Kayana menghabiskan akhir pekannya dengan berkeliling mall hanya untuk melepas lelahnya sejenak. Ditemani Aruna yang setia bersamanya, ia berhasil menjernihkan isi kepalanya yang mulai terkontaminasi pekerjaan kantor. "Kita makan yuk," ajak Kayana yang tampaknya sudah lelah mengelilingi berbagai macam tempat. Aruna mengangguk cepat. "Makan apa enaknya?" "Makan ramen? Aku lagi ingin coba ramen karinya." Aruna menunjuk ke arah resto ramen terkenal. Kayana berpikir sejenak dan akhirnya setuju dengan pilihan Aruna. "Pilih apa ya?" Aruna dan Kayana sibuk memilih menu makanan dan minuman. Setelah itu keduanya berjalan menuju tempat duduk yang terletak di paling ujung dekat pintu keluar. Kayana yang memilihnya karena ini posisi strategis. "Kamu jarang ketemu sama Raka, ya?" tanya Aruna tiba-tiba. Kayana menggeleng pelan. "Kenapa?" "Enggak apa-apa, nanya saja kok." Tak lama kemudian makanan mereka pun datang. Kayana dan Aruna menyantap dengan tenang tanpa suara. Mereka amat menikmati
Rafandra berubah pendiam akhir-akhir ini. Setelah ditolak oleh calon kekasihnya, sifat urakannya berubah drastis. Biasanya ia selalu tersenyum saat bertemu dengan orang lain, kini ia lebih banyak diam dan mengatup bibirnya. Setiap hari dirinya juga selalu berdiri di depan kaca ruangan kantor yang mengarah ke jalan besar. Ia memandang nun jauh ke gedung sebelah sambil mencari-cari dimanakah letak gadis impiannya berada. "Kerja di tempat papa enggak enak banget," keluh Rafandra. Ia menarik napas panjang lalu menghelanya. "Tapi, kelebihannya ya bisa lihat Kayana. Walau hanya bayangannya saja." Sedang asik melamun, tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Rafandra menjawab dan menyuruhnya masuk. Saat ia melirik, ternyata asisten pribadinya yang membawa makan siang. "Pak bos. Ini makan siangnya." Rafandra melirik lagi. Ada nasi box kesukaannya lengkap dengan lauk dan minuman yang biasa ia beli saat makan siang dengan Kayana. Rafandra kembali rindu dengan gadis pujaannya itu. "Kal
Satu bulan berjalan, Rafandra sudah jarang bertemu dengan Kayana. Dirinya kini tengah sibuk dengan berbagai proyek yang harus dikerjakan dalam waktu singkat. Rafandra bahkan hampir lupa dengan misinya mendekati Kayana. Di lain pihak, Kayana merasa ada yang aneh dengan hidupnya. Ada rasa kosong yang ia rasakan, tak ada ketenangan lagi. Entahlah, ini semua karena siapa. Kayana terdiam di depan jendela kantornya yang menghadap ke jalan raya. Hari masih sore, tapi isi kepalanya menyuruhnya untuk pulang cepat. Ia lelah, ingin istirahat secepatnya. Lima belas menit ia termenung, ia pun tersadar dari lamunannya. "Udah jam lima, katanya mau pulang cepat?" Abil memanggil Kayana dari balik meja kerjanya. Kayana menoleh. "Pulang sama siapa?" "Pesan taksi online," jawab Kayana malas. "Pulang sama aku saja," ajak Abil. Kayana menggelengkan kepalanya menolak ajakan Abil. "Nanti pacar kamu marah." Abil ingin bertanya sekali lagi, tapi Kayana sudah meluncur pergi dari ruangan. Sepertinya suli
Rafandra baru saja tiba di kantornya dengan selamat. Setelah kejadian semalam yang membuatnya kebingungan, kini ia juga dihadapkan pada pesan dari Kayana perihal penawarannya tadi malam. Entah dapat ilham dari mana, Kayana mengajukan penawaran yang cukup mencengangkan untuk Rafandra. Ini sungguh di luar dugaannya. "Bagaimana ini?" gumam Rafandra. "Ah, panggil Samsul. Dia kan yang punya ide ini." Menyiapkan tenaga sekuat mungkin, Rafandra pun berteriak lepas, "Samsul, sini!" Samsul yang tengah merapikan meja bergegas lari masuk ke dalam ruangan Rafandra dengan napas terengah-engah. Ia langsung berdiri menghadap atasannya itu dengan ekspresi terkejut. "Siap, Bos. Ada apa?" "Tadi malam Kayana mengajak saya untuk jadi supir pribadinya tiap pulang kerja. Menurut kamu bagaimana?" Samsul mengerutkan dahinya. Lalu matanya berkedip. "Maksudnya?" "Astaga, maksud saya tuh Kayana minta saya jemput dia tiap pulang kerja. Menurut kamu bagaimana?" Samsul menutup mulutnya dengan tangan. Mata
Tokk tokk Pintu ruangan Rafandra diketuk cukup lama dari luar. Rafandra melirik dari ujung kacamata bacanya. Biasanya, kalau tidak terlalu penting pasti asistennya akan langsung masuk ke dalam. Namun sepertinya kali ini berbeda. Samsul berulang kali mengetuk pintu sebelum akhirnya Rafandra berteriak mempersilakannya masuk. "Bos, ada—" "Rafa..." teriak Sonia yang entah sejak kapan ada di depan pintu ruangannya. Rafandra mendecih sinis. Tatapannya tertuju pada Samsul yang hanya diam menunduk. "Mau ngapain?" ketus Rafandra. "Aku kesini mau temenin kamu makan siang. Kata Tante Alyssa, kamu sering telat makan siang." Rafandra tak menyahut. Ia sibuk dengan pekerjaannya. Sedangkan Samsul masih setia berdiri di dekat Rafandra. "Samsul, nanti makan siang dimana?" tanya Rafandra. Samsul menunjuk dirinya. "Saya nanya kamu." "Saya makan di bawah seperti biasa." "Nanti saja juga kesana." Sonia mendelik. Tangannya menggebrak meja hingga pena yang tergeletak di pinggiran hampir melompat da
Kayana lupa memberitahu Muklis sore ini. Tidak masalah, karena Rafandra si pria yang sedang menyamar itu sedang menunggu sosok Kayana di lantai bawah. Sesuai petuah dari Samsul, kali ini dirinya harus menjelaskan semua yang terjadi di kantin tadi siang. Semuanya. "Jam berapa sih pulangnya?" Rafandra berdecak kesal. Ia berkali-kali melirik ke arah pintu keluar yang makin lama makin ramai pegawai berlalu-lalang. Tak sampai dua menit Rafandra melirik, dari dalam gedung keluarlah sosok Kayana yang sedang sibuk menghubungi seseorang. Rafandra dengan cepat mencari ponsel khusus nomor Muklis dan berharap jika yang dihubungi Kayana adalah dirinya. Sayangnya, bukan dia. Kayana tadi menghubungi Abil yang katanya masih ada di area parkir lantai dasar. Kata Abil, ada sedikit masalah dan dia harus menyelesaikan sesuatu di sana. Ini kesempatan Rafandra untuk menjelaskan. Ia pun turun dari dalam mobil menuju tempat Kayana berdiri. Kayana terkejut akan kedatangan sosok Rafandra yang tiba-tiba. H
Rafandra lesu. Sepulang dari kantor, ia sempat mampir terlebih dahulu ke rumah Kayana. Niatnya hanya memastikan tapi yang ia lihat malah menyakitkan hatinya. Tidak, Rafandra tidak akan menyerah. Ia hanya sedang mengatur rencana selanjutnya agar tepat sasaran. Alyssa yang mengetahui anaknya baru saja pulang, segera berlari kecil menghampirinya. Tanpa banyak tanya, ia menembak berbagai pertanyaan hingga membuat Rafandra kembali lesu tak bersemangat. "Kenapa kamu meninggalkan Sonia?" Rafandra mengangkat sebelah alisnya. Ia baru saja pulang, tapi yang ditanyakan oleh ibunya adalah orang lain. "Ish, jawab dong." Alyssa mendesaknya. "Dianterin sama supir kok. Tadi Rafandra sudah sampaikan sama Samsul." Rafandra duduk di sofa merebahkan tubuhnya, melepas lelah. Alyssa ikut duduk di sampingnya. "Kenapa bukan kamu?" "Banyak pekerjaan, Ma." Alyssa tak bertanya lagi. Matanya bergerak kiri kanan mencari kalimat yang pas untuk menanyakan sesuatu hal yang penting. "Besok minggu Sonia ulang
Dua menit saling bertatapan membuat keduanya terdiam. Rafandra alias Muklis tak dapat menahan perasaannya lagi. Jika saja bukan di tempat umum, Kayana mungkin sudah diajaknya berbuat yang tidak-tidak. Untungnya, Rafandra bukan pria yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan.Tersadar dari lamunan, Kayana segera menegakkan tubuhnya dan berpura tak terjadi apa-apa. Senyum yang ia berikan pun terasa aneh dan canggung. Sebisa mungkin ia menepis pikiran aneh dalam kepalanya.“Uhm, kita jalan-jalan lagi yuk.” Kayana mengalihkan suasana canggung itu dengan mengajak Rafandra berjalan mengitari taman.“Tapi kepala kamu ada yang sakit?” Kayana menggelengkan kepalanya. “Syukurlah. Aku lega.”Rafandra menggandeng kembali tangan Kayana dan menggenggamnya erat. Jantung Kayana kembali berdegup kencang. Kali ini bukan karena tatapan, tapi karena genggaman tangan Rafandra yang mengisyaratkan sebuah kenyamanan.Saat ia melangkah, lirikan demi lirikan ia tebarkan hanya untuk Rafandra. Pesona pria yang