"Lepasin!" Kayana menghempas genggaman tangan Rafandra. Jarinya menunjuk ke wajah tampan pria itu dengan wajah bersungut-sungut menahan marah. "Lu, enggak usah pura-pura baik sama gue!" Suara Kayana yang menggelegar membuat beberapa orang yang kebetulan lewat menoleh. Ada yang mengernyitkan dahinya bingung, ada juga yang memilih abai lalu pergi. Rafandra hanya merespon amukan Kayana dengan kekehan singkat. "Gue, pura-pura baik?" Kayana mendengus. "Terserah deh. Gue hanya bantuin lu tadi. Gue lihat lu mau nangis." Rafandra berdalih. "Gue enggak nangis. Lu aja yang—" "Mas, kalau memang mau antar kami pulang sepertinya itu rencana yang bagus." Aruna memotong pembicaraan hingga membuat Kayana mendelik. "Temen kamu mau enggak?" tanya Rafandra balik. "Nanti dia ngamuk." Aruna menyenggol lengan Kayana yang tampak masih enggan menatap Rafandra. "Masnya mau anter kita sampai rumah. Kamu mau ikut enggak?" Kayana menoleh sambil mencibir kesal pada sosok Rafandra yang terlihat angkuh di
"Kenapa harus ke kantor papa sepagi ini sih?" keluh Rafandra dari balik kaca jendela mobilnya. Dirapikannya kemeja dan jas hitam andalannya lalu bergegas turun sambil membawa ponsel di tangannya. Asisten pribadi yang selalu mengikutinya berjalan di belakang dengan langkah cepat. Pasalnya, Rafandra entah sejak kapan tiba-tiba saja sudah berada di dalam lobi kantor. "Pak Rafa, jangan cepat-cepat. Saya lelah," keluh Samsul asisten pribadinya yang baru. Rafandra menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang. "Kamu lemah. Saya jalan cepat saja kamu tidak kuat. Besok, kamu olahraga dulu sebelum berangkat ke kantor. Saya kasih dispensasi waktu satu jam." Samsul hanya mengangguk. Ocehan Rafandra ia anggap angin lalu. Sepuluh menit menyusuri lobi hingga ke lantai sepuluh, akhirnya Rafandra tiba juga di ruangan ayahnya. Ia langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa empuk lalu memejamkan matanya yang tiba-tiba memberat. "Baru datang sudah tidur. Ayo, ikut papa rapat." Wirautama membangunk
Kayana risih dengan tatapan aneh yang ditujukan padanya. Tak hanya satu, hampir sebagian isi kantin perusahaan milik Wirautama menatapnya dengan tatapan sinis. Termasuk salah satu diantaranya, wanita berpakaian merah cerah bersama dua temannya. Mereka seperti sedang menggunjing dirinya yang duduk berdua dengan Rafandra. "Ish. Gue salah apa sih?" gumamnya pelan. Namun sayangnya, gumaman itu didengar oleh Rafandra yang tengah sibuk mengaduk ramennya. "Kenapa?" Kayana menunjuk ke belakang dengan dagunya. Rafandra menoleh. Sontak, wanita berpakaian merah tersenyum malu lalu pura-pura menunduk. "Memangnya mereka kenapa?" "Dari tadi lihatin gue terus. Mana sinis begitu," kesal Kayana. Rafandra tersenyum, walaupun sedang kesal tetap saja nasi yang dipesannya habis disantap. "Biarin. Dia kan punya mata," jawab Rafandra santai. "Tapi kan—" "Dia itu fans gue. Udah, enggak masalah. Makannya dilanjutkan." Kayana ingin protes tapi ia urungkan. Mengingat jam makan siangnya sebentar lagi akan
Kayana mendengus kesal. Pasalnya, sejak pagi ada saja hal yang membuatnya ingin melampiaskan emosi. Hal pertama yang ia lihat saat datang, tiba-tiba saja ada dua bungkus makanan tersedia di meja kerjanya. Lalu tak lama kemudian ada buket bunga mawar yang dikirimkan seseorang padanya. Siapa lagi kalau bukan dari Rafandra. "Argh, siapa yang kirim sih?" Kayana terlihat mencak-mencak tidak karuan. Buket bunga itu ingin dilemparnya ke sudut ruangan tapi diurungkan olehnya karena buketnya cantik. "Jangan dibuang, Kay. Itu mahal," saran Sofyan, teman kerja Kayana. "Huft.." Kayana pun menaruh lagi buket bunga itu. Kaleng bekas yang ukurannya cukup besar ia gunakan untuk menaruh buket itu disana. Menjelang makan siang, Kayana dibuat kaget sekali lagi. Dua bungkus makanan mahal dari restoran mahal di Jakarta telah tersedia di mejanya. "Dari mana lagi ini?" tanya Kayana pada office boy yang mengantarnya. Office boy itu hanya menggelengkan kepalanya. "Masa enggak tahu sih? Jangan-jangan i
Kayana terpaksa menuruti keinginan Rakabumi untuk menemaninya makan malam di sebuah resto terkenal di Jakarta. Awalnya Kayana enggan, tapi dengan bujuk rayu hingga akting memelas dari Rakabumi yang seorang akyor akhirnya Kayana luluh juga. Namun dengan syarat, ia harus mengajak Aruna ikut serta menemaninya. "Restonya cukup bagus. Tapi sayang makanannya mahal," celetuk Kayana. Aruna menyikut lengan Kayana dan memberi kode. "Memang benar kok." Kayana mendelik. "Ah, memang benar kok. Disini restonya memang sedikit mahal untuk kalangan menengah," sahut Rakabumi membenarkan maksud ucapan Kayana. Makan malam pun dimulai. Rakabumi memesan banyak makanan kesukaan Kayana. Sesekali ia juga membantunya. Bayangkan saja, Kayana yang tak pernah sekalipun manja pada laki-laki kini harus dihadapkan pada tingkah Rakabumi yang terlalu romantis. "Aku bisa makan sendiri, Raka. Enggak usah dipotongin steaknya," protes Kayana. Ia menarik lagi piringnya yang berisi daging steak ukuran besar dari meja R
Pukul delapan lewat. Kayana baru saja tiba di kantornya. Dengan langkah terburu-buru ia berlari menuju lobby tanpa henti sejak dari pintu utama. Tanpa jeda, ia langsung masuk ke dalam lift menuju ke lantai tempat kerjanya. Selang lima menit, ia sampai juga ke ruangannya. Keringat bercucuran menetes dari pelipis menuju ke lehernya. Hosh hosh. "Tumben telat," sapa Abil yang baru saja keluar dari ruangan manajer. Kayana mengangguk pelan sembari mengipasi lehernya. "Dipanggil pak Angga. Siapin catatan untuk meeting dengan pak Rafa, gedung sebelah." Kayana membelalakkan matanya. Sejenak ia mengingat tanggal berapa pertemuan selanjutnya yang harus mereka persiapkan. "Astaga." Kayana menepuk dahinya. "Hari ini ya?" Abil mengangguk. "Jangan bilang, kamu lupa." "Abil, bisa tolong gantikan aku? Besok deadline proposal yang rencananya aku mau ajukan ke bagian keuangan." Kayana setengah memohon. Terdiam sejenak, Abil menggelengkan kepalanya. "Maaf. Pak Angga minta kamu langsung yang tanga
Sudah kali kedua Kayana dan Rafandra makan siang bersama. Pria tampan yang kini bekerja di kantor ayahnya itu lebih sering menghabiskan waktu siangnya dengan mengunjungi kantor sebelahmya. Alasannya, ingin mengajak Kayana makan siang. Kayana tak bisa mengelak sedikitpun. "Lama nunggu?" tanya Kayana dengan gaya andalannya berdiri dengan satu kaki ditekuk. Rafandra menggelengkan kepalanya. Bohong kalau tidak lama. Rafandra saja sudah menghabiskan dua bungkus permen mint keras tadi. "Kita makan siang di tempat biasa yuk," ajak Rafandra. Awalnya Kayana menolak, tapi ia tidak bisa mengelak lagi saat Rafandra terus saja membujuknya. Mereka berdua ternyata dibawa ke sebuah tempat yang masih asing bagi Kayana. Sebuah tempat yang letaknya sedikit jauh dari kantornya. Setengah ketakutan, Kayana pun protes pada Rafandra. "Lu enggak ajak gue ke tempat aneh kan?" Rafandra menoleh lalu terkekeh. "Enggak lah. Gue cowok baik-baik. Nanti lu tahu sendiri tempatnya." Rafandra mengajak Kayana ke
"Rafa..." teriak Sonya yang ikut berlari mengejar Rafandra. "Rafa.." ia berteriak lagi. "Apa sih?" Rafandra menghempas tangan Sonya yang berhasil menarik kemejanya. Terpaksa, Rafandra menghentikan langkahnya. "Tunggu dulu. Aku kan masih ingin ngobrol sama kamu," rengek Sonya. Matanya melirik kesal pada Kayana yang diam-diam mendengarkan perdebatan mereka berdua. "Aku mau kembali ke kantor. Masih banyak pekerjaan menumpuk," tolak Rafandra. "Dia karyawan kamu?" tunjuk Sonya pada Kayana. "Bukan. Kamu enggak usah penasaran." Rafandra menarik tangan Kayana menuju sedan mewah yang terparkir nyaman di halaman rumahnya. Kayana sebenarnya ingin menolak, tapi melihat wajah Rafandra yang sedang kesal ia pun terdiam menurut. "Rafa.." teriak Sonya sekali lagi. Ia masih belum bisa menghilangkan rasa penasarannya pada Kayana yang sejak tadi selalu digandeng oleh Rafandra. "Apa sih? Aku mau buru-buru. Minggir!" Rafandra menyingkirkan tangan Sonya yang hendak ikut masuk ke dalam mobil. Sementa