Rafandra kembali ke kantornya setelah mendapat izin dari ayahnya dengan alasan pekerjaannya masih cukup banyak dan harus diselesaikan hari ini juga. Sebenarnya, ia berbohong. Isi kepalanya akan meledak jika berada di satu ruangan yang sempit dengan aneka pembicaraan tak tentu arah. Terutama tentang basa-basi investasi perusahaan yang akan berujung pada perjodohan yang tak ia sukai.
Rafandra berjalan angkuh memasuki ruangannya. Udara dingin menyergapnya begitu ia duduk di singgasananya yang terbaik. Ia menghela nafas panjang lalu menghempaskannya perlahan. Matanya memejam sesaat lalu kedua tangannya bertepuk memanggil sekretarisnya yang duduk di ruangan paling ujung bersekat kaca bening.
Sekretaris andalannya itu tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia berdiri dari tempat duduknya sambil membawa buku catatan beserta alat tulis.
“Selamat siang Pak Rafandra,” sapa sekretaris Rafandra yang bernama Mayang. Rafandra hanya mengangguk dan tangannya terulur meminta catatan yang digenggam oleh sekretarisnya.
“Hari ini saya mau evaluasi semua hasil kerja rapat koordinasi dengan vendor kita yang baru. Karena rapat hari ini ditiadakan, jadi kamu sekalian beritahu pada mereka untuk memberikan laporan kasarnya pada saya hari ini.” Rafandra menutup buku catatan dan mengembalikannya lagi pada Mayang.
“Baik, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanya Mayang menawarkan bantuan. Rafandra terdiam sesaat lalu teringat akan sesuatu.
“Panggilkan Andi.”
“Baik, Pak.”
Andi adalah anak buah Rafandra yang paling dipercaya. Dia bertugas untuk membantu menyiapkan bahan atau apa saja yang diperlukan olehnya. Kadang Rafandra menyuruh anak buahnya itu membeli makanan atau pakaian dalam jika ia lupa.
Andi pun datang. Setelah mengetuk pintu dan masuk, ia duduk berhadapan dengan Rafandra. Bosnya itu terdiam seperti sedang melamuni sesuatu yang akhirnya tersadar karena lambaian tangan Andi di depan wajahnya.
“Pak Rafa panggil saya?” tanyanya. Rafandra mengangguk. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Kamu bisa bantu carikan saya sebuah hadiah. Ehm, ini untuk Mama saya sih.”
“Pak Rafa ingin dicarikan hadiah apa? Sepertinya Bu Alissa sangat menyukai tas atau sepatu dengan merk tertentu,” usul Andi. Rafandra menggelengkan kepalanya, ia menolak usul dari anak buahnya.
“Bagaimana kalau kamu carikan saya tanaman mahal yang sedang digandrungi oleh ibu-ibu. Kamu pasti tahu dong.”
Andi menggaruk belakang lehernya. Ia juga sebenarnya tak tahu menahu tentang tanaman mahal apa yang Rafandra inginkan. “Ibu saya pernah bilang, di kompleks perumahan tempat saya tinggal sedang gandrung dengan bunga rose.”
“Bunga rose?” tanya Rafandra yang diangguki oleh Andi. “Bagus tidak?”
“Dijamin bagus Pak. Ibu saya lagi kumpulin uang buat beli karena harga bibitnya lumayan mahal.”
“Berapa harganya?” tanya Rafandra sambil membuka dompet miliknya yang ada di laci meja. Dompet yang sengaja ia tinggal karena khusus berisi uang kertas.
“Satu bibit yang belum berbunga ada yang mencapai dua ratus ribuan, kalau yang sudah jadi kurang lebih ada yang sampai lima ratusan tergantung ukurannya,” jawab Andi sambil melirik ke dalam isi dompet Rafandra yang berisi sejumlah uang.
“Oh, itu sih murah,” sombong Rafandra.
Tanpa ragu Rafandra mengambil dua puluh lembar uang seratus ribu dan memberikannya pada Andi. “Belikan satu yang sudah berbunga dan satu lagi yang masih bibit. Sisanya buat kamu.”
“Buat saya, Pak?” Rafandra mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
Rafandra mengusir Andi keluar ruangan karena dirinya sedang ingin melamun sendiri. Andi pun pamit undur diri.
“Mama bakalan diam enggak ya kalau aku belikan bunga?” gumam Rafandra.
***
Cuaca di kota Jakarta berubah dengan cepat dalam hitungan menit. Satu jam yang lalu langit masih terang benderang dengan gumpalan awan putih berarak perlahan di atas kepala, detik berikutnya berubah kelam hingga berwarna hitam pekat seperti arang. Kayana mendesah kesal saat menengadah menatap langit. Impiannya pulang cepat kandas sudah. Kini ia berdiri termenung di depan lobby kantornya sambil menunggu taksi yang ia pesan datang.
Mata Kayana memandangi suasana di sekitar kantornya yang cukup ramai orang berlalu lalang. Tatapannya pun akhirnya jatuh pada satu bangunan di sebelah kantornya. Sebuah gedung cukup tinggi yang kabarnya hanya ditempati oleh satu perusahaan saja. Perusahaan yang katanya adalah saingan dari tempatnya bekerja sekarang.
Kayana melirik arlojinya, sudah lebih dari setengah jam ia berdiri dan hujan terlihat semakin deras.
“Kay, belum pulang?” Kayana menoleh ke belakang. Abil berdiri di belakangnya dengan tangan penuh membawa tas dan juga payung ukuran besar. Kayana menggeleng perlahan lalu menunduk. “Sama aku bagaimana? Kebetulan aku bawa mobil.” Abil menawarkan tumpangan.
“Tapi aku—” suara deringan telpon menginterupsi pembicaraan mereka. Ternyata itu suara ponselnya. Ia meminta izin Abil untuk menjawab telponnya lalu pergi menjauh.
Kayana mendengus pelan. Percakapannya dengan pengemudi taksi membuatnya kesal. “Oh, jalanannya macet ya, Pak? Ya sudah saya batalkan saja.” Kayana menutup panggilan dengan raut wajah cukup kesal.
“Bagaimana?” tanya Abil.
“Ikut deh. Daripada nunggu sampai malam.”
“Yuk, kita ke parkiran.”
Kayana pun mengikuti Abil hingga ke tempat parkir lantai bawah. Matanya menelusur ke setiap sudut tempat gelap tempat itu. Baru kali ini ia menginjakkan kakinya di sana. Biasanya ia hanya menunggu di lobby atau tempat parkir motor yang tak jauh dari pintu keluar.
“Masuk, Kay.”
“Kok banyak banget mobil di sana? Terus ada karangan bunga juga,” tunjuk Kayana ke arah sudut. Abil mengikuti arah telunjuk Kayana dan terdiam sejenak seperti sedang berpikir.
“Ah, kalau tidak salah itu milik gedung sebelah yang dititipkan ke sini,” jawab Abil yang masuk ke dalam mobil diikuti oleh Kayana.
“Kok dititipin ke sini?” Kayana terlihat penasaran. Karangan bunga itu menarik matanya sejak tadi. Warnanya yang cantik dan tak biasa menandakan harga dan kualitasnya yang di atas rata-rata.
“Kan ada kantor perwakilannya di gedung ini. Kebetulan, di gedung sebelah sudah penuh karangan bunga,” jawab Abil yang tak terasa telah melajukan kendaraannya menuju jalan besar.
“Yang punya konglomerat?”
“Katanya sih gitu. Tadi pas pembukaan saja ramai banget. Yang jadi pusat perhatian tuh anaknya pengusaha itu. Katanya tampan mirip model luar negeri.” Abil melirik Kayana yang terdiam tak menanggapi. Ia pun menggodanya, “Katanya masih single. Boleh tuh cocok sama kamu.”
“Bukan tipeku. Aku maunya laki-laki yang sederhana bukan yang kaya raya.”
“Ow, pantesan didekati anak bos selalu menghindar.”
***
Rafandra mengeluh. Pekerjaannya baru selesai menjelang pukul tujuh malam. Tangan dan bahunya pegal luar biasa. Mulutnya tak berhenti menguap, Rafandra mengantuk, tentu saja. Matanya memberat dan rasanya ingin segera terlelap. Samar-samar dari luar ruangan ada seseorang yang mengintip dari balik kaca lalu mengetuk pintu dengan cukup keras. Rafandra meliriknya dengan sebelah mata.
“Bos, mau pulang sekarang?” orang yang mengetuk itu masuk ke dalam ruangan sambil membawa dua cup minuman. Kalau dari aromanya, itu pasti cappucino kesukaan Rafandra.
“Nanti,” Rafandra menutup laptopnya. “Sudah selesai acaranya?” tanya Rafandra pada orang yang baru saja masuk yang ternyata adalah Rakabumi.
“Gue baru datang tapi orangnya enggak ada di tempat. Eh, Om Wira lagi ada acara ya di kantornya? Kayaknya seru tuh.”
“Kok tahu? Tadi mampir kesana?” Rafandra menyeruput minumannya yang baru saja diberikan oleh Rakabumi. Ia menyesapnya dan mengulum pelan di ujung lidah.
“Enggak sengaja mampir. Niatnya mau ke gedung sebelahnya, mau ketemu sama teman.”
“Teman apa teman?” sindir Rafandra. Rakabumi tersenyum malu, tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Teman tapi menuju halal.”
“Belum pacaran atau bagaimana?” pertanyaan Rafandra rupanya membuat Rakabumi terdiam. Rafandra mengerutkan dahinya lalu bertanya lagi. “Kok diam?”
“Dia unik, Raf. Gue dekatin dia dari zaman sekolah sampai sekarang enggak pernah dianggap lebih dari teman.”
“Coba sekali lagi dekati, kalau masih enggak mau cari yang lain.”
Rakabumi menghela nafas sejenak. Ia hampir lupa dengan niat kedatangannya ke kantor Rafandra. Satu tangannya merogoh saku kemeja, mencari sesuatu di dalam sana. “Datang ya. Gue adain acara ulang tahun minggu depan. Nanti gue kenalin sama si dia di sana.”
“Serius?” Rafandra membuka surat undangan yang diberikan Rakabumi padanya lalu terkekeh setelah membacanya sekilas. “Ok, gue datang.”
“Tadi pagi gue lupa kasih.” Rakabumi berdiri setelahnya. “Jangan lupa bawa pasangan.” Ia menepuk bahu Rafandra dua kali. “Gue duluan ya.”
“Hati-hati,” teriak Rafandra. Rakabumi melambaikan tangannya hingga berlalu dari dalam ruangan. “Sama-sama jomblo, bagaimana mau bawa pasangan?”
Pagi membosankan di rumah keluarga Wirautama. Rencana datang pagi menyambut rapat pimpinan kandas sudah. Rafandra dipaksa menemani sang ibunda tercinta pergi berbelanja sekaligus menemui temannya yang sudah lama tak bertemu. Awalnya ia menolak, tapi setelah diceramahi hampir satu jam akhirnya Rafandra hanya bisa pasrah.Sementara itu di kamar Alissa, sudah hampir dua jam wanita paruh baya yang masih tampak muda itu merapikan rambutnya yang lurus dengan model sanggul tinggi menjulang bak tugu Monas dengan jepitan bunga di sampingnya. Rutinitas wajib yang dilakukannya, apalagi saat akan bepergian ke luar rumah dalam waktu yang cukup lama.Tak lupa juga dengan parfum andalannya yang selalu ia pakai. Katanya, itu wangi khas wanita sosialita.“Masih muda ternyata,” gumamnya di depan cermin.Di ruang tamu, Rafandra yang sudah menunggu ibunya sejak ia mandi hingga sarapan lalu duduk sambil mengerjakan tugas kantor merasa sedikit bosan. Ia bahkan sudah selesai merapikan bahan untuk meetingnya
Hoam...Rafandra menguap lebar setelah menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer demi menyelesaikan laporan yang hari ini ia terima. Rasanya tulang belakangnya seperti dipukul palu ratusan kali. Matanya yang tadi tertutup kini meliar menerawang ruangannya yang sepi. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. “Siapa sih? Ganggu saja,” gerutunya.Dengan gerakan cepat ia menjawab panggilan dari seberang sana. “Halo,” sahutnya malas. Satu tangannya menekan tombol loudspeaker dan menaruh ponselnya di meja. “Kalau tidak ada yang penting, gue males ngomong.”Suara di seberang malah terkekeh.“Bro, jangan marah-marah terus nanti cepat tua.” Rafandra mengernyitkan dahinya lalu menarik ujung bibirnya remeh. “Gue hanya mau tanya, nama butik tempat teman tante Alissa biasa belanja, apa namanya?”“Untuk?” jawab Rafandra singkat. Suara di seberang kembali terkekeh.“Untuk calon pacar gue lah. Gue mau undang dia ke pesta ulang tahun dan rencananya mau ada kejutan di sana. Nah, gue mau beliin dia gaun
Kayana kembali ke ruangannya setelah berdebat dengan manajer yang paling ia tidak sukai itu. Bibirnya mengerucut tajam lalu duduk menghempas pada kursi empuk miliknya. Matanya terpejam perlahan dan kembali terbuka setelah satu tepukan mendarat pelan di bahunya. “Dia berulah lagi?” tanya Abil yang tadi menepuk bahu kiri Kayana. “Jangan diambil pusing. Dia tidak akan berani macam-macam sama kamu.” “Memang, tapi tingkahnya menyebalkan.” Tak lama berselang, pintu ruangan manajer Angga terbuka. Sosok menyebalkan itu keluar disertai seringai dan gestur tubuh yang seolah sedang membenahi pakaiannya yang kusut. Ia berpura-pura menarik dasi dan merapikan rambutnya. Matanya terpaku pada Kayana yang sedang berbincang serius dengan Abil. “Kayana, terima kasih ya yang tadi,” teriak Angga dari depan ruangan. Akibat suaranya itu, tak pelak seluruh mata memandang ke arah Kayana dengan tatapan penuh tanda tanya. “Terima kasih apa?” jawab Kayana lantang. Angga menunjuk ke arah sudut bibirnya samb
"Wah..." Kayana terkagum melihat pemandangan gedung bertingkat dengan dekorasi cantik yang mengarah pada suatu ruangan besar. Ada karpet merah dan aneka bunga yang ditata apik di samping pintu masuk. "Pesta ulang tahun Raka meriah banget," tambahnya. Aruna mengangguk. Tangannya gatal untuk memotret gedung cantik itu namun segera dicegah oleh Kayana. "Jangan disini. Kita foto-foto di dalam saja." Aruna yang tadinya menegang, menghela nafas lega. "Aku kira kamu bakalan marahin aku tadi." Kayana tertawa renyah. Ia menarik tangan Aruna masuk ke dalam gedung. Gaun yang dipakainya serasa istimewa karena terlihat berbeda dari tamu undangan yang hadir. Sempat merasa tidak percaya diri tapi ia tak peduli. "Itu dia," tunjuk Kayana pada sosok Rakabumi yang sedang berbincang dengan seseorang. "Raka!" teriak Kayana. Rakabumi menoleh. Ia menyudahi pembicaraannya dengan orang itu dan langsung berjalan ke arah Kayana. "Kamu cantik sekali, Kayana. Ayo aku antar ke meja khusus." Tangan Kayana d
"Lepasin!" Kayana menghempas genggaman tangan Rafandra. Jarinya menunjuk ke wajah tampan pria itu dengan wajah bersungut-sungut menahan marah. "Lu, enggak usah pura-pura baik sama gue!" Suara Kayana yang menggelegar membuat beberapa orang yang kebetulan lewat menoleh. Ada yang mengernyitkan dahinya bingung, ada juga yang memilih abai lalu pergi. Rafandra hanya merespon amukan Kayana dengan kekehan singkat. "Gue, pura-pura baik?" Kayana mendengus. "Terserah deh. Gue hanya bantuin lu tadi. Gue lihat lu mau nangis." Rafandra berdalih. "Gue enggak nangis. Lu aja yang—" "Mas, kalau memang mau antar kami pulang sepertinya itu rencana yang bagus." Aruna memotong pembicaraan hingga membuat Kayana mendelik. "Temen kamu mau enggak?" tanya Rafandra balik. "Nanti dia ngamuk." Aruna menyenggol lengan Kayana yang tampak masih enggan menatap Rafandra. "Masnya mau anter kita sampai rumah. Kamu mau ikut enggak?" Kayana menoleh sambil mencibir kesal pada sosok Rafandra yang terlihat angkuh di
"Kenapa harus ke kantor papa sepagi ini sih?" keluh Rafandra dari balik kaca jendela mobilnya. Dirapikannya kemeja dan jas hitam andalannya lalu bergegas turun sambil membawa ponsel di tangannya. Asisten pribadi yang selalu mengikutinya berjalan di belakang dengan langkah cepat. Pasalnya, Rafandra entah sejak kapan tiba-tiba saja sudah berada di dalam lobi kantor. "Pak Rafa, jangan cepat-cepat. Saya lelah," keluh Samsul asisten pribadinya yang baru. Rafandra menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Kamu lemah. Saya jalan cepat saja kamu tidak kuat. Besok, kamu olahraga dulu sebelum berangkat ke kantor. Saya kasih dispensasi waktu satu jam." Samsul hanya mengangguk. Ocehan Rafandra ia anggap angin lalu. Sepuluh menit menyusuri lobi hingga ke lantai sepuluh, akhirnya Rafandra tiba juga di ruangan ayahnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk lalu memejamkan matanya yang tiba-tiba memberat. "Baru datang sudah tidur. Ayo, ikut papa rapat." Wirautama membangunk
Kayana risih dengan tatapan aneh yang ditujukan padanya. Tak hanya satu, hampir sebagian isi kantin perusahaan milik Wirautama menatapnya dengan tatapan sinis. Termasuk salah satu diantaranya, wanita berpakaian merah cerah bersama dua temannya. Mereka seperti sedang menggunjing dirinya yang duduk berdua dengan Rafandra. "Ish. Gue salah apa sih?" gumamnya pelan. Namun sayangnya, gumaman itu didengar oleh Rafandra yang tengah sibuk mengaduk ramennya. "Kenapa?" Kayana menunjuk ke belakang dengan dagunya. Rafandra menoleh. Sontak, wanita berpakaian merah tersenyum malu lalu pura-pura menunduk. "Memangnya mereka kenapa?" "Dari tadi lihatin gue terus. Mana sinis begitu," kesal Kayana. Rafandra tersenyum, walaupun sedang kesal tetap saja nasi yang dipesannya habis disantap. "Biarin. Dia kan punya mata," jawab Rafandra santai. "Tapi kan—" "Dia itu fans gue. Udah, enggak masalah. Makannya dilanjutkan." Kayana ingin protes tapi ia urungkan. Mengingat jam makan siangnya sebentar lagi akan
Kayana mendengus kesal. Pasalnya, sejak pagi ada saja hal yang membuatnya ingin melampiaskan emosi. Hal pertama yang ia lihat saat datang, tiba-tiba saja ada dua bungkus makanan tersedia di meja kerjanya. Lalu tak lama kemudian ada buket bunga mawar yang dikirimkan seseorang padanya. Siapa lagi kalau bukan dari Rafandra. "Argh, siapa yang kirim sih?" Kayana terlihat mencak-mencak tidak karuan. Buket bunga itu ingin dilemparnya ke sudut ruangan tapi diurungkan olehnya karena buketnya cantik. "Jangan dibuang, Kay. Itu mahal," saran Sofyan, teman kerja Kayana. "Huft.." Kayana pun menaruh lagi buket bunga itu. Kaleng bekas yang ukurannya cukup besar ia gunakan untuk menaruh buket itu disana. Menjelang makan siang, Kayana dibuat kaget sekali lagi. Dua bungkus makanan mahal dari restoran mahal di Jakarta telah tersedia di mejanya. "Dari mana lagi ini?" tanya Kayana pada office boy yang mengantarnya. Office boy itu hanya menggelengkan kepalanya. "Masa enggak tahu sih? Jangan-jangan i