“Nay, ayo! Nggak enak sama Tante Ani, loh, kalau telak,” teriak Mia dari ruang keluarga.
Terdengar suara pintu dibuka dari lantai dua. Tak lama, Nayli melangkah pelan menuruni satu per satu anak tangga sampai di hadapan sang mama yang menyambutnya dengan senyuman.
“Anak Mama selalu cantik. Nggak kayak ....” Dibelainya surai hitam legam Nayli yang dia biarkan tergerai indah hari ini.
“Perempuan di rumah ini cantik semua, Ma,” sahut Nayli, seolah menekankan bahwa Fara juga pantas dipuji.
Mia mendelik. “Tuan putri Mama sangat baik.”
“Ma, cukup. Jangan perpanjang lagi, ya. Ini masalah antara aku, Fara sama Mas Arya. Itu pun semuanya sudah selesai. Jadi, Nayli mohon sama Mama. Jangan berubah sikapnya sama Fara. Dia juga anak Mama walaupun tidak lahir dari rahim Mama. Fara tetap adik kandung aku, walaupun kami beda ibu. Oke, Ma?”
Nayli cukup lelah juga melihat sikap sang mama sejak kejadian tempo hari. Dingin, sinis setiap kali ada Fara. Padahal, dulu sangat hangat. Dia pun kasihan saat tak sengaja mendengar tangisan Fara di taman belakang.
Nasi memang sudah jadi bubur. Nayli memang benci, tetapi ikatan batin antara dirinya dengan Fara membuatnya tak tega untuk terus menghakimi perempuan itu.
“Ya udah, Ma. Kita ke tempat Tante Ani sekarang. Nggak sabar juga lihat baju buat wisuda. Takut nggak pas di badan aku.”
Mia menatap Nayli sejenak, menelisik penampian sang putri dari atas sampai bawah. Kantung mata, mata tampak lelah, pipi tirus, tubuh mulai kurus.
“Jangan makan hati lagi, tapi makan nasi yang banyak. Kamu perlu kembali ke kehidupan kamu yang normal. Mama nggak suka lihat kamu hancur kayak gini,” pungkas Mia, lebih dulu melangkah ke luar rumah, disusul Nayli yang menghela napas pelan.
***
Lulus sebagai mahasiswi terbaik tahun ini di jurusan Hubungan Internasional, membuat semua keluarga bangga. Senyum terus terukir di bibir Nayli dari awal acara sampai akhir. Rasa syukur terus terucap di hatinya, berterima kasih pada Tuhan yang telah mempermudah segala halnya sampai menyandang gelar sarjana.
Baju toga telah tanggal dari tubuh Nayla. Tampak kebaya biru tua selutut dengan motif 3D warna emas serta bawahan batik cokelat melekat ditubuhnya yang jenjang. Dia terlihat sangat anggun, riasan di wajahnya membuat Nayli semakin cantik. Jalannya penuh kehatian-hatian, takut heels yang tak biasa dia kenakan membuatnya jatuh.
Setelah puas berfoto dengan kawan-kawan sejawatnya semasa kuliah, Nayli beniat menemui keluarganya yang katanya sudah menunggu di parkiran.
“Nay, gue ke rumah lo besok aja, ya. Nanti malam mau makan-makan bareng keluarga dulu,” ujar Mey, membuat Nayli berhenti melangkah.
Nayli menoleh, lalu mengangguk. “Iya, Mey. Lo harus luangin waktu bareng keluarga juga. Bukannya hobi main ke rumah gue.”
“Gue nggak apa-apa padahal, nggak perlu lo intilin terus, nggak perlu dijagain terus,” lanjut Nayli lagi, seraya cengengesan.
“Lo nggak perlu sandiwara di depan gue. Tanpa lo bilang pun, dari sorot mata, gue mengerti apa yang lo rasain. Jadi, tolong. Nggak usah jadi pembohong andal di depan orang yang kenal lo lebih dari satu dekade ini.”
Meysa menepuk bahu kanan Nayli pelan. Kemudian, dia pergi lebih dulu setelah mendapat panggilan masuk di ponselnya. Sang mama sejak tadi sudah menerornya untuk segera datang ke parkiran.
Sempat tercenung beberapa saat, kesadaran Nayli kembali dia raup kembali. Dia tersenyum hambar melihat pantulan wajahnya di layar ponsel.
“Menjadi kuat agar tak membuat orang-orang terkasih tidak khawatir, bukan sebuah kejahatan, bukan?” ujarnya saat mengambil langkah lagi. Tungkainya terayun tak terlalu bebas, sedikit sempit. Berhubung rok batiknya membuat Nayli kehilangan kebebasannya melangkah.
Sampai mobil keluargnya terlihat, pun kedua orang tua, Fara dan Arya ada di sana, Nayli otomatis terhenti.
Orang yang sangat tidak ingin Nayli lihat, kenapa harus datang? Tak sedikit pun Nayli berharap Arya datang hari ini. Bahkan, sampai memegang buket bunga yang dipastikan untuk Nayli. Ingin kabur, rasanya tak mungkin. Sang mama lebih dulu menyadari kehadiran Nayla, malah memanggil namanya dengan bangga.
Mau tak mau, Nayli melanjutkan langkahnya lagi sambil menebar senyum. Beberapa adik tingkat yang dia kenal tak sengaja lewat, lalu menyapa. Dan senyum itu, tak luntur sampai di hadapan sang mama.
“Kita ke studio foto sekarang aja, ya,” usul Adam, langsung memutari mobilnya hingga ke pintu kemudi.
Nayli mengangguk. Sejauh ini, dia masih baik-baik aja dengan Mia di sampingnya yang serta memeluk dengan erat.
“Nay,” panggil Arya, kemudian. Dia sejak tadi berdiri di belakang Fara, berjalan dua langkah lebih dekat dengan Nayli. Lantas, menyodorkan buket buka pada gadis yang masih menjadi pemilik takhta kerajaan hatinya.
“Makasih, Mas,” sahut Nayli, sambil menerima buket bunga tersebut. Dia melirik Fara, sang adik malah menunduk.
Nayli mengukir senyum penuh arti. Kedua orang tuanya masih menjadi penonton, walaupun Mia sudah siap memaki Arya.
“Bunga ini Mas Arya sudah kasih ke Nay. Itu berarti sudah jadi milik Nay.” Nayli melepas tangan sang mama yang melingkar di perutnya. Dia beralih mendekati Fara yang asyik menggoyangkan ujung sepatunya. “Bunga ini aku kasih ke Fara sebagai hadiah atas bayi di kandungannya.”
Spontan Fara mendongak, menatap sang kakak tak percaya. Matanya berkaca-kaca, pandangannya mendadak kabur.
“Jagain ponakan Mbak, ya, Fara. Dia harus kuat, sama seperti ibunya.”
Tolong jangan nangis, Nay. Sayang riasan lo kalau luntur, belum foto studio, lanjut Nayli, dalam hati.
Alih-alih mengambil bunga pemberian Nayli, Fara malah memeluk Nayli erat. Isak tangis lolos dari bibirnya. Dia sama sakitnya, dia sama kecewa akan dirinya sendiri yang telah menyakiti banyak orang. Terutama Nayli, sosok malaikat pelindung dirinya dari kecil sampai sekarang.
“Mau bagaimanapun, kamu tetap Faradila. Adik kecil Mbak yang selalu Mbak jaga. Maafin Mbak, ya, Fara,” bisik Nayli. Mati-matian dia menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk.
Maskara bisa tumpah ruah ke pipi, Nay, kalau lo nangis, batinnya.
Fara menggeleng pelan. Hatinya semakin teriris saat mendengar kata maaf dari Nayli. Dia yang salah. Tak seharusnya sang kakak sampai meminta maaf atas kesalahan yang tak diperbuat.
“Fara yang minta maaf ke Mbak Nay. Harusnya Fara balas segala kebaikan Mbak dengan baik, tapi ....”
Nayli langsung menyela, “Mbak gak pernah berharap balasan apa pun dari kamu, Fara. Kita saudara, nggak seharusnya merasa terhutangi atas kebaikan.”
Nayli harap, selepas ini, hatinya lebih lega dalam menerima takdir. Lusa nanti, Fara menggantikan posisinya sebagai istri dari Arya yang seharusnya dia sandang.
Sempat menatap langit yang tampak cerah, Nayli berucap dalam hati, Tuhan, berikan secepatnya pengganti yang bisa menjadi obat penyembuh untuk luka ini.
"Nay, lo yakin?"Nayli mengangguk, menjawab pertanyaan Meysa.Meysa menatap khawatir Nayli. Meskipun sahabatnya itu sejak tadi pura-pura baik saja, tertawa saat dia melontarkan lelucon, tetapi lewat sorot mata saat kini mereka saling bertukar pandang, Meysa bisa menangkap dengan jalas sorot luka di mata Nayli."Jangan maksain kalau itu hanya bikin lo makin hancur, Nay.""Gue baik-baik aja, Mey. Percaya, deh."Malam ini, mereka sudah ada di hotel. Dan besok pagi, acara akad nikah dilaksanakan di ballroom hotel. Nayli sebagai kakak satu-satunya Fara menjadi salah satu bridesmaid, bersama Meysa yang dengan setia ikut menemani."Kalau besok gue gak hadir sama sekali, yang ada orang-orang bakal berpikir buruk, Mey."Spontan Meysa berdecak. Dia bangkit dari posisi rebahan selama hampir setengah jam. Lalu, berkacak pinggang setelah berhadapan dengan Nayli."Lo mikirin aja omongan orang. Nggak mikirin perasaan sendiri, hah?" Meysa dibu
Acara sebenarnya masih berlanjut sampai nanti malam. Hanya saja pindah lokasi, ganti konsep jadi garden party. Akan tetapi, sejak satu jam lalu, Nayli memilih untuk pulang lebih dahulu bersama Meysa. Banyak hal yang harus dia urus untuk liburannya ke London.Sejak selesai akad pun, Nayli berusaha mengalihkan pandangan agar tidak tertuju ke panggung. Dia sendiri naik ke panggung hanya dua kali. Pertama saat foto pertama bersama keluarga dan kedua kalinya bersama jajaran bridesmaids yang jumlahnya delapan orang, termasuk dirinya dan Meysa. Sebelum turun panggung, dia sempat berbisik maaf pada Fara. Entah untuk hal apa, yang jelas Nayli merasa plong saat tungkainya terayun menuju salah satu kursi bersama beberapa teman yang diundang juga."Nay," panggil Meysa.Nayli hanya berdeham. Dia masih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Mengguyur sekujur tumbuh dari ujung ke ujung benar-benar membuatnya lebih rileks, fresh sekarang.Terdengar bunyi bising d
Sepuluh hari kemudian ...Nayli. Gadis berpipi tembam seperti bakpau mengembuskan napas lega setelah berhasil duduk di bangku yang sedari tadi dicarinya.Sampai bertemu lagi nanti, London. Ia bergumam menatap langit-langit kota London yang cerah, dengan terik matahari yang membuat kerongkongannya kering.Beberapa penumpang masih berlalu lalang mencari kursi dibantu pramugari berseragam merah, rok selutut. Lagi, dirinya tersenyum mengingat dulu sewaktu kecil pernah bercita-cita menjadi pramugari. Terbang berkeliling dunia dan bertemu orang dari berbagai negara.“Tetap jadi kenangan bagaimana aku dulu ingin jadi seperti mereka.”Perhatiannya kembali ke luar jendela. Memerhatikan betapa panjangnya sayap pesawat. Memang tidak penting, sih, tapi begitulah Nayli.Sesekaliia menggumamkan lirik lagu Alan Walker berjudul On My Way yang ia dengarkan memalui earphone. “Boleh duduk di sini?” pinta seorang pria yang Nayli acuhkan. Tanpa sengaja karena memang gadis yang mengenakan pasmina warna c
“Kalau kamu percaya takdir, aminkan dalam hati kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.”Robin Wijayanto***Setelah mengambil koper kesayangannya, ia menoleh ke sana kemari mencari Pak Salman, supir pribadi keluarganya. Nihil. Tak ada sosok pria jangkung dengan jenggot tipis dan kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya.“Kebiasan, deh, telat,” dumelnya, menatap jam tangan berbahan stainless putih. Terlihat anggun melingkar di kulitnya yang putih susu, bersih. Hanya ada satu titik hitam kecil di punggung tangan atau biasa disebut tahi lalat.Ia menyentuh layar ponsel dengan logo buah apel sembari mengumpat. Ayolah. Tubuh jenjang yang dibalut dengan gamis merah maroon itu ingin segera beristirahat di ranjang empuk.Kepalanya mendongak bertepatan dengan seseorang yang ia kenali lewat ditemani beberapa orang berpakaian casual di belakangnya.Tubuh tinggi nan kekar juga bahu bidang tengah menarik koper hitam berukuran sedang dan berjalan tergesa-gesa. Dari raut wajah yang Nayli lihat, pri
“Berhati-hati dengan ucapan, karena akan jadi doa yang terkabul suatu hari nanti.”***Tatapan Nayli kosong ke jalanan. Dagunya ia topang sebagai penyangga, kaca mobil sengaja ia turunkan untuk menghirup aroma kota Jakarta yang sesak, penuh dengan polusi. Tetapi, justru dirindukan Nayli selama beberapa hari liburan ke London.“Non,” panggil Pak Salman. “Kita udah sampai di rumah.”Nayli tersadar begitu melihat sekeliling yang tak asing lagi. Ia langsung turun dari kursi belakang mobil dan matanya langsung disambut halaman luas yang penuh dengan bunga kesukaan mama.Ia mematung menatap bangunan kokoh tak terlalu megah dibandingkam tetangganya. Gaya minimalis, tetapi elegan. Berdominasi cat cokelat dan putih, sesuai permintaan Nayli selaku anak bungsu dari pemilik rumah, keluarga Adam.“Ma! Nayli pulang, nih,” teriak Nayli tanpa mengindahkan Pak Salman yang sedari memanggil namanya pelan.Mata Nayli langsung berbinar begitu melihat orang tuanya duduk berdampingan di kursi ruang t
“Nay, congrats!”“Uuuu! Nayli, gue terharu!”“Step akhir, yaitu wisuda. Yeay!”Seruan demi seruang masuk ke gendang telinga Nayli. Bibirnya lantas melengkung, menciptakan lekukan kecil di masing-masing pipi, mata ikut membentuk bulan sabit meski tengah menahan air mata bahagia.Rasa lega, bahagia, haru bercampur aduk menjadi satu. Dia akhirnya bisa menyelesaikan program S-1 jurusan Hubungan Internasional tepat waktu. Dan beberapa menit lalu, kaki terasa lemas setiap langkah kaki menjejak bumi, mengantarkannya keluar dari ruang sidang yang membuat dada seperti sesak, memancing keringat dingin berkucuran.“Makasih, ya, kalian udah nungguin gue keluar.” Dia berheneti sejenak, lalu menarik napas panjang agar rongga dada terasa lebih longgar. Setetes air mata pun tak bisa ditahan lagi, mengalir ke pipi saking bahagia. “Jangan lupa, ya. Nanti malam pada datang ke rumah, kita makan-makan. Kata nyokap g
Nayli pikir, kecemasan yang sepanjang jalan tadi dia rasakan, tak berdasar sama sekali. Buktinya, sekarang Arya pasti di rumahnya. Mobil Arya sudah terparkir di carport, tepat di samping mobil sang ayah.Langkah kaki Nayli terasa ringan, bibir tersenyum ceria, setelah yakin kalau Arya sengaja datang kemari untuk menemui dirinya dan meminta maaf atas insiden tempo hari. Ah, bahagia rasanya datang bertubi-tubi. Lama tak jumpa, hilang kabar bak ditelan bumi, akhirnya rasa rindu bisa tercurahkan hari ini.“Tadi merengut terus, sekarang senyum-senyum sendiri kayak lagi iklan pasta gigi,” seru Meysa sambil menyenggol bahu Nayli dengan bahunya.“Firasat gue kali ini salah, Mey,” sahut Nayli sambil memeluk erat berbagai buket.Meysa merotasikan patanya. “Ya udah, kita masuk. Sayang lo itu, si Arya, pasti udah nunggu di dalam.”Nayli mengangguk. Lantas dia berlari kecil menaiki tiga undakan tangga sampai ke teras rumah. S
“Mey, Tuhan kejam banget sama gue,” ucap Nayli, lirih. Pandangannya kosong saat menatap kaca lemari yang menempel di salah satu pintunya.Meysa menggeleng. Dia menggenggam erat tangan Nayli, seakan memberikan energi positif agar Nayli masih bisa berpikir jernih.“Lo salah kalau berpikir begitu. Tuhan baik, kok. Masalah jangan diambil kesimpulan dari satu sudut panjang aja. Menurut Tuhan, Arya bukan yang terbaik buat lo, makanya dikasih lihat siapa si Arya sebenarnya. Meskipun dengan cara mematahkan hati lo dulu, pasti Tuhan ganti lagi dengan seeorang yang kelak memberikan hati yang baru.”“Kayaknya, bakal lama buat gue sembuh dari luka ini, Mey.”Lagi-lagi, Meysa menggeleng. “Luka lo pasti kering, kok. Tuhan yang mengatur segala-Nya. Bisa aja, tiba-tiba besok lo jatuh cinta sama seseorang dan lupa sama kejadian hari ini. Kita gak ada yang tahu. Tapi yang jelas, jangan menutup celah bagi siapa pun untuk mencoba mas
“Berhati-hati dengan ucapan, karena akan jadi doa yang terkabul suatu hari nanti.”***Tatapan Nayli kosong ke jalanan. Dagunya ia topang sebagai penyangga, kaca mobil sengaja ia turunkan untuk menghirup aroma kota Jakarta yang sesak, penuh dengan polusi. Tetapi, justru dirindukan Nayli selama beberapa hari liburan ke London.“Non,” panggil Pak Salman. “Kita udah sampai di rumah.”Nayli tersadar begitu melihat sekeliling yang tak asing lagi. Ia langsung turun dari kursi belakang mobil dan matanya langsung disambut halaman luas yang penuh dengan bunga kesukaan mama.Ia mematung menatap bangunan kokoh tak terlalu megah dibandingkam tetangganya. Gaya minimalis, tetapi elegan. Berdominasi cat cokelat dan putih, sesuai permintaan Nayli selaku anak bungsu dari pemilik rumah, keluarga Adam.“Ma! Nayli pulang, nih,” teriak Nayli tanpa mengindahkan Pak Salman yang sedari memanggil namanya pelan.Mata Nayli langsung berbinar begitu melihat orang tuanya duduk berdampingan di kursi ruang t
“Kalau kamu percaya takdir, aminkan dalam hati kita akan bertemu lagi suatu hari nanti.”Robin Wijayanto***Setelah mengambil koper kesayangannya, ia menoleh ke sana kemari mencari Pak Salman, supir pribadi keluarganya. Nihil. Tak ada sosok pria jangkung dengan jenggot tipis dan kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya.“Kebiasan, deh, telat,” dumelnya, menatap jam tangan berbahan stainless putih. Terlihat anggun melingkar di kulitnya yang putih susu, bersih. Hanya ada satu titik hitam kecil di punggung tangan atau biasa disebut tahi lalat.Ia menyentuh layar ponsel dengan logo buah apel sembari mengumpat. Ayolah. Tubuh jenjang yang dibalut dengan gamis merah maroon itu ingin segera beristirahat di ranjang empuk.Kepalanya mendongak bertepatan dengan seseorang yang ia kenali lewat ditemani beberapa orang berpakaian casual di belakangnya.Tubuh tinggi nan kekar juga bahu bidang tengah menarik koper hitam berukuran sedang dan berjalan tergesa-gesa. Dari raut wajah yang Nayli lihat, pri
Sepuluh hari kemudian ...Nayli. Gadis berpipi tembam seperti bakpau mengembuskan napas lega setelah berhasil duduk di bangku yang sedari tadi dicarinya.Sampai bertemu lagi nanti, London. Ia bergumam menatap langit-langit kota London yang cerah, dengan terik matahari yang membuat kerongkongannya kering.Beberapa penumpang masih berlalu lalang mencari kursi dibantu pramugari berseragam merah, rok selutut. Lagi, dirinya tersenyum mengingat dulu sewaktu kecil pernah bercita-cita menjadi pramugari. Terbang berkeliling dunia dan bertemu orang dari berbagai negara.“Tetap jadi kenangan bagaimana aku dulu ingin jadi seperti mereka.”Perhatiannya kembali ke luar jendela. Memerhatikan betapa panjangnya sayap pesawat. Memang tidak penting, sih, tapi begitulah Nayli.Sesekaliia menggumamkan lirik lagu Alan Walker berjudul On My Way yang ia dengarkan memalui earphone. “Boleh duduk di sini?” pinta seorang pria yang Nayli acuhkan. Tanpa sengaja karena memang gadis yang mengenakan pasmina warna c
Acara sebenarnya masih berlanjut sampai nanti malam. Hanya saja pindah lokasi, ganti konsep jadi garden party. Akan tetapi, sejak satu jam lalu, Nayli memilih untuk pulang lebih dahulu bersama Meysa. Banyak hal yang harus dia urus untuk liburannya ke London.Sejak selesai akad pun, Nayli berusaha mengalihkan pandangan agar tidak tertuju ke panggung. Dia sendiri naik ke panggung hanya dua kali. Pertama saat foto pertama bersama keluarga dan kedua kalinya bersama jajaran bridesmaids yang jumlahnya delapan orang, termasuk dirinya dan Meysa. Sebelum turun panggung, dia sempat berbisik maaf pada Fara. Entah untuk hal apa, yang jelas Nayli merasa plong saat tungkainya terayun menuju salah satu kursi bersama beberapa teman yang diundang juga."Nay," panggil Meysa.Nayli hanya berdeham. Dia masih mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Mengguyur sekujur tumbuh dari ujung ke ujung benar-benar membuatnya lebih rileks, fresh sekarang.Terdengar bunyi bising d
"Nay, lo yakin?"Nayli mengangguk, menjawab pertanyaan Meysa.Meysa menatap khawatir Nayli. Meskipun sahabatnya itu sejak tadi pura-pura baik saja, tertawa saat dia melontarkan lelucon, tetapi lewat sorot mata saat kini mereka saling bertukar pandang, Meysa bisa menangkap dengan jalas sorot luka di mata Nayli."Jangan maksain kalau itu hanya bikin lo makin hancur, Nay.""Gue baik-baik aja, Mey. Percaya, deh."Malam ini, mereka sudah ada di hotel. Dan besok pagi, acara akad nikah dilaksanakan di ballroom hotel. Nayli sebagai kakak satu-satunya Fara menjadi salah satu bridesmaid, bersama Meysa yang dengan setia ikut menemani."Kalau besok gue gak hadir sama sekali, yang ada orang-orang bakal berpikir buruk, Mey."Spontan Meysa berdecak. Dia bangkit dari posisi rebahan selama hampir setengah jam. Lalu, berkacak pinggang setelah berhadapan dengan Nayli."Lo mikirin aja omongan orang. Nggak mikirin perasaan sendiri, hah?" Meysa dibu
“Nay, ayo! Nggak enak sama Tante Ani, loh, kalau telak,” teriak Mia dari ruang keluarga.Terdengar suara pintu dibuka dari lantai dua. Tak lama, Nayli melangkah pelan menuruni satu per satu anak tangga sampai di hadapan sang mama yang menyambutnya dengan senyuman.“Anak Mama selalu cantik. Nggak kayak ....” Dibelainya surai hitam legam Nayli yang dia biarkan tergerai indah hari ini.“Perempuan di rumah ini cantik semua, Ma,” sahut Nayli, seolah menekankan bahwa Fara juga pantas dipuji.Mia mendelik. “Tuan putri Mama sangat baik.”“Ma, cukup. Jangan perpanjang lagi, ya. Ini masalah antara aku, Fara sama Mas Arya. Itu pun semuanya sudah selesai. Jadi, Nayli mohon sama Mama. Jangan berubah sikapnya sama Fara. Dia juga anak Mama walaupun tidak lahir dari rahim Mama. Fara tetap adik kandung aku, walaupun kami beda ibu. Oke, Ma?”Nayli cukup lelah juga melihat sikap sang mama sejak kejadi
“Mey, Tuhan kejam banget sama gue,” ucap Nayli, lirih. Pandangannya kosong saat menatap kaca lemari yang menempel di salah satu pintunya.Meysa menggeleng. Dia menggenggam erat tangan Nayli, seakan memberikan energi positif agar Nayli masih bisa berpikir jernih.“Lo salah kalau berpikir begitu. Tuhan baik, kok. Masalah jangan diambil kesimpulan dari satu sudut panjang aja. Menurut Tuhan, Arya bukan yang terbaik buat lo, makanya dikasih lihat siapa si Arya sebenarnya. Meskipun dengan cara mematahkan hati lo dulu, pasti Tuhan ganti lagi dengan seeorang yang kelak memberikan hati yang baru.”“Kayaknya, bakal lama buat gue sembuh dari luka ini, Mey.”Lagi-lagi, Meysa menggeleng. “Luka lo pasti kering, kok. Tuhan yang mengatur segala-Nya. Bisa aja, tiba-tiba besok lo jatuh cinta sama seseorang dan lupa sama kejadian hari ini. Kita gak ada yang tahu. Tapi yang jelas, jangan menutup celah bagi siapa pun untuk mencoba mas
Nayli pikir, kecemasan yang sepanjang jalan tadi dia rasakan, tak berdasar sama sekali. Buktinya, sekarang Arya pasti di rumahnya. Mobil Arya sudah terparkir di carport, tepat di samping mobil sang ayah.Langkah kaki Nayli terasa ringan, bibir tersenyum ceria, setelah yakin kalau Arya sengaja datang kemari untuk menemui dirinya dan meminta maaf atas insiden tempo hari. Ah, bahagia rasanya datang bertubi-tubi. Lama tak jumpa, hilang kabar bak ditelan bumi, akhirnya rasa rindu bisa tercurahkan hari ini.“Tadi merengut terus, sekarang senyum-senyum sendiri kayak lagi iklan pasta gigi,” seru Meysa sambil menyenggol bahu Nayli dengan bahunya.“Firasat gue kali ini salah, Mey,” sahut Nayli sambil memeluk erat berbagai buket.Meysa merotasikan patanya. “Ya udah, kita masuk. Sayang lo itu, si Arya, pasti udah nunggu di dalam.”Nayli mengangguk. Lantas dia berlari kecil menaiki tiga undakan tangga sampai ke teras rumah. S
“Nay, congrats!”“Uuuu! Nayli, gue terharu!”“Step akhir, yaitu wisuda. Yeay!”Seruan demi seruang masuk ke gendang telinga Nayli. Bibirnya lantas melengkung, menciptakan lekukan kecil di masing-masing pipi, mata ikut membentuk bulan sabit meski tengah menahan air mata bahagia.Rasa lega, bahagia, haru bercampur aduk menjadi satu. Dia akhirnya bisa menyelesaikan program S-1 jurusan Hubungan Internasional tepat waktu. Dan beberapa menit lalu, kaki terasa lemas setiap langkah kaki menjejak bumi, mengantarkannya keluar dari ruang sidang yang membuat dada seperti sesak, memancing keringat dingin berkucuran.“Makasih, ya, kalian udah nungguin gue keluar.” Dia berheneti sejenak, lalu menarik napas panjang agar rongga dada terasa lebih longgar. Setetes air mata pun tak bisa ditahan lagi, mengalir ke pipi saking bahagia. “Jangan lupa, ya. Nanti malam pada datang ke rumah, kita makan-makan. Kata nyokap g