayah kamu, sudah nentuin tanggal pernikahan kamu sama Dinda."Deg!"Secepat itu? Oke bu, besok aku bicara sama ayah agar tidak usah mengatur segala sesuatunya. Karena aku sudah memiliki calonnya."Ammar menyerahkan ponselnya pada Salma dan Salma pun terhenyak melihat siapa yang ada di ponsel anaknya itu.&
"Aku sangat bahagia hari ini, terima kasih." Ammar mencium kedua tangan Ayana berkali kali."Justru aku yang harusnya berterima kasih karena sudah menerima ku dengan segala kekuranganku." Ayana tersenyum simpul membuat Ammar semakin gemas terhadapnya."Apakah boleh aku memintanya?""Tentu saja, lakukanlah."Ammar mencium kening Ayana sembari berucap doa, Ayana memejamkan matanya saat kedua daging kenyal tersebut menyentuh bagian keningnya.Ammar melepaskan Khimar instan yang dipakai oleh Ayana."MasyaAllah kau cantik sekali."Ayana menunduk malu pada Ammar, dengan cepat Ammar meraih dagu Ayana dengan tangan kirinya dan melahap bibir tipisnya dengan lembut. Bibir inilah yang selalu menganggu pikiran Ammar membuatnya tak fokus saat bekerja di kantor.Tangan kanannya bebas mengekplor tubuh Ayana dengan bebasnya.
Ayana mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya, dia sudah terlambat menjemput anak lelakinya Aziz. Anak lelaki yang sangat manja dengan Ayana, anak laki laki kebanggaan Ayana. Karena hanya Aziz lah yang selalu menemaninya selama ini. Obat dari segala kegundahannya semenjak kepergian suaminya Daniyal zhacry. Laki laki yang menikahinya slama ini."Hallo, Assalamualaikum..." Ayana membuka mobilnya dengan kesusahan karena di tangan kirinya memegang berkas rancangan butiknya sembari mengapit ponselnya."Waalaikumussalam,... Dimana Ibu sekarang? Kenapa belum juga sampai? Aku sudah lelah Ibu" rengek Aziz di seberang sana."Tunggulah sebentar Ibu baru akan kesana, maaf tadi ada rapat mendadak" sesal Ayana karena tak bisa memberi tahukan putranya perihal rapat dadakan untuk acara pemotretan produk Khimar terbarunya."Aku tunggu disini Ibu jangan lama - lama. Assalamualaikum" klik Aziz dengan cepat mematikan sambungan teleponnya tanpa
"Kak, apa kau sudah menemui ayah?" Seru Fadli."Aku belum mengatakan apapun. Entahlah, apa bisa melawan kemauan ayah sedangkan apa beliau harus kita turuti. Aku bingung sendiri dan lagi nanti malam gadis yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah""Apa kau punya solusi untukku?" Lanjut Ammar memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri."Aku... Kak, apapun keputusanmu aku akan mendukungmu. Pikirkanlah dengan baik aku tak mau kau kecewa untuk kedua kalinya" ujar Fadli menepuk bahu sang kakak sebelum akhirnya keluar dari ruangan Ammar.***Kantor Ayana"Mbak, kau datang lebih awal apa Aziz tidak ke sekolah?" Seru Rahma."Eoh, dia dijemput mas Ikhsan jadi aku bisa datang lebih awal. Apa kita jadi bertemu klien hari ini?" Seru Ayana menatap tumpukan gambar sketsa gaun pengantin.
"Om, apa ibuku baik baik saja?"Ammar dan Fadli menoleh ke arah sumber suara."Om, apa ibuku baik baik saja?""Kau,....?""Aku Aziz om, anaknya ibu yang kecelakaan tadi? Bagaimana keadaan ibu ku om?""Dia ada di dalam sedang melewati masa kritisnya. Doakan yang terbaik untuknya ya!""Apa ibuku akan baik baik saja?""Tentu saja"Ara dan Raka datang menyusul Aziz lari tergopoh gopoh."Mas, Tante gimana? Apa sudah sadar?""Belum Ra, ibu belum sadar""Sabar Ziz, ibu mu pasti baik baik saja"Ammar menatap ketiga anak muda yang datang berbeda waktu itu bergantian."Di mana ayahmu? Kenapa tak datang bersamamu?" Seru Ammar menatap Aziz."Ayah ga ada om, sudah meninggal" ucap Aziz."Nanti Papa Ikhsan akan kesini buat nemenin. Sabarlah mas!"ucap Ara.&n
"Benarkah, nanti biar papa tanyakan pada Om Robert." sahut Bram."Bener ya Pa?" Dinda meyakinkan ucapan Bram."Tentu saja, kapan papa bohong sama anak sendiri?" Bram menatap lekat lekat pada Dinda."Papa memang yang terbaik." Dinda mengacungkan dua jempolnya pada Bram. "Best lah pokonya." tambah Dinda.****"Nak, kau sudah bangun?" Salma menata sarapan di meja makan apartemen Ammar."Ibu kapan kesini? Kok aku ga tahu?" Ammar menyeruput kopi buatan Salma."Sudah dari jam tujuh ibu di sini kak, beliau khawatir tentang keadaan kakak apalagi dengan kejadian semalam. Ibu terus kepikiran makanya nyuruh aku nganter ke sini." ngomel Fadli."Memangnya ada apa semalam Bu? Perang dunia ke tiga atau keempat?" Ammar terkekeh."Kau ini kak, ibu khawatir karena ayah bersikeras mau jodohin kakak sama Dinda.
"Aku sangat bahagia hari ini, terima kasih." Ammar mencium kedua tangan Ayana berkali kali."Justru aku yang harusnya berterima kasih karena sudah menerima ku dengan segala kekuranganku." Ayana tersenyum simpul membuat Ammar semakin gemas terhadapnya."Apakah boleh aku memintanya?""Tentu saja, lakukanlah."Ammar mencium kening Ayana sembari berucap doa, Ayana memejamkan matanya saat kedua daging kenyal tersebut menyentuh bagian keningnya.Ammar melepaskan Khimar instan yang dipakai oleh Ayana."MasyaAllah kau cantik sekali."Ayana menunduk malu pada Ammar, dengan cepat Ammar meraih dagu Ayana dengan tangan kirinya dan melahap bibir tipisnya dengan lembut. Bibir inilah yang selalu menganggu pikiran Ammar membuatnya tak fokus saat bekerja di kantor.Tangan kanannya bebas mengekplor tubuh Ayana dengan bebasnya.
Ibu, kapan sampai? Kok ga ngabarin Ammar kalau mau datang kan bisa Ammar jemput." Rengek Ammar khas manjanya anak kecil."Ibu telpon kamu ga diangkat ya sudah Fadli yang antar kesini tadi. Kok tumben pulang sore banget biasanya jam enam dah balik?" Salma menatap Ammar lekat-lekat."Kapan kamu mau nganter itu calon istri kamu? Mama ingin cepat-cepat ketemu.""Sabar Bu, Ammar lagi atur kembali jadwalnya biar bisa ketemu dengannya lebih lama jadi lebih puas ngobrol dengannya. Memangnya ada apa bu, kok Ibu buru-buru gitu?""Ayah kamu, sudah nentuin tanggal pernikahan kamu sama Dinda."Deg!"Secepat itu? Oke bu, besok aku bicara sama ayah agar tidak usah mengatur segala sesuatunya. Karena aku sudah memiliki calonnya."Ammar menyerahkan ponselnya pada Salma dan Salma pun terhenyak melihat siapa yang ada di ponsel anaknya itu.&
Ayana apa boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu?" Ucap Ammar hati hati."Boleh memangnya ada apa?" Ayana menatap Ammar sekilas."Apa kau tidak berencana untuk menikah lagi?" Suara Ammar pelan.Ayana tercengang mendengar pertanyaan Ammar namun dengan segera dia menguasai perasaannya."Menikah? Dengan siapa? Memangnya masih ada yang mau menerimaku dengan status janda beranak satu" Ayana terkekeh."Jika kau mau pastinya banyak yang mau sama kamu. Kamu masih cantik dan menarik" komentar Ammar membuat Ayana tercengang untuk kedua kalinya."Jangan melawak tidak lucu sama sekali" sahut Ayana menata perasaannya karna dalam hatinya pun tak menampik bahwa dia masih terlihat seperti gadis berusia dua delapan tahun padahal sudah kepala tiga."Kau tidak percaya dengan ucapanku?" Ammar menatap lekat wajah Ayana."Kau ada ada saja" gur
"Raka... Tahu ga di mana Aziz dah hampir seminggu ga berangkat sekolah?" Tanya Husna setibanya di ruang kelas Aziz."Memang dia ga kasih tahu kamu kalau ibunya masuk rumah sakit?" Sahut Raka."Dia ga ngabarin soal itu hanya bilang dia lagi g pengen diganggu gitu aja sih" ucap Husna."Ya udah kalau itu pesennya jangan dihubungi untuk sementara waktu atau datang aja ke rumahnya nanti sore bareng aku. Ibunya siang ini dah balik kok dari rumah sakit""Beneran ya, nanti aku ditungguin loh jangan ditinggal" pinta Husna."Oke. Tapi jangan lupa uang bensinnya yaa!" Sahut Raka."Nah anak orang kaya kok g ada bensin ga modal banget" ketus Husna."Lah kan aku sopir kamu penumpang tetap bayar ongkos yaa...ya..!" Sahut Raka."Oke deh buat Aziz apa sih yang enggak buat dia" Husna tersenyum seketika wajahnya berbinar.&
"Benarkah, nanti biar papa tanyakan pada Om Robert." sahut Bram."Bener ya Pa?" Dinda meyakinkan ucapan Bram."Tentu saja, kapan papa bohong sama anak sendiri?" Bram menatap lekat lekat pada Dinda."Papa memang yang terbaik." Dinda mengacungkan dua jempolnya pada Bram. "Best lah pokonya." tambah Dinda.****"Nak, kau sudah bangun?" Salma menata sarapan di meja makan apartemen Ammar."Ibu kapan kesini? Kok aku ga tahu?" Ammar menyeruput kopi buatan Salma."Sudah dari jam tujuh ibu di sini kak, beliau khawatir tentang keadaan kakak apalagi dengan kejadian semalam. Ibu terus kepikiran makanya nyuruh aku nganter ke sini." ngomel Fadli."Memangnya ada apa semalam Bu? Perang dunia ke tiga atau keempat?" Ammar terkekeh."Kau ini kak, ibu khawatir karena ayah bersikeras mau jodohin kakak sama Dinda.
"Om, apa ibuku baik baik saja?"Ammar dan Fadli menoleh ke arah sumber suara."Om, apa ibuku baik baik saja?""Kau,....?""Aku Aziz om, anaknya ibu yang kecelakaan tadi? Bagaimana keadaan ibu ku om?""Dia ada di dalam sedang melewati masa kritisnya. Doakan yang terbaik untuknya ya!""Apa ibuku akan baik baik saja?""Tentu saja"Ara dan Raka datang menyusul Aziz lari tergopoh gopoh."Mas, Tante gimana? Apa sudah sadar?""Belum Ra, ibu belum sadar""Sabar Ziz, ibu mu pasti baik baik saja"Ammar menatap ketiga anak muda yang datang berbeda waktu itu bergantian."Di mana ayahmu? Kenapa tak datang bersamamu?" Seru Ammar menatap Aziz."Ayah ga ada om, sudah meninggal" ucap Aziz."Nanti Papa Ikhsan akan kesini buat nemenin. Sabarlah mas!"ucap Ara.&n
"Kak, apa kau sudah menemui ayah?" Seru Fadli."Aku belum mengatakan apapun. Entahlah, apa bisa melawan kemauan ayah sedangkan apa beliau harus kita turuti. Aku bingung sendiri dan lagi nanti malam gadis yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah""Apa kau punya solusi untukku?" Lanjut Ammar memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri."Aku... Kak, apapun keputusanmu aku akan mendukungmu. Pikirkanlah dengan baik aku tak mau kau kecewa untuk kedua kalinya" ujar Fadli menepuk bahu sang kakak sebelum akhirnya keluar dari ruangan Ammar.***Kantor Ayana"Mbak, kau datang lebih awal apa Aziz tidak ke sekolah?" Seru Rahma."Eoh, dia dijemput mas Ikhsan jadi aku bisa datang lebih awal. Apa kita jadi bertemu klien hari ini?" Seru Ayana menatap tumpukan gambar sketsa gaun pengantin.
Ayana mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya, dia sudah terlambat menjemput anak lelakinya Aziz. Anak lelaki yang sangat manja dengan Ayana, anak laki laki kebanggaan Ayana. Karena hanya Aziz lah yang selalu menemaninya selama ini. Obat dari segala kegundahannya semenjak kepergian suaminya Daniyal zhacry. Laki laki yang menikahinya slama ini."Hallo, Assalamualaikum..." Ayana membuka mobilnya dengan kesusahan karena di tangan kirinya memegang berkas rancangan butiknya sembari mengapit ponselnya."Waalaikumussalam,... Dimana Ibu sekarang? Kenapa belum juga sampai? Aku sudah lelah Ibu" rengek Aziz di seberang sana."Tunggulah sebentar Ibu baru akan kesana, maaf tadi ada rapat mendadak" sesal Ayana karena tak bisa memberi tahukan putranya perihal rapat dadakan untuk acara pemotretan produk Khimar terbarunya."Aku tunggu disini Ibu jangan lama - lama. Assalamualaikum" klik Aziz dengan cepat mematikan sambungan teleponnya tanpa