Ayana apa boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu?" Ucap Ammar hati hati.
"Boleh memangnya ada apa?" Ayana menatap Ammar sekilas.
"Apa kau tidak berencana untuk menikah lagi?" Suara Ammar pelan.
Ayana tercengang mendengar pertanyaan Ammar namun dengan segera dia menguasai perasaannya.
"Menikah? Dengan siapa? Memangnya masih ada yang mau menerimaku dengan status janda beranak satu" Ayana terkekeh.
"Jika kau mau pastinya banyak yang mau sama kamu. Kamu masih cantik dan menarik" komentar Ammar membuat Ayana tercengang untuk kedua kalinya.
"Jangan melawak tidak lucu sama sekali" sahut Ayana menata perasaannya karna dalam hatinya pun tak menampik bahwa dia masih terlihat seperti gadis berusia dua delapan tahun padahal sudah kepala tiga.
"Kau tidak percaya dengan ucapanku?" Ammar menatap lekat wajah Ayana.
"Kau ada ada saja" gurau Ayana.
"Tapi itu benar Ayana. Dan aku mengakui itu semua ada pada dirimu" bisik Ammar pelan.
***
Ayana teringat percakapannya dengan Ammar tempo hari.
"Benarkah itu semua bolehkah jika aku berharap lagi setelah hati ditorehkan luka?"
Ayana terdiam melamun tak tentu arah sampai tak menyadari jika Ikhsan kakaknya sudah ada di kursi meja kerjanya.
"Asyik melamun nona?" Ikhsan melambaikan tangannya di depan wajah Ayana membuatnya tersentak kaget.
"Mas jangan suka ngagetin orang ya, kalau orangnya punya penyakit jantung bagaimana? Ucap salam" Kesal Ayana dengan tingkah kakaknya itu.
"Lagian siapa suruh asyik melamun gitu sampai tiga kali ngucapin salam ga didengerin" sahut Ikhsan.
"Kemarin kau bilang mau pergi ke Singapore buat ngiklan gaun pengantin disana. Kapan baliknya?" Seru Ikhsan.
"Yee, berangkat juga belum sudah nanyain kapan pulang?" Komentar Ayana.
"Jangan bilang mau minta oleh-oleh ya" bisik Ayana tersenyum jail.
"Ya ga masalah soal itu kamu kan uangnya banyak" Ikhsan tertawa.
"Atau minta dengan klien barumu itu kayaknya dia suka sama kamu" lanjutnya.
Ayana melotot namun Ikhsan semakin tertawa renyah.
"Kamu lupa kita sama sama laki laki Ayana jadi tahu bagaimana pastinya. Dari sikap dan cara dia melihatmu aku tuh dah tahu kalau dia jatuh hati padamu" jelasnya.
"Jadi jika kau mengelaknya sekalipun aku tahu mana yang jujur dan mana yang bohong. Udah terima aja itu kasihan daripada terlalu lama nungguin kamu. Ku lihat dia laki laki yang matang" bebernya membuat Ayana semakin kesal.
"Sudah kak nasehatnya?" Ujar Ayana menatap kakaknya kesal.
"Menurutmu...?" Ikhsan menautkan kedua alisnya.
"Jangan jadi bodoh karena terlalu lama menjanda Ayana. Saatnya kau juga menata hidupmu sendiri. Ga selamanya dan ga semua kisah akan berakhir sama" sahut Ikhsan.
"Pikirkan baik-baik kau juga berhak bahagia. Carilah tempat bersandar yang nyaman. Apapun itu aku mendukungmu" lanjutnya.
Ayana terharu dengan ucapan sang kakak yang terlihat seperti seorang ayah yang sedang menasehati anaknya.
"Dan nampaknya dia pria yang baik itu menurut versiku" Ikhsan tersenyum melihat adiknya membeo.
Tok...tok...tok....
"Masuk!"
"Mbak, ada Pak Ammar di depan"
"Baik, biar langsung masuk saja ya mumpung saya masih di sini" sahut Ikhsan tersenyum.
"Loh kok mas Ikhsan....?" Ayana menatap ikhsan curiga.
Rahma pun tersenyum.
"Ya mumpung disini ga baik loh ya berdua bukan muhrim bisa senam jantung" Ikhsan berkelakar.
Tok....tok....tok....
"Silahkan masuk Pak Ammar" seru Ikhsan.
"Terimakasih, apa kabar?" Ammar mengulurkan tangannya pada Ikhsan.
"Seperti yang kau lihat" Ikhsan tersenyum.
"Syukurlah" sahut Ammar.
"Bagaimana dengan persiapannya apa sudah beres semua?" Tanya Ammar menatap Ayana.
"Sudah tinggal persiapan pemberangkatannya saja. Oia kita butuh satu orang model lagi. Apa anda punya recomendasi atau mungkin relasi anda?" Ayana menyodorkan map biru pada Ammar.
Ddrrt....drrtt..... drrtt.....
Dinda calling......
Ponsel Ammar bergetar, namun diabaikan olehnya.
"Hanya kurang model saja kan? Baiklah nanti saya coba bicarakan sama Fadli." sahut Ammar.
"Bagaimana kalau kita makan siang dulu?" Ikhsan berdiri dari duduknya.
"Di depan ada coffe shop baru, biar Pak Ammar yang traktir gimana?" Lanjut Ikhsan melirik Ayana sekilas.
"Good idea. Bagaimana Ayana?" Ucap Ammar.
"Aku.... Baiklah aku ikut saja. Jangan lupa Rahma dan Fadli diikut sertakan." pinta Ayana.
Ammar menganggukan kepalanya mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Ayo kita berangkat!" Ajak Ammar memasukkan kembali ponselnya ke saku jasnya.
****
"Dimana dia kenapa sulit sekali dihubungi?" Dinda menggerutu karena sedari tadi Ammar tidak dapat dihubunginya.
"Alex kau tahu dimana tempatnya Ammar suka berkumpul dengan teman-temannya?"
"Aku kurang tahu karena selama ini dia tidak mempunyai teman selain adiknya sendiri." ujar Alex.
"Benarkah? Sulit dipercaya." ucap Dinda.
"Iya memang demikian yang saya tahu nona." ucap Alex
"Tidak buruk, benar benar pria idaman." Dinda tersenyum.
"Baiklah aku akan ke apartemennya, kau tetaplah disini sampai aku butuh bantuan kamu."
"Siap nona."
Dinda pergi dengan mobil keluaran terbarunya. Buat dia apa yang tidak bisa dia beli.
Selama dia masih menjadi model apapun bisa dia dapatkannya.
Mobil dia parkir di depan kafe tempat dia janjian dengan John fotografer yang cukup terkenal karena sudah beberapa kali mengorbitkan artis papan atas.
Dinda mengerutkan dahinya, "Kenapa Ammar ada di sini dan siapa wanita berjilbab didekatnya itu, nampaknya mereka sangat akrab." Gumam Dinda.
Tanpa dia sadari dia sudah menuju meja dimana ada Ammar berserta rombongannya.
"Dinda.. mau apa kamu kemari?" Tanya Ammar datar.
"Aku kesini buat nemuin calon suamiku apa aku salah?" Ujar Dinda ketus.
Fadli yang mengerti akan situasi pun langsung menimpali. "Maaf kita sedang ada urusan kerjaan jadi tolong mba Dinda pergi dulu ya biarkan kami bekerja. Oke!"
"Kerja? Kerja kok di kafe, enak bener ya?" Seru Dinda menimpali dan tak mau kalah.
"Ya kita memang sedang meeting mba kalau tidak percaya boleh gabung kok tapi jangan bilang kalau nanti bosan ya karna tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan." Sahut Rahma.
"Huh, kamu kira aku bodoh apa? Sampai tidak mengerti masalah bisnis, aku juga ada taruh saham di perusahaan Mas Ammar meski ga gede." Seloroh Dinda membuat Ammar menatap tajam pada Dinda.
"Kata siapa kamu ada taruh saham di perusahaan saya? Tempo hari ayahmu memang datang tapi saya menolaknya. Saya masih mampu menggerakkan perusahaan saya sendiri." Tukas Ammar.
"Ta--tapi kemarin Papa aku bilang tak ada masalah dalam hal ini kenapa sekarang kau jadi berubah pikiran? Apa karena dia?" Dinda menunjuk Ayana sontak dia terperanjat dengan tuduhan itu.
"Cukup Dinda dia tak mengerti apapun tentang masalah kita. Bukan lebih tepatnya masalah kamu sendiri. Pergi sekarang sebelum aku berubah pikiran Dinda!" Gertak Ammar seketika wajah Dinda pun terlihat takut dari biasanya.
"Oke, aku akan bilang dengan Papa tentang ini biar dia tahu bagaimana calon suami anaknya sebenarnya
Ibu, kapan sampai? Kok ga ngabarin Ammar kalau mau datang kan bisa Ammar jemput." Rengek Ammar khas manjanya anak kecil."Ibu telpon kamu ga diangkat ya sudah Fadli yang antar kesini tadi. Kok tumben pulang sore banget biasanya jam enam dah balik?" Salma menatap Ammar lekat-lekat."Kapan kamu mau nganter itu calon istri kamu? Mama ingin cepat-cepat ketemu.""Sabar Bu, Ammar lagi atur kembali jadwalnya biar bisa ketemu dengannya lebih lama jadi lebih puas ngobrol dengannya. Memangnya ada apa bu, kok Ibu buru-buru gitu?""Ayah kamu, sudah nentuin tanggal pernikahan kamu sama Dinda."Deg!"Secepat itu? Oke bu, besok aku bicara sama ayah agar tidak usah mengatur segala sesuatunya. Karena aku sudah memiliki calonnya."Ammar menyerahkan ponselnya pada Salma dan Salma pun terhenyak melihat siapa yang ada di ponsel anaknya itu.&
"Aku sangat bahagia hari ini, terima kasih." Ammar mencium kedua tangan Ayana berkali kali."Justru aku yang harusnya berterima kasih karena sudah menerima ku dengan segala kekuranganku." Ayana tersenyum simpul membuat Ammar semakin gemas terhadapnya."Apakah boleh aku memintanya?""Tentu saja, lakukanlah."Ammar mencium kening Ayana sembari berucap doa, Ayana memejamkan matanya saat kedua daging kenyal tersebut menyentuh bagian keningnya.Ammar melepaskan Khimar instan yang dipakai oleh Ayana."MasyaAllah kau cantik sekali."Ayana menunduk malu pada Ammar, dengan cepat Ammar meraih dagu Ayana dengan tangan kirinya dan melahap bibir tipisnya dengan lembut. Bibir inilah yang selalu menganggu pikiran Ammar membuatnya tak fokus saat bekerja di kantor.Tangan kanannya bebas mengekplor tubuh Ayana dengan bebasnya.
Ayana mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya, dia sudah terlambat menjemput anak lelakinya Aziz. Anak lelaki yang sangat manja dengan Ayana, anak laki laki kebanggaan Ayana. Karena hanya Aziz lah yang selalu menemaninya selama ini. Obat dari segala kegundahannya semenjak kepergian suaminya Daniyal zhacry. Laki laki yang menikahinya slama ini."Hallo, Assalamualaikum..." Ayana membuka mobilnya dengan kesusahan karena di tangan kirinya memegang berkas rancangan butiknya sembari mengapit ponselnya."Waalaikumussalam,... Dimana Ibu sekarang? Kenapa belum juga sampai? Aku sudah lelah Ibu" rengek Aziz di seberang sana."Tunggulah sebentar Ibu baru akan kesana, maaf tadi ada rapat mendadak" sesal Ayana karena tak bisa memberi tahukan putranya perihal rapat dadakan untuk acara pemotretan produk Khimar terbarunya."Aku tunggu disini Ibu jangan lama - lama. Assalamualaikum" klik Aziz dengan cepat mematikan sambungan teleponnya tanpa
"Kak, apa kau sudah menemui ayah?" Seru Fadli."Aku belum mengatakan apapun. Entahlah, apa bisa melawan kemauan ayah sedangkan apa beliau harus kita turuti. Aku bingung sendiri dan lagi nanti malam gadis yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah""Apa kau punya solusi untukku?" Lanjut Ammar memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri."Aku... Kak, apapun keputusanmu aku akan mendukungmu. Pikirkanlah dengan baik aku tak mau kau kecewa untuk kedua kalinya" ujar Fadli menepuk bahu sang kakak sebelum akhirnya keluar dari ruangan Ammar.***Kantor Ayana"Mbak, kau datang lebih awal apa Aziz tidak ke sekolah?" Seru Rahma."Eoh, dia dijemput mas Ikhsan jadi aku bisa datang lebih awal. Apa kita jadi bertemu klien hari ini?" Seru Ayana menatap tumpukan gambar sketsa gaun pengantin.
"Om, apa ibuku baik baik saja?"Ammar dan Fadli menoleh ke arah sumber suara."Om, apa ibuku baik baik saja?""Kau,....?""Aku Aziz om, anaknya ibu yang kecelakaan tadi? Bagaimana keadaan ibu ku om?""Dia ada di dalam sedang melewati masa kritisnya. Doakan yang terbaik untuknya ya!""Apa ibuku akan baik baik saja?""Tentu saja"Ara dan Raka datang menyusul Aziz lari tergopoh gopoh."Mas, Tante gimana? Apa sudah sadar?""Belum Ra, ibu belum sadar""Sabar Ziz, ibu mu pasti baik baik saja"Ammar menatap ketiga anak muda yang datang berbeda waktu itu bergantian."Di mana ayahmu? Kenapa tak datang bersamamu?" Seru Ammar menatap Aziz."Ayah ga ada om, sudah meninggal" ucap Aziz."Nanti Papa Ikhsan akan kesini buat nemenin. Sabarlah mas!"ucap Ara.&n
"Benarkah, nanti biar papa tanyakan pada Om Robert." sahut Bram."Bener ya Pa?" Dinda meyakinkan ucapan Bram."Tentu saja, kapan papa bohong sama anak sendiri?" Bram menatap lekat lekat pada Dinda."Papa memang yang terbaik." Dinda mengacungkan dua jempolnya pada Bram. "Best lah pokonya." tambah Dinda.****"Nak, kau sudah bangun?" Salma menata sarapan di meja makan apartemen Ammar."Ibu kapan kesini? Kok aku ga tahu?" Ammar menyeruput kopi buatan Salma."Sudah dari jam tujuh ibu di sini kak, beliau khawatir tentang keadaan kakak apalagi dengan kejadian semalam. Ibu terus kepikiran makanya nyuruh aku nganter ke sini." ngomel Fadli."Memangnya ada apa semalam Bu? Perang dunia ke tiga atau keempat?" Ammar terkekeh."Kau ini kak, ibu khawatir karena ayah bersikeras mau jodohin kakak sama Dinda.
"Raka... Tahu ga di mana Aziz dah hampir seminggu ga berangkat sekolah?" Tanya Husna setibanya di ruang kelas Aziz."Memang dia ga kasih tahu kamu kalau ibunya masuk rumah sakit?" Sahut Raka."Dia ga ngabarin soal itu hanya bilang dia lagi g pengen diganggu gitu aja sih" ucap Husna."Ya udah kalau itu pesennya jangan dihubungi untuk sementara waktu atau datang aja ke rumahnya nanti sore bareng aku. Ibunya siang ini dah balik kok dari rumah sakit""Beneran ya, nanti aku ditungguin loh jangan ditinggal" pinta Husna."Oke. Tapi jangan lupa uang bensinnya yaa!" Sahut Raka."Nah anak orang kaya kok g ada bensin ga modal banget" ketus Husna."Lah kan aku sopir kamu penumpang tetap bayar ongkos yaa...ya..!" Sahut Raka."Oke deh buat Aziz apa sih yang enggak buat dia" Husna tersenyum seketika wajahnya berbinar.&
"Aku sangat bahagia hari ini, terima kasih." Ammar mencium kedua tangan Ayana berkali kali."Justru aku yang harusnya berterima kasih karena sudah menerima ku dengan segala kekuranganku." Ayana tersenyum simpul membuat Ammar semakin gemas terhadapnya."Apakah boleh aku memintanya?""Tentu saja, lakukanlah."Ammar mencium kening Ayana sembari berucap doa, Ayana memejamkan matanya saat kedua daging kenyal tersebut menyentuh bagian keningnya.Ammar melepaskan Khimar instan yang dipakai oleh Ayana."MasyaAllah kau cantik sekali."Ayana menunduk malu pada Ammar, dengan cepat Ammar meraih dagu Ayana dengan tangan kirinya dan melahap bibir tipisnya dengan lembut. Bibir inilah yang selalu menganggu pikiran Ammar membuatnya tak fokus saat bekerja di kantor.Tangan kanannya bebas mengekplor tubuh Ayana dengan bebasnya.
Ibu, kapan sampai? Kok ga ngabarin Ammar kalau mau datang kan bisa Ammar jemput." Rengek Ammar khas manjanya anak kecil."Ibu telpon kamu ga diangkat ya sudah Fadli yang antar kesini tadi. Kok tumben pulang sore banget biasanya jam enam dah balik?" Salma menatap Ammar lekat-lekat."Kapan kamu mau nganter itu calon istri kamu? Mama ingin cepat-cepat ketemu.""Sabar Bu, Ammar lagi atur kembali jadwalnya biar bisa ketemu dengannya lebih lama jadi lebih puas ngobrol dengannya. Memangnya ada apa bu, kok Ibu buru-buru gitu?""Ayah kamu, sudah nentuin tanggal pernikahan kamu sama Dinda."Deg!"Secepat itu? Oke bu, besok aku bicara sama ayah agar tidak usah mengatur segala sesuatunya. Karena aku sudah memiliki calonnya."Ammar menyerahkan ponselnya pada Salma dan Salma pun terhenyak melihat siapa yang ada di ponsel anaknya itu.&
Ayana apa boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi padamu?" Ucap Ammar hati hati."Boleh memangnya ada apa?" Ayana menatap Ammar sekilas."Apa kau tidak berencana untuk menikah lagi?" Suara Ammar pelan.Ayana tercengang mendengar pertanyaan Ammar namun dengan segera dia menguasai perasaannya."Menikah? Dengan siapa? Memangnya masih ada yang mau menerimaku dengan status janda beranak satu" Ayana terkekeh."Jika kau mau pastinya banyak yang mau sama kamu. Kamu masih cantik dan menarik" komentar Ammar membuat Ayana tercengang untuk kedua kalinya."Jangan melawak tidak lucu sama sekali" sahut Ayana menata perasaannya karna dalam hatinya pun tak menampik bahwa dia masih terlihat seperti gadis berusia dua delapan tahun padahal sudah kepala tiga."Kau tidak percaya dengan ucapanku?" Ammar menatap lekat wajah Ayana."Kau ada ada saja" gur
"Raka... Tahu ga di mana Aziz dah hampir seminggu ga berangkat sekolah?" Tanya Husna setibanya di ruang kelas Aziz."Memang dia ga kasih tahu kamu kalau ibunya masuk rumah sakit?" Sahut Raka."Dia ga ngabarin soal itu hanya bilang dia lagi g pengen diganggu gitu aja sih" ucap Husna."Ya udah kalau itu pesennya jangan dihubungi untuk sementara waktu atau datang aja ke rumahnya nanti sore bareng aku. Ibunya siang ini dah balik kok dari rumah sakit""Beneran ya, nanti aku ditungguin loh jangan ditinggal" pinta Husna."Oke. Tapi jangan lupa uang bensinnya yaa!" Sahut Raka."Nah anak orang kaya kok g ada bensin ga modal banget" ketus Husna."Lah kan aku sopir kamu penumpang tetap bayar ongkos yaa...ya..!" Sahut Raka."Oke deh buat Aziz apa sih yang enggak buat dia" Husna tersenyum seketika wajahnya berbinar.&
"Benarkah, nanti biar papa tanyakan pada Om Robert." sahut Bram."Bener ya Pa?" Dinda meyakinkan ucapan Bram."Tentu saja, kapan papa bohong sama anak sendiri?" Bram menatap lekat lekat pada Dinda."Papa memang yang terbaik." Dinda mengacungkan dua jempolnya pada Bram. "Best lah pokonya." tambah Dinda.****"Nak, kau sudah bangun?" Salma menata sarapan di meja makan apartemen Ammar."Ibu kapan kesini? Kok aku ga tahu?" Ammar menyeruput kopi buatan Salma."Sudah dari jam tujuh ibu di sini kak, beliau khawatir tentang keadaan kakak apalagi dengan kejadian semalam. Ibu terus kepikiran makanya nyuruh aku nganter ke sini." ngomel Fadli."Memangnya ada apa semalam Bu? Perang dunia ke tiga atau keempat?" Ammar terkekeh."Kau ini kak, ibu khawatir karena ayah bersikeras mau jodohin kakak sama Dinda.
"Om, apa ibuku baik baik saja?"Ammar dan Fadli menoleh ke arah sumber suara."Om, apa ibuku baik baik saja?""Kau,....?""Aku Aziz om, anaknya ibu yang kecelakaan tadi? Bagaimana keadaan ibu ku om?""Dia ada di dalam sedang melewati masa kritisnya. Doakan yang terbaik untuknya ya!""Apa ibuku akan baik baik saja?""Tentu saja"Ara dan Raka datang menyusul Aziz lari tergopoh gopoh."Mas, Tante gimana? Apa sudah sadar?""Belum Ra, ibu belum sadar""Sabar Ziz, ibu mu pasti baik baik saja"Ammar menatap ketiga anak muda yang datang berbeda waktu itu bergantian."Di mana ayahmu? Kenapa tak datang bersamamu?" Seru Ammar menatap Aziz."Ayah ga ada om, sudah meninggal" ucap Aziz."Nanti Papa Ikhsan akan kesini buat nemenin. Sabarlah mas!"ucap Ara.&n
"Kak, apa kau sudah menemui ayah?" Seru Fadli."Aku belum mengatakan apapun. Entahlah, apa bisa melawan kemauan ayah sedangkan apa beliau harus kita turuti. Aku bingung sendiri dan lagi nanti malam gadis yang akan dijodohkan denganku akan datang ke rumah""Apa kau punya solusi untukku?" Lanjut Ammar memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut nyeri."Aku... Kak, apapun keputusanmu aku akan mendukungmu. Pikirkanlah dengan baik aku tak mau kau kecewa untuk kedua kalinya" ujar Fadli menepuk bahu sang kakak sebelum akhirnya keluar dari ruangan Ammar.***Kantor Ayana"Mbak, kau datang lebih awal apa Aziz tidak ke sekolah?" Seru Rahma."Eoh, dia dijemput mas Ikhsan jadi aku bisa datang lebih awal. Apa kita jadi bertemu klien hari ini?" Seru Ayana menatap tumpukan gambar sketsa gaun pengantin.
Ayana mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya, dia sudah terlambat menjemput anak lelakinya Aziz. Anak lelaki yang sangat manja dengan Ayana, anak laki laki kebanggaan Ayana. Karena hanya Aziz lah yang selalu menemaninya selama ini. Obat dari segala kegundahannya semenjak kepergian suaminya Daniyal zhacry. Laki laki yang menikahinya slama ini."Hallo, Assalamualaikum..." Ayana membuka mobilnya dengan kesusahan karena di tangan kirinya memegang berkas rancangan butiknya sembari mengapit ponselnya."Waalaikumussalam,... Dimana Ibu sekarang? Kenapa belum juga sampai? Aku sudah lelah Ibu" rengek Aziz di seberang sana."Tunggulah sebentar Ibu baru akan kesana, maaf tadi ada rapat mendadak" sesal Ayana karena tak bisa memberi tahukan putranya perihal rapat dadakan untuk acara pemotretan produk Khimar terbarunya."Aku tunggu disini Ibu jangan lama - lama. Assalamualaikum" klik Aziz dengan cepat mematikan sambungan teleponnya tanpa