Rafandra melajukan mobil dengan emosi yang tidak stabil. Ia tidak juga memelankan laju kendaraannya ketika mulai memasuki area bengkel mobil langganannya. Bengkel Mang Joni, itulah nama bengkel yang tersematkan di papan reklame.
Cit!
Ban mobil pun berdecit. Rafandra menginjak rem sedan mewahnya dan nyaris membuat keributan di bengkel. Ia turun dari mobil dan berteriak, “Mang Joni, beresin mobil ini seperti biasanya!”
“Pelan-pelan atuh, Jang. Kasihan yang lain kaget,” tegur Mang Joni. Pria itu hanya terkekeh.
“Jangan lama-lama ya, Mang!” seru Rafandra dengan sedikit kesal. Ia mengerutkan keningnya.
“Selesai yang ini, ya.”
Usai mendapatkan jawaban dari Joni, Rafandra beranjak menuju ruang tunggu. Namun, ia sempat melihat sosok wanita asing sedang menatap ke arahnya.
“Siapa dia? Mengapa menatatapku seperti itu?” tanya Rafandra pelan.
Rafandra duduk di ruang tunggu berhadapan dengan si wanita. Merasa ada yang tak beres, wanita asing tadi berdiri dari tempat duduk untuk mengecek kondisi mobilnya.
Benar saja apa yang dikhawatirkan si wanita, ternyata memang ada yang tak beres dengan mobilnya. Mata wanita tersebut membelalak saat melihat spion kiri dan pintu mobilnya rusak serta lecet akibat perbuatan Rafandra. Emosinya seketika naik dan ia pun berlari menghampiri Rafandra yang tengah duduk dengan santainya di ruang tunggu tanpa rasa bersalah.
Brak!
Si wanita memukul sebuah tong besar didekatnya hingga nyaris membuat semua pengunjung bengkel terlonjak kaget termasuk Rafandra.
"Bisa nyetir enggak lo!" hardiknya.
Rafandra mengangkat wajahnya berpura-pura tak tahu apa yang terjadi. Sedanglan si wanita yang belum diketahui namanya berkacak pinggang. Mereka berdua saling berhadapan.
‘Aroma parfum pria ini sungguh segar. Jika dilihat-lihat, penampilan pria ini rapi dan harga parfumnya pasti mahal,’ pikir si wanita.
"Kenapa, Mbak?" jawab Rafandra berpura-pura lugu.
"Lihat noh!” tunjuk si wanita ke arah belakang. “Mobil gue rusak dan semua gara-gara lo!" matanya menatap tajam Rafandra dengan bibir bergetar menahan amarah.
Rafandra membuka kacamatanya. Perlahan ia berdiri, lalu berjalan ke arah mobil si wanita. Tanpa banyak tanya, Rafandra membuka dompetnya dan memberi sejumlah uang.
"Satu juta cukup, kan?" tanya Rafandra sembari menyodorkan 10 lembar uang berawarna merah kepada si wanita.
“Apa maksudnya?!" si wanita mengernyitkan dahin saat menerima uang pemberian pria itu.
Situasi ini tentunya menarik perhatian pengunjung bengkel lainnya, tetapi tak ada satu orang pun yang berani ikut campur.
"Ganti rugi lah, apalagi? Lagipula, gue tahu akal bulus kalian yang punya mobil tua kayak gitu. Mau nipu ya?"
Rafandra berbisik di telinga si wanita disertai senyuman mengejek dari ujung bibirnya. Si wanita kesal. Rafandra tak menyadari bahwa kedua tangan si wanita mengepal. Kemudian, Rafandra berjalan meninggalkan si wanita.
Si wanita berbalik, lalu memanggil Rafandra dengan suara lantang.
"Berhenti!" teriaknya. Pria itu berhenti dan menoleh ke belakang. "Tanggung jawab!"
Wanita asing itu berlari ke arah Rafandra, lalu menarik tangan kekarnya hingga punggung Rafandra ikut berbalik.
“Lo harus tanggung jawab! Mobil gue rusak dan semua karena ulah lo!” teriak si wanita lebih kencang sehingga membuat Joni berlari ke arah mereka berdua.
“Neng Kayana, sabar! Semua ini bisa dibicarakan baik-baik,” ucap Joni mencoba meredakan emosi si wanita.
‘Oh, jadi wanita aneh ini bernama Kayana!’ seru Rafandra di dalam hati ketika mengetahui nama si wanita aneh itu.
"Tanggung jawab? Tanggung jawab apa? Mobil lo kan emang udah rusak,” jawab Rafandra.
Rafandra berbalik dan kembali menuju ruang tunggu, tak menghiraukan teriakan Kayana. Namun sebelum ia sampai, tangannya ditarik lagi ke belakang oleh Kayana yang entah sejak kapan sudah berada di belakangnya. Rafandra kembali menaikkan alisnya menatap heran pada keberanian si wanita aneh.
"Mau apa sih, Adik manis? Lebih baik pulang ke rumah, cuci kaki cuci tangan," ujar Rafandra sinis. Kayana memang tampak mungil, maka tak heran dirinya dianggap masih remaja.
"Tanggung jawab!" teriak Kayana sembari berkacak pinggang.
"Tanggung jawab apa? lo hamil?" tanya Rafandra geram.
Melihat tingkah keduanya, Joni dan pengunjung bengkel lainnya hanya bisa menggeleng. Mereka terkagum-kagum dengan keberanian Kayana.
Kayana menantang pria menyebalkan itu, ditambah dengan tatapan heran dari pengunjung bengkel yang tertuju padanya. “Lo udah ngerusak mobil gue. Lihat noh spionnya!” tunjuk Kayana.
“Gue kan udah ganti rugi. Lo mau apalagi?” Rafandra mengibas tangan Kayana yang sejak tadi memegangi lengannya. Tatapannya berubah sinis dan tak bersahabat. “Gue tahu tipe orang kayak lo. Sengaja bilang mobil lo rusak biar orang ganti rugi padahal memang udah rusak.”
“Sembarangan kalau ngomong! Semua itu karena ulah lo!” teriak Kayana yang membuat pengunjung bengkel kembali menoleh kepadanya.
“Ya buktinya? Gue sering nemuin orang macam lo,”kilah Rafandra.
“Tapi semuanya ulah lo! Semua orang di sini bisa jadi saksi,” teriak Kayana lagi.
“Orang semacam lo sering banget memeras orang kaya buat melampiaskan kesalahannya sendiri. Gue memang nggak hati-hati saat parkir, tapi nggak ada yang tahu kalau mobil lo benar-benar rusak atau tidak,” balas Rafandra panjang lebar. Tangannya lantang menunjuk wajah Kayana dengan wajah sengit.
Mata Kayana memerah dan tangannya gemetar meremas lembaran uang yang ada di tangannya. Tampak butiran air mata yang siap turun dari pinggir matanya. “Lo itu jahat! Cowok paling jahat yang pernah gue temui,” hardik Kayana. Ia melempar seluruh uang yang ada di tangannya tepat di wajah pria itu. “Gue nggak butuh uang lo!”
Bisik-bisik pun terdengar. Joni yang sedari tadi diam kini menghampiri Rafandra yang mematung di tempatnya. Joni memukul pelan lengan Rafandra, lalu berkata, “Mas Rafa harus minta maaf. Sebagai seorang pria, harus bersikap lapang dada.”
“Tapi dia duluan, Mang. Dia yang bikin keributan,” jawab Rafandra yang masih tetap bertahan dengan egonya.
“Kan mas Rafa duluan yang nabrak spion mobilnya.”
Joni mencoba memberitahukan kesalahannya untuk menyadarkan Rafandra.
“Tapi kan—”
“Tuh orangnya di dalam!” tunjuk Joni ke arah Kayana.
Rafandra memutar bola matanya malas. Ia terpaksa melakukan ini karena tak enak dengan Joni yang sering membantunya.
Rafandra masuk ke ruang tunggu tempat Kayana duduk setelah terlibat adu mulut dengannya. Dilihatnya sosok gadis mungil yang tadi sempat membentaknya kini meringkuk membenamkan tubuhnya di sisi sofa. Rafandra jadi tak tega saat melihatnya.
“Ehem ….”
Rafandra tepat berdiri di depan Kayana. Hening sejenak, tak lama kemudian ia berdeham sehingga membuat Kayana bangun dan menengadahkan wajahnya menatapnya.
“Gue minta maaf.” Rafandra mengulurkan tangannya. Kayana hanya meliriknya dari ujung kaki hingga ke ujung kepala. Kesal tak direspon, Rafandra mendecih tak suka. “Gue tulus minta maaf. Jarang banget loh kayak begini.”
“Lo minta maaf apa ngajak berantem sih?” tantang Kayana.
“Minta maaf lah.”
Keduanya terdiam. Tiba-tiba saja di dalam ruangan itu seperti ada gerakan angin menyapu pipi Rafandra. Wajah Kayana yang sedang marah terlihat cantik dan membuat Rafandra terpesona dalam hitungan detik. Rafandra tak sadar bibirnya menyunggingkan senyum lebar.
"Kenapa senyum-senyum?! Lo mau tanggung jawab, kan?!" bentak Kayana. "Tahu nggak?! Mobil tua itu mahal harga suku cadangnya. Duit segitu mana cukup?!" tambahnya.
Rafandra hanya terdiam membatu seperti Malin kundang yang dikutuk ibunya. Wajah Kayana dan juga kata ketus yang keluar dari bibirnya seolah menambah pesona luar biasa dari gadis berambut hitam itu.
‘Tak kusangka, ada gadis yang tak mudah luluh dengan wajah tampanku! Sungguh gadis yang unik,’ pikir Rafandra.
“Cantik,” ucap Rafandra pelan yang ternyata didengar oleh Kayana.
"Heh, mau pura-pura amnesia? Lo tuh harus—"
"Iya, gue mau tanggung jawab lahir batin sampai dunia akhirat. Berapa nomor ponsel lo?" tanya Rafandra diakhiri cengiran tak jelas.
Kayana mencebikkan bibirnya. Bahunya bergidik, lalu pergi meninggalkan Rafandra begitu saja di ruang tunggu tanpa kata. “Cowok aneh,” umpatnya dari kejauhan.
Rafandra menyusul Kayana keluar dan berlari mengejarnya sambil berteriak. “Heh, jadi nggak? Katanya mau gue tanggung jawab?”
“Gue jatuh cinta.”Tiga kata itu mengawali pagi yang indah di kehidupan membosankan Rafandra, seorang pengusaha muda nan tampan yang belum juga memiliki pasangan. Bersama dengan Rakabumi yang kini berada di ruangannya, ia banyak bercerita tentang pertemuannya dengan seorang wanita cantik beberapa hari yang lalu. Menjeda ucapannya, Rafandra kembali meneguk teh hangat yang ia pesan dari sekretarisnya tadi pagi, tak lupa dengan makanan kecil yang tersaji di sebelahnya. Sambil tertawa pelan, ia kembali berceloteh, “Gue harus dapetin dia.”Rafandra terkekeh. Rakabumi memutar bola matanya malas. Ia terbiasa mendengar keluhan Rafandra tentang pekerjaannya tapi yang didapatkannya pagi ini sangatlah berbeda. Sahabatnya tengah jatuh cinta, entah pada siapa.“Bisa diam enggak?” Rakabumi membentak Rafandra yang malah kembali terkekeh. “Ini sudah ke sepuluh kalinya lo bicara tentang jatuh cinta. Siapa yang membuat lo jadi banyak bicara seperti ini?” tanya Rakabumi yang kesal dengan tingkah Rafan
Rafandra kembali ke kantornya setelah mendapat izin dari ayahnya dengan alasan pekerjaannya masih cukup banyak dan harus diselesaikan hari ini juga. Sebenarnya, ia berbohong. Isi kepalanya akan meledak jika berada di satu ruangan yang sempit dengan aneka pembicaraan tak tentu arah. Terutama tentang basa-basi investasi perusahaan yang akan berujung pada perjodohan yang tak ia sukai.Rafandra berjalan angkuh memasuki ruangannya. Udara dingin menyergapnya begitu ia duduk di singgasananya yang terbaik. Ia menghela nafas panjang lalu menghempaskannya perlahan. Matanya memejam sesaat lalu kedua tangannya bertepuk memanggil sekretarisnya yang duduk di ruangan paling ujung bersekat kaca bening.Sekretaris andalannya itu tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia berdiri dari tempat duduknya sambil membawa buku catatan beserta alat tulis. “Selamat siang Pak Rafandra,” sapa sekretaris Rafandra yang bernama Mayang. Rafandra hanya mengangguk dan tangannya terulur meminta catatan yang digenggam oleh s
Pagi membosankan di rumah keluarga Wirautama. Rencana datang pagi menyambut rapat pimpinan kandas sudah. Rafandra dipaksa menemani sang ibunda tercinta pergi berbelanja sekaligus menemui temannya yang sudah lama tak bertemu. Awalnya ia menolak, tapi setelah diceramahi hampir satu jam akhirnya Rafandra hanya bisa pasrah.Sementara itu di kamar Alissa, sudah hampir dua jam wanita paruh baya yang masih tampak muda itu merapikan rambutnya yang lurus dengan model sanggul tinggi menjulang bak tugu Monas dengan jepitan bunga di sampingnya. Rutinitas wajib yang dilakukannya, apalagi saat akan bepergian ke luar rumah dalam waktu yang cukup lama.Tak lupa juga dengan parfum andalannya yang selalu ia pakai. Katanya, itu wangi khas wanita sosialita.“Masih muda ternyata,” gumamnya di depan cermin.Di ruang tamu, Rafandra yang sudah menunggu ibunya sejak ia mandi hingga sarapan lalu duduk sambil mengerjakan tugas kantor merasa sedikit bosan. Ia bahkan sudah selesai merapikan bahan untuk meetingnya
Hoam...Rafandra menguap lebar setelah menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer demi menyelesaikan laporan yang hari ini ia terima. Rasanya tulang belakangnya seperti dipukul palu ratusan kali. Matanya yang tadi tertutup kini meliar menerawang ruangannya yang sepi. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. “Siapa sih? Ganggu saja,” gerutunya.Dengan gerakan cepat ia menjawab panggilan dari seberang sana. “Halo,” sahutnya malas. Satu tangannya menekan tombol loudspeaker dan menaruh ponselnya di meja. “Kalau tidak ada yang penting, gue males ngomong.”Suara di seberang malah terkekeh.“Bro, jangan marah-marah terus nanti cepat tua.” Rafandra mengernyitkan dahinya lalu menarik ujung bibirnya remeh. “Gue hanya mau tanya, nama butik tempat teman tante Alissa biasa belanja, apa namanya?”“Untuk?” jawab Rafandra singkat. Suara di seberang kembali terkekeh.“Untuk calon pacar gue lah. Gue mau undang dia ke pesta ulang tahun dan rencananya mau ada kejutan di sana. Nah, gue mau beliin dia gaun
Kayana kembali ke ruangannya setelah berdebat dengan manajer yang paling ia tidak sukai itu. Bibirnya mengerucut tajam lalu duduk menghempas pada kursi empuk miliknya. Matanya terpejam perlahan dan kembali terbuka setelah satu tepukan mendarat pelan di bahunya. “Dia berulah lagi?” tanya Abil yang tadi menepuk bahu kiri Kayana. “Jangan diambil pusing. Dia tidak akan berani macam-macam sama kamu.” “Memang, tapi tingkahnya menyebalkan.” Tak lama berselang, pintu ruangan manajer Angga terbuka. Sosok menyebalkan itu keluar disertai seringai dan gestur tubuh yang seolah sedang membenahi pakaiannya yang kusut. Ia berpura-pura menarik dasi dan merapikan rambutnya. Matanya terpaku pada Kayana yang sedang berbincang serius dengan Abil. “Kayana, terima kasih ya yang tadi,” teriak Angga dari depan ruangan. Akibat suaranya itu, tak pelak seluruh mata memandang ke arah Kayana dengan tatapan penuh tanda tanya. “Terima kasih apa?” jawab Kayana lantang. Angga menunjuk ke arah sudut bibirnya samb
"Wah..." Kayana terkagum melihat pemandangan gedung bertingkat dengan dekorasi cantik yang mengarah pada suatu ruangan besar. Ada karpet merah dan aneka bunga yang ditata apik di samping pintu masuk. "Pesta ulang tahun Raka meriah banget," tambahnya. Aruna mengangguk. Tangannya gatal untuk memotret gedung cantik itu namun segera dicegah oleh Kayana. "Jangan disini. Kita foto-foto di dalam saja." Aruna yang tadinya menegang, menghela nafas lega. "Aku kira kamu bakalan marahin aku tadi." Kayana tertawa renyah. Ia menarik tangan Aruna masuk ke dalam gedung. Gaun yang dipakainya serasa istimewa karena terlihat berbeda dari tamu undangan yang hadir. Sempat merasa tidak percaya diri tapi ia tak peduli. "Itu dia," tunjuk Kayana pada sosok Rakabumi yang sedang berbincang dengan seseorang. "Raka!" teriak Kayana. Rakabumi menoleh. Ia menyudahi pembicaraannya dengan orang itu dan langsung berjalan ke arah Kayana. "Kamu cantik sekali, Kayana. Ayo aku antar ke meja khusus." Tangan Kayana d
"Lepasin!" Kayana menghempas genggaman tangan Rafandra. Jarinya menunjuk ke wajah tampan pria itu dengan wajah bersungut-sungut menahan marah. "Lu, enggak usah pura-pura baik sama gue!" Suara Kayana yang menggelegar membuat beberapa orang yang kebetulan lewat menoleh. Ada yang mengernyitkan dahinya bingung, ada juga yang memilih abai lalu pergi. Rafandra hanya merespon amukan Kayana dengan kekehan singkat. "Gue, pura-pura baik?" Kayana mendengus. "Terserah deh. Gue hanya bantuin lu tadi. Gue lihat lu mau nangis." Rafandra berdalih. "Gue enggak nangis. Lu aja yang—" "Mas, kalau memang mau antar kami pulang sepertinya itu rencana yang bagus." Aruna memotong pembicaraan hingga membuat Kayana mendelik. "Temen kamu mau enggak?" tanya Rafandra balik. "Nanti dia ngamuk." Aruna menyenggol lengan Kayana yang tampak masih enggan menatap Rafandra. "Masnya mau anter kita sampai rumah. Kamu mau ikut enggak?" Kayana menoleh sambil mencibir kesal pada sosok Rafandra yang terlihat angkuh di
"Kenapa harus ke kantor papa sepagi ini sih?" keluh Rafandra dari balik kaca jendela mobilnya. Dirapikannya kemeja dan jas hitam andalannya lalu bergegas turun sambil membawa ponsel di tangannya. Asisten pribadi yang selalu mengikutinya berjalan di belakang dengan langkah cepat. Pasalnya, Rafandra entah sejak kapan tiba-tiba saja sudah berada di dalam lobi kantor. "Pak Rafa, jangan cepat-cepat. Saya lelah," keluh Samsul asisten pribadinya yang baru. Rafandra menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Kamu lemah. Saya jalan cepat saja kamu tidak kuat. Besok, kamu olahraga dulu sebelum berangkat ke kantor. Saya kasih dispensasi waktu satu jam." Samsul hanya mengangguk. Ocehan Rafandra ia anggap angin lalu. Sepuluh menit menyusuri lobi hingga ke lantai sepuluh, akhirnya Rafandra tiba juga di ruangan ayahnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk lalu memejamkan matanya yang tiba-tiba memberat. "Baru datang sudah tidur. Ayo, ikut papa rapat." Wirautama membangunk