Sudah kali kedua Kayana dan Rafandra makan siang bersama. Pria tampan yang kini bekerja di kantor ayahnya itu lebih sering menghabiskan waktu siangnya dengan mengunjungi kantor sebelahmya. Alasannya, ingin mengajak Kayana makan siang. Kayana tak bisa mengelak sedikitpun. "Lama nunggu?" tanya Kayana dengan gaya andalannya berdiri dengan satu kaki ditekuk. Rafandra menggelengkan kepalanya. Bohong kalau tidak lama. Rafandra saja sudah menghabiskan dua bungkus permen mint keras tadi. "Kita makan siang di tempat biasa yuk," ajak Rafandra. Awalnya Kayana menolak, tapi ia tidak bisa mengelak lagi saat Rafandra terus saja membujuknya. Mereka berdua ternyata dibawa ke sebuah tempat yang masih asing bagi Kayana. Sebuah tempat yang letaknya sedikit jauh dari kantornya. Setengah ketakutan, Kayana pun protes pada Rafandra. "Lu enggak ajak gue ke tempat aneh kan?" Rafandra menoleh lalu terkekeh. "Enggak lah. Gue cowok baik-baik. Nanti lu tahu sendiri tempatnya." Rafandra mengajak Kayana ke
"Rafa..." teriak Sonya yang ikut berlari mengejar Rafandra. "Rafa.." ia berteriak lagi. "Apa sih?" Rafandra menghempas tangan Sonya yang berhasil menarik kemejanya. Terpaksa, Rafandra menghentikan langkahnya. "Tunggu dulu. Aku kan masih ingin ngobrol sama kamu," rengek Sonya. Matanya melirik kesal pada Kayana yang diam-diam mendengarkan perdebatan mereka berdua. "Aku mau kembali ke kantor. Masih banyak pekerjaan menumpuk," tolak Rafandra. "Dia karyawan kamu?" tunjuk Sonya pada Kayana. "Bukan. Kamu enggak usah penasaran." Rafandra menarik tangan Kayana menuju sedan mewah yang terparkir nyaman di halaman rumahnya. Kayana sebenarnya ingin menolak, tapi melihat wajah Rafandra yang sedang kesal ia pun terdiam menurut. "Rafa.." teriak Sonya sekali lagi. Ia masih belum bisa menghilangkan rasa penasarannya pada Kayana yang sejak tadi selalu digandeng oleh Rafandra. "Apa sih? Aku mau buru-buru. Minggir!" Rafandra menyingkirkan tangan Sonya yang hendak ikut masuk ke dalam mobil. Sementa
Selama satu minggu lebih Kayana menghindari Rafandra. Berulang kali pria itu selalu menghubunginya dan mengatakan ingin bertemu dan makan bersama seperti biasa. Kayana menolak dengan halus. Namun rupanya Rafandra memaksanya hingga akhirnya meledaklah amarah Kayana. Gadis cantik itu melontarkan kata makian yang membuat Rafandra terkejut. "Gue benci sama pria kaya yang selalu mengejar wanita buat kepuasannya saja. Termasuk lu!" tunjuknya. Napas Kayana turun naik menahan kesal. Rafandra hanya terdiam menatapnya datar. "Jangan ikutin gue lagi." "Terus, lu suka sama pria yang seperti apa?" "Yang sederhana, baik dan yang terpenting tidak mengumbar kekayaan buat menggaet wanita," tegas Kayana. "Kalau ternyata yang deketin lu itu pria pengangguran bagaimana?" "Ya enggak cari yang pengangguran juga. Hiihh..." Itulah kali terakhir Rafandra berdebat dengan Kayana. Sejak saat itu, Rafandra jadi sedih dan lebih banyak bermurung diri di dalam kamar. Bahkan saat di ruangannya, ia sering kali d
Kayana menghabiskan akhir pekannya dengan berkeliling mall hanya untuk melepas lelahnya sejenak. Ditemani Aruna yang setia bersamanya, ia berhasil menjernihkan isi kepalanya yang mulai terkontaminasi pekerjaan kantor. "Kita makan yuk," ajak Kayana yang tampaknya sudah lelah mengelilingi berbagai macam tempat. Aruna mengangguk cepat. "Makan apa enaknya?" "Makan ramen? Aku lagi ingin coba ramen karinya." Aruna menunjuk ke arah resto ramen terkenal. Kayana berpikir sejenak dan akhirnya setuju dengan pilihan Aruna. "Pilih apa ya?" Aruna dan Kayana sibuk memilih menu makanan dan minuman. Setelah itu keduanya berjalan menuju tempat duduk yang terletak di paling ujung dekat pintu keluar. Kayana yang memilihnya karena ini posisi strategis. "Kamu jarang ketemu sama Raka, ya?" tanya Aruna tiba-tiba. Kayana menggeleng pelan. "Kenapa?" "Enggak apa-apa, nanya saja kok." Tak lama kemudian makanan mereka pun datang. Kayana dan Aruna menyantap dengan tenang tanpa suara. Mereka amat menikmati
Rafandra berubah pendiam akhir-akhir ini. Setelah ditolak oleh calon kekasihnya, sifat urakannya berubah drastis. Biasanya ia selalu tersenyum saat bertemu dengan orang lain, kini ia lebih banyak diam dan mengatup bibirnya. Setiap hari dirinya juga selalu berdiri di depan kaca ruangan kantor yang mengarah ke jalan besar. Ia memandang nun jauh ke gedung sebelah sambil mencari-cari dimanakah letak gadis impiannya berada. "Kerja di tempat papa enggak enak banget," keluh Rafandra. Ia menarik napas panjang lalu menghelanya. "Tapi, kelebihannya ya bisa lihat Kayana. Walau hanya bayangannya saja." Sedang asik melamun, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Rafandra menjawab dan menyuruhnya masuk. Saat ia melirik, ternyata asisten pribadinya yang membawa makan siang. "Pak bos. Ini makan siangnya." Rafandra melirik lagi. Ada nasi box kesukaannya lengkap dengan lauk dan minuman yang biasa ia beli saat makan siang dengan Kayana. Rafandra kembali rindu dengan gadis pujaannya itu. "Kal
Satu bulan berjalan, Rafandra sudah jarang bertemu dengan Kayana. Dirinya kini tengah sibuk dengan berbagai proyek yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Rafandra bahkan hampir lupa dengan misinya mendekati Kayana. Di lain pihak, Kayana merasa ada yang aneh dengan hidupnya. Ada rasa kosong yang ia rasakan, tak ada ketenangan lagi. Entahlah, ini semua karena siapa. Kayana terdiam di depan jendela kantornya yang menghadap ke jalan raya. Hari masih sore, tapi isi kepalanya menyuruhnya untuk pulang cepat. Ia lelah, ingin istirahat secepatnya. Lima belas menit ia termenung, ia pun tersadar dari lamunannya. "Udah jam lima, katanya mau pulang cepat?" Abil memanggil Kayana dari balik meja kerjanya. Kayana menoleh. "Pulang sama siapa?" "Pesan taksi online," jawab Kayana malas. "Pulang sama aku saja," ajak Abil. Kayana menggelengkan kepalanya menolak ajakan Abil. "Nanti pacar kamu marah." Abil ingin bertanya sekali lagi, tapi Kayana sudah meluncur pergi dari ruangan. Sepertinya suli
Rafandra baru saja tiba di kantornya dengan selamat. Setelah kejadian semalam yang membuatnya kebingungan, kini ia juga dihadapkan pada pesan dari Kayana perihal penawarannya tadi malam. Entah dapat ilham dari mana, Kayana mengajukan penawaran yang cukup mencengangkan untuk Rafandra. Ini sungguh di luar dugaannya. "Bagaimana ini?" gumam Rafandra. "Ah, panggil Samsul. Dia kan yang punya ide ini." Menyiapkan tenaga sekuat mungkin, Rafandra pun berteriak lepas, "Samsul, sini!" Samsul yang tengah merapikan meja bergegas lari masuk ke dalam ruangan Rafandra dengan napas terengah-engah. Ia langsung berdiri menghadap atasannya itu dengan ekspresi terkejut. "Siap, Bos. Ada apa?" "Tadi malam Kayana mengajak saya untuk jadi supir pribadinya tiap pulang kerja. Menurut kamu bagaimana?" Samsul mengerutkan dahinya. Lalu matanya berkedip. "Maksudnya?" "Astaga, maksud saya tuh Kayana minta saya jemput dia tiap pulang kerja. Menurut kamu bagaimana?" Samsul menutup mulutnya dengan tangan. Mata
Tokk tokk Pintu ruangan Rafandra diketuk cukup lama dari luar. Rafandra melirik dari ujung kacamata bacanya. Biasanya, kalau tidak terlalu penting pasti asistennya akan langsung masuk ke dalam. Namun sepertinya kali ini berbeda. Samsul berulang kali mengetuk pintu sebelum akhirnya Rafandra berteriak mempersilakannya masuk. "Bos, ada—" "Rafa..." teriak Sonia yang entah sejak kapan ada di depan pintu ruangannya. Rafandra mendecih sinis. Tatapannya tertuju pada Samsul yang hanya diam menunduk. "Mau ngapain?" ketus Rafandra. "Aku kesini mau temenin kamu makan siang. Kata Tante Alyssa, kamu sering telat makan siang." Rafandra tak menyahut. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Samsul masih setia berdiri di dekat Rafandra. "Samsul, nanti makan siang dimana?" tanya Rafandra. Samsul menunjuk dirinya. "Saya nanya kamu." "Saya makan di bawah seperti biasa." "Nanti saja juga kesana." Sonia mendelik. Tangannya menggebrak meja hingga pena yang tergeletak di pinggiran hampir melompat da