“Mey, Tuhan kejam banget sama gue,” ucap Nayli, lirih. Pandangannya kosong saat menatap kaca lemari yang menempel di salah satu pintunya.
Meysa menggeleng. Dia menggenggam erat tangan Nayli, seakan memberikan energi positif agar Nayli masih bisa berpikir jernih.
“Lo salah kalau berpikir begitu. Tuhan baik, kok. Masalah jangan diambil kesimpulan dari satu sudut panjang aja. Menurut Tuhan, Arya bukan yang terbaik buat lo, makanya dikasih lihat siapa si Arya sebenarnya. Meskipun dengan cara mematahkan hati lo dulu, pasti Tuhan ganti lagi dengan seeorang yang kelak memberikan hati yang baru.”
“Kayaknya, bakal lama buat gue sembuh dari luka ini, Mey.”
Lagi-lagi, Meysa menggeleng. “Luka lo pasti kering, kok. Tuhan yang mengatur segala-Nya. Bisa aja, tiba-tiba besok lo jatuh cinta sama seseorang dan lupa sama kejadian hari ini. Kita gak ada yang tahu. Tapi yang jelas, jangan menutup celah bagi siapa pun untuk mencoba masuk ke kehidupan lo.”
“Sebenarnya, Nay, gue pernah lihat Fara sama Arya keluar dari dokter kandungan pas gue lagi di rumah sakit nemenin Mbak Ima lahiran. Tadi di mobil, gue mau ngomong itu ke lo. Tapi, takutnya lo gak percaya,” lanjut Meysa lagi.
Meysa ingat betul hari itu. Saat disuruh sang mama bergantian menjaga Mbak Ima yang habis lahiran di rumah sakit, Meysa malah kebingungan mencari ruangan rawatnya dan berujung melihat Fara dan Arya keluar dari ruangan dokter kandungan. Keduanya sempat terlibat pertengkaran kecil sampai menyita perhatian pasien yang tengah duduk menunggu panggilan.
Senyum sinis Nayli terukir. Luka di hatinya menganga lebar, terasa perih sampai dia tak tahu harus bagaimana.
“Mey, bilangin ke anak-anak. Acara makan-makan nanti malam batalin aja. Lain kali, makan di luar aja, gue yang traktir. Yang jelas bukan sekarang, nanti kalau gue siap ketemu orang banyak.”
Meysa mengangguk paham. Dielusnya punggung Nayli dengan lembut. Sahabatnya itu tidak menangis lagi. Lagi pula, menurut Meysa, hanya buang-buang air mata kalau untuk menangisi laki-laki seperti Arya.
“Lo nginep, ya, di sini. Temenin gue. Di rumah ini, nggak ada yang bisa gue ajak ngobrol sekarang. Bahkan, buat ketemu mereka semua aja rasanya belum siap.”
Selain alasan yang diucapkan Nayli, Meysa pun merasa khawatir kalau membiarkan Nayli sendirian sekarang. Takut kalau ada setan yang menghasut gadis ini untuk melakukan hal di luar kendali. Dan dia akan menjaga Nayli agar hal buruk tidak terjadi.
***
“Mey, liburan, yuk,” ujar Nayli, memecah keheningan kamarnya.
Meysa yang tengah tengkurap sambil menatap layar laptop pun menyahut, “Ke mana?”
“London.”
“Kapan?”
“Habis mereka berdua nikah.”
“Nggak bisa kayaknya, Nay. Gue kayaknya mau ke rumah nenek di Jawa dan lumayan lama di sana.”
Nayli mengangguk paham. Liburan ke London yang telah dia rencakan sejak lama bersama Arya dan menjadi hadiah untuk dirinya setelah merampungkan kuliah, tak mungkin dia batalkan. Tiket penerbangan, hotel, sudah dipesan sejak satu dua minggu lalu.
Masih terekam jelas bagaimana hancurnya hubungan yang Nayli bangun selama bertahun-tahun hanya karena kesalahan fatal. Segala angan-angan akan pernikahan dan rumah tangga yang harmonis bersama Arya sirna sudah.
Tersadar akan banyaknya barang-barang pemberian dari Arya di kamarnya, Nayli lantas bangkit dan menuju lemari baju.
“Lo mau ngapain, Nay?” tanya Meysa, melihat Nayli membuka lemari dan menatap baju-baju yang tergantung, terlipat di dalamnya.
“Gue mau buang sumbangin semua barang yang pernah Arya kasih.”
Satu per satu baju Nayli lempar ke karpet bulu cokelat polos di kaki ranjang. Kaus, gaus, jaket, semua dia keluarkan dari lemari. Lalu, dia melangkah ke meja belajar. Sebuah album foto dia ambil dari salah satu laci.
“Gue benci sama lo,” desis Nayli. Amarahnya kembali memuncak. Lembar demi lembar foto dalam album tersebut dia buka secara cepat sampai halaman terakhir.
Nayli melirik bingkai foto di salah satu sudut meja. Dirinya tersenyum lebar bersama Arya. Nayli ingat, foto itu diambil tepat di hari kelulusan SMA.
“Nay, lo yakin mau sumbangin baju-baju ini?” tanya Meysa, memastikan. Dia berdiri, menatap kamar yang biasanya rapi, kini berantakan. Album dan bingkai yang tadi dalam genggaman Nayli, sudah terdampar bersama tumpukan baju.
“Nggak ada gunanya lagi gue nyimpen semua sampah ini, Mey. Yang ada malah makin nyakitin hati gue. Daripada nggak gue pake, mending dikasih ke orang yang membutuhkan. Semua baju masih bagus-bagus, kok.”
Meysa mencekal pergelangan tangan Nayli, membuat Nayli menoleh.
“Apa?” Meysa tak menjawab pertanyaan Nayli, sebatas menatap Nayli yang tampak terluka. Sorot kebahagian yang tadi dia lihat sewaktu selesai sidang, tak dia temukan lagi di sana.
Nayli menghela napas panjang. Dia menepis tangan Nayli, lalu berujar, “Mey, gue mau lepasin Arya. Dia bukan lagi pacar gue, tapi adik ipar gue.”
“Move-on nggak segampang itu. Perlu proses panjang.”
“Dengan gue sibuk, gue bakal lupa tentang Arya, kok. Lama kelamaan, otak gue bakal lepas dari segala hal tentang Arya.”
“Kalau gitu, lo terlalu memaksakan.”
“Terus, gue harus bagaimana?” Nayli menatap Meysa lelah. Otaknya saat ini benar-benar buntu. Dia hanya ingin lupa pada kejadian yang terjadi hari ini. Ingin melupakan bagaimana rasa sakitnya dikhianati lebih parah daripada perselingkuhan Arya dua tahun lalu.
Kenapa? Kenapa harus Fara yang menjadi penghancur segala kisah indah, dongeng yang dia bangun dengan susah payah?
Nayli terduduk lemas di lantai, di sisi tumpukan baju-bajunya. Air matanya luruh kembali, meskipun tak deras. Perih menyayat hati, takdir memaksa dirinya harus tetap kuat.
“Oke, besok gue bantuin lo bawa barang-barang ini buat dikasih ke orang. Tapi mohon, jangan paksain diri lo buat lupa. Karena, semakin berusaha lo lupa, justru semakin diingat. Kadang, melupakan suatu hal pun harus dengan ketidak sengajaan. Biarkan takdir yang bekerja. Lo cuma perlu upgrade diri, lebih baik dari sekarang. Biar nanti, saat orang yang Tuhan takdirkan datang, diri lo benar-benar siap.”
***
Bulan telah habis tugasnya, bergantikan matahari yang kini menjadi penerang di bumi. Sinarnya yang belum terlalu terik pagi ini, terasa hangat bagi tubuh saat hanya berjalan-jalan santai. Namun, Nayli enggan melakukannya. Dia masih terbaring di balik selimut, memunggungi Meysa yang duduk di sisi ranjang, mengajaknya untuk turun dan sarapan.
Berkali-kali Meysa menggoyangkan tubuh Nayli, tetapi sahabatnya itu hanya melenguh pelan.
“Gue gak laper, Mey. Berapa kali lagi gue harus ngomong,” ujar Nayli. Selimutnya sengaja dia naikkan ke kepala. Sekujurnya tubuhnya tertutup sempurna.
Meysa langsung menarik paksa selimut yang menutupi Nayli, lalu dia buang ke lantai.
“Lo kalau kayak gini, malah ngerugiin diri sendiri. Seenggaknya, hati lo aja yang sakit, jangan fisik juga. Jangan lupakan mag lo, ya.”
“Iya-iya, gue ikut sarapan di bawah,” kata Nayli saat menurunkan kakinya hendak memakai sandal rumahannya.
Rupanya, orang-orang pun baru hadir di ruang makan. Nayli menjadi orang terakhir yang duduk, tepat di sebelah Meysa.
Sungguh. Nayli ingin berlari ke kamar sekarang setelah tahu orang di depannya itu Fara. Sang adik terus menatapnya, memelas berharap Nayli menyapa seperti pagi-pagi biasanya. Entah hanya sebatas kata-kata penyemangat atau sebatas lelucon saja.
Pagi ini, terasa sunyi. Seolah, masing-masing dari mereka ingin kesunyian.
Di hadapan mereka, sudah tersaji satu porsi nasi goreng. Barulah suara dentuman sendok beradu dengan piring menjadi pengiring acara sarapan kali ini.
“Ma, Nayli mau liburan ke London seudah acara pernikahan Fara,” celetuk Nayli. Hanya tiga suap nasi yang masuk ke mulutnya. Selanjutnya, piring yang masih terisi banyak nasi goreng dia geser sedikit ke tengah. Dia menoleh pada kedua orang tuanya bergantian, yang duduk di masing-masing ujung meja, keduanya saling berhadapan.
Awalnya Adam, sang papa hendak menolak. Namun, saat istrinya melotot sambil mengangguk, seolah isyarat untuk menyetujui.
“Meysa ikut juga?” tanya Adam, tak langsung mengiakan.
Nayli menggeleng. “Aku mau sendirian aja, Yah. Sekalian buat hadiah ke diri sendiri udah wisuda.”
“Wisudanya kapan emang?”
Sambil menatap Fara, Nayli menjawab, “Dua hari sebelum pernikahan Fara.”
“Kalau begitu, Mama yang anterin kamu cari baju buat wisuda, ya? Udah lama juga kita nggak jalan berdua, Nay,” imbuh sang Mama, tersenyum hangat menatap Nayli. Namun, saat wajah Fara terekam matanya, senyum itu langsung luncur. Mau bagaimana pun, dia tetap sakit melihat putri kesayangan disakiti Fara yang notabene anak dari madunya.
Kecewa. Sungguh, Mia seperti ditusuk dari belakang oleh gadis yang selama ini dia perlakukan seperti anak sendiri. Meskipun awalnya dulu sempat menolak untuk mengurus Fara, tetapi dia tak tega hati menyakiti seorang anak kecil berusia lima tahu yang menjadi korban orang dewasa. Namun, dia merasa kebaikannya seperti dibalas dengan sangat kejam. Kebahagiaan Nayli telah direnggut Fara. Itu menurutnya.
Nayli mengangguk. “Kita obrolin nanti aja, Ma. Yang penting, Mama sama Ayah fokus sama pernikahan Fara saja sekarang.”
Merasa suasana di ruang makan semakin tidak enak, Nayli berinisiatif untuk menyudahi sesi sarapan sekarang ini.
“Kalau begitu, Nay sama Mey pamit ke kamar dulu. Masih ada janji hari ini.” Nayli melirik Meysa, berharap sahabatnya itu bisa membantunya untuk kabur dari sana.
Berlama-lama di sana hanya akan memperburuk hatinya.
Meysa tersenyum kaku. “I—iya, Om, Tante. Makasih sarapannya, enak.”
Nayli beranjak lebih dulu, disusul Meysa menaiki anak tangga ke lantai dua dan masuk ke kamar. Sengaja pintu kamar Nayli banting, sebagai unjuk rasa kesalnya yang tiba-tiba berkumpul di ubun-ubun hingga kepala nyaris meledak.
“Nay, ayo! Nggak enak sama Tante Ani, loh, kalau telak,” teriak Mia dari ruang keluarga.Terdengar suara pintu dibuka dari lantai dua. Tak lama, Nayli melangkah pelan menuruni satu per satu anak tangga sampai di hadapan sang mama yang menyambutnya dengan senyuman.“Anak Mama selalu cantik. Nggak kayak ....” Dibelainya surai hitam legam Nayli yang dia biarkan tergerai indah hari ini.“Perempuan di rumah ini cantik semua, Ma,” sahut Nayli, seolah menekankan bahwa Fara juga pantas dipuji.Mia mendelik. “Tuan putri Mama sangat baik.”“Ma, cukup. Jangan perpanjang lagi, ya. Ini masalah antara aku, Fara sama Mas Arya. Itu pun semuanya sudah selesai. Jadi, Nayli mohon sama Mama. Jangan berubah sikapnya sama Fara. Dia juga anak Mama walaupun tidak lahir dari rahim Mama. Fara tetap adik kandung aku, walaupun kami beda ibu. Oke, Ma?”Nayli cukup lelah juga melihat sikap sang mama sejak kejadi
"Nay, lo yakin?"Nayli mengangguk, menjawab pertanyaan Meysa.Meysa menatap khawatir Nayli. Meskipun sahabatnya itu sejak tadi pura-pura baik saja, tertawa saat dia melontarkan lelucon, tetapi lewat sorot mata saat kini mereka saling bertukar pandang, Meysa bisa menangkap dengan jalas sorot luka di mata Nayli."Jangan maksain kalau itu hanya bikin lo makin hancur, Nay.""Gue baik-baik aja, Mey. Percaya, deh."Malam ini, mereka sudah ada di hotel. Dan besok pagi, acara akad nikah dilaksanakan di ballroom hotel. Nayli sebagai kakak satu-satunya Fara menjadi salah satu bridesmaid, bersama Meysa yang dengan setia ikut menemani."Kalau besok gue gak hadir sama sekali, yang ada orang-orang bakal berpikir buruk, Mey."Spontan Meysa berdecak. Dia bangkit dari posisi rebahan selama hampir setengah jam. Lalu, berkacak pinggang setelah berhadapan dengan Nayli."Lo mikirin aja omongan orang. Nggak mikirin perasaan sendiri, hah?" Meysa dibu
Acara sebenarnya masih berlanjut sampai nanti malam. Hanya saja pindah lokasi, ganti konsep jadi garden party. Akan tetapi, sejak satu jam lalu, Nayli memilih untuk pulang lebih dahulu bersama Meysa. Banyak hal yang harus dia urus untuk liburannya ke London.Sejak selesai akad pun, Nayli berusaha mengalihkan pandangan agar tidak tertuju ke panggung. Dia sendiri naik ke panggung hanya dua kali. Pertama saat foto pertama bersama keluarga dan kedua kalinya bersama jajaran bridesmaids yang jumlahnya delapan orang, termasuk dirinya dan Meysa. Sebelum turun panggung, dia sempat berbisik maaf pada Fara. Entah untuk hal apa, yang jelas Nayli merasa plong saat tungkainya terayun menuju salah satu kursi bersama beberapa teman yang diundang juga."Nay," panggil Meysa.Nayli hanya berdeham. Dia masih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Mengguyur sekujur tumbuh dari ujung ke ujung benar-benar membuatnya lebih rileks, fresh sekarang.Terdengar bunyi bising d
Sepuluh hari kemudian ...Nayli. Gadis berpipi tembam seperti bakpau mengembuskan napas lega setelah berhasil duduk di bangku yang sedari tadi dicarinya.Sampai bertemu lagi nanti, London. Ia bergumam menatap langit-langit kota London yang cerah, dengan terik matahari yang membuat kerongkongannya kering.Beberapa penumpang masih berlalu lalang mencari kursi dibantu pramugari berseragam merah, rok selutut. Lagi, dirinya tersenyum mengingat dulu sewaktu kecil pernah bercita-cita menjadi pramugari. Terbang berkeliling dunia dan bertemu orang dari berbagai negara.“Tetap jadi kenangan bagaimana aku dulu ingin jadi seperti mereka.”Perhatiannya kembali ke luar jendela. Memerhatikan betapa panjangnya sayap pesawat. Memang tidak penting, sih, tapi begitulah Nayli.Sesekaliia menggumamkan lirik lagu Alan Walker berjudul On My Way yang ia dengarkan memalui earphone. “Boleh duduk di sini?” pinta seorang pria yang Nayli acuhkan. Tanpa sengaja karena memang gadis yang mengenakan pasmina warna c
“Kalau kamu percaya takdir, aminkan dalam hati kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.”Robin Wijayanto***Setelah mengambil koper kesayangannya, ia menoleh ke sana kemari mencari Pak Salman, supir pribadi keluarganya. Nihil. Tak ada sosok pria jangkung dengan jenggot tipis dan kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya.“Kebiasan, deh, telat,” dumelnya, menatap jam tangan berbahan stainless putih. Terlihat anggun melingkar di kulitnya yang putih susu, bersih. Hanya ada satu titik hitam kecil di punggung tangan atau biasa disebut tahi lalat.Ia menyentuh layar ponsel dengan logo buah apel sembari mengumpat. Ayolah. Tubuh jenjang yang dibalut dengan gamis merah maroon itu ingin segera beristirahat di ranjang empuk.Kepalanya mendongak bertepatan dengan seseorang yang ia kenali lewat ditemani beberapa orang berpakaian casual di belakangnya.Tubuh tinggi nan kekar juga bahu bidang tengah menarik koper hitam berukuran sedang dan berjalan tergesa-gesa. Dari raut wajah yang Nayli lihat, pri
“Berhati-hati dengan ucapan, karena akan jadi doa yang terkabul suatu hari nanti.”***Tatapan Nayli kosong ke jalanan. Dagunya ia topang sebagai penyangga, kaca mobil sengaja ia turunkan untuk menghirup aroma kota Jakarta yang sesak, penuh dengan polusi. Tetapi, justru dirindukan Nayli selama beberapa hari liburan ke London.“Non,” panggil Pak Salman. “Kita udah sampai di rumah.”Nayli tersadar begitu melihat sekeliling yang tak asing lagi. Ia langsung turun dari kursi belakang mobil dan matanya langsung disambut halaman luas yang penuh dengan bunga kesukaan mama.Ia mematung menatap bangunan kokoh tak terlalu megah dibandingkam tetangganya. Gaya minimalis, tetapi elegan. Berdominasi cat cokelat dan putih, sesuai permintaan Nayli selaku anak bungsu dari pemilik rumah, keluarga Adam.“Ma! Nayli pulang, nih,” teriak Nayli tanpa mengindahkan Pak Salman yang sedari memanggil namanya pelan.Mata Nayli langsung berbinar begitu melihat orang tuanya duduk berdampingan di kursi ruang t
“Nay, congrats!”“Uuuu! Nayli, gue terharu!”“Step akhir, yaitu wisuda. Yeay!”Seruan demi seruang masuk ke gendang telinga Nayli. Bibirnya lantas melengkung, menciptakan lekukan kecil di masing-masing pipi, mata ikut membentuk bulan sabit meski tengah menahan air mata bahagia.Rasa lega, bahagia, haru bercampur aduk menjadi satu. Dia akhirnya bisa menyelesaikan program S-1 jurusan Hubungan Internasional tepat waktu. Dan beberapa menit lalu, kaki terasa lemas setiap langkah kaki menjejak bumi, mengantarkannya keluar dari ruang sidang yang membuat dada seperti sesak, memancing keringat dingin berkucuran.“Makasih, ya, kalian udah nungguin gue keluar.” Dia berheneti sejenak, lalu menarik napas panjang agar rongga dada terasa lebih longgar. Setetes air mata pun tak bisa ditahan lagi, mengalir ke pipi saking bahagia. “Jangan lupa, ya. Nanti malam pada datang ke rumah, kita makan-makan. Kata nyokap g
Nayli pikir, kecemasan yang sepanjang jalan tadi dia rasakan, tak berdasar sama sekali. Buktinya, sekarang Arya pasti di rumahnya. Mobil Arya sudah terparkir di carport, tepat di samping mobil sang ayah.Langkah kaki Nayli terasa ringan, bibir tersenyum ceria, setelah yakin kalau Arya sengaja datang kemari untuk menemui dirinya dan meminta maaf atas insiden tempo hari. Ah, bahagia rasanya datang bertubi-tubi. Lama tak jumpa, hilang kabar bak ditelan bumi, akhirnya rasa rindu bisa tercurahkan hari ini.“Tadi merengut terus, sekarang senyum-senyum sendiri kayak lagi iklan pasta gigi,” seru Meysa sambil menyenggol bahu Nayli dengan bahunya.“Firasat gue kali ini salah, Mey,” sahut Nayli sambil memeluk erat berbagai buket.Meysa merotasikan patanya. “Ya udah, kita masuk. Sayang lo itu, si Arya, pasti udah nunggu di dalam.”Nayli mengangguk. Lantas dia berlari kecil menaiki tiga undakan tangga sampai ke teras rumah. S
“Berhati-hati dengan ucapan, karena akan jadi doa yang terkabul suatu hari nanti.”***Tatapan Nayli kosong ke jalanan. Dagunya ia topang sebagai penyangga, kaca mobil sengaja ia turunkan untuk menghirup aroma kota Jakarta yang sesak, penuh dengan polusi. Tetapi, justru dirindukan Nayli selama beberapa hari liburan ke London.“Non,” panggil Pak Salman. “Kita udah sampai di rumah.”Nayli tersadar begitu melihat sekeliling yang tak asing lagi. Ia langsung turun dari kursi belakang mobil dan matanya langsung disambut halaman luas yang penuh dengan bunga kesukaan mama.Ia mematung menatap bangunan kokoh tak terlalu megah dibandingkam tetangganya. Gaya minimalis, tetapi elegan. Berdominasi cat cokelat dan putih, sesuai permintaan Nayli selaku anak bungsu dari pemilik rumah, keluarga Adam.“Ma! Nayli pulang, nih,” teriak Nayli tanpa mengindahkan Pak Salman yang sedari memanggil namanya pelan.Mata Nayli langsung berbinar begitu melihat orang tuanya duduk berdampingan di kursi ruang t
“Kalau kamu percaya takdir, aminkan dalam hati kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.”Robin Wijayanto***Setelah mengambil koper kesayangannya, ia menoleh ke sana kemari mencari Pak Salman, supir pribadi keluarganya. Nihil. Tak ada sosok pria jangkung dengan jenggot tipis dan kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya.“Kebiasan, deh, telat,” dumelnya, menatap jam tangan berbahan stainless putih. Terlihat anggun melingkar di kulitnya yang putih susu, bersih. Hanya ada satu titik hitam kecil di punggung tangan atau biasa disebut tahi lalat.Ia menyentuh layar ponsel dengan logo buah apel sembari mengumpat. Ayolah. Tubuh jenjang yang dibalut dengan gamis merah maroon itu ingin segera beristirahat di ranjang empuk.Kepalanya mendongak bertepatan dengan seseorang yang ia kenali lewat ditemani beberapa orang berpakaian casual di belakangnya.Tubuh tinggi nan kekar juga bahu bidang tengah menarik koper hitam berukuran sedang dan berjalan tergesa-gesa. Dari raut wajah yang Nayli lihat, pri
Sepuluh hari kemudian ...Nayli. Gadis berpipi tembam seperti bakpau mengembuskan napas lega setelah berhasil duduk di bangku yang sedari tadi dicarinya.Sampai bertemu lagi nanti, London. Ia bergumam menatap langit-langit kota London yang cerah, dengan terik matahari yang membuat kerongkongannya kering.Beberapa penumpang masih berlalu lalang mencari kursi dibantu pramugari berseragam merah, rok selutut. Lagi, dirinya tersenyum mengingat dulu sewaktu kecil pernah bercita-cita menjadi pramugari. Terbang berkeliling dunia dan bertemu orang dari berbagai negara.“Tetap jadi kenangan bagaimana aku dulu ingin jadi seperti mereka.”Perhatiannya kembali ke luar jendela. Memerhatikan betapa panjangnya sayap pesawat. Memang tidak penting, sih, tapi begitulah Nayli.Sesekaliia menggumamkan lirik lagu Alan Walker berjudul On My Way yang ia dengarkan memalui earphone. “Boleh duduk di sini?” pinta seorang pria yang Nayli acuhkan. Tanpa sengaja karena memang gadis yang mengenakan pasmina warna c
Acara sebenarnya masih berlanjut sampai nanti malam. Hanya saja pindah lokasi, ganti konsep jadi garden party. Akan tetapi, sejak satu jam lalu, Nayli memilih untuk pulang lebih dahulu bersama Meysa. Banyak hal yang harus dia urus untuk liburannya ke London.Sejak selesai akad pun, Nayli berusaha mengalihkan pandangan agar tidak tertuju ke panggung. Dia sendiri naik ke panggung hanya dua kali. Pertama saat foto pertama bersama keluarga dan kedua kalinya bersama jajaran bridesmaids yang jumlahnya delapan orang, termasuk dirinya dan Meysa. Sebelum turun panggung, dia sempat berbisik maaf pada Fara. Entah untuk hal apa, yang jelas Nayli merasa plong saat tungkainya terayun menuju salah satu kursi bersama beberapa teman yang diundang juga."Nay," panggil Meysa.Nayli hanya berdeham. Dia masih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Mengguyur sekujur tumbuh dari ujung ke ujung benar-benar membuatnya lebih rileks, fresh sekarang.Terdengar bunyi bising d
"Nay, lo yakin?"Nayli mengangguk, menjawab pertanyaan Meysa.Meysa menatap khawatir Nayli. Meskipun sahabatnya itu sejak tadi pura-pura baik saja, tertawa saat dia melontarkan lelucon, tetapi lewat sorot mata saat kini mereka saling bertukar pandang, Meysa bisa menangkap dengan jalas sorot luka di mata Nayli."Jangan maksain kalau itu hanya bikin lo makin hancur, Nay.""Gue baik-baik aja, Mey. Percaya, deh."Malam ini, mereka sudah ada di hotel. Dan besok pagi, acara akad nikah dilaksanakan di ballroom hotel. Nayli sebagai kakak satu-satunya Fara menjadi salah satu bridesmaid, bersama Meysa yang dengan setia ikut menemani."Kalau besok gue gak hadir sama sekali, yang ada orang-orang bakal berpikir buruk, Mey."Spontan Meysa berdecak. Dia bangkit dari posisi rebahan selama hampir setengah jam. Lalu, berkacak pinggang setelah berhadapan dengan Nayli."Lo mikirin aja omongan orang. Nggak mikirin perasaan sendiri, hah?" Meysa dibu
“Nay, ayo! Nggak enak sama Tante Ani, loh, kalau telak,” teriak Mia dari ruang keluarga.Terdengar suara pintu dibuka dari lantai dua. Tak lama, Nayli melangkah pelan menuruni satu per satu anak tangga sampai di hadapan sang mama yang menyambutnya dengan senyuman.“Anak Mama selalu cantik. Nggak kayak ....” Dibelainya surai hitam legam Nayli yang dia biarkan tergerai indah hari ini.“Perempuan di rumah ini cantik semua, Ma,” sahut Nayli, seolah menekankan bahwa Fara juga pantas dipuji.Mia mendelik. “Tuan putri Mama sangat baik.”“Ma, cukup. Jangan perpanjang lagi, ya. Ini masalah antara aku, Fara sama Mas Arya. Itu pun semuanya sudah selesai. Jadi, Nayli mohon sama Mama. Jangan berubah sikapnya sama Fara. Dia juga anak Mama walaupun tidak lahir dari rahim Mama. Fara tetap adik kandung aku, walaupun kami beda ibu. Oke, Ma?”Nayli cukup lelah juga melihat sikap sang mama sejak kejadi
“Mey, Tuhan kejam banget sama gue,” ucap Nayli, lirih. Pandangannya kosong saat menatap kaca lemari yang menempel di salah satu pintunya.Meysa menggeleng. Dia menggenggam erat tangan Nayli, seakan memberikan energi positif agar Nayli masih bisa berpikir jernih.“Lo salah kalau berpikir begitu. Tuhan baik, kok. Masalah jangan diambil kesimpulan dari satu sudut panjang aja. Menurut Tuhan, Arya bukan yang terbaik buat lo, makanya dikasih lihat siapa si Arya sebenarnya. Meskipun dengan cara mematahkan hati lo dulu, pasti Tuhan ganti lagi dengan seeorang yang kelak memberikan hati yang baru.”“Kayaknya, bakal lama buat gue sembuh dari luka ini, Mey.”Lagi-lagi, Meysa menggeleng. “Luka lo pasti kering, kok. Tuhan yang mengatur segala-Nya. Bisa aja, tiba-tiba besok lo jatuh cinta sama seseorang dan lupa sama kejadian hari ini. Kita gak ada yang tahu. Tapi yang jelas, jangan menutup celah bagi siapa pun untuk mencoba mas
Nayli pikir, kecemasan yang sepanjang jalan tadi dia rasakan, tak berdasar sama sekali. Buktinya, sekarang Arya pasti di rumahnya. Mobil Arya sudah terparkir di carport, tepat di samping mobil sang ayah.Langkah kaki Nayli terasa ringan, bibir tersenyum ceria, setelah yakin kalau Arya sengaja datang kemari untuk menemui dirinya dan meminta maaf atas insiden tempo hari. Ah, bahagia rasanya datang bertubi-tubi. Lama tak jumpa, hilang kabar bak ditelan bumi, akhirnya rasa rindu bisa tercurahkan hari ini.“Tadi merengut terus, sekarang senyum-senyum sendiri kayak lagi iklan pasta gigi,” seru Meysa sambil menyenggol bahu Nayli dengan bahunya.“Firasat gue kali ini salah, Mey,” sahut Nayli sambil memeluk erat berbagai buket.Meysa merotasikan patanya. “Ya udah, kita masuk. Sayang lo itu, si Arya, pasti udah nunggu di dalam.”Nayli mengangguk. Lantas dia berlari kecil menaiki tiga undakan tangga sampai ke teras rumah. S
“Nay, congrats!”“Uuuu! Nayli, gue terharu!”“Step akhir, yaitu wisuda. Yeay!”Seruan demi seruang masuk ke gendang telinga Nayli. Bibirnya lantas melengkung, menciptakan lekukan kecil di masing-masing pipi, mata ikut membentuk bulan sabit meski tengah menahan air mata bahagia.Rasa lega, bahagia, haru bercampur aduk menjadi satu. Dia akhirnya bisa menyelesaikan program S-1 jurusan Hubungan Internasional tepat waktu. Dan beberapa menit lalu, kaki terasa lemas setiap langkah kaki menjejak bumi, mengantarkannya keluar dari ruang sidang yang membuat dada seperti sesak, memancing keringat dingin berkucuran.“Makasih, ya, kalian udah nungguin gue keluar.” Dia berheneti sejenak, lalu menarik napas panjang agar rongga dada terasa lebih longgar. Setetes air mata pun tak bisa ditahan lagi, mengalir ke pipi saking bahagia. “Jangan lupa, ya. Nanti malam pada datang ke rumah, kita makan-makan. Kata nyokap g