Dua menit saling bertatapan membuat keduanya terdiam. Rafandra alias Muklis tak dapat menahan perasaannya lagi. Jika saja bukan di tempat umum, Kayana mungkin sudah diajaknya berbuat yang tidak-tidak. Untungnya, Rafandra bukan pria yang menggunakan kesempatan dalam kesempitan.Tersadar dari lamunan, Kayana segera menegakkan tubuhnya dan berpura tak terjadi apa-apa. Senyum yang ia berikan pun terasa aneh dan canggung. Sebisa mungkin ia menepis pikiran aneh dalam kepalanya.“Uhm, kita jalan-jalan lagi yuk.” Kayana mengalihkan suasana canggung itu dengan mengajak Rafandra berjalan mengitari taman.“Tapi kepala kamu ada yang sakit?” Kayana menggelengkan kepalanya. “Syukurlah. Aku lega.”Rafandra menggandeng kembali tangan Kayana dan menggenggamnya erat. Jantung Kayana kembali berdegup kencang. Kali ini bukan karena tatapan, tapi karena genggaman tangan Rafandra yang mengisyaratkan sebuah kenyamanan.Saat ia melangkah, lirikan demi lirikan ia tebarkan hanya untuk Rafandra. Pesona pria yang
"Kayana!" Kayana yang sedang duduk manis di teras terperanjat mendengar suara Rafandra alias Muklis yang berdiri di depan pagar rumahnya. Termasuk Aruna yang juga ikut menoleh. Kayana berlari, tak lupa menggandeng tangan Aruna menghampiri Muklis yang kini membukakan pintu depan. "Mas Muklis, hari ini aku ajak Aruna ya. Dia teman aku, tempat kerjanya enggak jauh kok." Rafandra membelalakkan matanya. Sedetik ia terkejut tapi akhirnya mengangguk. "Boleh. Ayo masuk ke dalam." Kayana memilih duduk di sebelah Muklis, sedangkan Aruna di belakang. Sesekali Muklis melirik ke belakang, memastikan kalau Aruna tidak mengetahui siapa dia sebenarnya. Apalagi, dia lupa menyingkirkan kemeja dan jas yang terpajang di kursi belakang. "Mas Muklis, ini punya mas?" tunjuk Aruna. Muklis alias Rafandra itu menoleh. Hal yang ia takutkan terjadi juga. "I-itu punya bos." Rafandra menjawab sekenanya. Kayana mengerutkan dahinya dan ikut menoleh ke belakang untuk memastikan. "Sejak kapan, Mas Muklis?" ta
Rafandra mengetuk berkali-kali meja di ruangan rapat sambil memainkan bibirnya maju mundur. Tatapannya tertuju pada jam dinding yang sebentar lagi jarum panjangnya menunjuk ke angka dua belas. Tepat lima menit lagi, pukul lima. Dirinya sudah tak sabar untuk menjemput Kayana di gedung sebelahnya."Rapatnya masih lama?" bisik Rafandra pada sekretarisnya. "Sebentar lagi pak Rafa." Rafandra berdecak kesal. Sekali lagi ia menatap jam dinding dengan gelisah. Tak sadar dirinya menggigit pena yang ia pegang sejak tadi. Berharap dalam hati agar rapat cepat selesai. "Untuk rapat hari ini cukup sekian dan terima kasih. Mungkin ada tambahan dari pak Rafa?" Semua mata memandang ke arah Rafandra. Pria muda itu menggelengkan kepalanya. Secepat kilat ia meluncur ke luar ruangan setengah berlari, entah kemana. Samsul yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala. Tak habis pikir dengan kelakuan bosnya. Di dalam ruangan, Rafandra membuka jas dan kemejanya lalu menggantinya dengan pakaian sederha
Brakk Rafandra berlari dari luar rumah menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Tak ada salam atau basa-basi bertanya pada ayah ibunya yang sedang duduk santai di depan televisi. Alyssa yang melihat kelakuan aneh anak semata wayangnya hanya bisa mengelus dada. Kebiasaan yang tak pernah hilang itu terbawa hingga dewasa. Di dalam kamar, Rafandra segera membersihkan diri lalu membuka laptop dan menyambungkannya ke ponsel. "Kayana mau kirim apa ya? Kata dia harus didengar dengan audio yang jernih," gumam Rafandra. Tadi sepulang ia mengantarkan Kayana hingga ke rumahnya, pujaan hatinya itu sempat berpesan padanya untuk mendengarkan sesuatu yang akan dikirimkan olehnya. Kejutan katanya. "Mau kirim apa sih? Kayaknya rahasia," rayu Muklis alias Rafandra. Kayana menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Buket bunga yang sejak tadi ia bawa, ia cium terus menerus seakan tak ingin terlewatkan wanginya. "Aku mau kirim jawaban atas pertanyaan kamu tadi. Tapi jangan diketa
Rona bahagia terpancar dari wajah Rafandra. Sejak menginjakkan kakinya di gedung kantor milik ayahnya, bibirnya tak berhenti tersenyum. Isi kepalanya hanya terekam bayangan kemesraan dirinya dan Kayana sepanjang perjalanan menuju kantor. Kayana mencium pipi Rafandra alias Muklis. "Bos, nanti siang meeting sama gedung sebelah." Rafandra hanya diam saja tak merespon. Ia masih tersenyum sambil tertawa cekikikan. Samsul mengernyitkan dahinya lalu bertanya lagi. "Bos, enggak lupa kan?" Rafandra masih diam. "Bos!" Lamunan Rafandra terbuyarkan. Sempat ingin marah, tapi akhirnya ia tersenyum lagi. "Ada apa, Samsul?" tanya Rafandra dengan suara halusnya. "Hari ini ada meeting sama gedung sebelah. Pak Wira juga datang. Bos harus siap-siap," ujar Samsul hati-hati. "Belikan saya makanan. Tadi sarapannya sedikit." "Memang bos belum sarapan?" tanya Samsul. Rafandra mengangguk. "Mau makan apa, Bos?" "Roti atau nasi uduk juga enggak masalah." "Ok, siap bos." Di sisi lain, Kayana yang awal
Kata-kata ketus Kayana terngiang jelas di telinga Rafandra sejak lima menit lalu meninggalkan ruangannya. Dirinya bingung harus berbuat apalagi demi meyakinkan Kayana agar mau bersamanya. Rafandra berjalan mondar-mandir sambil memegang dahinya. Isi kepalanya tiba-tiba kosong tidak bisa memutuskan sesuatu. Samsul datang dari luar dengan langkah terburu-buru. "Bos, neng Kayana kenapa nangis? Kasihan." Samsul masuk tanpa permisi tapi seketika terkejut karena ia melihat bosnya berjalan dengan keadaan bingung. "Nangis?" Samsul mengangguk. "Sama siapa dia pulang ke kantornya?" "Sama bapak-bapak yang tadi datang sama dia," jawab Samsul yang sedikit ketakutan. "Saya harus bagaimana ini?" "Bos Rafa kejar dia tapi dalam keadaan menyamar. Ayo bos, telepon dia bilang kalau ingin bertemu dengannya sekarang juga," usul Samsul yang sedikit memaksa. Ponsel yang biasa dipakai untuk bertukar pesan dengan Kayana saat menyamar jadi Muklis, diambil oleh Samsul. Ia berpura menjadi Muklis dan mengir
"Kamu kemana saja sih?" sapa Alyssa begitu mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Rafandra baru saja tiba setelah hampir dua jam Alyssa menunggu putranya menghadiri acara makan malam di rumah. "Lembur," jawab Rafandra singkat. "Jangan bohong. Mama tadi ke kantor kamu, ternyata kamu pergi ke luar. Kemana tadi?" Alyssa terus menginterogasi Rafandra karena tak puas dengan jawabannya. "Mama penasaran banget. Rafa pergi kemana juga bukan urusan mama. Rafa sudah besar, Ma," protes Rafandra seperti tidak mau kalah dengan ibunya. "Semua nunggu kamu di dalam. Ganti baju terus susul ke ruang makan." Tanpa menghiraukan kalimat protes dari anaknya, Alyssa kembali lagi ke ruang makan dengan wajah berseri-seri. Sedangkan Rafandra, mendecih kesal sambil menghentakkan kakinya. Tak sampai setengah jam, Rafandra sudah menampakkan wajahnya di ruang makan. Ada orangtuanya yang sudah siap untuk menyantap makan malam dan ada juga orangtua Sonia yang duduk tepat di depannya. "Selamat malam,
"Kayana, kamu sudah punya pacar ya?" Uhukk Kayana tersedak. Ibunya tiba-tiba saja menanyakan tentang hubungannya dengan Muklis yang sering dilihatnya akhir-akhir ini. Muklis memang sempat bertegur sapa dengan ibunya, apalagi ia juga sering membelikan makanan saat mengantarnya pulang. Pasti ibunya sedikit banyak curiga dengan kedekatan mereka. "Uhmm..." "Sudahlah, Bu. Anaknya punya pacar kok dicurigai?" timpal pak Ruslan, ayah Kayana yang terkenal sabar. "Tuh, ayah saja tidak masalah." "Bukan begitu, kenapa kamu sembunyikan? Kenalin sama ibu." Kayana menghela napas. Ia mengangguk kemudian membenarkan ucapan ibunya. Ia juga sebenarnya ingin sekali memberitahu kedua orangtuanya kalau ia dan Muklis sudah berpacaran sejak satu minggu yang lalu. "Nanti juga—" Ting! Tong! Bel rumah berbunyi. Kayana dan kedua orangtuanya menoleh bersamaan. Kayana sedikit canggung, pamit sebentar ingin membukakan pintu. Di dalam hatinya, ia yakin itu adalah Muklis yang sudah ia tunggu-tunggu sejak ta