"Kamu kemana saja sih?" sapa Alyssa begitu mendengar suara mobil berhenti di halaman rumah. Rafandra baru saja tiba setelah hampir dua jam Alyssa menunggu putranya menghadiri acara makan malam di rumah. "Lembur," jawab Rafandra singkat. "Jangan bohong. Mama tadi ke kantor kamu, ternyata kamu pergi ke luar. Kemana tadi?" Alyssa terus menginterogasi Rafandra karena tak puas dengan jawabannya. "Mama penasaran banget. Rafa pergi kemana juga bukan urusan mama. Rafa sudah besar, Ma," protes Rafandra seperti tidak mau kalah dengan ibunya. "Semua nunggu kamu di dalam. Ganti baju terus susul ke ruang makan." Tanpa menghiraukan kalimat protes dari anaknya, Alyssa kembali lagi ke ruang makan dengan wajah berseri-seri. Sedangkan Rafandra, mendecih kesal sambil menghentakkan kakinya. Tak sampai setengah jam, Rafandra sudah menampakkan wajahnya di ruang makan. Ada orangtuanya yang sudah siap untuk menyantap makan malam dan ada juga orangtua Sonia yang duduk tepat di depannya. "Selamat malam,
"Kayana, kamu sudah punya pacar ya?" Uhukk Kayana tersedak. Ibunya tiba-tiba saja menanyakan tentang hubungannya dengan Muklis yang sering dilihatnya akhir-akhir ini. Muklis memang sempat bertegur sapa dengan ibunya, apalagi ia juga sering membelikan makanan saat mengantarnya pulang. Pasti ibunya sedikit banyak curiga dengan kedekatan mereka. "Uhmm..." "Sudahlah, Bu. Anaknya punya pacar kok dicurigai?" timpal pak Ruslan, ayah Kayana yang terkenal sabar. "Tuh, ayah saja tidak masalah." "Bukan begitu, kenapa kamu sembunyikan? Kenalin sama ibu." Kayana menghela napas. Ia mengangguk kemudian membenarkan ucapan ibunya. Ia juga sebenarnya ingin sekali memberitahu kedua orangtuanya kalau ia dan Muklis sudah berpacaran sejak satu minggu yang lalu. "Nanti juga—" Ting! Tong! Bel rumah berbunyi. Kayana dan kedua orangtuanya menoleh bersamaan. Kayana sedikit canggung, pamit sebentar ingin membukakan pintu. Di dalam hatinya, ia yakin itu adalah Muklis yang sudah ia tunggu-tunggu sejak ta
“Tidak, tidak mungkin.” Rafandra berjalan memutari ruangan kantornya dengan jari tergigit. Ia pun berlari ke arah jendela, memastikan entah sesuatu yang akan terjadi di sana. Samsul yang baru saja masuk ke dalam kantor merasa heran. Sejak kapan bosnya yang terkenal tenang jadi salah tingkah seperti ini. “Bos?” tidak ada sahutan. Samsul mencobanya sekali lagi. “Bos, ada tamu.” Mendengar suara Samsul membuat Rafandra berhenti merenung. Ia kembali ke mejanya masih dengan wajah pucatnya. “Siapa tamunya?” tanya Rafandra. “Mas Raka.” Samsul menunjuk ke arah pintu masuk. Tampak Rakabumi sedang tertawa mengejek sambil membawa tas tangan berisi oleh-oleh. “Biasanya juga langsung masuk,” ketus Rafandra. Dibalas seperti itu Rakabumi malah terkekeh. Ia langsung duduk di kursi kosong depan Rafandra masih dengan senyuman mengejeknya. “Mau apa lu kesini?” “Tadinya mau ketemu Kayana tapi enggak jadi deh, Sepertinya teman gue yang satu ini masih menggalau tentang si cantik,” sindir Rakabumi. “
Niat Alyssa menjodohkan Rafandra dan Sonia menjadi alasan tepat baginya untuk datang ke kantor hanya demi sebuah pekerjaan bagi wanita cantik itu. Sungguh mengherankan melihat mereka berdua tengah berada di ruangan kerja Rafandra di pagi hari yang cerah ini. Apalagi kalau bukan karena rengekan Sonia kemarin. "Mama enggak bilang kalau mau ke kantor hari ini. Aku kan bisa kasih tahu Samsul buat jemput sekalian," protes Rafandra. Tatapannya lalu tertuju pada Sonia yang berdiri dekat ibunya sambil tersenyum memamerkan lesung pipinya. "Dia mau apa kesini?" "Mama kesini mau menengok papamu dan juga mengantar Sonia untuk magang di sini." Rafandra membelalakkan matanya. Ia mengorek telinganya takut-takut ia salah mendengar tadi. "Apa? Magang? Sejak kapan dia magang di sini?" Rafandra terlihat acuh cenderung meremehkan keberadaan Sonia yang katanya sudah direstui ibunya. "Loh, belum tahu ya? Papamu tadi baru saja mengizinkan." Belum sampai Rafandra buka suara, tiba-tiba saja pintu dibuk
Sonia datang lebih awal. Niatnya hari ini ingin memberikan bekal buatannya untuk Rafandra, pria yang sedang dirinya incar sejak satu bulan lalu. Senyumnya mengembang melihat kotak bekal yang ia pegang erat di tangannya. Isinya, nasi dan lauk pauk kesukaan Rafandra. Sesampainya di depan ruangan, senyum Sonia memudar. Pasalnya, tak ada tanda-tanda sosok Rafandra di dalamnya. Ia melirik arloji dan seharusnya Rafandra sudah sampai di ruangannya. "Kemana dia?" gumam Sonia. Ia berjalan kembali keluar ruangan mencari Samsul, asisten pribadi Rafandra yang biasanya duduk di ruangan depan. "Rafa mana?" tanyanya tiba-tiba. Samsul berdiri memberi hormat pada Sonia. "Enggak usah senyum-senyum. Rafa mana?" "Bos Rafa hari ini ke kantor cabang. Ada sesuatu yang harus diurus di sana," jawab Samsul lantang. "Kamu tidak bohong kan?" tatapan Sonia penuh menyelidik. Samsul dengan tegas menggelengkan kepalanya. Sonia yang tidak percaya segera membuka ponsel dan mencari nomor Rafandra. "Rafa, kamu di
"Rafandra..." Sonia berlari cepat dari luar gedung sambil membawa kotak makanan menuju ke arah Rafandra yang berbalik menatapnya. Tak ada yang salah, tapi Rafandra memandang aneh padanya entah karena apa. "Rafa, aku bawa bekal buat kamu." Sonia berseru senang menunjukkan kotak makanan pada Rafandra. Lirikan tak minat Rafandra membuat Sonia sedikit sakit hati tapi ia berusaha memakluminya. Di samping Rafandra ada Samsul yang pagi ini mendampinginya sejak keluar dari kendaraan. "Memangnya aku suruh kamu bawa makan siang untuk aku?" tanya Rafandra dengan wajah sinis. Sonia menggelengkan kepalanya. "Terus, atas dasar apa kamu bawa makanan untuk aku?" "Kalau kamu enggak suka, ya sudah jangan dimakan," bentak Sonia. Rafandra menarik kotak makanan yang dipegang Sonia lalu memberikannya pada Samsul. "Taruh di piring. Nanti letakkan di meja tengah." Sonia menarik lagi kotak makanan itu lalu memeluknya erat. "Kalau kamu tidak suka, jangan dikasih ke orang lain." "Memang aku ada bicara k
Brakk!!"Semua cowok sama saja!"Kayana mengumpat cukup keras. Kertas dan alat tulis berterbangan hingga ada sebagian yang terjatuh ke lantai. Abil yang kebetulan ada di tempat hanya bisa menggelengkan kepalanya, heran dengan Kayana."Udah punya pacar, masih saja deketin. Udah gitu ngerayu pula," umpatnya lagi.Abil merasa tersindir tapi ia tahu sindiran itu bukan untuknya karena sejak kemarin ia belum bertegur sapa dengan Kayana."Kamu kenapa, Kay? Pulang meeting kok marah-marah?" tegur Abil. Kayana menoleh, menampilkan wajah marah dengan mata sembabnya."Abil kenapa di sini?" Kayana balik bertanya."Aku lihat kamu marah-marah, aku kira kenapa."Kayana memundurkan kursinya lalu berbalik ke samping tepat berhadapan dengan Abil yang masih berdiri di sana. Abil sedikit salah tingkah saat Kayana menatapnya. Seperti tatapan ingin menangkap dan mengumpatinya."Abil, aku punya kenalan. Pria mapan, ganteng, baik tapi sedikit aneh. Dia deketin aku, terus menyatakan perasaannya dan dia bilang
Rafandra memundurkan mobilnya begitu tiba di rumah pribadinya yang terletak tak jauh dari kantornya. Bukan perumahan yang waktu itu disinggahi Kayana. Saat memasuki kawasan perumahan, tersebarlah aura orang-orang berkelas yang tinggal di sana. Kayana bisa merasakan hal itu. Terlebih saat masuk ke dalam gerbang, suasana makin sepi. Kayana takut. "Lu mau bawa gue kemana?" ketus Kayana. Rafandra tak menjawab. Ia tetap diam hingga mesin mobil dimatikan. "Ini rumah lu?" "Iya, ini rumah gue. Makan malam dulu di sini. Nanti gue anterin pulang," pinta Rafandra yang langsung turun tanpa memberi aba-aba. Kayana pun ikut turun dan mengekorinya dari belakang. "Rumah pribadi maksud lu? Tapi kan—" "Di dalam ada Raka sama temen lu. Tadi gue suruh mereka berdua ke sini." "Raka? Dia ikut ke sini?" tanya Kayana memastikan. Rafandra mengangguk. "Lu enggak lagi bikin skenario bikin gue—" "Gue enggak sejahat itu Kayana. Gue masih waras. Kalau gue mau berbuat kayak gitu, udah dari dulu," potong Rafa
Lima tahun kemudian Tak terasa usia pernikahan Rafandra dan Kayana telah memasuki tahun ke lima. Ada yang bertambah di tahun tersebut, satu anak dari Kayana di tahun ke tiga saat si kembar sudah mulai aktif berjalan. Rafandra sempat kewalahan menghadapi ke tiga anaknya yang mulai tumbuh besar. Si kembar juga mulai cerewet seperti ibunya. "Papa, mau itu." Rafisha menunjuk pohon mangga yang berbuat lebat belakang rumah orangtua Kayana. Cukup tinggi, Rafandra sampai mengernyitkan dahinya. "Ambilin." "Papa enggak bisa. Suruh om Samsul saja ya." Rafandra merinding membayangkan betapa tingginya pohon mangga itu. Ia lebih baik menunggu di bawah sambil mengawasi kedua anak kembarnya. "Papa payah." Rafisha merengut. Tak lama kemudian ia berhasil menarik kakeknya untuk mengambilkan mangga yang dimaksud olehnya tadi. Dengan senang hati sang kakek mengambilkannya. Diambilnya sebuah kayu tinggi dekat pohon dan dalam sekali tarikan, dua mangga berhasil diambilnya. "Hore, buah mangga." Rahisya
Empat bulan kemudian "Rafa! Rafa!" Suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi. Rafandra yang masih terbuai mimpi sayup-sayup mendengar suara itu. Tak terdengar lagi, ia pun melanjutkan mimpinya. "Rafa!" Mata Rafandra langsung terbelalak. Terkejut dengan suara keras yang memanggil namanya dari dalam sana. "Iya!" Rafandra berlari ke tempat asal suara dan mendapatkan sesuatu yang mengejutkannya. "Astaga! Kayana." Tanpa banyak tanya lagi ia segera menggendong tubuh Kayana yang lemas. Ada aliran darah di sekitar kakinya bercampur dengan cairan bening. Tas kecil di atas meja rias ia sambar beserta kunci mobil dan ponselnya. Berjalan cepat menuruni anak tangga, Rafandra berteriak nyaring membangunkan seisi rumah. "Woy, bangun. Tolongin. Kayana mau melahirkan!" teriaknya. Samsul yang kebetulan sedang menginap di rumah Rafandra pun ikut terbangun mendengar teriakan keras dari bosnya itu. Segera ia berlari menyusul Rafandra yang sudah berada di luar rumah. "Bos. Bu Kayana mau me
Mau tidak mau, kabar kelahiran anak kedua Wirautama membawa dampak besar bagi perusahaan. Terlebih lagi, istri keduanya adalah seorang selebritis yang sering mendapat perhatian publik atas apa yang dilakukannya. Bukan tidak mungkin, hal seperti ini akan jadi momok yang menakutkan bagi Wirautama dan keluarganya. Belum sampai satu hari berita itu dimuat, sudah muncul lagi satu isu yang membuat Rafandra tercekat. Isu tentang keretakan rumah tangga ibu dan ayahnya yang entah dari mana kabar itu berhembus. Ini yang paling dibenci oleh Rafandra. Ia tak bisa tidur nyenyak setelah berita itu keluar. "Ada-ada saja berita aneh. Ini papa harus klarifikasi." Rafandra membuang ponselnya ke atas sofa di ruang tengah. "Rafa capek, Ma." "Nanti mama bantu klarifikasi. Kamu pikirkan perusahaan saja dan Kayana." Alyssa yang berdiri tangga bawah melirik Kayana dan Rafandra yang sedang duduk berdua di ruang tengah. "Anak papamu akan dibawa kesini. Mereka akan tinggal bersama kita." "Benarkah?" Kayana
Tentang berita kelahiran anak Rani, pertama kali diketahui oleh Alyssa saat tak sengaja menguping pembicaraan salah satu temannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia mengatakan ada pasien masuk ke ruang bersalin dengan status mengkhawatirkan. Informasi itu didapatkan dari seorang suster yang menerima pasien itu di ruang gawat darurat. Teman Alyssa bercerita, dia seperti pernah melihat wanita itu tapi lupa tepatnya di mana. Ia pun bertanya pada Alyssa, walau tak yakin dengan jawabannya. "Tadi, kalau tidak salah namanya adalah Rani iswandari. Nama suaminya Wirautama. Alyssa, nama Wirautama di Jakarta tidak hanya nama suamimu kan?" Alyssa terdiam saat itu. Nama Rani dan Wirautama memang banyak, tapi yang terlibat cinta di belakang layar hanya mereka berdua. Tidak salah lagi, pasti itu Rani istri kedua suaminya. "Dia melahirkan? Siapa yang mengantarnya?" tanya Alyssa yang mulai khawatir. Ia takut terjadi sesuatu dengan wanita itu dan dirinya akan terus merasa bersalah hingga akhir hidup
"Istrimu melahirkan!" Alyssa menaruh ponselnya segera setelah berteriak. Wirautama yang berada di kamar terkejut dengan suara teriakan itu. Ia segera berlari keluar kamar menemui Alyssa. "Ada apa?" balasnya. "Aku dapat info, istrimu melahirkan. Kamu tidak menjenguknya?" tanya Alyssa memastikan. Terdiam sambil berpikir sejenak, Wirautama belum bisa memutuskan akan datang atau tidak. Ia bimbang memutuskan hal tersebut. Lalu Alyssa kembali bertanya, "Kamu jenguk tidak? Kalau tidak, biar aku yang jenguk." "Kalau berdua dengan kamu, aku ikut." "Ok. Aku ganti pakaian dulu." Alyssa segera masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian sementara Wirautama menunggu di luar. Rafandra yang baru saja dari luar rumah, baru selesai mencuci mobilnya melihat keheranan wajah ayahnya yang diam memucat seperti terkena sihir. "Kenapa, Pa?" tegur Rafandra. Wirautama terlonjak kaget lalu menggelengkan kepalanya. "Kok diam saja?" "Kamu enggak kerja?" Wirautama malah balik bertanya pada Rafandra. "Izi
Karena kondisi tubuh Wirautama telah membaik, ia sudah diizinkan untuk kembali beraktivitas walau hanya sekedar duduk tanpa turun langsung ke lapangan. Rafandra sebagai anak yang sangat sayang pada ayahnya, rela menggantikan tugas sementara ayahnya sebelum rapat pimpinan direksi yang akan dilaksanakan bulan depan. Menunggu ayahnya selesai membaca dokumen yang ia bawa, Rafandra lebih mementingkan pesan yang dikirimkan oleh istrinya. Pesan ringan, hanya seputar keinginan istrinya yang aneh. "Kayana lagi rewel?" tanya Wirautama mengintip dari balik kacamatanya. Rafandra mengangguk. "Biasa, itu. Minta apa dia sekarang?" "Minta belikan croffle, cromboloni. Makanan aneh, Pa. Pasti ujung-ujungnya Rafa yang makan," keluh Rafandra. "Ya enggak apa-apa. Yang penting istri kamu senang, anak kamu juga." Rafandra hanya mengangguk-angguk sambil memainkan ponselnya. "Papa enggak pulang? Udah jam makan siang. Mama bilang jangan terlalu banyak kerja." Rafandra berdiri dari duduknya, mengambil doku
Pagi sekali sepasang suami istri itu bangun. Baru saja menapakkan kaki mereka di dapur, keduanya sudah disambut suara pekikan Alyssa yang sedang mengkomandoi asisten rumah tangga yang akan memasak sarapan pagi itu. "Jangan kebanyakan gula. Kalau bisa, tomatnya ditambah." asisten rumah tangga itu hanya diam saja sambil mengangguk pelan. "Kayana tidak suka manis. Nanti bikin tehnya dibuat lebih kental sedikit." "Iya Bu." Saatnya Alyssa kembali ke ruang makan. Sudah ada Kayana dan Rafandra yang duduk manis berbincang satu sama lain. Kayana terlihat segar dengan rambut basahnya. Begitu pula Rafandra yang sejak tadi mengusak-usak rambut sang istri. Keduanya tampak akur tak seperti biasanya. "Tumben keramas pagi-pagi," sindir Alyssa. Sedikit berdehem, ia bertanya lagi pada keduanya. "Tadi malam habis berbuat yang enak-enak ya?" Alyssa terkekeh hingga membuat wajah Kayana memerah. Ia menoleh ke sebelahnya, Rafandra juga ikut terkekeh karena membayangkan kejadian tadi malam. Kayana yang
"Aku mau pulang ke rumah ibu. Mau liburan di sana." Kayana merajuk. Sejak pulang dari rumah sakit dan berjalan-jalan sebentar di sekitar area mall, rupanya tak membuat mood kesayangan Rafandra itu membaik. Apalagi, saat di resto tadi dirinya bertemu dengan Sonia secara tak sengaja dengan sikap sok centilnya. Seketika hancurlah semua niat dirinya yang ingin bermanja-manja dengan sang suami. "Besok ya. Aku antar ke rumah ibu." Rafandra mencoba bersikap sabar menghadapi ibu hamil yang sering meraung-raung tak jelas seperti Kayana. Persediaan sabarnya harus lebih dari hari biasa. "Terus, kamu nginep di sana enggak?" Rafandra menggelengkan kepalanya. "Kenapa? Kamu tega ninggalin aku sendirian kalau malam?" Rafandra menepuk dahinya. Memang serba salah menjawab pertanyaan dari Kayana saat ini. "Aku kan kerja—" "Kalau kamu kerja, memangnya ada larangan tinggal di rumah aku? Kamu jahat, Rafa. Kamu enggak sayang lagi sama aku." Kayana mulai merengek. Air matanya menetes melalui pipinya ya
Rafandra menyempatkan diri datang ke rumah sakit bertemu dengan ayahnya yang masih dirawat di sana. Dirinya datang tidak hanya sendiri, bersama dengan Kayana tentunya. Baru saja ia masuk, mata ayahnya telah memindainya dari jarak jauh seolah dirinya adalah seorang penjahat. Memang seperti itulah Wirautama jika sedang mengintai seseorang. "Pa, biasa aja lihatin Rafa." risih, Rafandra menegur ayahnya. Kayana yang mengekor di belakang mengucapkan salam lalu mencium tangan ayah mertuanya. "Papa udah sembuh belum sih?" "Dasar anak durhaka. Tuh istri kamu saja cium tangan, kamu malah melengos." Wirautama memukul lengan Rafandra pelan, namun anaknya itu berlagak kesakitan. "Bagaimana dengan Sonia? Berhasil dipindahkannya?" Rafandra menggedikkan bahunya. "Papa kenapa bikin peraturan seperti itu sih? Kenapa Sonia dimasukkan ke dalam tim pengembangan juga?" "Dia bagus, idenya selalu menarik dan public speakingnya selalu didengar oleh investor. Apa salahnya kalau kita masukkan dia ke dalam t