Rakabumi kesal. Sudah dua hari dirinya tak bisa menghubungi Kayana sama sekali. Nomor ponselnya tidak aktif dan ibunya berkata kalau sahabatnya itu sedang liburan dengan teman kantornya. Rakabumi menebak, pasti pria yang sering mengantar jemput Kayana tempo hari. Namun, kekesalannya lagi-lagi memuncak. Di hari ketiga kedatangannya ternyata Kayana pun belum kembali ke rumahnya. Apa mungkin Kayana menghilang? Satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab adalah Rafandra. Karena dia adalah alasan Kayana pergi menghindar. "Rafa!" teriak Rakabumi saat menginjakkan kakinya di rumah pribadi sahabatnya. Rafandra yang sedang duduk manis di sofa terlonjak kaget. Tanpa banyak bicara, tiba-tiba Rakabumi menarik kerah kemeja Rafandra hingga mencuat keatas. Rafandra membalasnya dengan dorongan yang cukup keras hingga Rakabumi hampir jatuh tersungkur. Rafandra menatap Rakabumi dengan tatapan menantang. "Apa mau lu? Datang ke kantor gue terus teriak-teriak?" tantang Rafandra. "Kayana hilang.
"Itu bos rumah kostnya." Mata Rafandra menyipit. Rumah besar di hadapannya terlihat tidak asing. Beberapa saat ia terdiam, ia pun tersadar. "Ini kan rumah kostnya Aruna." "Berarti kostnya di tempat Aruna, Bos." Samsul mematikan mesin mobil lalu membantu Rafandra menurunkan kaca mobilnya. Rafandra mengintip sedikit dari balik kaca mobil yang gelap itu. Rumah besar yang ditunjukkan oleh Samsul itu sangatlah sepi, tidak ada keramaian sedikit pun. "Kok sepi?" tanya Rafandra penasaran. Rumah tingkat dua dengan pagar sedikit rendah itu tidak menunjukkan tanda-tanda ada penghuninya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Seharusnya, banyak penghuni yang sudah pulang ke rumah. "Belum pulang mungkin," celetuk Samsul. "Kamu yakin ini rumahnya?" Samsul menoleh ke belakang. Ia mengangguk pasti karena sudah tiga hari ini dirinya membuntuti Kayana sejak dari kantornya hingga pulang ke rumah kost tersebut. Ia bahkan bertanya pada orang sekitar kost tentang penghuni baru bernama Kayana. Mere
Tokk tokk Suara ketukan pintu kamar terdengar nyaring. Ada seseorang tengah berdiri di depan pintu sejak lima menit yang lalu. Kayana membuka matanya perlahan. Sorot sinar matahari jatuh tepat di depan matanya. Ia melirik sekilas ke arah jam dinding, sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ini hari libur pertama sejak pindah ke tempat kost. Tokk tokk Suara itu kembali terdengar. Kayana perlahan bangkit dari tidur malasnya lalu membuka pintu kamar. Dengan wajah polos dan rambut berantakan, Kayana berdiri sambil menggaruk pinggangnya yang gatal. Dilihatnya, seseorang berdiri di depan pintu sambil menyembulkan deretan giginya. "Ada apa, Mbak?" Kayana sedikit ketus bertanya pada orang tersebut dan yang ditanya hanya diam tertawa sambil menggaruk kepalanya. Kayana mengerutkan dahinya bingung. "Anu mbak. Tadi malam pacarnya datang. Saya panggil mbak Kayana tapi tidak ada jawaban." orang tadi menunjukkan bungkusan plastik putih dan sesuatu di dalamnya. "Ini loh, ada yang kirim martabak tel
Kayana merasa dirinya seperti terdakwa kasus berat. Duduk di sofa panjang sendirian sambil diinterogasi pertanyaan panjang seputar kedekatannya dengan Rafandra. Ini baru pertama kalinya dan rasanya sangatlah aneh. Lirikan mata Kayana jatuh pada ibunya yang menatapnya penuh dengan rasa penasaran. Sementara itu ayahnya berkata lewat tatapan matanya. Seakan berbicara kalau ia butuh penjelasan dari anaknya. "Sebenarnya, kamu dan Rafa ada hubungan apa?" tanya Ruslan sang ayah. Kayana terdiam tak menjawab. "Kalian pacaran?" "Kata siapa?" Kayana mencebikkan bibirnya. "Tanya sama ibu. Pasti dia yang bikin gosip," tuduh Kayana pada Naura sang ibu. "Ibu enggak bilang apa-apa loh. Ibu hanya bilang, kalau kamu dan Rafa itu pernah dekat." Naura membela diri. "Bohong," Kayana merajuk. Kini tatapannya beralih pada ayahnya. "Ayah masih percaya sama ibu?" "Iya dong." Ketiganya terdiam. Kayana hendak pergi dari tempat itu tapi suara Naura menahan langkahnya. "Ibu ingin ketemu sama nak Rafa. In
"Menunggu lama?" Rakabumi yang sedang membaca buku menu menengadahkan wajahnya. Aruna yang tadi menyapanya tersenyum manis lalu duduk di hadapan Rakabumi tanpa malu-malu. "Tidak juga. Kamu silakan pesan lebih dulu." Rakabumi menyerahkan buku menunya pada Aruna. "Apa ya kabar?" "Kabar baik," jawab Aruna. Keduanya pun memesan makanan dan minuman kesukaan mereka. "Sebenarnya, aku mengajak Raka bertemu karena ingin membicarakan satu hal." Aruna yang tadi terdiam tiba-tiba bersuara. Rakabumi yang sejak tadi menikmati minuman langsung menatap Aruna tanpa ragu. "Tentang apa?" "Raka menyukai Kayana?" Rakabumi tersentak kaget dengan pertanyaan Aruna. Matanya berkedip seolah bertanya pada si lawan bicara. Aruna yang tak siap dengan reaksi Rakabumi seketika mengubah arah pembicaraannya. "Maksud Aruna—" "Ya. Aku menyukai Kayana." Jantung Aruna serasa menyelos ke bawah kakinya. Jawaban yang ia sudah bisa tebak akhirnya meluncur juga dari mulut Rakabumi. Senyum yang tadi lebar dan cerah b
Tindakan Alyssa yang menemui ibu Sonia sudah tepat. Awalnya, ia ingin anaknya berjodoh Sonia, putri dari Anna yang katanya cerdas dan punya segudang prestasi di segala bidang. Namun mendengar pengakuan Rafandra kemarin, rasanya ia harus pikir dua hingga tingga kali untuk menjodohkan mereka. Perundingan berjalan dengan alot. Anna, ibu Sonia tak ingin pembatalan itu terjadi. Bahkan ia menawarkan sebuah perjanjian tak tertulis untuk mempertahankan niatnya itu. Apalagi jika bukan perjanjian bisnis. "Jeng yakin ingin membatalkan perjodohan?" mata Anna melirik ke arah Alyssa yang terdiam memandangi foto salah satu bangunan yang sudah menjadi incarannya sejak satu tahun lalu. "Bangunan ini sedang diperebutkan loh. Katanya, ada yang bisa bayar lebih." "Kamu sengaja menjadikan mereka taruhan?" tegas Alyssa. Ia menyerahkan lagi foto bangunan itu pada Anna dengan kasar. "Kamu sama saja merendahkan harga diri anakmu sendiri." "Aku tidak merendahkan. Aku hanya membuat kesepakatan perjanjian ba
"Berita macam apa ini?" Rafandra menghempaskan tubuhnya ke atas sofa, menikmati waktu santainya yang ia habiskan setelah pulang bekerja. Pikirannya melayang entah kemana memikirkan kelakuan Sonia yang sudah di ambang batas. Setelah Rafandra mengusirnya, Sonia malah memyebarkan rumor jika dirinya akan menikahi putri pemilik butik terbesar di Jakarta. Rafandra terkejut, bahkan ingin segera klarifikasi rumor itu. Namun ibunya melarang. "Itu ulah Sonia?" tanya Wirautama yang baru saja selesai membaca isi berita yang menyudutkan anaknya. Rafandra mengangguk. "Kenapa tidak kamu tuntut?" "Mama bilang jangan dulu. Ini mau dijadikan ajang perlombaan sama mama supaya Rafa bisa segera menikahi Kayana," keluhnya. "Loh kok aneh?" Wirautama mengerutkan dahinya. "Tanya sama mama saja." Rafandra pasrah. Ia memang sedikit bingung dengan isi kepala ibunya yang terkadang di luar nalar. Namun terkadang, ibunya ini punya cara cerdas agar Rafandra bisa memenuhi keinginannya. "Mama tuh ingin kamu se
Setelah pengakuan cinta dari Rakabumi tadi sore, hubungan Kayana dan sahabatnya itu sedikit merenggang. Awalnya memang hubungan mereka tidak sedang baik-baik saja karena Kayana masih trauma kejadian di pesta ulang tahun itu. Ternyata, hal itu berlanjut hingga saat ini. Kayana dan rasa traumanya. "Kayana," panggil Aruna dari balik pintu. Kayana melambaikan tangannya menyuruh Aruna masuk. "Besok aku mau ada acara, kamu mau enggak tolong aku?" "Tolong apa nih?" tanya Kayana sambil mengerutkan dahinya. "Itu, tolong jagain kamar aku," pinta Aruna setengah memohon. Kayana melirik sesuatu yang dibawa oleh Aruna. Dua kantung plastik berisi makanan. Jika melihat dari bentuknya, pasti itu makanan siap saji. "Kok harus dijagain?" tanya Kayana penasaran. "Karena ada barang berharganya. Tolong ya." Aruna kembali memohon. "Ini untuk kamu. Aku belikan sandwich." "Kan aku ke kantor pagi hari, tetap saja kamar kamu kosong." Aruna menggelengkan kepalanya. "Aku berangkat sore. Nanti kunci aku ti
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t