Menatap hampa keluar jendela membuat Kayana tak sadar jika dirinya telah tiba di depan rumah. Lamunannya terbuyarkan suara manis dari Abil yang bersenandung merdu di sampingnya. Kayana menoleh. Sedikit senyuman terbuka lebar dari bibirnya yang mungil. Abil ikut tersenyum sambil terus berdendang. "Inget lagu ini enggak?" Kayana menggelengkan kepalanya. "Ini lagu yang pernah aku dengar waktu kamu lagi sedih." Kayana mengerutkan dahinya. "Kapan?" "Waktu kamu bilang, kamu enggak sanggup jalanin masa training di kantor karena sering dibully. Kamu sering denger lagu ini sama aku." Kayana terdiam. Ia merenung sesaat. Sungguh, ia lupa apa saja yang telah ia lakukan saat baru pertama kali menjadi staf baru di perusahaan itu. "Abil, kalau aku memilih keluar dari kantor. Bagaimana tanggapan kamu?" tanya Kayana yang terlihat serius. Abil menghentikan senandungnya. Sungguh ia pun bingung, karena Kayana terlalu cepat bertanya. Abil berpura tak mendengar. Napasnya berembus sangat berat. Ia se
Keputusan Kayana ingin mengundurkan diri dari perusahaan, membuat emosi Angga naik turun. Pria yang kemarin hampir melecehkan dirinya, kini hanya diam sambil meremat tangannya. Di hadapannya, ada Kayana yang terus menunduk sembari memainkan jari tangannya. Angga tak mau gegabah dalam mengambil keputusan. Kayana adalah karyawan teladan dan sudah banyak yang mengincarnya termasuk Rafandra. Maka, ia sedikit berhati-hati saat ingin bertanya pada gadis itu agar tak menyinggung perasaannya. "Kenapa mau resign?" tanya Angga berbasa-basi. "Bapak bisa lihat di surat itu," tunjuk Kayana. "Saya mau dengar dari mulut kamu sendiri." Kayana menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Ia mempersiapkan kalimat sebagus mungkin agar Angga mau membubuhkan tanda tangan di atas surat pengunduran dirinya. "Saya akan pindah keluar kota," jawab Kayana. Bohong. Kayana akan cari pekerjaan yang layak dan tidak ada penguntit di dalamnya. "Saya tidak akan mengizinkan kamu keluar dari perusahaan ini." Ang
"Kamu dikasih cuti berapa hari?" tanya Abil yang ikut menemani Kayana memesan tiket kereta sore ini. Kayana memajukan bibirnya mencari harga tiket yang sesuai dengan keuangannya. "Satu minggu," jawabnya singkat. "Ha? Satu minggu?" Kayana mengangguk pelan. "Kamu serius?" "Serius. Besok aku pulang cepat. Mau beres-beres pakaian." "Aku temani?" usul Abil yang dibalas gelengan kepala oleh Kayana. Ia menolaknya. "Kenapa?" "Kamu kan banyak pekerjaan. Nanti—" "Enggak. Aku bisa tinggalkan sementara. Atau aku temani kamu sabtu minggu?" Kayana tak enak hati melarang Abil. Tampaknya, pria itu dengan tulus hati ingin membantu dirinya. Setelah berpikir beberapa saat, ia pun mengangguk. "Boleh. Asal tidak menggangu." Abil tersenyum. Ia bahagia karena kali ini Kayana tak menolak sama sekali permintaannya. Keinginan Abil hanya satu, Kayana mau menerima dirinya seperti dahulu sebelum segalanya berubah. Kayana kembali mengerjakan pekerjaannya. Setengah pikirannya masih tertuju pada kata-kata
Kayana membuka tali sabuk pengaman dengan kasar hingga tangannya hampir menyentuh pipi Rafandra. Dirinya masih kesal karena merasa dijebak oleh pria berkelakuan aneh itu. Bukan dijebak lebih tepatnya, tapi diancam secara halus. Rafandra masih bersikap sabar, terutama saat Kayana yang tanpa basa-basi mengacungkan jari tengahnya. Ia tahu gadis itu masih kesal karena kejadian di basement apartemen tadi. Pasalnya, Rafandra tak sengaja mencium bibir Kayana yang terlihat merayunya. “Buka pintunya!” teriak Kayana. Rafandra masih diam di posisinya. Sementara Samsul mulai mengintip dari balik spion mobil, takut kalau Rafandra kembali berulah seperti tadi. “Nanti dulu. Besok, gue jemput ya. Terus kita jalan-jalan ke tempat biasa. Bagaimana?” “Enggak!” tolak Kayana tanpa basa-basi. Rafandra kembali mengeluh dalam hati. “Kenapa susah sekali sih ajak lu pergi? Gue janji enggak macam-macam.” Rafandra mengacungkan dua jari sebagai tanda perjanjian. Tentu saja Kayana menolak. Ia tahu akal bulus
Kayana kabur? Hanya dua kata yang terlintas di kepala Rafandra saat ini. Malam hari setelah mendengar kabar dari Rakabumi, ia langsung pergi mendatangi rumah kediaman orangtua Kayana untuk membuktikan kata-kata Rakabumi. Ternyata, apa yang dibicarakan sahabatnya itu adalah benar adanya. Kayana pergi bersama temannya entah kemana. "Ibu tahu kemana dia pergi?" tanya Rafandra dengan wajah khawatir. Sudah kedua kalinya ia menanyakan hal yang sama pada ibu Kayana. "Ibu hanya tahu dia mau pergi sama temannya. Kalau bukan Aruna, pasti Abil. Biasanya sih, jalan-jalan ke Bandung. Tapi ibu tidak tahu kali ini dia main kemana," ujar Naura menjawab kegelisahan Rafandra. "Tapi kok ponselnya tidak bisa dihubungi?" keluh Rafandra. "Oh, itu. Dia sengaja pakai ponsel yang baru." "Boleh saya tahu nomor ponselnya?" Naura terdiam. Dirinya tadi diberi pesan oleh Kayana untuk jangan memberitahu nomornya yang baru pada siapa pun termasuk Rafandra. "Maaf, Kayana bilang kalau—" "Saya punya tiket mas
Setelah selesai acara di Surabaya, Rafandra pindah ke Bandung. Ia lelah. Baru beristirahat sepuluh jam, ia kini sudah harus terbang ke tempat lain. Padahal bisa saja kan, acaranya ditunda hingga dua hari. Sepanjang perjalanan menuju tempat acara, Rafandra terus mengutak-atik ponselnya. Ia berusaha mencari kabar tentang Kayana dari akun sosial medianya. Nihil. Tak ada kabar satu pun. "Samsul, berapa lama lagi sampai di hotel?" tanya Rafandra dengan nada malas. "Setengah jam lagi. Bos lelah?" Rafandra memukul lengan Samsul cukup keras. "Kamu pikir saya robot? Sejak dari hotel tadi saya sudah bilang lelah. Kenapa diajak ke Bandung?" "Penerbangan yang tersisa hanya di pagi hari. Kita kan ada acara malamnya, Bos." Rafandra menghembuskan napas lelahnya. Kesal karena tak bisa menuntaskan kantuknya segera. "Suruh supirnya cepat. Saya sudah ngantuk." Samsul pun berbisik-bisik pada supir yang membawa mereka ke hotel untuk segera melajukan mobilnya secepatnya ke hotel. Rafandra jika sed
"Lu gila ya?" teriak Kayana hingga membuat sekitarnya menoleh ke arahnya. Bagaimana tidak, kini kedua insan itu tengah jadi sorotan para penonton yang hadir di sekitar lapangan tempat acara berlangsung. "Gue enggak gila. Gue serius." Kayana melempar botol minum yang masih ia pegang dan tepat mengenai kepala Rafandra. Ia langsung berlari sekuat tenaga menghindari kejaran pria yang menurutnya aneh itu. Rafandra terus mengejarnya dari belakang dan tiba-tiba saja ada sebuah mobil sedan melintas di sampingnya. Sedan itu berhenti lalu dari dalam seseorang memanggil Rafandra. "Bos, ayo kita susul neng Kayana." rupanya yang berteriak itu adalah Samsul, asistennya. Merasa mendapat bantuan, Rafandra pun segera masuk ke dalam mobil berniat mengikuti Kayana yang sudah menghilang dengan cepat. Berhasil. Rafandra berhasil mendapatkan tempat tinggal Kayana. "Itu rumahnya? Kok rumahnya kayak rumah hantu?" tunjuk Rafandra mengarah ke rumah uwa Kayana. "Sembarangan. Itu namanya rumah kuno, Bos.
Berita mengenai kaburnya Rafandra saat pembukaan acara, ternyata sampai juga ke telinga sang ayah. Berita itu ia peroleh dari salah satu panitia yang mengatakan bahwa Rafandra kabur setelah melihat seorang wanita. Mereka sempat berdebat bahkan Rafandra sempat melamarnya di depan umum. Sayangnya, wanita itu berlari menghindari Rafandra. Wirautama ingin marah saat mendengar kabar itu tapi di satu sisi ia bangga padanya. Sikapnya itu membuktikan, jika dirinya adalah seorang pejuang cinta yang pantang menyerah. Keesokan siangnya, Rafandra pulang bersama Samsul. Mereka naik pesawat pagi dan satu jam kemudian sudah sampai di kediamannya. Wirautama sempat kaget melihat wajah kelelahan Rafandra tapi tak tega untuk menyapanya. "Samsul, apa yang terjadi?" Wirautama akhirnya bertanya pada anak buah Rafandra yang masih berada di ruang tamu. Samsul sedikit kaget, ia berdehem tiga kali lalu akhirnya menceritakan semua kejadian yang mereka alami. "Bos Rafa lagi bingung bos besar. Kenapa neng Kay