Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Rafandra melajukan mobil dengan emosi yang tidak stabil. Ia tidak juga memelankan laju kendaraannya ketika mulai memasuki area bengkel mobil langganannya. Bengkel Mang Joni, itulah nama bengkel yang tersematkan di papan reklame. Cit!Ban mobil pun berdecit. Rafandra menginjak rem sedan mewahnya dan nyaris membuat keributan di bengkel. Ia turun dari mobil dan berteriak, “Mang Joni, beresin mobil ini seperti biasanya!”“Pelan-pelan atuh, Jang. Kasihan yang lain kaget,” tegur Mang Joni. Pria itu hanya terkekeh. “Jangan lama-lama ya, Mang!” seru Rafandra dengan sedikit kesal. Ia mengerutkan keningnya. “Selesai yang ini, ya.”Usai mendapatkan jawaban dari Joni, Rafandra beranjak menuju ruang tunggu. Namun, ia sempat melihat sosok wanita asing sedang menatap ke arahnya. “Siapa dia? Mengapa menatatapku seperti itu?” tanya Rafandra pelan. Rafandra duduk di ruang tunggu berhadapan dengan si wanita. Merasa ada yang tak beres, wanita asing tadi berdiri dari tempat duduk untuk mengecek kondi
“Gue jatuh cinta.”Tiga kata itu mengawali pagi yang indah di kehidupan membosankan Rafandra, seorang pengusaha muda nan tampan yang belum juga memiliki pasangan. Bersama dengan Rakabumi yang kini berada di ruangannya, ia banyak bercerita tentang pertemuannya dengan seorang wanita cantik beberapa hari yang lalu. Menjeda ucapannya, Rafandra kembali meneguk teh hangat yang ia pesan dari sekretarisnya tadi pagi, tak lupa dengan makanan kecil yang tersaji di sebelahnya. Sambil tertawa pelan, ia kembali berceloteh, “Gue harus dapetin dia.”Rafandra terkekeh. Rakabumi memutar bola matanya malas. Ia terbiasa mendengar keluhan Rafandra tentang pekerjaannya tapi yang didapatkannya pagi ini sangatlah berbeda. Sahabatnya tengah jatuh cinta, entah pada siapa.“Bisa diam enggak?” Rakabumi membentak Rafandra yang malah kembali terkekeh. “Ini sudah ke sepuluh kalinya lo bicara tentang jatuh cinta. Siapa yang membuat lo jadi banyak bicara seperti ini?” tanya Rakabumi yang kesal dengan tingkah Rafan
Rafandra kembali ke kantornya setelah mendapat izin dari ayahnya dengan alasan pekerjaannya masih cukup banyak dan harus diselesaikan hari ini juga. Sebenarnya, ia berbohong. Isi kepalanya akan meledak jika berada di satu ruangan yang sempit dengan aneka pembicaraan tak tentu arah. Terutama tentang basa-basi investasi perusahaan yang akan berujung pada perjodohan yang tak ia sukai.Rafandra berjalan angkuh memasuki ruangannya. Udara dingin menyergapnya begitu ia duduk di singgasananya yang terbaik. Ia menghela nafas panjang lalu menghempaskannya perlahan. Matanya memejam sesaat lalu kedua tangannya bertepuk memanggil sekretarisnya yang duduk di ruangan paling ujung bersekat kaca bening.Sekretaris andalannya itu tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia berdiri dari tempat duduknya sambil membawa buku catatan beserta alat tulis. “Selamat siang Pak Rafandra,” sapa sekretaris Rafandra yang bernama Mayang. Rafandra hanya mengangguk dan tangannya terulur meminta catatan yang digenggam oleh s
Pagi membosankan di rumah keluarga Wirautama. Rencana datang pagi menyambut rapat pimpinan kandas sudah. Rafandra dipaksa menemani sang ibunda tercinta pergi berbelanja sekaligus menemui temannya yang sudah lama tak bertemu. Awalnya ia menolak, tapi setelah diceramahi hampir satu jam akhirnya Rafandra hanya bisa pasrah.Sementara itu di kamar Alissa, sudah hampir dua jam wanita paruh baya yang masih tampak muda itu merapikan rambutnya yang lurus dengan model sanggul tinggi menjulang bak tugu Monas dengan jepitan bunga di sampingnya. Rutinitas wajib yang dilakukannya, apalagi saat akan bepergian ke luar rumah dalam waktu yang cukup lama.Tak lupa juga dengan parfum andalannya yang selalu ia pakai. Katanya, itu wangi khas wanita sosialita.“Masih muda ternyata,” gumamnya di depan cermin.Di ruang tamu, Rafandra yang sudah menunggu ibunya sejak ia mandi hingga sarapan lalu duduk sambil mengerjakan tugas kantor merasa sedikit bosan. Ia bahkan sudah selesai merapikan bahan untuk meetingnya
Hoam...Rafandra menguap lebar setelah menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer demi menyelesaikan laporan yang hari ini ia terima. Rasanya tulang belakangnya seperti dipukul palu ratusan kali. Matanya yang tadi tertutup kini meliar menerawang ruangannya yang sepi. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. “Siapa sih? Ganggu saja,” gerutunya.Dengan gerakan cepat ia menjawab panggilan dari seberang sana. “Halo,” sahutnya malas. Satu tangannya menekan tombol loudspeaker dan menaruh ponselnya di meja. “Kalau tidak ada yang penting, gue males ngomong.”Suara di seberang malah terkekeh.“Bro, jangan marah-marah terus nanti cepat tua.” Rafandra mengernyitkan dahinya lalu menarik ujung bibirnya remeh. “Gue hanya mau tanya, nama butik tempat teman tante Alissa biasa belanja, apa namanya?”“Untuk?” jawab Rafandra singkat. Suara di seberang kembali terkekeh.“Untuk calon pacar gue lah. Gue mau undang dia ke pesta ulang tahun dan rencananya mau ada kejutan di sana. Nah, gue mau beliin dia gaun