“Gue jatuh cinta.”
Tiga kata itu mengawali pagi yang indah di kehidupan membosankan Rafandra, seorang pengusaha muda nan tampan yang belum juga memiliki pasangan. Bersama dengan Rakabumi yang kini berada di ruangannya, ia banyak bercerita tentang pertemuannya dengan seorang wanita cantik beberapa hari yang lalu.
Menjeda ucapannya, Rafandra kembali meneguk teh hangat yang ia pesan dari sekretarisnya tadi pagi, tak lupa dengan makanan kecil yang tersaji di sebelahnya. Sambil tertawa pelan, ia kembali berceloteh, “Gue harus dapetin dia.”
Rafandra terkekeh.
Rakabumi memutar bola matanya malas. Ia terbiasa mendengar keluhan Rafandra tentang pekerjaannya tapi yang didapatkannya pagi ini sangatlah berbeda. Sahabatnya tengah jatuh cinta, entah pada siapa.
“Bisa diam enggak?” Rakabumi membentak Rafandra yang malah kembali terkekeh. “Ini sudah ke sepuluh kalinya lo bicara tentang jatuh cinta. Siapa yang membuat lo jadi banyak bicara seperti ini?” tanya Rakabumi yang kesal dengan tingkah Rafandra.
“Seorang wanita yang memaki dan berdebat sama gue di sebuah bengkel.” Rafandra mulai membayangkan pertemuan tak menyenangkan itu.
“Siapa namanya?” Rakabumi menginterupsi lamunan Rafandra.
“Gue enggak sempat kenalan,” ujar Rafandra yang terlihat bersedih tapi kemudian tersenyum lagi entah karena apa.
“Lalu apa usaha lo setelah ini?” tanya Rakabumi.
“Mungkin mencarinya di seluruh Jakarta,” jawab Rafandra yang disambut dengan cekikikan dari bibir Rakabumi.
“Lo pikir gampang?” tanya Rakabumi disertai kekehan.
“Jangan remehkan gue.”
Tengah mereka berdebat, pintu ruangan terbuka lebar bertanda ada tamu yang datang. Keduanya menoleh bersamaan. Rakabumi terkejut tapi sesudahnya tersenyum lebar karena ternyata Wirautama yang datang bersama dengan asistennya.
“Selamat pagi, Om.” Rakabumi menyapa ramah Wirauatama. Ia berdiri membungkuk lalu mencium tangannya dengan sopan. “Apa kabar, Om?”
“Pagi, Raka,” sapa Wirautama yang dibalas senyuman oleh Rakabumi. “Bagaimana syutingnya? Sudah selesai?” tanya Wirautama. Ayah Rafandra itu mengajak kedua anak muda di hadapannya untuk duduk bersama di sofa yang terletak di tengah ruangan. Keduanya pun menuruti ajakan Wirautama.
“Sedikit lagi selesai, Om.” Rakabumi menjawab malu-malu.
“Ajak Rafa syuting. Siapa tahu dia terkenal terus bisa dapat pacar dan calon istri sekalian,” sindir Wirautama. Rafandra berpura tak mendengar, dirinya malah sibuk membuka ponsel hanya untuk sekedar mengalihkan pembicaraan.
“Jangan, Om. Nanti saya kalah saing sama dia.”
Tatapan Wirautama berpaling ke Rafandra, anak semata wayangnya itu tak sadar hingga sebuah cubitan keras dari Rakabumi berhasil membuatnya tersadar. Bibirnya mencebik lalu membanting ponselnya ke samping. “Ada apa, Pa?”
“Nanti ikut makan siang di kantor Papa,” ujar Wirautama yang dibalas cebikan lagi oleh Rafandra. “Kita harus bicarakan soal lelang tempo hari. Nak Raka kalau mau ikut bisa sekalian,” ajak Wirautama. Rakabumi menggelengkan kepalanya menolak ajakan ayah Rafandra.
“Terima kasih atas ajakannya. Kebetulan saya mau pergi ke tempat teman. Sudah ada janji,” tolak Rakabumi halus.
“Yah, sayang sekali. Ya sudah tidak masalah.” Wirautama berdiri lebih dulu lalu merapikan jasnya yang sedikit kusut. “Papa tunggu di kantor. Jangan lupa.”
“Iya, Pa.” Rafandra menjawabnya dengan malas. Setelah ayahnya pergi, ia baru bisa menghela nafas. “Pasti gue dijodohin lagi.”
Rakabumi terkekeh melihat wajah memelas sahabatnya. Ia ikut berdiri lalu menepuk bahunya sebelum pergi, “Semoga cepat dapat jodoh. Gue duluan ya.”
***
Sudah diduga oleh Rafandra sebelumnya, ternyata makan siang yang ayahnya bicarakan bukan makan siang biasa. Ini adalah acara ramah tamah sekaligus pesta yang cukup besar untuk ukuran sebuah makan siang. Tamu undangan yang hadir pun tidak main-main, ada banyak pengusaha terkenal yang hadir di dalamnya. Bahkan, ia sempat melihat mantan pejabat hadir di tengah acara.
Rafandra bergumam kesal dalam hati, “Seharusnya tadi tetap di kantor saja.”
Rafandra berjalan pelan memasuki ruangan besar yang terletak di lantai paling atas. Ada sebuah ballroom mini yang biasanya dipakai untuk pesta akhir tahun kantor atau saat perusahaan memenangkan penghargaan. Dilihatnya dari kejauhan ada ayahnya yang sedang menerima banyak tamu undangan. Tak lupa dengan ramah tamahnya sebagai tuan rumah.
Wirautama menoleh lalu melambaikan tangannya memanggil Rafandra yang masih berdiri di depan pintu. “Rafandra, sini nak.”
Semua mata tertuju padanya. Rafandra membalas tatapan itu dengan senyuman canggung di bibirnya. Ia pun berjalan menghampiri ayahnya.
“Rafa, kenalkan.” Wirautama menarik tangan Rafandra agar lebih dekat dengannya. “Ini teman Papa yang bernama Pak Wisnu. Dia yang akan ikut dalam proyek kita tahun depan.”
Rafandra mengulurkan tangan mengajak pria bernama Wisnu untuk berjabatan tangan. “Perkenalkan, saya Rafa.”
“Salam kenal Rafa.”
Pesta kecil siang ini berjalan sesuai yang diharapkan. Kolega Wirautama banyak yang datang dan mengucapkan selamat padanya atas pencapaian Rafandra merintis perusahaan. Wirautama tersenyum mendengarnya tapi tidak dengan Rafandra. Ia hanya menunduk, memainkan dasi dan ponselnya.
"Nak Rafa ini sudah menikah atau belum?" tanya seorang yang duduk di samping Wirautama. Pria berkepala plontos dengan senyum mengembang bagaikan bunga kamboja.
"Ah, Rafa belum menikah. Katanya, tunggu yang cocok." Wirautama yang membalas pertanyaan pria itu. Ia tahu betul anaknya sedang dalam kondisi mood yang buruk.
"Wah, kalau begitu jodohkan saja dengan anak saya. Dia lulusan S2 Stanford dengan nilai memuaskan dan salah satu founder di perusahaan retail yang baru buka bulan lalu. Bagaimana, mau dikenalkan dengan anak saya?" ucap pria itu tanpa basa-basi.
Rafandra mencubit lengan ayahnya. Wirautama paham dengan kode itu, anaknya menolak penawaran koleganya."Ah, biarkan saja anak saya pilih sesuai dengan kriteria yang dia inginkan. Saya tidak akan memaksanya," jawab Wirautama dengan tegas.
"Yah, sayang sekali. Padahal anak saya cukup cantik," ujar pria itu kecewa.
“Maaf sebelumnya, Pak. Tapi memang Rafa masih ingin sendiri sambil mencari yang pantas,” kilah Rafandra. Ia ingin kolega ayahnya paham dan tak kecewa dengan keputusannya.
Rafandra menunduk sebentar lalu berpamitan pada ayahnya. “Rafa kembali ke kantor ya, Pa. Ada pekerjaan yang tak bisa ditunda.”
“Ya sudah duluan saja. Ada mama kamu kok di sini.”
***
Di tempat berbeda masih di area gedung yang berdekatan, seorang wanita bernama Kayana tengah berdiri di depan gedung menunggu temannya keluar untuk makan siang bersama. Kayana berdecak kesal, ia berkali-kali melirik arlojinya. Hari ini ia mendapat jatah makan siang pukul satu dan sekarang sudah lewat lima menit dari waktu yang ditentukan. Ia harus segera turun ke lantai bawah atau mengambil resiko kehabisan makanan.
“Kayana,” teriak Abil yang berlari ke arah Kayana. “Makan siang di gedung sebelah yuk?” ajaknya sambil menarik tangan Kayana. Keduanya masuk ke dalam lift bersama rombongan departemen lain. Kayana terpaksa mengikutinya.
“Di sana apa menunya yang paling enak?” tanya Kayana sebelum kakinya melangkah keluar lift menuju pintu lobby. Tangan keduanya bergandengan melewati jalan samping dekat gedung dan masuk melalui pembatasnya. “Kata Ivon, steak tempe di sana rasanya mirip daging sapi.”
“Kurang tahu, Kay. Kalau aku sih mau makan udon rasa udang. Katanya mak nyus, enggak kalah rasanya seperti yang di restoran besar,” jawab Abil.
Keduanya pun sampai di lobby gedung sebelah. Suasana ramai dan banyak mobil berlalu lalang membuat mereka sedikit bingung. Bahkan, jalan menuju lantai bawah gedung juga ikut ramai.
“Kok ramai?” bisik Kayana.
“Sepertinya ada acara.” Abel ikut berbisik.
“Jalan pelan-pelan.”
Mereka pun berjalan pelan masuk ke dalam lobby menuju pintu samping dekat dengan tangga ke arah kantin. Mereka berdua jalan sambil cekikikan tak jelas hingga membuat seorang pria yang sedang duduk di sofa ruang tunggu berdecak kesal. Kayana sempat menoleh ke belakang tapi tetap melanjutkan langkahnya lalu berbisik di telinga Abel. “Mas-mas yang tadi sepertinya nyindir kita deh.”
Abel mengerutkan dahinya lalu ikut menoleh ke belakang, ia balas berbisik di telinga Kayana, “Dia ngomong apa?”
“Ck, gitu katanya.”
Abel menggedikkan bahu. “Biarin, mungkin dia lagi kesal.”
Rafandra kembali ke kantornya setelah mendapat izin dari ayahnya dengan alasan pekerjaannya masih cukup banyak dan harus diselesaikan hari ini juga. Sebenarnya, ia berbohong. Isi kepalanya akan meledak jika berada di satu ruangan yang sempit dengan aneka pembicaraan tak tentu arah. Terutama tentang basa-basi investasi perusahaan yang akan berujung pada perjodohan yang tak ia sukai.Rafandra berjalan angkuh memasuki ruangannya. Udara dingin menyergapnya begitu ia duduk di singgasananya yang terbaik. Ia menghela nafas panjang lalu menghempaskannya perlahan. Matanya memejam sesaat lalu kedua tangannya bertepuk memanggil sekretarisnya yang duduk di ruangan paling ujung bersekat kaca bening.Sekretaris andalannya itu tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia berdiri dari tempat duduknya sambil membawa buku catatan beserta alat tulis. “Selamat siang Pak Rafandra,” sapa sekretaris Rafandra yang bernama Mayang. Rafandra hanya mengangguk dan tangannya terulur meminta catatan yang digenggam oleh s
Pagi membosankan di rumah keluarga Wirautama. Rencana datang pagi menyambut rapat pimpinan kandas sudah. Rafandra dipaksa menemani sang ibunda tercinta pergi berbelanja sekaligus menemui temannya yang sudah lama tak bertemu. Awalnya ia menolak, tapi setelah diceramahi hampir satu jam akhirnya Rafandra hanya bisa pasrah.Sementara itu di kamar Alissa, sudah hampir dua jam wanita paruh baya yang masih tampak muda itu merapikan rambutnya yang lurus dengan model sanggul tinggi menjulang bak tugu Monas dengan jepitan bunga di sampingnya. Rutinitas wajib yang dilakukannya, apalagi saat akan bepergian ke luar rumah dalam waktu yang cukup lama.Tak lupa juga dengan parfum andalannya yang selalu ia pakai. Katanya, itu wangi khas wanita sosialita.“Masih muda ternyata,” gumamnya di depan cermin.Di ruang tamu, Rafandra yang sudah menunggu ibunya sejak ia mandi hingga sarapan lalu duduk sambil mengerjakan tugas kantor merasa sedikit bosan. Ia bahkan sudah selesai merapikan bahan untuk meetingnya
Hoam...Rafandra menguap lebar setelah menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer demi menyelesaikan laporan yang hari ini ia terima. Rasanya tulang belakangnya seperti dipukul palu ratusan kali. Matanya yang tadi tertutup kini meliar menerawang ruangannya yang sepi. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. “Siapa sih? Ganggu saja,” gerutunya.Dengan gerakan cepat ia menjawab panggilan dari seberang sana. “Halo,” sahutnya malas. Satu tangannya menekan tombol loudspeaker dan menaruh ponselnya di meja. “Kalau tidak ada yang penting, gue males ngomong.”Suara di seberang malah terkekeh.“Bro, jangan marah-marah terus nanti cepat tua.” Rafandra mengernyitkan dahinya lalu menarik ujung bibirnya remeh. “Gue hanya mau tanya, nama butik tempat teman tante Alissa biasa belanja, apa namanya?”“Untuk?” jawab Rafandra singkat. Suara di seberang kembali terkekeh.“Untuk calon pacar gue lah. Gue mau undang dia ke pesta ulang tahun dan rencananya mau ada kejutan di sana. Nah, gue mau beliin dia gaun
Kayana kembali ke ruangannya setelah berdebat dengan manajer yang paling ia tidak sukai itu. Bibirnya mengerucut tajam lalu duduk menghempas pada kursi empuk miliknya. Matanya terpejam perlahan dan kembali terbuka setelah satu tepukan mendarat pelan di bahunya. “Dia berulah lagi?” tanya Abil yang tadi menepuk bahu kiri Kayana. “Jangan diambil pusing. Dia tidak akan berani macam-macam sama kamu.” “Memang, tapi tingkahnya menyebalkan.” Tak lama berselang, pintu ruangan manajer Angga terbuka. Sosok menyebalkan itu keluar disertai seringai dan gestur tubuh yang seolah sedang membenahi pakaiannya yang kusut. Ia berpura-pura menarik dasi dan merapikan rambutnya. Matanya terpaku pada Kayana yang sedang berbincang serius dengan Abil. “Kayana, terima kasih ya yang tadi,” teriak Angga dari depan ruangan. Akibat suaranya itu, tak pelak seluruh mata memandang ke arah Kayana dengan tatapan penuh tanda tanya. “Terima kasih apa?” jawab Kayana lantang. Angga menunjuk ke arah sudut bibirnya samb
"Wah..." Kayana terkagum melihat pemandangan gedung bertingkat dengan dekorasi cantik yang mengarah pada suatu ruangan besar. Ada karpet merah dan aneka bunga yang ditata apik di samping pintu masuk. "Pesta ulang tahun Raka meriah banget," tambahnya. Aruna mengangguk. Tangannya gatal untuk memotret gedung cantik itu namun segera dicegah oleh Kayana. "Jangan disini. Kita foto-foto di dalam saja." Aruna yang tadinya menegang, menghela nafas lega. "Aku kira kamu bakalan marahin aku tadi." Kayana tertawa renyah. Ia menarik tangan Aruna masuk ke dalam gedung. Gaun yang dipakainya serasa istimewa karena terlihat berbeda dari tamu undangan yang hadir. Sempat merasa tidak percaya diri tapi ia tak peduli. "Itu dia," tunjuk Kayana pada sosok Rakabumi yang sedang berbincang dengan seseorang. "Raka!" teriak Kayana. Rakabumi menoleh. Ia menyudahi pembicaraannya dengan orang itu dan langsung berjalan ke arah Kayana. "Kamu cantik sekali, Kayana. Ayo aku antar ke meja khusus." Tangan Kayana d
"Lepasin!" Kayana menghempas genggaman tangan Rafandra. Jarinya menunjuk ke wajah tampan pria itu dengan wajah bersungut-sungut menahan marah. "Lu, enggak usah pura-pura baik sama gue!" Suara Kayana yang menggelegar membuat beberapa orang yang kebetulan lewat menoleh. Ada yang mengernyitkan dahinya bingung, ada juga yang memilih abai lalu pergi. Rafandra hanya merespon amukan Kayana dengan kekehan singkat. "Gue, pura-pura baik?" Kayana mendengus. "Terserah deh. Gue hanya bantuin lu tadi. Gue lihat lu mau nangis." Rafandra berdalih. "Gue enggak nangis. Lu aja yang—" "Mas, kalau memang mau antar kami pulang sepertinya itu rencana yang bagus." Aruna memotong pembicaraan hingga membuat Kayana mendelik. "Temen kamu mau enggak?" tanya Rafandra balik. "Nanti dia ngamuk." Aruna menyenggol lengan Kayana yang tampak masih enggan menatap Rafandra. "Masnya mau anter kita sampai rumah. Kamu mau ikut enggak?" Kayana menoleh sambil mencibir kesal pada sosok Rafandra yang terlihat angkuh di
"Kenapa harus ke kantor papa sepagi ini sih?" keluh Rafandra dari balik kaca jendela mobilnya. Dirapikannya kemeja dan jas hitam andalannya lalu bergegas turun sambil membawa ponsel di tangannya. Asisten pribadi yang selalu mengikutinya berjalan di belakang dengan langkah cepat. Pasalnya, Rafandra entah sejak kapan tiba-tiba saja sudah berada di dalam lobi kantor. "Pak Rafa, jangan cepat-cepat. Saya lelah," keluh Samsul asisten pribadinya yang baru. Rafandra menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Kamu lemah. Saya jalan cepat saja kamu tidak kuat. Besok, kamu olahraga dulu sebelum berangkat ke kantor. Saya kasih dispensasi waktu satu jam." Samsul hanya mengangguk. Ocehan Rafandra ia anggap angin lalu. Sepuluh menit menyusuri lobi hingga ke lantai sepuluh, akhirnya Rafandra tiba juga di ruangan ayahnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk lalu memejamkan matanya yang tiba-tiba memberat. "Baru datang sudah tidur. Ayo, ikut papa rapat." Wirautama membangunk
Kayana risih dengan tatapan aneh yang ditujukan padanya. Tak hanya satu, hampir sebagian isi kantin perusahaan milik Wirautama menatapnya dengan tatapan sinis. Termasuk salah satu diantaranya, wanita berpakaian merah cerah bersama dua temannya. Mereka seperti sedang menggunjing dirinya yang duduk berdua dengan Rafandra. "Ish. Gue salah apa sih?" gumamnya pelan. Namun sayangnya, gumaman itu didengar oleh Rafandra yang tengah sibuk mengaduk ramennya. "Kenapa?" Kayana menunjuk ke belakang dengan dagunya. Rafandra menoleh. Sontak, wanita berpakaian merah tersenyum malu lalu pura-pura menunduk. "Memangnya mereka kenapa?" "Dari tadi lihatin gue terus. Mana sinis begitu," kesal Kayana. Rafandra tersenyum, walaupun sedang kesal tetap saja nasi yang dipesannya habis disantap. "Biarin. Dia kan punya mata," jawab Rafandra santai. "Tapi kan—" "Dia itu fans gue. Udah, enggak masalah. Makannya dilanjutkan." Kayana ingin protes tapi ia urungkan. Mengingat jam makan siangnya sebentar lagi akan