"Om, apa ibuku baik baik saja?"
Ammar dan Fadli menoleh ke arah sumber suara.
"Om, apa ibuku baik baik saja?"
"Kau,....?"
"Aku Aziz om, anaknya ibu yang kecelakaan tadi? Bagaimana keadaan ibu ku om?"
"Dia ada di dalam sedang melewati masa kritisnya. Doakan yang terbaik untuknya ya!"
"Apa ibuku akan baik baik saja?"
"Tentu saja"
Ara dan Raka datang menyusul Aziz lari tergopoh gopoh.
"Mas, Tante gimana? Apa sudah sadar?"
"Belum Ra, ibu belum sadar"
"Sabar Ziz, ibu mu pasti baik baik saja"
Ammar menatap ketiga anak muda yang datang berbeda waktu itu bergantian.
"Di mana ayahmu? Kenapa tak datang bersamamu?" Seru Ammar menatap Aziz.
"Ayah ga ada om, sudah meninggal" ucap Aziz.
"Nanti Papa Ikhsan akan kesini buat nemenin. Sabarlah mas!"ucap Ara.
***
"Kita tunggu saja sampai Om nya datang kak baru kita pulang!"
Seru Fadli dan Ammar hanya mampu mengangguk.
Dalam pikirannya sekarang hanya ada pertanyaan tentang Ayana. Diusia berapa dia menikah sehingga diusianya yang masih muda dia sudah memilik anak sebesar ini yang notabene terlihat seperti adiknya.
Dan suaminya, apa benar sudah meninggal?
Tak selang beberapa jam Ikhsan datang beserta Rahma. Fadli yang melihat kedatangan langsung tersenyum meskipun hanya seorang sekretaris tapi dia sangat menyukai gadis selugu Rahma.
"Terima kasih sudah bawa Bu Ayana ke rumah sakit pak Manager" ucap Rahma.
Fadli hanya tersenyum.
"Kalau begitu kami permisi dulu. Assalamualaikum" seru Ammar dan Fadli bersamaan.
***
"Yah, jangan terlalu memaksa terhadap anak kasihan. Selama ini Ammar selalu nurut sama kamu. Biarkan dia menentukan jalannya sendiri. Kita hanya perlu mendukungnya jika dia berbuat salah barulah kita bertindak" Salma mencoba bicara pada Robert karena Salma sendiri tidak tega jika anaknya tertekan dalam bayang bayang kekuasaan ayahnya.
"Sudahlah ma jangan bicarakan soal anak itu lagi. Biarkan nanti jika dia datang ke rumah dan bertemu langsung dengan Dinda dia pasti mau" Robert antusians jika perjodohan ini akan berhasil.
"Apa kurangnya Dinda ma, dia cantik dan juga terpelajar aku yakin Ammar akan menyukainya"
"Terserah kau saja yah, jika ada apa apa nanti aku tidak ikut campur ya"
Salma bergegas ke dapur membantu Bi Inah menyiapkan makan malam.
"Assalamualaikum Bu..." Ammar datang dan langsung Salim pada Salma ibunya.
"Waalaikumussalam... Kau sudah pulang nak? Mandilah dulu setelah itu siap siaplah mungkin sebentar lagi tamunya akan datang" seru Salma sembari memberi segelas air minum untuk Ammar.
"Baiklah Bu, aku mandi dulu"
"Kasihan kamu nak, semoga semua baik baik saja"
"Bu...." Salma terperanjat melihat Fadli ada di belakangnya.
"MasyaAllah,, jadi orang jangan suka ngagetin kenapa? Kalau ibu punya penyakit jantung gimana nak?" Protes Salma.
"Maaf Bu, la ibu fokus mikirin kak Ammar terus aku dianggurin" Fadli mberengut kesal.
"Perasaanmu saja nak ibu tak pernah membedakan. Hanya saja sekarang masalah kakakmu lagi rumit ibu sendiri tidak tahu harus bagaimana meyakinkan ayahmu"
"Sabar Bu kak Ammar pasti bisa mengatasinya kita doakan saja yang terbaik untuknya yaa"
***
"Dok bagaimana keadaan adik saya?" Ikhsan langsung berdiri ketika Dokter Ibrahim keluar dari ruang rawat Ayana.
"Alhamdulillah sudah lebih baik dari kemarin dan sudah melewati masa kritisnya. Kita tinggal menunggunya sadar. Tapi...." ucapan Dokter Ibrahim terhenti.
"Kenapa Dok?" Aziz menyela dia begitu khawatir dengan keadaan ibunya.
"Jika dia sadar tolong jangan buat dia tertekan. Agar sakit di kepalanya bisa segera sembuh"
"Baiklah kami mengerti Dok"
"Kalau begitu saya permisi dulu"
"Aziz, sebaiknya kau balik dulu ke rumah. Biar Om yang jaga ibu mu" seru Ikhsan.
"Tidak Om aku mau nungguin ibu di sini sampai sadar" Aziz kekeh tidak mau pulang.
"Baiklah tapi jika sudah sadar segera pulang dan istirahatlah biar Om saja yang di sini"
"Ya Om Aziz mengerti"
"Segeralah bangun ibu aku merindukanmu?" Gumam Aziz perlahan.
*****
Ting tong....
Ting tong....
"Hai Mas Bram gimana kabarnya?" Robert terlihat berbasa basi padahal tadi siang mereka baru saja bertemu.
"Aku baik"
"Dimana Dinda? Bukankah kau mengajaknya?"
"Aku disini Tante.." Dinda salim dengan Salma.
"Ayo mari masuk masak tamu ga disuruh masuk" ajak Salma.
"Bi... Bi Inah tolong panggilkan Ammar sebentar" seru Salma.
"Iya Nya, segera" sahut Bi Inah.
"Ada apa Bi kok rame sekali di bawah? Seru Fadli.
"Itu mas Fadli tunangannya mas Ammar dateng" celetuk Bi Inah.
"Eh maaf maksudnya calon tunangannya" ralat Bi Inah.
Fadli terkekeh geli melihat tingkah Bi Inah. Beliaulah yang ikut merawatnya dan juga kakaknya Ammar. Karena selama Ammar dan Fadli kecil orang tuanya sibuk dengan bisnis di luar negeri.
"Hmm..." Ammar berdehem sembari jalan mengambil duduk di sofa sebelah Salma.
"Eh nak kamu sudah turun, kesinilah" pinta Salma.
"Kenalkan dia Dinda putrinya Om Bram. Cantikan?" Seru Salma.
"Wah Ammar ganteng sekali kamu nak, lama ga ketemu ya jadi mungkin kamu lupa sama Tante" sahut Sarah.
"Iya jelas lupa ketemu terakhir waktu dia masih umur sepuluh tahun" Bram menimpali perkataan Sarah istrinya.
"Iya benar sekali dulu kita harus pindah ke London ya Pa?" Sahut Sarah.
Ammar hanya mengeryitkan kedua aliasnya menatap kedua orang yang ada di depannya.
"Benar kita ke London waktu itu dan Dinda baru berumur empat tahun waktu itu" sahut Bram membenarkan ucapan Sarah.
Ammar merasa bosan dengan obrolan di sekitarnya dia merasa malas untuk mendengarkan.
Drrtttt....drrtt....drrtttt .....
Seketika Ammar menatap ponselnya
John calling.....
"Maaf saya permisi dulu mau mengangkat telpon" Ammar langsung keluar menuju taman rumahnya.
"Anak itu tidak bisa membagi waktu mana kerjaan dan mana keluarga" protes Robert kesal pada Ammar.
"Sudahlah yah yang penting Ammar sudah bertemu dengan Dinda benarkan nak?" Sahut Salma.
Dinda hanya mengangguk perkataan Salma. "Tante apa boleh saya menyusul Ammar?" ucap Dinda.
"Oh, boleh silahkan mungkin dia ada di taman samping rumah kau bisa ke sana nak" sahut Sarah.
"Makasih Tante"
Dinda beranjak keluar untuk menyusul Ammar namun belum sampai dia di pintu Ammar sudah kembali masuk membuat Dinda menjadi gugup karena ditatap dingin oleh Ammar.
"Bu, aku mau keluar dan mungkin tak pulang aku ada urusan mendadak" seru Ammar langsung keluar tanpa menunggu lama dia melajukan mobilnya ke rumah sakit tempat di mana Ayana dirawat.
John memberitahukan jika wanita tersebut sudah sadarkan diri.
"Anak itu tak tahu sopan" Robert
menggerutu kesal pada Ammar.
"Sudahlah yah, bagaimanapun dia sudah dewasa tak baik mengaturnya"
"Bram, bagaimana jika pertunangan Ammar dan Dinda kita percepat?" Usul Robert.
"Usul yang bagus, Dinda apa kau bersedia?" Tanya Bram pada Dinda.
"Saya bersedia Om Tante" Dinda tersipu merona. Bram dan Sarah nampak bahagia namun tidak dengan Salma, dia memikirkan anaknya Ammar.
Begitu sampai di rumah sakit, Ammar melangkahkan kakinya cepat menuju ruang Flamboyan tempat di mana Ayana dirawat.
Terlihat Ikhsan baru keluar dari kamar Ayana.
"Permisi apa saya boleh menjenguk Bu Ayana?" Seru Ammar.
"Kau kemari lagi, boleh silakan masuk dia sedang ngobrol dengan anaknya. Saya titip adikku sebentar ya, nanti saya akan segera kembali" permisi Ikhsan segera pergi ke kantor polisi untuk mengetahui kejadian pastinya kenapa adiknya bisa sampai kecelakaan.
Ammar masuk ke dalam kamar serba putih dan melihat pemandangan dimana dua orang sedang bercanda dengan hangatnya.
"Assalamualaikum..."
Serempak Ayana dan Aziz menoleh ke sumber suara.
"Waalaikumussalam" sahut mereka bersamaan.
"Pak Ammar, terima kasih karena sudah menolong saya" seru Ayana.
"Om, kesini lagi. Kirain Om bukan temannya ibu soalnya ibu ga pernah punya teman laki laki semenjak ayah pergi" sahut Aziz.
Ammar yang mendengarnya tersenyum. "Kita memang baru berkenalan" sahut Ammar.
"Dan what??? Anak itu bicara ibunya ga punya teman laki laki semenjak ayah pergi? Brarti...?" Batin Ammar
"Beliau partner kerja ibu Ziz, jadi kamu ga tahu apalagi ketemu" sahut Ayana.
"Bagaimana keadaannya apa sudah lebih baik?" Ucap Ammar menatap wajah ayu Ayana yang pucat.
"Alhamdulillah sudah lebih baik"
"Permisi, waktunya pasien minum obat dan istirahat" seru perawat masuk dan memeriksa keadaan Ayana.
"Tolong biarkan pasien untuk istirahat ya karena ini sudah jamnya istirahat" ucap perawat setelah selesai memberikan obat pada Ayana.
"Baiklah sus terima kasih"
"Ibu istrihatlah, biar aku yang menjagamu. Nanti Om Ikhsan juga balik lagi kesini" ucap Aziz.
"Om maukan nemenin Aziz dulu sampai Om ku kembali?" Lanjut Aziz.
Ammar menganggukan kepalanya. "Baiklah dengan senang hati" sahutnya dengan senyum simpulnya.
"Tapi apa tidak merepotkan Pak Ammar bukankah Pak Ammar sibuk?" Sela Ayana.
"Tidak apa-apa saya mau kok nemeni Aziz, tadi Pak Ikhsan juga sudah berpesan pada saya untuk menunggunya sampai kembali" jelas Ammar.
"Baiklah terima kasih Pak maaf sudah merepotkan"
"Ibu segeralah istirahat" pinta Aziz. Ayana tersenyum melihat Aziz anaknya yang lebih terlihat dewasa dibanding dengan umurnya.
"Ayo Om kita keluar saja biar ibu istirahat" Aziz tanpa sadar menggandeng Ammar keluar Ayana yang melihat itu terkesiap karena tidak biasanya Aziz begitu langsung klop dengan orang lain.
****
"Apa Om sudah berkeluarga?" ucap Aziz menatap Ammar yang sedang menatap ke depan taman rumah sakit.
"Om belum berkeluarga memangnya kenapa?" Sahut Ammar.
"Setua ini belum menikah? Apa maksud Om mendekati ibu ku" Seru Aziz membuat Ammar langsung mengalihkan pandangannya pada Aziz.
"Kok kamu bicara seperti itu?" Ucap Ammar terkejut dengan pertanyaan Aziz.
"Karena setahuku laki laki yang mendekati ibu itu orangnya ga baik. Makanya sampai saat ini ibu betah menjanda" seru Aziz membuat Ammar terkesiap mendengarnya.
"Tolong jika Om orang baik maka jangan sakiti ibu saya ya, ibu saya sudah cukup menderita karna ulah ayah saya" ketus Aziz pada Ammar.
Ammar hanya menganggukan kepalanya dan mulai memahami siatuasinya.
"Om janji ga akan nyakitin ibu kamu percayalah" sahut Ammar pun tersenyum.
"Aku percaya padamu Om"
Sedikit demi sedikit Ammar sudah mengetahui informasi tanpa harus repot mencari tahu. Tapi tentu saja dia butuh bantuan John untuk menyelidikinya lebih lanjut tentang kebenaran yang ada.
"Om sendiri kenapa belum menikah atau karena tidak laku?" Ceplos Aziz membuat Ammar melotot.
"Kau ini bicara apa masih kecil sudah bicara cinta?"
"Dan lagi bagaimana kau tahu jika aku tak laku. Bahkan wanita wanita cantik mengantri untuk jadi istriku." Timpal Ammar membela diri.
"Nyatanya Om masih sendiri brarti ga laku dong" Aziz melirik Ammar sekilas.
"Oke. Baiklah anggap saja demikian"
Ammar tak ingin berdebat dengan Aziz mengingat ini pertemuan kedua kalinya dengannya.
***
"Pa, apa papa yakin Ammar mau menikah denganku?" Seru Dinda setelah sampai di rumahnya.
"Tentu saja harus mau, kau itu pintar, cantik, sexy, dan punya banyak uang. Kurang apalagi dia pasti tergila gila padamu benarkan Pa?" Sahut Sarah.
"Benar yang mamamu katakan jadi manfaatkanlah untuk mengambil hati Ammar. Kau mengerti" seru Bram.
"Tapi kayaknya sulit Pa bagi dia untuk menerima ku kemarin ga sengaja ku dengar dia mau ke rumah sakit menemui seseorang dan terlihat dia sangat bahagia dan tersenyum. Tapi begitu melihatku dia langsung berubah jadi dingin. Apa dia sudah memiliki kekasih" ucap Dinda.
"Benarkah, nanti biar papa tanyakan pada Om Robert." sahut Bram."Bener ya Pa?" Dinda meyakinkan ucapan Bram."Tentu saja, kapan papa bohong sama anak sendiri?" Bram menatap lekat lekat pada Dinda."Papa memang yang terbaik." Dinda mengacungkan dua jempolnya pada Bram. "Best lah pokonya." tambah Dinda.****"Nak, kau sudah bangun?" Salma menata sarapan di meja makan apartemen Ammar."Ibu kapan kesini? Kok aku ga tahu?" Ammar menyeruput kopi buatan Salma."Sudah dari jam tujuh ibu di sini kak, beliau khawatir tentang keadaan kakak apalagi dengan kejadian semalam. Ibu terus kepikiran makanya nyuruh aku nganter ke sini." ngomel Fadli."Memangnya ada apa semalam Bu? Perang dunia ke tiga atau keempat?" Ammar terkekeh."Kau ini kak, ibu khawatir karena ayah bersikeras mau jodohin kakak sama Dinda.
"Raka... Tahu ga di mana Aziz dah hampir seminggu ga berangkat sekolah?" Tanya Husna setibanya di ruang kelas Aziz."Memang dia ga kasih tahu kamu kalau ibunya masuk rumah sakit?" Sahut Raka."Dia ga ngabarin soal itu hanya bilang dia lagi g pengen diganggu gitu aja sih" ucap Husna."Ya udah kalau itu pesennya jangan dihubungi untuk sementara waktu atau datang aja ke rumahnya nanti sore bareng aku. Ibunya siang ini dah balik kok dari rumah sakit""Beneran ya, nanti aku ditungguin loh jangan ditinggal" pinta Husna."Oke. Tapi jangan lupa uang bensinnya yaa!" Sahut Raka."Nah anak orang kaya kok g ada bensin ga modal banget" ketus Husna."Lah kan aku sopir kamu penumpang tetap bayar ongkos yaa...ya..!" Sahut Raka."Oke deh buat Aziz apa sih yang enggak buat dia" Husna tersenyum seketika wajahnya berbinar.&
Ayana apa boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu?" Ucap Ammar hati hati."Boleh memangnya ada apa?" Ayana menatap Ammar sekilas."Apa kau tidak berencana untuk menikah lagi?" Suara Ammar pelan.Ayana tercengang mendengar pertanyaan Ammar namun dengan segera dia menguasai perasaannya."Menikah? Dengan siapa? Memangnya masih ada yang mau menerimaku dengan status janda beranak satu" Ayana terkekeh."Jika kau mau pastinya banyak yang mau sama kamu. Kamu masih cantik dan menarik" komentar Ammar membuat Ayana tercengang untuk kedua kalinya."Jangan melawak tidak lucu sama sekali" sahut Ayana menata perasaannya karna dalam hatinya pun tak menampik bahwa dia masih terlihat seperti gadis berusia dua delapan tahun padahal sudah kepala tiga."Kau tidak percaya dengan ucapanku?" Ammar menatap lekat wajah Ayana."Kau ada ada saja" gur
Ibu, kapan sampai? Kok ga ngabarin Ammar kalau mau datang kan bisa Ammar jemput." Rengek Ammar khas manjanya anak kecil."Ibu telpon kamu ga diangkat ya sudah Fadli yang antar kesini tadi. Kok tumben pulang sore banget biasanya jam enam dah balik?" Salma menatap Ammar lekat-lekat."Kapan kamu mau nganter itu calon istri kamu? Mama ingin cepat-cepat ketemu.""Sabar Bu, Ammar lagi atur kembali jadwalnya biar bisa ketemu dengannya lebih lama jadi lebih puas ngobrol dengannya. Memangnya ada apa bu, kok Ibu buru-buru gitu?""Ayah kamu, sudah nentuin tanggal pernikahan kamu sama Dinda."Deg!"Secepat itu? Oke bu, besok aku bicara sama ayah agar tidak usah mengatur segala sesuatunya. Karena aku sudah memiliki calonnya."Ammar menyerahkan ponselnya pada Salma dan Salma pun terhenyak melihat siapa yang ada di ponsel anaknya itu.&
"Aku sangat bahagia hari ini, terima kasih." Ammar mencium kedua tangan Ayana berkali kali."Justru aku yang harusnya berterima kasih karena sudah menerima ku dengan segala kekuranganku." Ayana tersenyum simpul membuat Ammar semakin gemas terhadapnya."Apakah boleh aku memintanya?""Tentu saja, lakukanlah."Ammar mencium kening Ayana sembari berucap doa, Ayana memejamkan matanya saat kedua daging kenyal tersebut menyentuh bagian keningnya.Ammar melepaskan Khimar instan yang dipakai oleh Ayana."MasyaAllah kau cantik sekali."Ayana menunduk malu pada Ammar, dengan cepat Ammar meraih dagu Ayana dengan tangan kirinya dan melahap bibir tipisnya dengan lembut. Bibir inilah yang selalu menganggu pikiran Ammar membuatnya tak fokus saat bekerja di kantor.Tangan kanannya bebas mengekplor tubuh Ayana dengan bebasnya.
Ayana mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya, dia sudah terlambat menjemput anak lelakinya Aziz. Anak lelaki yang sangat manja dengan Ayana, anak laki laki kebanggaan Ayana. Karena hanya Aziz lah yang selalu menemaninya selama ini. Obat dari segala kegundahannya semenjak kepergian suaminya Daniyal zhacry. Laki laki yang menikahinya slama ini."Hallo, Assalamualaikum..." Ayana membuka mobilnya dengan kesusahan karena di tangan kirinya memegang berkas rancangan butiknya sembari mengapit ponselnya."Waalaikumussalam,... Dimana Ibu sekarang? Kenapa belum juga sampai? Aku sudah lelah Ibu" rengek Aziz di seberang sana."Tunggulah sebentar Ibu baru akan kesana, maaf tadi ada rapat mendadak" sesal Ayana karena tak bisa memberi tahukan putranya perihal rapat dadakan untuk acara pemotretan produk Khimar terbarunya."Aku tunggu disini Ibu jangan lama - lama. Assalamualaikum" klik Aziz dengan cepat mematikan sambungan teleponnya tanpa
"Kak, apa kau sudah menemui ayah?" Seru Fadli."Aku belum mengatakan apapun. Entahlah, apa bisa melawan kemauan ayah sedangkan apa beliau harus kita turuti. Aku bingung sendiri dan lagi nanti malam gadis yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah""Apa kau punya solusi untukku?" Lanjut Ammar memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri."Aku... Kak, apapun keputusanmu aku akan mendukungmu. Pikirkanlah dengan baik aku tak mau kau kecewa untuk kedua kalinya" ujar Fadli menepuk bahu sang kakak sebelum akhirnya keluar dari ruangan Ammar.***Kantor Ayana"Mbak, kau datang lebih awal apa Aziz tidak ke sekolah?" Seru Rahma."Eoh, dia dijemput mas Ikhsan jadi aku bisa datang lebih awal. Apa kita jadi bertemu klien hari ini?" Seru Ayana menatap tumpukan gambar sketsa gaun pengantin.
"Aku sangat bahagia hari ini, terima kasih." Ammar mencium kedua tangan Ayana berkali kali."Justru aku yang harusnya berterima kasih karena sudah menerima ku dengan segala kekuranganku." Ayana tersenyum simpul membuat Ammar semakin gemas terhadapnya."Apakah boleh aku memintanya?""Tentu saja, lakukanlah."Ammar mencium kening Ayana sembari berucap doa, Ayana memejamkan matanya saat kedua daging kenyal tersebut menyentuh bagian keningnya.Ammar melepaskan Khimar instan yang dipakai oleh Ayana."MasyaAllah kau cantik sekali."Ayana menunduk malu pada Ammar, dengan cepat Ammar meraih dagu Ayana dengan tangan kirinya dan melahap bibir tipisnya dengan lembut. Bibir inilah yang selalu menganggu pikiran Ammar membuatnya tak fokus saat bekerja di kantor.Tangan kanannya bebas mengekplor tubuh Ayana dengan bebasnya.
Ibu, kapan sampai? Kok ga ngabarin Ammar kalau mau datang kan bisa Ammar jemput." Rengek Ammar khas manjanya anak kecil."Ibu telpon kamu ga diangkat ya sudah Fadli yang antar kesini tadi. Kok tumben pulang sore banget biasanya jam enam dah balik?" Salma menatap Ammar lekat-lekat."Kapan kamu mau nganter itu calon istri kamu? Mama ingin cepat-cepat ketemu.""Sabar Bu, Ammar lagi atur kembali jadwalnya biar bisa ketemu dengannya lebih lama jadi lebih puas ngobrol dengannya. Memangnya ada apa bu, kok Ibu buru-buru gitu?""Ayah kamu, sudah nentuin tanggal pernikahan kamu sama Dinda."Deg!"Secepat itu? Oke bu, besok aku bicara sama ayah agar tidak usah mengatur segala sesuatunya. Karena aku sudah memiliki calonnya."Ammar menyerahkan ponselnya pada Salma dan Salma pun terhenyak melihat siapa yang ada di ponsel anaknya itu.&
Ayana apa boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu?" Ucap Ammar hati hati."Boleh memangnya ada apa?" Ayana menatap Ammar sekilas."Apa kau tidak berencana untuk menikah lagi?" Suara Ammar pelan.Ayana tercengang mendengar pertanyaan Ammar namun dengan segera dia menguasai perasaannya."Menikah? Dengan siapa? Memangnya masih ada yang mau menerimaku dengan status janda beranak satu" Ayana terkekeh."Jika kau mau pastinya banyak yang mau sama kamu. Kamu masih cantik dan menarik" komentar Ammar membuat Ayana tercengang untuk kedua kalinya."Jangan melawak tidak lucu sama sekali" sahut Ayana menata perasaannya karna dalam hatinya pun tak menampik bahwa dia masih terlihat seperti gadis berusia dua delapan tahun padahal sudah kepala tiga."Kau tidak percaya dengan ucapanku?" Ammar menatap lekat wajah Ayana."Kau ada ada saja" gur
"Raka... Tahu ga di mana Aziz dah hampir seminggu ga berangkat sekolah?" Tanya Husna setibanya di ruang kelas Aziz."Memang dia ga kasih tahu kamu kalau ibunya masuk rumah sakit?" Sahut Raka."Dia ga ngabarin soal itu hanya bilang dia lagi g pengen diganggu gitu aja sih" ucap Husna."Ya udah kalau itu pesennya jangan dihubungi untuk sementara waktu atau datang aja ke rumahnya nanti sore bareng aku. Ibunya siang ini dah balik kok dari rumah sakit""Beneran ya, nanti aku ditungguin loh jangan ditinggal" pinta Husna."Oke. Tapi jangan lupa uang bensinnya yaa!" Sahut Raka."Nah anak orang kaya kok g ada bensin ga modal banget" ketus Husna."Lah kan aku sopir kamu penumpang tetap bayar ongkos yaa...ya..!" Sahut Raka."Oke deh buat Aziz apa sih yang enggak buat dia" Husna tersenyum seketika wajahnya berbinar.&
"Benarkah, nanti biar papa tanyakan pada Om Robert." sahut Bram."Bener ya Pa?" Dinda meyakinkan ucapan Bram."Tentu saja, kapan papa bohong sama anak sendiri?" Bram menatap lekat lekat pada Dinda."Papa memang yang terbaik." Dinda mengacungkan dua jempolnya pada Bram. "Best lah pokonya." tambah Dinda.****"Nak, kau sudah bangun?" Salma menata sarapan di meja makan apartemen Ammar."Ibu kapan kesini? Kok aku ga tahu?" Ammar menyeruput kopi buatan Salma."Sudah dari jam tujuh ibu di sini kak, beliau khawatir tentang keadaan kakak apalagi dengan kejadian semalam. Ibu terus kepikiran makanya nyuruh aku nganter ke sini." ngomel Fadli."Memangnya ada apa semalam Bu? Perang dunia ke tiga atau keempat?" Ammar terkekeh."Kau ini kak, ibu khawatir karena ayah bersikeras mau jodohin kakak sama Dinda.
"Om, apa ibuku baik baik saja?"Ammar dan Fadli menoleh ke arah sumber suara."Om, apa ibuku baik baik saja?""Kau,....?""Aku Aziz om, anaknya ibu yang kecelakaan tadi? Bagaimana keadaan ibu ku om?""Dia ada di dalam sedang melewati masa kritisnya. Doakan yang terbaik untuknya ya!""Apa ibuku akan baik baik saja?""Tentu saja"Ara dan Raka datang menyusul Aziz lari tergopoh gopoh."Mas, Tante gimana? Apa sudah sadar?""Belum Ra, ibu belum sadar""Sabar Ziz, ibu mu pasti baik baik saja"Ammar menatap ketiga anak muda yang datang berbeda waktu itu bergantian."Di mana ayahmu? Kenapa tak datang bersamamu?" Seru Ammar menatap Aziz."Ayah ga ada om, sudah meninggal" ucap Aziz."Nanti Papa Ikhsan akan kesini buat nemenin. Sabarlah mas!"ucap Ara.&n
"Kak, apa kau sudah menemui ayah?" Seru Fadli."Aku belum mengatakan apapun. Entahlah, apa bisa melawan kemauan ayah sedangkan apa beliau harus kita turuti. Aku bingung sendiri dan lagi nanti malam gadis yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah""Apa kau punya solusi untukku?" Lanjut Ammar memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri."Aku... Kak, apapun keputusanmu aku akan mendukungmu. Pikirkanlah dengan baik aku tak mau kau kecewa untuk kedua kalinya" ujar Fadli menepuk bahu sang kakak sebelum akhirnya keluar dari ruangan Ammar.***Kantor Ayana"Mbak, kau datang lebih awal apa Aziz tidak ke sekolah?" Seru Rahma."Eoh, dia dijemput mas Ikhsan jadi aku bisa datang lebih awal. Apa kita jadi bertemu klien hari ini?" Seru Ayana menatap tumpukan gambar sketsa gaun pengantin.
Ayana mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya, dia sudah terlambat menjemput anak lelakinya Aziz. Anak lelaki yang sangat manja dengan Ayana, anak laki laki kebanggaan Ayana. Karena hanya Aziz lah yang selalu menemaninya selama ini. Obat dari segala kegundahannya semenjak kepergian suaminya Daniyal zhacry. Laki laki yang menikahinya slama ini."Hallo, Assalamualaikum..." Ayana membuka mobilnya dengan kesusahan karena di tangan kirinya memegang berkas rancangan butiknya sembari mengapit ponselnya."Waalaikumussalam,... Dimana Ibu sekarang? Kenapa belum juga sampai? Aku sudah lelah Ibu" rengek Aziz di seberang sana."Tunggulah sebentar Ibu baru akan kesana, maaf tadi ada rapat mendadak" sesal Ayana karena tak bisa memberi tahukan putranya perihal rapat dadakan untuk acara pemotretan produk Khimar terbarunya."Aku tunggu disini Ibu jangan lama - lama. Assalamualaikum" klik Aziz dengan cepat mematikan sambungan teleponnya tanpa